Minggu, 05 Juli 2015

Augustinus dari Hippo

Augustinus dari Hippo
A.  Pengantar
      Abad Patristik merupakan abad yang salah satunya ditandai oleh berkembangnya kekristenan. Kristianitas yang tumbuh dan berkembang dalam kultur Yahudi pun mulai dicurigai oleh bangsa-bangsa non Yahudi. Maka, timbullah pergesekan antara filsafat sebagai ilmu yang mencari kebenaran dan kekristenan yang juga mengajarkan keselamatan bagi manusia. Seluruh realita insani Gereja adalah ungkapan dan sekaligus pelaksanaan duniawi dan karya keselamatan Allah yang menyatakan diri di dalamnya.[1] Salah satu tokoh yang memberi perhatian terhadap Gereja adalah Aurelius Agustinus. Ia merupakan salah satu tokoh dari para Bapa Gereja. Pandangan-pandangannya sangat berpengaruh bagi Gereja Barat, dominasi ini berlangsung hingga abad XIII. Sejumlah tulisannya antara lain ialah Confessiones (Pengakuan-pengakuan), De Trinitate (tentang Trinitas), dan De Civitate Dei (tentang Negara Allah).[2]

B.  Riwayat Hidup Augustinus
Agustinus dilahirkan di Tagaste, Afrika Utara, tidak jauh dari Hippo Regius pada tanggal 13 November 354.[3] Agustinus adalah putera pasangan Patricius dan Monnica. Pada tahun 370, Agustinus melanjutkan pendidikannya ke Karthago. Di kota ini ia mendalami retorika dan filsafat. Karthago merupakan kota pelabuhan yamg bebas, “aku datang ke Karthago dan disekelilingku, di mana-mana berdesas-desus ajang percintaan yang memalukan.”[4] Sekitar tahun 372 ia kembali ke Hippo dan menjadi pengajar retorika.
Pada tahun 373 ia membaca buku karangan Cicero yang berjudul Hortensius. Buku inilah yang membawanya menjadi pengikut Platonis. Sekitar tahun 382 Agustinus berangkat ke Roma dan membuka sekolah retorika. Dalam perkembangannya sekolah ini dipindahkan ke kota Milan, dan di kota inilah ia meninggalkan Manikheisme dan menjadi pengikut aliran Neo-platonis.
Agustinus sangat memandang rendah Alkitab, karena menurutnya bahasa yang digunakan sangat kasar, rendah dan tak bermutu. Namun, kehadiran Uskup Ambrosius yang cakap dalam berkotbah menghancurkan kedegilan hatinya. Ia menjadi tertarik membaca Alkitab dan karena Akitablah pertobatannya semakin diteguhkan. Peristiwa peneguhan lewat Alkitab itu dikenal dengan “Peristiwa Taman”. Ia mendengar ada suara yang memanggil dan berulang-ulang ia dengar. “Ambillah, bacalah! Ambillah, bacalah!...”.[5]
Keanggotaannya dalan aliran Neo-platonis tidak berlangsung lama, di sini ia juga merasa diombang-ambingkan dari Menikheisme ke dalam skeptisisme dan neoplatonis. Akhirnya ia bertobat dan dibabtis pada tahun 387,[6] oleh uskup Ambrosius. Setelah bertobat dan dibabtis, pada tahun 392 ia ditahbiskan menjadi imam dan kemudian diangkat menjadi uskup di Hippo pada tahun 396. Ia wafat pada tanggal 28 Agustus 430. Gereja kemudian menempatkannya dalam kalangan “Delapan Guru dan Pujangga Besar Gereja yang Tak Terbagi”.[7]

C.  Latar belakang perdebatan Agustinus dan Pelagius
            Agustinus dan Plagius merupakan dua tokoh satu jaman yang memiliki paham religius berbeda namun masing-masing mempunyai pengaruh besar. Perbedaan paham itu menjadi latar belakang perjalanan hidup mereka. Agustinus melihat seluruh perjalanan hidupnya dalam konteks rahmat dan mengakui bahwa pertobatan radikalnya pun merupakan suatu rahmat Allah. Pengalaman ini sangant meresapi pemahamannya yang menekankan kemutlakan rahmat dalam hidup ,manusia.
            Berbeda dari pemahaman itu, Pelagius menyatakan bahwa yang membentuk hidup manusia adalah kehendaknya yang mengandaikan adanya kebebaa. Pada masanya, Pelagius merupakan tokoh yang yang menyerukan dan mengajarkan perlunya keputusan dan pilihan dari pihak manusia untuk bertobat, karena Pelagius hidup ditengah suasana kehidupan Gereja yang merosot dan memerlukan pembaharuan.
            Kedua paham ini pada awalnya tidak berada berada dalam posisi yang bertolak belakang. Akan tetapi perbedaan itu kemudian terus bertolak belakang. Akan tetapi perbedaan itu kemudian terus bergesekan hingga meniombulkan polaritas dua kutub atau dua dua ekstrim yang masing-masing, dalam kualitas yagn berbeda, terus memberikan pengaruh pada peham Gereja.

D.  Perbedaan Pendapat Kedua Tokoh
1.    Pandangan kedua tokoh tentang kebebasan kehendak / Liberum Arbitrium.
            Dalam pahaman Agustinus, manusia bergantung secara total kepada Allah dan rahmatNya. Dihadapkan dengan kemutlakan Allah, kebebasan manusia tidak memiliki arti. Kehendak bebas manusia merupakan openjara bagi dirinya sendiri. Bagi Agustinus, kebebasan menunjuk pada intervensi Allah lewat rahmat dan tidak menunjuk pada kapasitas kodrat manusia yang telah rusak oleh dosa, sehingga rahmat itu merupakan bentuk baru kebebasan yang menuntut pembaharuan internal kehendak manusia.
            Berseberangan dengan itu, pandangan Pelagius memusat pada kebebasan kebebasan kehendak manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Di hadapan Allah, manusia bersifat otonom. Lagi,dalam berkehendak merupakan bagian dari kodrat manusia dan kebebasan rhmat, namun rahmat itu sendiri harus dilihat sebagai kemampuian kodrati manusia untuk memilih yang baik atau yang buruk secara bebas.

2.    Pandangan kedua tokoh tentang dosa
            Dosa merusak kodrat manusia. Pengrusakan itu menurut Agustinus terjadi sejak awal saat terjadinya dosa asal. Kebebasan manusia tidak lagi berarti karena kebebasan itu telah terpenjara oleh dosa yang juga telah mencemari kehendak manusia. Dosa itu sendiri telah berakar dalam kehendak manusia dan iniadalah bagian dari misteri dosa. Dosa mencengkeram hidup manusia dari dalam dan didalam serta melumpuhkan kodrat. Keberdosaan itu terjadi pada seluruh umat manusia sehingga umat manusia merupakan umat yang terkutuk (massa damnata). Kelumpuhan kodrati itu tidak bisa tanpa bantuan Allah lewat rahmatNya.
            Pelagius, dengan pandangan berbeda, berpendapat bahwa dosa asal tidak mengandung arti sebagai dosa kutukan yang harus diterima oleh setiap orang. Dosa memang tersebar tetapi sebaran itu tidak terjadi lewat pewarisan pewarisan melainkan lewat mekanisme interaksi sosial dalam masayarakat. Dosa timbul ketika manusia melawan kehendak bebasnya. Namun demikian menurut Pelagius, dosa tidak menyentuh kodrat dan inti kebebasan manusia. Belenggu dosa dapat dilepaskan jika seseorang memiliki keberanian untuk memutuskan mengikuti Kristus. Pelagius meyakini bahwa pembaptisan orang dewasa membawa pengakuan dosa.

3.    Kedua tokoh memandang kodrat rahmat
            Agutinus berpendapat bahwa rahmat merupakan perhatian Allah yang bersifat gratis. Rahmat pertama-tama merupakan kekuatan internal untuk melawan dosa yang mencekram dari dalam dan di dalam diri manusia. Dalam tradisi Agustinus, kemutlakan rahmat terkait lengsung dengan dosa asal dan akibat-akibatnya pada kodrat manusia. Kecuma-cumaan atau kegratisan rahmat itu dilihat sebagai akibat dari keberdosaan manusia. Perdebatan dengan pelagius menyebabkan pandangan Agustinus perihal rahmat terarah kepada konteks dosa asal dan kebebasan. Agustinus melihat bahwa rahmat merupakan kekuatan yang memperluas bidang atau horison kebebasan manusia. Rahmat tidak menghapus kebebasan, namun mendahului setiap perbuatan.
            Sementara, Pelagius menyatakan bahwa rahmat pertama-tama merupakan kebebasan manusia  sendiri. Rahmat adalah pemberian eksternal bagi manusia. Rahmat eksternal ini menantang kebebasan internal, sehingga manusia bebas untuk ikut atau tidak ikut. Rahmat adalah bantuan yang teraktualisasi dalam dua cara: untuk mengetahui (sapere) perbuatan benar dan untuk mampu (potere) melakukan perbuatan benar.

4.    Pandangan perihal dasar keselamatan dari kedua tokoh
            Bagi Agustinus, dasar keselamatan adalah rahmat. Karena dosa asal, kodrat manusia dilemahkan dan kodrat itu tidak dapat sembuh atau pulih kembali dengan sendirinya. Diagnosa dan kesembuhan hanya dapat dilakukan oleh Allah dengan rahmatNya. Rahmat dibutuhkan sebagai kekuatan penyembuh (gratia sanans) bagi kodrat yang terluka dan lumpuh. Tanpa rahmat, manusia tidak dapat berbuat baik atau berbuat apapun yang berkenan dihadapan allah.
            Pelagius melihat bahwa dasar keselamatan manusia adalah jasa dan usaha manusia lewat perbuatan-perbuatan baik. Kodrat yang mencakup kebebasan kehendak (voluntas) sudah memadai bagi manusia untuk dapat selamat dan untuk dapat menentukan diridalam melakukan perbuatan-perbuatan yang diperhitungkan oleh Allah. Kodrat tetap mampu untuk melakukan jasa (merit) demi keselamatan. Kodrat adalah sarana keselamatan, shingga terdapat kemungkinan adanya sarana keselamatan, sehingga terdapat kemungkinan adanya keselamatan universal.


E.  Penutup
Pokok ajaran Agustinus amatlah mengedepankan relasi yang akrab antara manusia dengan Allah, penciptanya. Penginjil Yohanes menulis, “Barangsiapa tidak mengasih, dia tidak mengenal Allah” (1 Yoh 4:8). Karena cinta kasih itu, maka terwujudlah relasi yang akrab baik kepada Allah maupun kepada sesama. Kesatuan ituhanya dapat terwujud atas dasar iman. Karena imanlah maka terjadi persatuan bersama Bapa dan PuteraNya. “Barangsiapa percaya akan Daku, biarpun telah mati ia akan hidup. Dan barangsiapa yang hidup serta percaya akan Daku sampai kekal itu tidak akan mati” (Yoh 11: 25-26).



                [1] T. Jacob,  Dinamika Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1979), hlm. 38
[2] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 79.
[3] F.D Wellem, M. Th, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 30.
[4] Agustinus, Confessiones (terj. Winarsih Arifin dan Dr. Van den End), (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 1997), hlm. 73.
[5] Agustinus, Confessiones.., hlm. 240-241.
[6] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 79.
[7] B.J. Marwoto dan H. Witdarmono, Proverbia Latina: Pepetah-pepetah Banhasa Latin, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 293.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar