RELEVANSI
PANDANGAN PASTOR HERMAS
MENGENAI KESADARAN
DIRI SEBAGAI SYARAT PENGAMPUNAN DOSA
1.
Pengantar
2.
Seputar Pastor
Hermas
Pastor Hermas merupakan
salah satu karya literatur Kristen pada masa pertengahan abad II sampai sebelum
abad IV.[2] Berdasarkan
penelitian para ahli yang berangkat dari kitab tersebut, diduga ada tiga
pribadi sebagai sosok Hermas. Dikatakan bahwa Hermas adalah seorang budak dari
salah satu anggota Gereja di Roma. Diduga juga bahwa ia adalah saudara dari
Paus Pius I. Namun, ada juga pandangan yang lain yang mengatakan bahwa Hermas
adalah salah satu orang yang namanya disebut oleh Paulus di dalam suratnya
kepada jemaat di Roma (Rom 16:14). Ada anggapan bahwa Hermas merupakan rekan
kerja Paulus.
Lalu siapa yang
menulis Pastor Hermas? Ada dua teori yang berpendapat mengenai hal ini.
Pertama, teori satu pengarang. Dalam teori dikemukakan berbagai pandang para
ahli yang mengatakan bahwa Pastor Hermas ditulis oleh satu pengarang dalam
waktu yang sama. Sedangkan teori yang kedua adalah teori banyak pengarang.
Dalam teori ini, para ahli mengatakan bahwa penulis Pastor Hermas bukanlah satu
orang saja.
2.2
Isi Pastor Hermas
Isi kitab Pastor
Hermas terdiri dari lima penglihatan, dua belas perintah dan sepuluh
perumpamaan. Kelima perumpamaan tersebut ialah: penglihatan seorang yang
bernama Rhoda (majikan dari Hermas) dan
3.
Kesadaran Diri sebagai Syarat Pengampunan Dosa
3.1
Dosa Menurut Pastor Hermas
Pastor Hermas memahami
dosa berkat bantuan malaikat pengampun yang memberinya wahyu untuk memikirkan
dan menelaah lebih dalam sumber dosa dalam perjalanan hidup manusia.[3] Dosa merupakan realitas kehidupan
manusia yang tidak dapat dihindarkan oleh manusia maupun Gereja. Kehadiran dan
keberadaan dosa mampu merusak tatanan
maupun relasi cinta antara manusia dengan Allah. Situasi yang demikian membuat
jarak antara manusia dengan Allah semakin jauh. Dosa adalah algojo bagi Allah
yang baik dan pembunuh bagi jiwa manusia. Dosa merenggut keberadaan kita
sebagai ciptaan Allah dan melemparkan kita ke dalam kegelapan yang paling
dalam. Tawaran dan godaan dari dosa kerap kali membuat manusia lupa akan
realitas kasih Allah sehingga manusia tinggal pada realitas dosa. Dan lebih
dalam lagi, manusia tinggal dan menikmati tawaran dosa yang menjerumuskan tersebut.
Allah dalam diri-Nya
menghendaki manusia sampai pada kebahagiaan, tetapi manusia tidak
menghendakinya. Manusia berpaling daripada-Nya dan menyerahkan diri dibentuk
oleh setan. Manusia melarikan diri dari Sahabat untuk pergi mencari teman yang
membuatnya menderita. Kejatuhan manusia ke dalam dosadilihat Pastor Hermas
sebagai suatu sikap yang tidak mau berterima kasih dan berpegang teguh pada
perbuatan-perbuatan baik Allah. dosa adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum Allah. Dengan berdosa manusia berontak melawan
Allah yang baik, kita menghina keadailan-Nya,dan kita menginjak-injak
rahmat-Nya. Secara tidak langsung kita telah menjadi musuh Allah, teman bagi
setan, dan musuh bagi surga.
Dalam suatu Perayaan
Ekaristi Santo Yohanes Vianney pernah berkata, “Alangkah malangnya! Demikianlah
Allah akan berkata kepada kita disaat ajal menjemput. Mengapakah engkau
menghina Aku? Aku yang amat mengasihimu.” Menghina Allah yang baik, yang tidak
pernah melakukan apa pun kepada kita selain daripada yang baik; dan
menyenangkan setan, yang tidak pernah melakukan apa pun kepada kita selain
daripada kejahatan. Tidakkah sungguh bodoh memilih untuk menjadikan diri kita
sendiri layak bagi neraka dengannmengikatkan diri pada setan, sementara kita
berkesempatan menikmati sukacita surgawi bahkan semasa hidup kita sekarang ini
dengan mempersatukan diri kita dengan Allah dalam cinta? Para pendosa yang
malang tampak seolah-olah tidak sabar menanti hukuman yang akan menjerumuskan
mereka ke dalam kumpulan para iblis dan mereka menjerumuskan dirimereka sendiri
ke dalamnya. Dalam hidupnya, para pendosa memilki sikap seperti binatang.
Binatang yang tidak memiliki akal budi tidak mengetahui apa-apa selain nafsunya
sendiri. Jadi, manusia yang menjadikan dirinya seperti sikap binatang,
kehilangan akal budinyadan membiarkan dirinya dibimbing oleh nafsu-nafsu
tubuhnya. Ia menikmati kesenangan dunia dengan semaunya yang akan berlalu bagaikan
angin dari kehidupannya. Dosanya meremukkan harkat dan martabatnya sebagai
manusia, jiwa dan suara hatinya tumpul dan tak berfungsi, itulah gambaran
manusia yang terbuai oleh godaan-godaan setan.[4]
Keberadaan
manusia yang berdosa menjadikan dirinya menghina Allah, hatinya merupakan
tumpukan sampah-sampah yang tidak berguna bagaikan sepotong daging yang busuk
dan dimakan ulat. Dengan menghina Allah, kita mengulang kembali Sengsara dan
wafat-Nya. Kita sama kejinya dengan apa yang telah dilakukan semua orang Yahudi
dengan menggantungkan-Nya dengan hina di kayu salib. Untuk memulihkan hubungan
Allah dengan manusia menurut Pastor Hermas adalah pengakuan dosa, namun sebelum
sampai pada pengakuan dosa yang murni haruslah didasari dengan kesadaran diri
yang penuh dari setiap pribadi.[5]
3.2 Kesadaran diri sebagai Syarat
Pengakuan Dosa
Kesadaran diri berarti
suatu keadaan di mana seseorang menginsafi dan menyadari keberadaan dirinya
sebagai manusia yang mempunyai pola pikir untuk menentukan dan memilih dalam
hal ini adalah memilih dan memutuskan dari sekian banyak keputusan yang diambil
guna perkembangan hidupnya secara pribadi tetapi tidak bisa terpisah dari Allah
dan manuisa sebagai sesama. Pastor Hermas dalam perintah keempat memperlihatkan
bahwa pertobatan seseorang harus bersumber dari dirinya sendiri, menerima
kesalahan, dan mau bertobat.[6]
Allah sang pengampun memaafkan dan memberikan pengampunan bagi mereka yang
sadar akan segala kesalahan dan kelalaian dalam perjalanan hidupnya. Namun,
pengampunan itu tidak akan berfaedah jika si pendosa tidak mau membuka dirinya
atas kesempatan pengampunan yang diberikan Allahkepada si pendosa.[7]
Pertobatan yang
diperoleh manusia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Manusia yang
berdosa selalu dihadapkan pada tantangan atau pun godaan untuk sampai pada
pertobatan sejati sebagai anak-anak Allah dan tantangan itu kerap kali membuat
manusia jatuh lagi kepada dosa. Semua itu bisa terjadi apabila dasar pertobatan
yang dilakukan manusia belumlah kokohdidasarkan atas kesadaran diri yang total,
tetapi manusia berdosa yang memiliki pondasi yang kuat untuk bertobat tidak
akan jatuh ke dalam kesalahan yang sama.[8]
Manusia yang jatuh ke dalam lubang yang sama setelah menerima pengampunan dosa
berarti orang yang tidak memberdayagunakan pengampunan dosa itu pada hal-hal
yang berkenan kepada Alla dalam hidupnya. Kesempatan yang diberikan Allah untuk
menata dan membingkai hidupnya yang suram menjadi terang dalam Allah tidak
dimanfaatkandan diwujudkan dengan baik.[9]
Manusia jatuh ke dalam
dosa yang sama akan memiliki kesusahan amat besar dalam hidupnya. Orang-orang
yang demikian akan berjalan merangkak menuju Allah jika dalam dirinya ada
kesadaran untuk bertobat. Demikianlah kondisi orang-orang yang berdosa pada
lubang yang sama. Kesadaran diri untuk meminta pengampunan dosa pertama-tama
haruslah berasal dari kesadaran dan kehendak diri sendiri.[10]namun
kerap kali terjadi bahwa kejadian-kejadian tertentu membuat manusia insaf akan
keberdosaannya selama ini dan karenanya bertobat dan berbalik ke jalan yang
benar. Selain itu pertobatan seseorang dapat terjadi pula akibat sharing
pengalaman seseorang yang sebelumnya juga memilki cara hidup yang bertentangan
dengan kehendak Allah. Namun harus disadari bahwa semuanya itu harus diproses
terlebih dahulu dalam hati, lalu muncul sebuah motivasi untuk bertobat dan
berbalik ke jalan terang Allah.
Motivasi untuk bertobat
inilah yang dinamakan kesadaran diri. Motivasi yang kuat untuk bertobat inilah
dilihat Allah sebagai izin untuk menerima pengampunan dosa. Belas kasih Allah
terlihat ketika Ia memberikan diri untuk mengampuni dosa setiap pribadi yang
datang kepada-Nya dengan cara berpasrah. Allah mengkomunikasikan diri-Nya bagi
setiap pribadi yang sadar dan memiliki kebutuhan untuk selalu bergantung pada
penyelenggaraan Ilahi-Nya dengan cara mengampuni dosa mereka.[11]
4 Penutup
Perlu
disadari bahwa di dalam keadaan berdosa kita meninggalkan kebersamaan yang
mesra dengan Allah, sesama, dan lingkungan alam semesta.[12]
Daftar Pustaka
Terry
Th.
Ponomban (ed.), Khotbah dan Katekese Yohanes Maria Vianney: Kenangan Tahun Para
Imam 2009-19 Juni 2010.
Semarang:
Yayasan Pustaka Nusatama, 2009
D.C. Poullet, A History of The Catholic Church, Vol. I
(London: B. Herder Book Co., 1934
Fabianus Sebatu, Penitensi Menurut Pastor Hermas dalam
perintah Keempat 1:1-4:4 (Sinaksak –Pematangsiantar: Fakultas Filsafat
Universitas St. Thomas, 2011), hlm. 51-52. (Skripsi).
Aloysius
Purwa Hadiwardoyo, Pertobatan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
Emanuel
Martasudjita, Litutgi Pengantar untuk
Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 2011.
[1]
Fabianus Sebatu, Penitensi Menurut Pastor Hermas dalam
perintah Keempat 1:1-4:4 (Sinaksak –Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Unika
St. Thomas, 2011),
hlm. 14-22. (Skripsi).
[2] Carolyn Osiek,
The Shepherd of Hermas: Hermenia – A
Critical and Historical Commentary on The Bible (Minneapolis: Fotress
Press, 1999), hlm. 1.
[3] D.C. Poullet, A History of The Catholic Church, Vol. I
(London: B. Herder Book Co., 1934), hlm. 40.
[4] Terry Th Ponomban (ed.), Khotbah dan Katekese Yohanes Maria
Vianney: Kenangan Tahun Para Imam 2009-19 Juni 2010 (Semarang: Yayasan
Pustaka Nusatama, 2009), hlm. 139.
[5]Terry Th Ponomban (ed.), Khotbah ..., hlm. 147.
[6]Fabianus Sebatu, Penitensi Menurut Pastor Hermas dalam
perintah Keempat 1:1-4:4 (Sinaksak –Pematangsiantar: Fakultas Filsafat
Universitas St. Thomas, 2011), hlm. 51-52. (Skripsi).
[7]Aloysius Purwa Hadiwardoyo, Pertobatan
dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 29.
[8] Aloysius Purwa Hadiwardoyo, Pertobatan
..., hlm. 30.
[9]Emanuel Martasudjita, Litutgi Pengantar untuk Studi dan Praksis
Liturgi(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 321.
[10]Johanes Quasten, Patrology, vol I, The
Beginnings of Patristic Literature from the Apostles Creed to Iraneus (Notre Dame: Christian Classics,
1950), hlm. 99.
[11]Alex I. Suwandi, Penyembuhan dalam Sakramen Tobat
(Padang: BPK keuskupan Padang, 1998), hlm. 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar