Augustinus dari
Hippo
A. Pengantar
Abad
Patristik merupakan abad yang salah satunya ditandai oleh berkembangnya
kekristenan. Kristianitas yang tumbuh dan berkembang dalam kultur Yahudi pun
mulai dicurigai oleh bangsa-bangsa non Yahudi. Maka, timbullah pergesekan
antara filsafat sebagai ilmu yang mencari kebenaran dan kekristenan yang juga
mengajarkan keselamatan bagi manusia. Seluruh realita insani Gereja adalah
ungkapan dan sekaligus pelaksanaan duniawi dan karya keselamatan Allah yang menyatakan
diri di dalamnya.[1] Salah
satu tokoh yang memberi perhatian terhadap Gereja adalah Aurelius Agustinus. Ia
merupakan salah satu tokoh dari para Bapa Gereja. Pandangan-pandangannya sangat
berpengaruh bagi Gereja Barat, dominasi ini berlangsung hingga abad XIII.
Sejumlah tulisannya antara lain ialah Confessiones
(Pengakuan-pengakuan), De Trinitate (tentang
Trinitas), dan De Civitate Dei (tentang
Negara Allah).[2]
B. Riwayat Hidup Augustinus
Agustinus dilahirkan di Tagaste, Afrika Utara, tidak jauh dari Hippo
Regius pada tanggal 13 November 354.[3]
Agustinus adalah putera pasangan Patricius dan Monnica. Pada tahun 370,
Agustinus melanjutkan pendidikannya ke Karthago. Di kota ini ia mendalami
retorika dan filsafat. Karthago merupakan kota pelabuhan yamg bebas, “aku
datang ke Karthago dan disekelilingku, di mana-mana berdesas-desus ajang
percintaan yang memalukan.”[4]
Sekitar tahun 372 ia kembali ke Hippo dan menjadi pengajar retorika.
Pada tahun 373 ia membaca buku karangan Cicero yang berjudul Hortensius. Buku inilah yang membawanya
menjadi pengikut Platonis. Sekitar tahun 382 Agustinus berangkat ke Roma dan
membuka sekolah retorika. Dalam perkembangannya sekolah ini dipindahkan ke kota
Milan, dan di kota inilah ia meninggalkan Manikheisme dan menjadi pengikut aliran
Neo-platonis.
Agustinus sangat memandang rendah Alkitab, karena menurutnya bahasa yang
digunakan sangat kasar, rendah dan tak bermutu. Namun, kehadiran Uskup
Ambrosius yang cakap dalam berkotbah menghancurkan kedegilan hatinya. Ia
menjadi tertarik membaca Alkitab dan karena Akitablah pertobatannya semakin
diteguhkan. Peristiwa peneguhan lewat Alkitab itu dikenal dengan “Peristiwa
Taman”. Ia mendengar ada suara yang memanggil dan berulang-ulang ia dengar. “Ambillah,
bacalah! Ambillah, bacalah!...”.[5]
Keanggotaannya dalan aliran Neo-platonis tidak berlangsung lama, di sini
ia juga merasa diombang-ambingkan dari Menikheisme ke dalam skeptisisme dan
neoplatonis. Akhirnya ia bertobat dan dibabtis pada tahun 387,[6]
oleh uskup Ambrosius. Setelah bertobat dan dibabtis, pada tahun 392 ia
ditahbiskan menjadi imam dan kemudian diangkat menjadi uskup di Hippo pada
tahun 396. Ia wafat pada tanggal 28 Agustus 430. Gereja kemudian menempatkannya
dalam kalangan “Delapan Guru dan Pujangga Besar Gereja yang Tak Terbagi”.[7]
C. Latar belakang perdebatan Agustinus dan
Pelagius
Agustinus dan Plagius merupakan dua
tokoh satu jaman yang memiliki paham religius berbeda namun masing-masing
mempunyai pengaruh besar. Perbedaan paham itu menjadi latar belakang perjalanan
hidup mereka. Agustinus melihat seluruh perjalanan hidupnya dalam konteks rahmat dan mengakui bahwa pertobatan
radikalnya pun merupakan suatu rahmat Allah. Pengalaman ini sangant meresapi
pemahamannya yang menekankan kemutlakan rahmat
dalam hidup ,manusia.
Berbeda dari pemahaman itu, Pelagius
menyatakan bahwa yang membentuk hidup manusia adalah kehendaknya yang
mengandaikan adanya kebebaa. Pada masanya, Pelagius merupakan tokoh yang yang
menyerukan dan mengajarkan perlunya keputusan
dan pilihan dari pihak manusia
untuk bertobat, karena Pelagius hidup ditengah suasana kehidupan Gereja yang
merosot dan memerlukan pembaharuan.
Kedua paham ini pada awalnya tidak
berada berada dalam posisi yang bertolak belakang. Akan tetapi perbedaan itu
kemudian terus bertolak belakang. Akan tetapi perbedaan itu kemudian terus
bergesekan hingga meniombulkan polaritas dua kutub atau dua dua ekstrim yang
masing-masing, dalam kualitas yagn berbeda, terus memberikan pengaruh pada
peham Gereja.
D. Perbedaan
Pendapat Kedua Tokoh
1.
Pandangan kedua tokoh tentang kebebasan kehendak /
Liberum Arbitrium.
Dalam pahaman Agustinus, manusia
bergantung secara total kepada Allah dan rahmatNya. Dihadapkan dengan
kemutlakan Allah, kebebasan manusia tidak memiliki arti. Kehendak bebas manusia
merupakan openjara bagi dirinya sendiri. Bagi Agustinus, kebebasan menunjuk
pada intervensi Allah lewat rahmat dan tidak menunjuk pada kapasitas kodrat
manusia yang telah rusak oleh dosa, sehingga rahmat itu merupakan bentuk baru
kebebasan yang menuntut pembaharuan internal kehendak manusia.
Berseberangan dengan itu, pandangan
Pelagius memusat pada kebebasan kebebasan kehendak manusia untuk menentukan
dirinya sendiri. Di hadapan Allah, manusia bersifat otonom. Lagi,dalam berkehendak merupakan bagian dari kodrat manusia
dan kebebasan rhmat, namun rahmat itu sendiri harus dilihat sebagai kemampuian
kodrati manusia untuk memilih yang baik atau yang buruk secara bebas.
2.
Pandangan kedua tokoh tentang dosa
Dosa merusak kodrat manusia.
Pengrusakan itu menurut Agustinus terjadi sejak awal saat terjadinya dosa asal.
Kebebasan manusia tidak lagi berarti karena kebebasan itu telah terpenjara oleh
dosa yang juga telah mencemari kehendak manusia. Dosa itu sendiri telah berakar
dalam kehendak manusia dan iniadalah bagian dari misteri dosa. Dosa
mencengkeram hidup manusia dari dalam dan didalam serta melumpuhkan kodrat.
Keberdosaan itu terjadi pada seluruh umat manusia sehingga umat manusia
merupakan umat yang terkutuk (massa
damnata). Kelumpuhan kodrati itu tidak bisa tanpa bantuan Allah lewat
rahmatNya.
Pelagius, dengan pandangan berbeda,
berpendapat bahwa dosa asal tidak mengandung arti sebagai dosa kutukan yang
harus diterima oleh setiap orang. Dosa memang tersebar tetapi sebaran itu tidak
terjadi lewat pewarisan pewarisan melainkan lewat mekanisme interaksi sosial
dalam masayarakat. Dosa timbul ketika manusia melawan kehendak bebasnya. Namun
demikian menurut Pelagius, dosa tidak menyentuh kodrat dan inti kebebasan
manusia. Belenggu dosa dapat dilepaskan jika seseorang memiliki keberanian untuk
memutuskan mengikuti Kristus. Pelagius meyakini bahwa pembaptisan orang dewasa
membawa pengakuan dosa.
3.
Kedua tokoh memandang kodrat rahmat
Agutinus berpendapat bahwa rahmat
merupakan perhatian Allah yang bersifat gratis. Rahmat pertama-tama merupakan
kekuatan internal untuk melawan dosa yang mencekram dari dalam dan di dalam
diri manusia. Dalam tradisi Agustinus, kemutlakan rahmat terkait lengsung
dengan dosa asal dan akibat-akibatnya pada kodrat manusia. Kecuma-cumaan atau
kegratisan rahmat itu dilihat sebagai akibat dari keberdosaan manusia.
Perdebatan dengan pelagius menyebabkan pandangan Agustinus perihal rahmat
terarah kepada konteks dosa asal dan kebebasan. Agustinus melihat bahwa rahmat
merupakan kekuatan yang memperluas bidang atau horison kebebasan manusia.
Rahmat tidak menghapus kebebasan, namun mendahului setiap perbuatan.
Sementara, Pelagius menyatakan bahwa
rahmat pertama-tama merupakan kebebasan manusia
sendiri. Rahmat adalah pemberian eksternal
bagi manusia. Rahmat eksternal ini menantang kebebasan internal, sehingga
manusia bebas untuk ikut atau tidak ikut. Rahmat adalah bantuan yang
teraktualisasi dalam dua cara: untuk mengetahui (sapere) perbuatan benar dan untuk mampu (potere) melakukan perbuatan benar.
4.
Pandangan perihal dasar keselamatan dari kedua tokoh
Bagi Agustinus, dasar keselamatan
adalah rahmat. Karena dosa asal, kodrat manusia dilemahkan dan kodrat itu tidak
dapat sembuh atau pulih kembali dengan sendirinya. Diagnosa dan kesembuhan
hanya dapat dilakukan oleh Allah dengan rahmatNya. Rahmat dibutuhkan sebagai
kekuatan penyembuh (gratia sanans)
bagi kodrat yang terluka dan lumpuh. Tanpa rahmat, manusia tidak dapat berbuat
baik atau berbuat apapun yang berkenan dihadapan allah.
Pelagius melihat bahwa dasar
keselamatan manusia adalah jasa dan usaha manusia lewat perbuatan-perbuatan
baik. Kodrat yang mencakup kebebasan kehendak (voluntas) sudah memadai bagi manusia untuk dapat selamat dan untuk
dapat menentukan diridalam melakukan perbuatan-perbuatan yang diperhitungkan
oleh Allah. Kodrat tetap mampu untuk melakukan jasa (merit) demi keselamatan. Kodrat adalah sarana keselamatan, shingga
terdapat kemungkinan adanya sarana keselamatan, sehingga terdapat kemungkinan
adanya keselamatan universal.
E. Penutup
Pokok ajaran Agustinus amatlah mengedepankan relasi yang akrab antara
manusia dengan Allah, penciptanya. Penginjil Yohanes menulis, “Barangsiapa
tidak mengasih, dia tidak mengenal Allah” (1 Yoh 4:8). Karena cinta kasih itu,
maka terwujudlah relasi yang akrab baik kepada Allah maupun kepada sesama.
Kesatuan ituhanya dapat terwujud atas dasar iman. Karena imanlah maka terjadi
persatuan bersama Bapa dan PuteraNya. “Barangsiapa percaya akan Daku, biarpun
telah mati ia akan hidup. Dan barangsiapa yang hidup serta percaya akan Daku
sampai kekal itu tidak akan mati” (Yoh 11: 25-26).
[2]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah...,
hlm. 79.
[3]
F.D Wellem, M. Th, Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm.
30.
[4]
Agustinus, Confessiones (terj. Winarsih
Arifin dan Dr. Van den End), (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius,
1997), hlm. 73.
[5]
Agustinus, Confessiones.., hlm.
240-241.
[6]
Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 79.
[7]
B.J. Marwoto dan H. Witdarmono, Proverbia
Latina: Pepetah-pepetah Banhasa Latin, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2004), hlm. 293.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar