Minggu, 05 Juli 2015

RELEVANSI PANDANGAN PASTOR HERMAS MENGENAI KESADARAN DIRI SEBAGAI SYARAT PENGAMPUNAN DOSA

RELEVANSI PANDANGAN PASTOR HERMAS
MENGENAI KESADARAN DIRI SEBAGAI SYARAT PENGAMPUNAN DOSA

1.    Pengantar

2.    Seputar Pastor Hermas
2.1     Penulis Pastor Hermas[1]
Pastor Hermas merupakan salah satu karya literatur Kristen pada masa pertengahan abad II sampai sebelum abad IV.[2] Berdasarkan penelitian para ahli yang berangkat dari kitab tersebut, diduga ada tiga pribadi sebagai sosok Hermas. Dikatakan bahwa Hermas adalah seorang budak dari salah satu anggota Gereja di Roma. Diduga juga bahwa ia adalah saudara dari Paus Pius I. Namun, ada juga pandangan yang lain yang mengatakan bahwa Hermas adalah salah satu orang yang namanya disebut oleh Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Rom 16:14). Ada anggapan bahwa Hermas merupakan rekan kerja Paulus.
Lalu siapa yang menulis Pastor Hermas? Ada dua teori yang berpendapat mengenai hal ini. Pertama, teori satu pengarang. Dalam teori dikemukakan berbagai pandang para ahli yang mengatakan bahwa Pastor Hermas ditulis oleh satu pengarang dalam waktu yang sama. Sedangkan teori yang kedua adalah teori banyak pengarang. Dalam teori ini, para ahli mengatakan bahwa penulis Pastor Hermas bukanlah satu orang saja.

2.2     Isi Pastor Hermas
Isi kitab Pastor Hermas terdiri dari lima penglihatan, dua belas perintah dan sepuluh perumpamaan. Kelima perumpamaan tersebut ialah: penglihatan seorang yang bernama Rhoda (majikan dari Hermas) dan

3. Kesadaran Diri sebagai Syarat Pengampunan Dosa
3.1 Dosa Menurut Pastor Hermas
Pastor Hermas memahami dosa berkat bantuan malaikat pengampun yang memberinya wahyu untuk memikirkan dan menelaah lebih dalam sumber dosa dalam perjalanan hidup manusia.[3] Dosa merupakan realitas kehidupan manusia yang tidak dapat dihindarkan oleh manusia maupun Gereja. Kehadiran dan keberadaan dosa mampu merusak  tatanan maupun relasi cinta antara manusia dengan Allah. Situasi yang demikian membuat jarak antara manusia dengan Allah semakin jauh. Dosa adalah algojo bagi Allah yang baik dan pembunuh bagi jiwa manusia. Dosa merenggut keberadaan kita sebagai ciptaan Allah dan melemparkan kita ke dalam kegelapan yang paling dalam. Tawaran dan godaan dari dosa kerap kali membuat manusia lupa akan realitas kasih Allah sehingga manusia tinggal pada realitas dosa. Dan lebih dalam lagi, manusia tinggal dan menikmati tawaran dosa yang menjerumuskan tersebut.
Allah dalam diri-Nya menghendaki manusia sampai pada kebahagiaan, tetapi manusia tidak menghendakinya. Manusia berpaling daripada-Nya dan menyerahkan diri dibentuk oleh setan. Manusia melarikan diri dari Sahabat untuk pergi mencari teman yang membuatnya menderita. Kejatuhan manusia ke dalam dosadilihat Pastor Hermas sebagai suatu sikap yang tidak mau berterima kasih dan berpegang teguh pada perbuatan-perbuatan baik Allah. dosa adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum Allah. Dengan berdosa manusia berontak melawan Allah yang baik, kita menghina keadailan-Nya,dan kita menginjak-injak rahmat-Nya. Secara tidak langsung kita telah menjadi musuh Allah, teman bagi setan, dan musuh bagi surga.
Dalam suatu Perayaan Ekaristi Santo Yohanes Vianney pernah berkata, “Alangkah malangnya! Demikianlah Allah akan berkata kepada kita disaat ajal menjemput. Mengapakah engkau menghina Aku? Aku yang amat mengasihimu.” Menghina Allah yang baik, yang tidak pernah melakukan apa pun kepada kita selain daripada yang baik; dan menyenangkan setan, yang tidak pernah melakukan apa pun kepada kita selain daripada kejahatan. Tidakkah sungguh bodoh memilih untuk menjadikan diri kita sendiri layak bagi neraka dengannmengikatkan diri pada setan, sementara kita berkesempatan menikmati sukacita surgawi bahkan semasa hidup kita sekarang ini dengan mempersatukan diri kita dengan Allah dalam cinta? Para pendosa yang malang tampak seolah-olah tidak sabar menanti hukuman yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kumpulan para iblis dan mereka menjerumuskan dirimereka sendiri ke dalamnya. Dalam hidupnya, para pendosa memilki sikap seperti binatang. Binatang yang tidak memiliki akal budi tidak mengetahui apa-apa selain nafsunya sendiri. Jadi, manusia yang menjadikan dirinya seperti sikap binatang, kehilangan akal budinyadan membiarkan dirinya dibimbing oleh nafsu-nafsu tubuhnya. Ia menikmati kesenangan dunia dengan semaunya yang akan berlalu bagaikan angin dari kehidupannya. Dosanya meremukkan harkat dan martabatnya sebagai manusia, jiwa dan suara hatinya tumpul dan tak berfungsi, itulah gambaran manusia yang terbuai oleh godaan-godaan setan.[4]
Keberadaan manusia yang berdosa menjadikan dirinya menghina Allah, hatinya merupakan tumpukan sampah-sampah yang tidak berguna bagaikan sepotong daging yang busuk dan dimakan ulat. Dengan menghina Allah, kita mengulang kembali Sengsara dan wafat-Nya. Kita sama kejinya dengan apa yang telah dilakukan semua orang Yahudi dengan menggantungkan-Nya dengan hina di kayu salib. Untuk memulihkan hubungan Allah dengan manusia menurut Pastor Hermas adalah pengakuan dosa, namun sebelum sampai pada pengakuan dosa yang murni haruslah didasari dengan kesadaran diri yang penuh dari setiap pribadi.[5]
3.2 Kesadaran diri sebagai Syarat Pengakuan Dosa
Kesadaran diri berarti suatu keadaan di mana seseorang menginsafi dan menyadari keberadaan dirinya sebagai manusia yang mempunyai pola pikir untuk menentukan dan memilih dalam hal ini adalah memilih dan memutuskan dari sekian banyak keputusan yang diambil guna perkembangan hidupnya secara pribadi tetapi tidak bisa terpisah dari Allah dan manuisa sebagai sesama. Pastor Hermas dalam perintah keempat memperlihatkan bahwa pertobatan seseorang harus bersumber dari dirinya sendiri, menerima kesalahan, dan mau bertobat.[6] Allah sang pengampun memaafkan dan memberikan pengampunan bagi mereka yang sadar akan segala kesalahan dan kelalaian dalam perjalanan hidupnya. Namun, pengampunan itu tidak akan berfaedah jika si pendosa tidak mau membuka dirinya atas kesempatan pengampunan yang diberikan Allahkepada si pendosa.[7]
Pertobatan yang diperoleh manusia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Manusia yang berdosa selalu dihadapkan pada tantangan atau pun godaan untuk sampai pada pertobatan sejati sebagai anak-anak Allah dan tantangan itu kerap kali membuat manusia jatuh lagi kepada dosa. Semua itu bisa terjadi apabila dasar pertobatan yang dilakukan manusia belumlah kokohdidasarkan atas kesadaran diri yang total, tetapi manusia berdosa yang memiliki pondasi yang kuat untuk bertobat tidak akan jatuh ke dalam kesalahan yang sama.[8] Manusia yang jatuh ke dalam lubang yang sama setelah menerima pengampunan dosa berarti orang yang tidak memberdayagunakan pengampunan dosa itu pada hal-hal yang berkenan kepada Alla dalam hidupnya. Kesempatan yang diberikan Allah untuk menata dan membingkai hidupnya yang suram menjadi terang dalam Allah tidak dimanfaatkandan diwujudkan dengan baik.[9]
Manusia jatuh ke dalam dosa yang sama akan memiliki kesusahan amat besar dalam hidupnya. Orang-orang yang demikian akan berjalan merangkak menuju Allah jika dalam dirinya ada kesadaran untuk bertobat. Demikianlah kondisi orang-orang yang berdosa pada lubang yang sama. Kesadaran diri untuk meminta pengampunan dosa pertama-tama haruslah berasal dari kesadaran dan kehendak diri sendiri.[10]namun kerap kali terjadi bahwa kejadian-kejadian tertentu membuat manusia insaf akan keberdosaannya selama ini dan karenanya bertobat dan berbalik ke jalan yang benar. Selain itu pertobatan seseorang dapat terjadi pula akibat sharing pengalaman seseorang yang sebelumnya juga memilki cara hidup yang bertentangan dengan kehendak Allah. Namun harus disadari bahwa semuanya itu harus diproses terlebih dahulu dalam hati, lalu muncul sebuah motivasi untuk bertobat dan berbalik ke jalan terang Allah.
Motivasi untuk bertobat inilah yang dinamakan kesadaran diri. Motivasi yang kuat untuk bertobat inilah dilihat Allah sebagai izin untuk menerima pengampunan dosa. Belas kasih Allah terlihat ketika Ia memberikan diri untuk mengampuni dosa setiap pribadi yang datang kepada-Nya dengan cara berpasrah. Allah mengkomunikasikan diri-Nya bagi setiap pribadi yang sadar dan memiliki kebutuhan untuk selalu bergantung pada penyelenggaraan Ilahi-Nya dengan cara mengampuni dosa mereka.[11]

4 Penutup
Perlu disadari bahwa di dalam keadaan berdosa kita meninggalkan kebersamaan yang mesra dengan Allah, sesama, dan lingkungan alam semesta.[12]
Daftar Pustaka
Terry Th. Ponomban (ed.), Khotbah dan Katekese Yohanes Maria Vianney: Kenangan Tahun Para Imam 2009-19 Juni 2010. Semarang: Yayasan Pustaka Nusatama, 2009
D.C. Poullet, A History of The Catholic Church, Vol. I (London: B. Herder Book Co., 1934
Fabianus Sebatu, Penitensi Menurut Pastor Hermas dalam perintah Keempat 1:1-4:4 (Sinaksak –Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Universitas St. Thomas, 2011), hlm. 51-52. (Skripsi).

Aloysius Purwa Hadiwardoyo,  Pertobatan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2007)

Emanuel Martasudjita, Litutgi Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 2011.





[1] Fabianus Sebatu, Penitensi Menurut Pastor Hermas dalam perintah Keempat 1:1-4:4 (Sinaksak –Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Unika St. Thomas, 2011), hlm. 14-22. (Skripsi).

                [2] Carolyn Osiek, The Shepherd of Hermas: Hermenia – A Critical and Historical Commentary on The Bible (Minneapolis: Fotress Press, 1999), hlm. 1.

[3] D.C. Poullet, A History of The Catholic Church, Vol. I (London: B. Herder Book Co., 1934), hlm. 40.
[4] Terry Th Ponomban (ed.), Khotbah dan Katekese Yohanes Maria Vianney: Kenangan Tahun Para Imam 2009-19 Juni 2010 (Semarang: Yayasan Pustaka Nusatama, 2009), hlm. 139.

[5]Terry Th Ponomban (ed.), Khotbah ..., hlm. 147.

[6]Fabianus Sebatu, Penitensi Menurut Pastor Hermas dalam perintah Keempat 1:1-4:4 (Sinaksak –Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Universitas St. Thomas, 2011), hlm. 51-52. (Skripsi).

[7]Aloysius Purwa Hadiwardoyo,  Pertobatan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 29.
[8] Aloysius Purwa Hadiwardoyo,  Pertobatan ..., hlm. 30.

[9]Emanuel Martasudjita, Litutgi Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 321.

[10]Johanes Quasten, Patrology, vol I, The Beginnings of Patristic Literature from the Apostles Creed to Iraneus (Notre Dame: Christian Classics, 1950), hlm. 99.

[11]Alex I. Suwandi, Penyembuhan dalam Sakramen Tobat (Padang: BPK keuskupan Padang, 1998), hlm. 21.
                [12] Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Dewasa ini” (GS), dalam Dokumen Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1992), no. 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar