Minggu, 05 Juli 2015

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL.

BAB I

PENDAHULUAN[1]

Pancasila sebagai ideologi nasional secara sah diresmikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam mukadimah UUD 1945 yang dipromulgasikan dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 serentak dengan Batang Tubuh UUD 1945.
Dalam perjalanan historis, eksistensi Pancasila sebagai ideologi nasional RI dilanda oleh berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik seturut kepentingan penguasa demi mempertahankan eksistensi kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi negara Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila tidak lagi ditempatkan sebagai ideologi nasional negara Republik Indonesia, melainkan telah direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada masa itu.
Di era globalisasi ini, ideologi Pancasila kurang meresap dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kasus-kasus pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur ideologi Pancasila, misalnya konflik antar umat beragama, kekerasan, korupsi, disintegrasi oleh kaum separatisme (GAM dan OPM) dan pelanggaran HAM.
Bertitik tolak dari kenyataan di atas, gerakan reformasi bertujuan untuk mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai ideologi nasional RI. Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang mencakup pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, hukum dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia. Hal ini direalisasikan melalui Tap MPR tahun 1998 No. XVIII/MPR/1998 ditandai dengan pencabutan P-4 dan pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Organisasi Sosial Politik (ORSOSPOL) di Indonesia. Monopoli Pancasila demi kepentingan politik kekuasaan tertentu harus segera diakhiri. Kita perlu memiliki pengetahuan ilmiah dan objektif dalam memahami Pancasila sebagai ideologi nasional agar kita dapat mengamalkannya dengan baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, kami tertarik untuk mengangkat tema ini: PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL.


BAB II

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL

1.        Pengantar
Ideologi berasal dari dua akar kata dalam bahasa Yunani, yakni eidos (cita-cita) dan logos (pengetahuan). Ideologi artinya suatu ide pemikiran yang berlandaskan pada pemikiran filsafat yang sangat dalam. Sedangkan filsafat adalah suatu nilai atau kebenaran yang dijadikan keyakinan atau pandangan hidup suatu bangsa. Bagi suatu bangsa, kebenaran itu dijadikan dasar negara atau ideologi negara.[2]
Sebagai suatu ideologi nasional, Pancasila pada hakikatnya bukan hanya hasil permenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia ini. Pancasila digali dan ditimba dari nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan, dan religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara. Singkat kata, Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri, bukan diambil dari ideologi bangsa lain. Sehingga bangsa ini adalah causa materialis (asal bahan) Pancasila.[3]

2.        Pengertian Pancasila
2.1         Arti Ideologi
Berdasarkan etimologi, ideologi berasal dari dua akar kata dalam bahasa Yunani, yakni eidos (cita-cita) dan logos (pengetahuan). Secara sederhana, ideologi artinya suatu ide pemikiran yang berlandaskan pada pemikiran filsafat yang sangat dalam. Ideologi dibagi menjadi dua arti, yakni arti luas dan sempit. Ideologi dalam arti luas dikenakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit, ideologi merupakan ide atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai mutlak bagaimana manusia hidup dan bertindak.[4]
Ideologi menurut W. White adalah cita-cita politik atau doktrin atau ajaran suatu lapisan masyarakat atau sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan. Sedangkan Harol H. Titus mengatakan bahwa ideologi itu dipergunakan untuk sekelompok cita-cita tentang segala problem politik dan ekonomi filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang cita-cita yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat.[5]
Secara historis, ideologi pertama kali digunakan dan dikemukakan oleh seorang Prancis, Destutt de Tracy, tahun 1796. Ia mengatakan bahwa ideologi adalah suatu cita-cita untuk membangun suatu sistem pemerintahan. Pernyataannya tersebut serupa dengan yang didefinisikan oleh Leibniz. Karl Marx mengartikan ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi.[6]
Secara umum, ideologi dapat dikatakan sebagai kumpulan ide-ide, gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan keagamaan. Maka, ideologi negara dalam arti cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas kerohanian.[7]

2.2         Ideologi Pancasila
Suatu ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas serta karateristik masing-masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri. Di sisi lain, dapat juga terjadi bahwa ideologi pada suatu bangsa datang dari luar dan dipaksakan pelaksanaannya pada bangsa tersebut sehingga tidak mencerminkan kepribadian dan karakteristik bangsa tersebut.[8]
Ideologi Pancasila bersumber dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yakni dalam adat-istiadat, serta dalam agama-agama bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup bangsa. Oleh sebab itu, nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar filsafat negara, kemudian menjadi ideologi bangsa dan negara. Jadi, ideologi Pancasila ada pada kehidupan bangsa dan menyatu dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Pancasila berorientasi pada hakikat sifat kodrat manusia, menjunjung hak dan kebebasan sebagai makhluk individu dan sosial  yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.[9]

2.3         Hubungan Filsafat dan Ideologi
Filsafat berasal dari dua akar kata Yunani, yaitu Philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Secara harafiah, filsafat diartikan cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran. Filsafat adalah proses dan sekaligus hasil dari pemikiran tentang sesuatu secara metodis, sistematis, menyeluruh dan universal.[10]
Ideologi merupakan suatu rangkaian kesatuan cita-cita yang mendasar dan menyeluruh yang terjalin menjadi satu sistem pemikiran logis yang berdasar pada filsafat. Ideologi dapat dikatakan juga sebagai konsep operasional dari suatu pandangan atau filsafat hidup dan merupakan norma ideal yang melandasi ideologi. Sebab norma tersebut akan diaplikasikan dalam perilaku, kelembagaan sosial, politik, ekonomi, pertahanan keamanan dan keagamaan. Letak hubungan filsafat dan ideologi, yakni filsafat menjadi dasar dan sumber bagi perumusan ideologi yang menyangkut strategi dan doktrin untuk menghadapi segala permasalahan dalam kehidupan bangsa dan negara serta untuk menentukan sudut pandang dan sikap dalam menyaring aliran atau sistem filsafat lain.[11]

2.4         Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Ideologi memiliki arti orientasi yang memosisikan seseorang dalam lingkungan ilmiah dan sosial. Dalam orientasi ini ideologi memiliki pandangan tentang alam, masyarakat, manusia dan segala realitas yang dijumpai dan dialami selama hidupnya. Ada empat tipe ideologi, yakni pertama ideologi konservatif. Ideologi konservatif adalah ideologi yang memelihara keadaan yang ada (status quo), setidak-tidaknya secara umum, walaupun membuka kemungkinan perbaikan dalam hal-hal teknis. Kedua, kontra ideologi. Kontra ideologi, yakni melegitimasikan penyimpangan yang ada dalam masyarakat sebagai yang sesuai dan baik. Ketiga, ideologi reformis. Ideologi ini berkehendak untuk mengubah keadaan. Keempat, ideologi revolusioner. Ideologi ini bertujuan mengubah seluruh sistem nilai masyarakat itu.[12]
Dalam kurun waktu yang panjang, suatu ideologi dapat mengalami perbaikan tipe. Sebagai contoh, ideologi komunis yang sebelumnya revolusioner dapat berubah menjadi konservatif ketika para penganutnya berkuasa. Secara historis, Pancasila sebagai ideologi bersifat reformis dan revolusioner.[13]
Kita mengenal berbagai macam istilah ideologi, misalnya ideologi negara, ideologi bangsa dan ideologi nasional. Secara khusus, ideologi negara dihubungkan dengan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara. Sedangkan ideologi nasional meliputi ideologi negara dan ideologi yang terkait dengan pandangan hidup bangsa. Ideologi nasional bangsa Indonesia tercermin dan terkandung dalam mukadimah (pembukaan) UUD 1945. Ideologi nasional bangsa Indonesia yang tercermin dan terkandung dalam pembukaan UUD 1945 adalah ideologi perjuangan yang sarat dengan jiwa dan semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.[14]
Dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945 terkandung motivasi, dasar, dan pembenaran perjuangan. Alinea kedua mengandung cita-cita bangsa Indonesia. Alinea ketiga memuat petunjuk atau tekad pelaksanaannya. Alinea keempat memuat tugas negara/tujuan nasional, penyusunan undang-undang dasar, bentuk susunan negara yang berkedaulatan rakyat dan dasar negara Pancasila. Pembukaan UUD 1945 yang mengandung pokok-pokok pikiran yang dijiwai Pancasila dijabarkan dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 memenuhi persyaratan sebagai ideologi yang memuat ajaran, doktrin, teori dan ilmu tentang cita-cita bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya dan disusun secara sistematis serta diberi petunjuk pelaksanaannya. Maka, Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang mencakup pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, hukum dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.[15]

3.        Makna Ideologi Pancasila
Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang mencerminkan cara berpikir dan cara kerja perjuangan bangsa Indonesia. Dalam memahami Pancasila perlu meninjau latar belakang sejarah perjuangan Indonesia. Sedangkan Pancasila sebagai dasar negara, perlu memahami latar belakang konstitusi proklamasi atau hukum dasar kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, yakni pembukaan batang tubuh dan penjelasan UUD 1945.[16]
Pancasila bersifat integralistik, yakni paham tentang hakikat negara yang dilandasi dengan konsep kehidupan bernegara. Supomo mengatakan bahwa Pancasila yang menjadi landasan kehidupan bernegara berada dalam kerangka negara integralistik untuk membedakan paham-paham yang digunakan oleh pemikir kenegaraan lain. Dalam memahami Pancasila yang bersifat integralistik, kita harus terlebih dahulu memahami beberapa teori dasar negara, seperti di bawah ini:[17]

3.1         Teori Perseorangan (Individualistik
Sarjanawan yang membahas teori ini adalah Herbert Spencer (1820-1903) dan Horald J. Laski (1893-1950). Dalam teori ini dikatakan bahwa negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh orang dalam masyarakat itu (social contract). Negara dipandang sebagai organisasi kesatuan pergaulan hidup manusia yang tertinggi. Teori ini menghargai manusia sebagai makhluk individu yang bebas dan merdeka. Keakuan individu lebih ditonjolkan. Akibatnya setiap individu saling menonjolkan diri dan saling mengadu tenaga dalam perebutan kekuasaan. Hal itulah yang menjadi titik kelemahan teori ini. Selain itu, negara dipandang sebagai hasil perjanjian masyarakat dari individu-individu yang bebas. Hak asasi manusia dijunjung tinggi kedudukannya daripada negara yang merupakan hasil bentukan dari individu-individu bebas tersebut. Supomo mengatakan bahwa teori ini tidak cocok dengan Pancasila. Maka, tidak bisa diikuti atau dipilih oleh bangsa kita.

3.2         Teori Golongan (ClassTheory)
Teori ini diajarkan oleh Karl Marx. Ia mengatakan bahwa negara merupakan penjelmaan dari segala pertentangan kekuatan ekonomi. Dalam teori ini golongan ekonomi yang kuat memperalat negara dengan menindas golongan ekonomi yang lemah. Golongan ekonomi yang kuat adalah mereka yang menguasai alat-alat produksi. Negara akan lenyap apabila tidak ada lagi perbedaan kelas dan pertentangan ekonomi dalam masyarakat. Menurut Marx, ada tiga fase terbentuknya negara dalam sejarah perkembangan masyarakat, yakni fase borjuis, fase kapitalis, dan fase sosialis-ekonomis.
Negara RI tidak menganut teori di atas sebab bertentangan dengan nilai-nilai ideologi Pancasila. Dalam ideologi Pancasila perekonomian dikelola oleh negara untuk kesejahteraan bersama. Golongan ekonomi yang kuat wajib melindungi golongan ekonomi yang lemah.

3.3         Teori Kebersamaan (Integralistik)[18]
Awal mula teori integralistik diajarkan oleh Spinoza dan Adam Muhler. Mereka mengatakan bahwa negara adalah suatu susunan masyarakat yang integral di antara semua golongan dan seluruhnya merupakan bagian dari anggota masyarakat. Kesatuan masyarakat ini bersifat organis.
Dari sisi integritas, pemerintah dan rakyat bersatu padu secara bersama-sama memikirkan dan mengupayakan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh bangsa. Tidak ada satupun pihak yang mengutamakan golongan tertentu. Dalam teori ini kepentingan rakyat/umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi.
Supomo mengatakan bahwa teori integralistik sangat cocok diterapkan oleh bangsa Indonesia yang masyarakatnya bersifat majemuk/plural. Teori ini sesuai dengan ideologi Pancasila yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong. Teori integralistik ini sudah lama diterapkan oleh bangsa Indonesia, misalnya pemimpin yang selalu bermusyawarah dengan rakyatnya.
Dalam penjelasan UUD 1945, tercantum dengan jelas bahwa negara mengatasi segala paham golongan dan paham perseorangan serta menganut paham negara persatuan. Alinea ketiga menegaskan bahwa negara adalah suatu keadaan kehidupan berkelompoknya bangsa Indonesia yang atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan yang luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Negara Indonesia dalam sudut pandang integralistik, tidak akan memiliki fungsi masing-masing dalam suatu negara sebagai kesatuan yang utuh. Supomo mengatakan Indonesia sebagai suatu negara yang totalitas. Pancasila bersifat integralistik karena mengandung semangat kekeluargaan dalam kebersamaan, adanya gotong-royong, memelihara persatuan dan kesatuan, dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.

4.        Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Ideologi Lain[19]
Ideologi Pancasila berbeda dengan beberapa ideologi lainnya, seperti kapitalisme[20] dan komunisme[21]. Kedua ideologi itu pertama kali lahir sebagai pemikiran filsafat. Kemudian dituangkan dalam rumusan ideologi lalu diwujudkan dalam konsep-konsep politik. Sebagai contoh, manifesto komunis lahir dari ideologi pada tahun 1841, kemudian menjadi konsep politik pada tahun 1917.
Sebelum tahun 1945, belum ada pemikiran filosofi tentang ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila terbentuk setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Gagasan ini lahir setelah para pemimpin kita bermusyawarah. Dalam musyawarah itu, Dr. Radjiman mengatakan: apa dasar negara yang hendak kita bentuk? Pertanyaan itu dijawab dengan menentukan nilai-nilai dasar yang sama dalam kemajemukan bangsa kita. Maka, Pancasila dirumuskan sebagai konsensus politik yang didasarkan pada nilai kebudayaan masyarakat.

4.1         Ideologi Liberalisme
Ideologi liberalisme pertama kali lahir di Inggris pada zaman pencerahan (aufklarung). Pada masa itu, manusia sangat mengagungkan kekuatan rasio. Rasio dianggap menjadi kekuatan yang menerangi dunia ini. Dengan rasio, manusia dapat mengerjakan segala sesuatu.
Ideologi liberalisme adalah paham ideologi yang memandang manusia sebagai makhluk yang bebas. Liberalisme ini membawa sistem kapitalisme. Ajaran liberalisme bertumpu pada hak asasi manusia yang telah ada sejak lahir dan tak dapat diganggu gugat oleh siapapun, kecuali atas persetujuannya. Dalam hak asasi manusia terdapat nilai-nilai dasar manusia, yakni kebebasan dan kepentingan individu yang menuntut kebebasan mutlak.
Ideologi liberalisme ini bertentangan dengan Pancasila sebab liberalisme ini menekankan kepentingan individu yang memiliki kebebasan mutlak. Sedangkan kepentingan umum cenderung diabaikan. Pancasila menghargai manusia sebagai makhluk Tuhan yang mengemban tugas pribadi dan tugas sosial. Dalam ideologi Pancasila, kepentingan pribadi[22] harus diselaraskan dengan kepentingan bersama.

4.2         Ideologi Sosialisme-Komunisme
Karl Marx adalah tokoh peletak dasar paham komunisme. Komunisme didasarkan atas kebendaan. Oleh sebab itu, komunis tidak mengakui eksistensi Tuhan. Agama dianggap sebagai racun masyarakat. Ajaran itu bertentangan dengan ajaran Pancasila yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat komunis tidak berjiwa nasional. Cita-cita masyarakat komunis adalah masyarakat dunia yang tidak dibatasi oleh kesadaran nasional. Hal ini terungkap dalam perkataan Karl Marx: “Kaum Buruh sedunia bersatulah”. Masyarakat komunis adalah masyarakat yang bebas dari kelas-kelas masyarakat, aman, tenteram dan tidak adanya kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Menurut paham ini, pertumbuhan masyarakat hanya dapat dilakukan dengan jalan revolusi sehingga kaum proletar dapat memegang dan menguasai tampuk pemerintahan.[23]

5.        Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
5.1         Arti Ideologi Terbuka
Ideologi terbuka merupakan ideologi yang mengikuti perkembangan zaman dan mampu berkembang secara dinamis. Sumber semangat ideologi terbuka tercantum dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang berbunyi demikian: Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok. Aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuatnya, mengubahnya, dan mencabutnya [...] yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya bernegara adalah semangat, semangat para penyelenggara, semangat para pemimpin pemerintahan.[24]

5.2         Asal Muasal Ideologi Terbuka
Ideologi terbuka pertama kali dikemukakan oleh Presiden pada tanggal 10 November 1986 dalam acara pembukaan penataran calon manggala BP-7 Pusat. Kemudian dikemukakan kembali pada tanggal 16 Agustus 1989 dalam pidato kenegaraan 1989, yang berbunyi demikian: “Itulah sebabnya, beberapa tahun yang lalu saya kemukakan, bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, maka kita dalam mengembangkan pemikiran baru yang kreatif untuk mengamalkan Pancasila dalam menjawab perubahan dan tantangan zaman yang terus bergerak dinamis, yakni nilai-nilai dasar Pancasila tidak boleh berubah, sedangkan pelaksanaannya kita sesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata yang kita hadapi dalam tiap kurun waktu”.[25]

5.3         Ciri Khas Ideologi Terbuka
Ideologi yang dianut oleh setiap bangsa memiliki ciri khasnya masing-masing. Demikian juga dengan ideologi terbuka. Ideologi terbuka merupakan bagian dari sistem ideologi Pancasila. Ideologi terbuka memiliki ciri khas, yaitu nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri. Ideologi terbuka berlandaskan pada konsensus masyarakat, bukan berasal dari negara, tetapi digali dan ditemukan dari masyarakat sendiri. Oleh karena itu, ideologi terbuka adalah milik semua rakyat.[26]

5.4         Nilai-nilai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, melainkan bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila bersifat aktual, dinamis dan senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan untuk mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, melainkan untuk mengembangkan wawasan secara kongkrit, aktual dan dinamis seturut perkembangan IPTEK dan zaman.[27]
Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai dasar yang bersifat tetap dan tidak berubah. Oleh karena itu, harus senantiasa dieksplisitkan. Eksplisitasi ini dengan cara menghadapkannya pada berbagai masalah yang direfleksikan secara rasional agar tampak makna operasionalnya. Ada tiga nilai dasar yang terkandung dalam ideologi terbuka, yaitu nilai dasar, instrumental dan praksis.[28]
Nilai dasar terletak pada hakikat kelima Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai dasar tersebut merupakan esensi dari sila-sila Pancasila yang bersifat universal sehingga dalam nilai dasar itu terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan benar, termasuk tata hubungan antar lembaga serta tugas dan wewenangnya yang bersifat tetap sepanjang zaman. Nilai dasar ideologi tersebut tertuang dalam pembukaan UUD 1945.[29]
Nilai instrumental tercermin dalam bentuk arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya. Nilai instrumental ini merupakan eksplisitasi, penjabaran yang lebih lanjut dari nilai-nilai ideologi           Pancasila, misalnya GBHN, Departemen, Ditjen, Gubernur yang senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman.[30]
Nilai praksis merupakan realisasi nilai-nilai instrumental yang dilaksanakan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam realisasi praksis ini, penjabaran nilai-nilai Pancasila senantiasa berkembang seturut perubahan zaman, IPTEK dan aspirasi masyarakat.[31]

5.5         Hakikat Ideologi Terbuka
Berdasarkan penjelasan di atas, kita telah mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi terbuka. Sekarang, kami akan menguraikan hakikat dari ideologi terbuka. Hakikat dari ideologi terbuka adalah Pancasila sebagai nilai dasar ideologi negara (Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) tidak boleh berubah. Sedangkan yang dapat berubah adalah nilai-nilai instrumental, yakni voting (musyawarah untuk mufakat), asas Pancasila dan sistem penataran P-4, diskusi, paripurna, permainan simulasi.[32]

6.        Sifat-sifat Ideologi Terbuka
Suatu ideologi selain memiliki aspek-aspek yang terdiri dari cita-cita, pemikiran-pemikiran, serta nilai-nilai baik juga harus memiliki norma yang jelas. Ideologi harus mampu diwujudkan dalam kehidupan praksis yang kongkrit. Sifat-sifat ideologi mencakup empat dimensi penting, yakni sebagai berikut di bawah ini:[33]

6.1         Dimensi Realitas
Nilai-nilai yang terkandung dalam dimensi realitas bersumber dari nilai-nilai riil dalam hidup sehingga mengakar dalam masyarakat. Masyarakat sungguh dapat merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka.



6.2         Dimensi Idealisme
Dimensi idealisme mengandung cita-cita yang hendak dicapai dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Cita-cita itu berisi harapan yang rasional, bukan khayalan. Ideologi yang ideal umumnya memiliki keterkaitan yang kuat antara dimensi realitas dan idealisme.

6.3         Dimensi Fleksibilitas
Dimensi fleksibilitas adalah dimensi yang memiliki dinamika internal guna merangsang orang-orang untuk melahirkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru. Dengan pemikiran-pemikiran baru itu, ideologi dapat berkembang dan relevan sepanjang masa. Nama lain dari dimensi fleksibilitas adalah dimensi pengembangan.

6.4         Dimensi Normatif
Dimensi normatif berisi nilai-nilai Pancasila yang telah diatur dalam sistem norma-norma, seperti yang terkandung dalam norma-norma kenegaraan. Norma hukum Pancasila yang tertinggi di Indonesia tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Ideologi Pancasila harus memiliki norma yang jelas agar mampu dijabarkan dalam langkah operasionalnya.

7.        Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila[34]
Dalam ideologi terbuka, ada empat faktor yang mendorong keterbukaan ideologi Pancasila, yakni pertama, kenyataan bahwa dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat berkembang secara cepat. Kedua, kenyataan bahwa ideologi tertutup seperti marxisme, leninisme, dan komunisme mengalami kebangkrutan dan melemahkan perkembangan ideologi tersebut. Ketiga, pengalaman sejarah politik negeri kita pada masa silam. Keempat, tekad Republik Indonesia untuk menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

8.        Batas-batas Keterbukaan Ideologi Pancasila[35]
Ideologi merupakan a system ideas yang mensyaratkan adanya sistematik serta konsistensi dalam ide-idenya. Artinya, bahwa segala unsur wajib serasi, selaras dan seimbang dengan P-4, Repelita dan GBHN yang perlu diperhatikan secara berkala agar senantiasa aktual seturut perkembangan masyarakat Indonesia.
Pancasila adalah ideologi yang terbuka terhadap perubahan zaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan seluas segala kenyataan, melainkan memiliki batasan-batasan sebagai pedoman yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar, yakni pertama, stabilitas nasional yang dinamis. Kedua, penolakan terhadap ideologi marxisme, leninisme, dan komunisme. Ketiga, mencegah berkembangnya paham liberal. Keempat, larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan masyarakat. Kelima, penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus.

9.        Rangkuman
Secara etimologi, ideologi berasal dari dua akar kata dalam bahasa Yunani, yaitu eidos (cita-cita) dan logos (pengetahuan). W. White mendefinisikan ideologi adalah cita-cita politik, doktrin atau ajaran suatu lapisan masyarakat atau sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan. Ideologi dibagi menjadi dua arti, yakni arti luas dan sempit. Ideologi dalam arti luas dikenakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit, ideologi merupakan ide atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai mutlak bagaimana manusia hidup dan bertindak.
Harol H. Titus mengatakan bahwa ideologi itu dipergunakan untuk sekelompok cita-cita tentang segala problem politik dan ekonomi filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang cita-cita yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat. Seorang Prancis, Destutt de Tracy mengatakan bahwa ideologi adalah suatu cita-cita untuk membangun suatu sistem pemerintahan. Karl Marx seorang sosialisme mengartikan ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas-kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Secara umum, ideologi diartikan sebagai kumpulan ide-ide, gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis.
Ideologi Pancasila bersumber dari kehidupan bangsa dan melekat erat pada kelangsungan hidup bangsa dalam rangka bermasyarakat. Ideologi Pancasila berorientasi pada sifat kodrat manusia, menjunjung hak dan kebebasan manusia sebagai makhluk individu dan sosial yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Filsafat berhubungan erat dengan ideologi, yaitu filsafat menjadi dasar dan sumber bagi perumusan ideologi. Sebaliknya, ideologi adalah rangkaian kesatuan cita-cita yang fundamen, menyeluruh dan terjalin menjadi satu sistem pemikiran logis yang bersumber pada filsafat.
Ideologi mengandung arti orientasi yang memosisikan seseorang dalam lingkungan ilmiah dan sosial. Dalam orientasi ini ideologi memiliki pandangan tentang alam, masyarakat, manusia, dan segala realitas yang dialami dalam hidup. Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung pengertian suatu pemikiran yang mencakup pandangan dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, hukum dan negara Indonesia yang bersumber pada kebudayaan Indonesia.
Untuk memahami makna ideologi Pancasila, kita perlu mengetahui tiga teori penting, yakni teori perseorangan, golongan, dan integralistik. Ideologi Pancasila menolak teori perseorangan dan teori golongan sebab ajaran kedua teori tersebut bertentangan dengan Pancasila. Teori perseorangan sangat menonjolkan prinsip individualistik yang mengagungkan keakuan individu sebagai pribadi yang bebas dan merdeka. Sedangkan teori golongan sangat menonjolkan sosialisme yang sarat dengan unsur-unsur komunisme. Ideologi Pancasila menganut teori integralistik. Teori ini merangkul semua golongan, baik individu maupun sosial.Dalam teori ini semua pihak menurut fungsi dan kedudukannya masing-masing dalam negara bersatu padu untuk memikirkan dan mengupayakan kesejahteraan rakyat.
Teori Pancasila berbeda dengan ideologi-ideologi lain, seperti liberalisme dan komunisme. Liberalisme sangat menekankan kebebasan individu sehingga kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada kepentingan umum. Hal itu tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Dalam ideologi Pancasila, kepentingan pribadi harus diselaraskan dengan kepentingan bersama/umum.
Ideologi Pancasilajuga tidak sesuai dengan ideologi sosialisme-komunisme. Ideologi Pancasila meyakini dan mengakui eksistensi Tuhan. Ideologi Pancasila berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan sosialisme-komunisme bersikap anti terhadap Tuhan dan bersifat atheis. Selain itu, Pancasila berjiwa nasional dan sosialisme-komunisme tidak berjiwa nasional. Cita-cita masyarakat sosialisme-komunisme adalah mewujudkan masyarakat yang tidak dibatasi oleh kesadaran nasional.
Ideologi Pancasila adalah ideologi yang terbuka. Ideologi terbuka adalah ideologi yang terbuka mengikuti perkembangan zaman dan mampu berkembang secara dinamis. Asal muasal ideologi terbuka pertama kali diungkapkan oleh Presiden pada tanggal 10 November 1986 dalam pembukaan penataran calon manggala BP-7 pusat dan diulangi kembali dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1989.
Ciri khas ideologi terbuka, yaitu nilai-nilai dan cita-citanya bukan dari luar, melainkan digali dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri. Ada tiga nilai yang terkandung dalam ideologi terbuka, yakni nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar terletak pada hakikat kelima Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai instrumental tercermin dalam bentuk arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya. Nilai praksis merupakan realisasi nilai-nilai instrumental yang dilaksanakan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hakikat ideologi terbuka, yakni Pancasila sebagai nilai-nilai dasar ideologi negara (Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) yang tak dapat diubah. Sedangkan yang dapat berubah adalah nilai-nilai instrumental, yakni voting (musyawarah untuk mufakat), asas Pancasila dan sistem penataran P-4, diskusi, paripurna, permainan simulasi.
Sifat-sifat ideologi terbuka mencakup empat dimensi penting, yaitu dimensi realitas, dimensi idealisme, dimensi fleksibilitas, dan dimensi normatif. Dalam ideologi terbuka, ada empat faktor yang mendorong keterbukaan ideologi Pancasila, yakni pertama,proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat berkembang secara cepat. Kedua, kenyataan bahwa ideologi tertutup mengalami kebangkrutan dan melemahkan perkembangan ideologi tersebut. Ketiga, pengalaman sejarah politik negeri kita pada masa silam. Keempat, tekad Republik Indonesia untuk menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keterbukaan ideologi Pancasila tidak seluas segala kenyataan, melainkan memiliki batas-batas yang tak dapat dilanggar dan wajib ditaati.Pertama, stabilitas nasional yang dinamis. Kedua, larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme, dan komunisme. Ketiga, mencegah berkembangnya paham liberal. Keempat, larangan terhadap pandangan ekstrim serta penciptaan norma baru melalui konsensus.















BAB III

IDEOLOGI PANCASILA DALAM REALITAS MASA KINI


1.        Pengantar
Ideologi Pancasila terdiri dari lima sila. Kelima sila tersebut merupakan kesatuan yang utuh. Setiap sila saling berhubungan, tidak terpisahkan dan tidak saling bertentangan. Ideologi Pancasila lahir sebagai dasar negara pada tanggal 1 Juni 1945 di Jakarta.[36]
Pada bagian ini, kami akan menguraikan tentang teori lima sila Pancasila, data-data tentang perwujudan dan penyimpangan terhadap ideologi Pancasila. Semuanya itu kami kemukakan secara objektif (sesuai dengan realitas).

2.        Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengandung pernyataan bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya eksistensi Tuhan. Dengan kata lain, sila ini mencerminkan bahwa bangsa kita bersifat religius yang mengakui adanya kehidupan di masa nanti setelah kehidupan kita di dunia ini. Hal ini memotivasi diri kita untuk mengejar nilai-nilai luhur yang membuka jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti.[37]
Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak semata-mata menunjukkan bahwa negara kita bersifat theokrasi. Rumusan tersebut mengandung pengertian bahwa negara tidak mendasarkan diri pada agama tertentu. Negara mendasarkan dirinya pada keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa. Negara memiliki kewajiban untuk menganut agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan keyakinannya itu. Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan kehidupan beragama yang sehat dan tidak memaksakan setiap manusia untuk menganut agama tertentu.[38]



2.1     Perwujudan Sila Pertama
Sebanyak 1.200 pondok pesantren dan 18 gereja di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya ikut berpartisipasi dalam kegiatan Tasikmalaya Bershalawat Khidmat Doa bersama, Minggu 3 Februari 2013. Acara ini bertujuan mewujudkan suasana Tasikmalaya tetap aman, termasuk menyambut Pilkada Jawa Barat 2013 yang akan digelar 24 Februari 2013. Lewat kegiatan ini, kami mengajak masyarakat Kota dan Kabupaten Tasikmalaya ikut merenugkan dan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk kemajuan dan kelancaran segala aktivitas.[39]

2.2     Penyimpangan Sila Pertama[40]
Indonesia sebagai negara yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa mengakui bahwa ajaran Tuhan mengandung kebenaran mutlak yang tak dapat salah. Oleh karena itu, kita harus mempelajari dan mengamalkan apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada kita melalui ajaran agama. Semua ajaran agama yang telah kita pelajari itu, sebaiknya perlu kita amalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tetapi situasi yang melanda bangsa kita saat ini, yaitu semakin banyak orang yang mengabaikan ajaran-ajaran Tuhan sehingga terjadi banyak penyimpangan terhadap sila pertama Pancasila.
Penyimpangan terhadap ideologi Pancasila terjadi dalam berbagai bidang, khususnya yang paling menonjol adalah dalam bidang politik[41]. Korupsi adalah bentuk penyimpangan terbesar dalam bidang politik yang melanggar sila pertama Pancasila. Tindakan korupsi jelas bertentangan dengan agama. Seharusnya aspek politik ini mampu memberikan panutan yang baik pada masyarakat, sebab orang-orang yang berada dalam politik adalah ornag-orang yang memegang amanat rakyat untuk menjalankan pemerintahan negara. Namun, mereka telah gagal menjadi panutan rakyat karena mereka terjerat oleh skandal korupsi. Para wakil rakyat saat ini tidak lagi bertujuan menyejahterakan rakyat, tetapi mereka bertujuan memperkaya diri sendiri dengan jalan korupsi yang menyebabkan rakyat semakin menderita. Tujuan memperkaya diri tersebut menjadi penyebab utama maraknya korupsi dalam kalangan para wakil rakyat. Jika mereka bertujuan menyejahterakan rakyat, kata “korupsi” mungkin tidak akan terdengar lagi gemanya.
3.        Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab[42]
Kemanusiaan berasal dari kata manusia, artinya makhluk berbudi yang memiliki pikiran, rasa, karsa, dan cipta. Oleh karena itu, manusia memiliki martabat yang tinggi.
Adil mengandung arti bahwa suatu kebijakan dan perilaku harus berlandaskan pada norma-norma yang obyektif. Dengan kata lain dalam keadilan tidak berlaku paham subjektif dan tindakan yang sewenang-wenang.
Beradab berasal dari kata adab, yang artinya budaya. Maka, beradab berarti berbudaya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa sikap hidup, keputusan, dan tindakan selalu berdasarkan nilai-nilai budaya, khususnya norma sosial dan kesusilaan (moral). Istilah adab juga mencakup arti kesopanan kesusilaan atau moral. Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat hakiki manusia yang berbudi, sadar nilai, dan berbudaya.
Sila kedua ini hendak menempatkan manusia sesuai dengan harkatnya sebagai makhluk Tuhan. Selain itu, rumusan sila ini mengungkapkan pengakuan negara bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama terhadap undang-undang, memiliki kewajiban dan hak yang sama. Negara menjamin hak dan kebebasan setiap warga negara yang menyangkut relasi dengan Tuhan, negara dan masyarakat. Sila kedua ini juga menjamin kebebasan berpendapat demi mencapai kehidupan yang layak sesuai dengan hak-hak manusia.

3.1     Perwujudan Sila Kedua[43]
Nilai yang terkandung dalam sila kedua ini, yaitu nilai kemanusiaan. Demi menegakkan nilai kemanusiaan, pemerintah telah mewujudkan sila kedua ini dalam bentuk pendirian Komnas HAM. Komnas HAM ini didirikan dengan tujuan untuk membela dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM adalah sebuah lembaga mandiri di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan fungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia. Komisi ini berdiri sejak tahun 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari Sidang paripurna dan Subkomisi. Di samping itu, Komnas HAM mempunyai Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan. Saat ini Komnas HAM diketuai oleh Otto Nur Abdullah.

3.2     Penyimpangan Sila Kedua
Rumusan sila kedua Pancasila yang berbunyi: Kemanusiaan yang adil dan beradab” belum sepenuhnya terealisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Fakta kongkret di lapangan masih banyak ditemukan bentuk penyimpangan terhadap sila kedua ini. Contohnya: Tanggal 21 Februari 2013, Papua kembali memanas. Serangan kelompok sipil bersenjata di dua tempat berbeda, yaitu di Tingginambut dan Sinak menewaskan delapan prajurit dan dua warga sipil. Serangan juga melukai seorang perwira dan menyebabkan seorang anggota TNI belum  diketahui nasibnya.[44]
Fakta lain, yaitu kekerasan atas nama agama masih kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soesilo Bambnag Yudhoyono dinilai gagal melindungi kelompok-kelompok minoritas dari berbagai kekerasan atas nama agama. Presiden kerap mewacanakan pentingnya menjaga kehidupan majemuk yang saling menghargai, tetapi tidak sungguh-sungguh menegakkan hukum terhadap para pelaku kekerasan, bahkan aparat keamanan justru cenderung membiarkan.[45]
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Haris Azar mengatakan, aksi-aksi intoleran dan represi terhadap kelompok minoritas terus terjadi pada awal 2013. Pada Januari hingga pertengahan Februari 2013, diduga terjadi 18 insiden di delapan wilayah di Indonesia dengan bentuk tindakan pembubaran, intimidasi, pengrusakan, dan pelarangan ibadah, contohnya bentuk kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik 6 Februari 2011.[46]
Tindak kekerasan lain yang masih hangat dalam ingatan kita, yaitu TNI menyerang dan membakar markas Polisi di Baturaja, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Tanggal 8 Maret 2013, Pk. 08.00 WIB, markas Polisi diserang dan dibakar oleh sekelompok anggota TNI di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Kapolsek Martapura Komisaris Ridwan terluka serius akibat diserang sejumlah oknum TNI. Sekitar 70 motor dan empat mobil rusak.[47]


4.        Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu, yang berarti utuh tidak terpecah belah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan.[48]
Pada hakikatnya, sila Persatuan Indonesia mengandung prinsip nasionalisme cinta bangsa dan tanah air; menggalang terus persatuan dan kesatuan bangsa. Prinsip persatuan dan kesatuan bangsa dan negara mengandung arti bahwa kita tidak membesar-besarkan perbedaan suku, golongan, kepentingan, keyakinan, agama, dan segala perbedaan lain yang tidak penting. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa; sebaliknya membina tumbuhnya persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa yang padu, tidak terpecah belah oleh sebab apapun.[49]

4.1     Perwujudan Sila Ketiga
Peristiwa Letusan Gunung Merapi di Kaliurang menggerakkan banyak dari berbagai tempat di seluruh nusantara dan kelompok untuk bersolider dengan masyarakat lereng Merapi. Mereka membantu dalam wujud bantuan logistik, tenaga, uang, hiburan, siraman rohani, dan doa. Perbedaan dan kemajemukan yang ada tidak menghalangi untuk bersolider dan membangun persatuan serta persaudaraan antar agama.[50]

4.2     Penyimpangan Sila Ketiga
Jakarta, Kompas melaporkan, ketentuan dan ketertinggalan wilayah perbatasan Republik Indonesia merupakan produk warisan rezim Orde Baru. Pemerintahan rezim Orde Baru tidak pernah membangun wilayah perbatasan. Pemerinatah saat inipun dinilai tidak berbuat apa-apa untuk membangun daerah perbatasan tersebut. “Pulau Sipadan-Ligitan lepas dari RI bukan karena kesalahan rezim Pasca Reformasi 1998, pemerintah sudah tidak punya kekuatan untuk membangun wilayah perbatasan”, kata peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabotinggi.

5.        Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan[51]
Kerakyatan berasal dari kata rakyat, yang artinya sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah tertentu. Kerakyatan yang terkandung dalam sila keempat ini adalah kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Kerakyatan disebut dengan istilah kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Hikmat kebijaksanaan mengandung arti penggunaan pikiran atau rasa yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggungjawab. Semua sikap tersebut didorong oleh itikad baik berdasarkan dengan hati nurani.
Permusyawaratan diartikan sebagai tata cara khas kepribadian bangsa Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat. Perumusan sebuah keputusan harus sampai tercapai suatu keputusan yang berdasarkan mufakat.
Perwakilan merupakan suatu sistem arti tata cara (prosedur) mengusahakan partisipasi rakyat dalam kehidupan bernegara, misalnya dilakukan melalui badan-badan perwakilan. Jadi sila keempat ini secara umum mengandung arti bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui sistem perwakilan dan segala keputusan diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan maupun kepada rakyat. Penjelmaan dalam sila keempat ini tidak lain adalah sistem demokrasi.

5.1     Perwujudan Sila Keempat
Terbentuknya MPR dan DPR merupakan bentuk perwujudan dari sila keempat. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga legislatif yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.MPR didirikan atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1950.Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur tentang ketentuan MPR.[52]
Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga dirikan pada tahun 1950 dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno.Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.[53]
Bentuk perwujudan yang lain, yaitu Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila. Secara etimologi, demokrasi berasal dari dua akar kata Yunani, yakni demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan atau kekuasaan).Demokrasi diartikan sebagai sebuah bentuk kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[54]
Sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah demokrasi Pncasila.Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya tertuang dalam pembukaan UUD 1945.[55]

5.2     Penyimpangan Sila Keempat
Pengertian demokrasi secara umum adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Fakta dalam praktik politik, demokrasi dijadikan slogan dan tameng untuk melegitimasi pemerintahan otoritarianisme yang memotivasi kreativitas warga masyarakat yang sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia.[56]
Demokrasi Pancasila yang berjalan saat ini telam menyimpang dari prinsipnya. Prinsip demokrasi Pancasila adalah memperhatikan kepentingan seluruh warga negara. Sebaliknya, ditemukan fakta bahwa pemimpin yang meraih kekuasaan tidak lagi memperhatikan kepentingan seluruh warga negara, melainkan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, walaupun dengan cara melanggar hukum. Tindakan tersebut dapat dilihat dari beberapa elite politik yang terlibat korupsi hingga menjalani proses pengadilan.[57]
Bagian terpenting dalam sistem demokrasi Pancasila adalah partai politik, yakni sebagai sarana sosialisasi, komunikasi dan rekruitmen politik. Faktanya, partai politik belum berhasil menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Akibatnya banyak partai politik melahirkan kader-kader yang tidak berkualitas dan berwawasan nasional. Partai politik juga belum berhasil melahirkan para pemimpin yang demokratis dan berpihak kepada rakyat. Akhirnya, demokrasi sebagai sebuah cita-cita belum dapat diwujudkan oleh partai politik.[58]
Ironisnya lagi banyak parpol yang menrapkan politik uang untuk meraih tujuan, cita-cita dan kekuasaan partainya. Seperti yang dimuat dalam Kompas Indonesia Networking Election Survei. Dalam hasil surveinya melaporkan bahwa ketertarikan dan kenal terhadap partai politik masih didasarkan kepada uang, entah yang dibagik-bagikan saat kampanye maupun saat pemilu. Hal yang sangat mengenaskan, yakni 50,3 persen responden memilih uang dalam memilih partai politik. Partai politik gagal dalam mengenalkan program dan visinya. Ketua DPP PAN, Bina Arya Sugianto mengatakan: “bila survey itu masih sungguh mewujudkan potret masyrakat kita, berarti demokrasi kita telah rusak. Ini harus dievaluasi secara keseluruhan.” Jika demokrasi ditentukan oleh uang, menurut dia perjuangan demokrasi bangsa ini menjadi tergerus oleh pola-pola transaksional mengenaskan.[59]
F. Budi Hardiman, seorang dosen Filsafat STF Driyarkara, Jakarta mengemukakan pendapat lain berkaitan dengan demokrasi ini. Menurut pengamatannya, demokrasi di Indonesia telah digerogoti oleh virus-virus oligarki. Oligarki adalah sistem pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang bermodal besar. Kekuasaan bukan lagi berada di tangan rakyat, melainkan berada di tangan orang-orang konglomerat, khususnya kaum elite politik.[60]

6.        Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik material maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia mengandung pengertian setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia, baik yang berdiam di wilayah Indonesia maupun warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.[61]
Prinsip sila kelima ini menghendaki adanya kemakmuran yang merata diantara seluruh rakyat; bukan merata yang statis melainkan merata yang dinamis dan meningkat. Artinya, seluruh kekayaan alam Indonesia, seluruh potensi bangsa diolah secara bersama-sama menurut kemmapuan dan bidang masing-masing. Kemudian dimanfaatkan bagi kebahagiaan seluruh rakyat          Indonesia. Keadilan sosial berarti harus melindungi yang lemah; hal ini bukan berarti yang lemah boleh tidak bekerja dan sekedar menuntut perlindungan, melainkan sebaliknya justru harus bekerja menurut kemampuan dan bidangnya. Perlindungan yang diberikan adalah untuk mencegah kesewenang-wenangan dari yang kuat untuk menjamin adanya keadilan.[62]
Realisasi daripada prinsip keadilan sosial tidak lain adalah dengan jalan pembangunan yang benar-benar dapat dilaksanakan dan berguna serta dinikmati oleh seluruh rakyat. Karena itu, kita harus meniadakan segala bentuk kepincangan sosial dan kepincangan dalam pembangunan kekayaan nasional.[63]

6.1     Perwujudan Sila Kelima
Sila kelima ini menjunjung tinggi nilai keadilan. Pemerintah mendirikan Mahkamah Agung ini untuk menegakkan keadilan dalam hukum. Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah ini didirikan pada tangga 18 Agustus 1945. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.[64]
Tindak korupsi merupakan bentuk ketidakjujuran dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia. Korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu, pemerintah mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode 2006-2011 KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November 2010, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dilanjutkan lagi oleh Abraham Samad sejak 2011.[65]

6.2     Penyimpangan Sila Kelima
Vonis ringan terhadap Angie (Angelina Sondakh) dan koruptor lain adalah pukulan yang bisa melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi dan dukungan hampir seluruh lapisan masyarakat dilecehkan oleh keputusan hakim yang melawan rasa keadilan. Ketidakadilan tidak hanya melanggar hak orang lain, tetapi juga gagal meringankan penderitaan.[66]
Contoh lain, yakni kader muda NU Jawa Barat dari sukarelawannya di daerah tentang adanya intimidasi dan politik uang yang dilakukan oleh para calon gubernur dan wakil gubernur. Hampir semua pasangan calon berjumlah lima itu diketahui melakukan pelanggaran yang jenisnya bervariasi, antara lain dengan pemberian sembako, uang dan intimidasi langsung kepada warga calon pemilih. “Kami menemukan pembagian unag Rp. 50.000 dalam amplop yang dilakukan tim Dede Yusuf-Lex Laksamana di Cirebon dan juga ada pemaksaan kepada pengurus muslimat NU di Subang agar milih Dede-Lex. Jika mereka tak milih diancam akan diberhentikan dari jabatannya.”, kata Muiz.[67]
















BAB IV

PENUTUP

1. Rangkuman Umum
2. Refleksi Kritis
3. Relevansi
4. Status Kita Sebagai Anggota Gereja dan Negara

























Bibliografi

Buku-buku

Abdul Muhaimin, K.H. “Kemanusiaan Mengatasi Semua Perbedaan”, dalam J. Kristanto (ed.). et al. Dahsyatnya Merapi Tak Sedahsyat Cinta-Mu”. Yogyakarta: Seminari Tinggi St. Paulus, 2011.

Bangun, Zakaria. Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia. Medan: Bina Media Pratama, 2008.

Darmodiharjo, Darji. “Pancasila Sebagai Filsafat dan Ideologi”, dalam Pancasila Dalam Pemikiran dan Pemasyarakatannya. Malang: Laboratorium Pancasila IKIP, 1967-1983.

------- “Orientasi Singkat Pancasila”, dalam Santiaji Pancasila. Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.

Gunawan Setiarja, A. Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, 20037.

Kansil, C.S.T. ‒ T. Kansil, Christine S. Pancasila dan UUD 1945. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.

Krissantono (ed.). Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila. Jakarta: CSIS, 1976.

Lembaga Soekarno Hatta. Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.

Noer, Deliar. Ideologi Politik dan Pembangunan. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983.

Parmono, R.-Kartini. Pancasila Dasar Negara Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset, 1984.

Poespowardojo, Soerjanto. Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya. Jakarta: Gramedia, 1989.

Soetoprawiro, Koerniatmanto. Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme. Jakarta ‒ Yogyakarta: Yayasan Bhumiksara ‒ Kanisius, 2003.

Sumarsono, S. et al. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2006.

Syarbaini, Syahrial. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.








Media Massa

Budi Hardiman, F. “Dalam Moncong Oligarki”, dalam Kompas (Jakarta), Sabtu, 23 Februari 2013, hlm. 6, klm. 4.

Che, “Masyarakat Tasikmalaya Ingin Damai”, dalam Kompas (Jakarta), Selasa, 5 Februari 2013, hlm. 25, klm. 1.

Eng, “Uang Parpol Masih Jadi Pilihan Rakyat”, dalam Kompas (Jakarta), Selasa, 20 November 2012, hlm. 2, klm. 2-4.

Haryatmoko, “Rasa Keadilan Dilecehkan”, dalam Kompas (Jakarta), Selasa, 29 Januari 2013, hlm. 6, klm. 2.

Iam, “Minoritas Tidak Dilindungi”, dalam Kompas (Jakarta), Jumat, 1 Maret 2013, hlm. 5, klm. 3.

------- “Politik Kehilangan Visi Perjuangan”, dalam Kompas (Jakarta), Rabu, 27 Februari 2013, hlm. 2, klm. 6

Ire, et al., “Tentara Bakar Markas Polisi”, dalam  Kompas (Jakarta), Jumat, 8 Maret 2013, hlm. 1, klm. 7.

Jos et al., “Papua Kembali Memanas”, dalam Kompas (Jakarta), Jumat, 22 Februari 2013, hlm. 1, klm. 1-2.

Rek, “Intimidasi dan Politik Uang Dilaporkan”, dalam Kompas (Jakarta), Selasa, 22 Februari 2013, hlm. 25, klm. 3-4.



Media Elektronik

Aloysius Budi Kurniawan, Banyak Pelanggaran Terhadap Nilai-nilai Pancasila, http://nasional.kompas.com/banyak.pelanggaran.terhadap.nilai-nilai.Pancasila, 1 Juni 2012.

Wikipedia, Dewan Perwakilan Rakyat, http://id.wikipedia.org/dewan.perwakilan.rakyat,                           28 Februari 2013  

-------, Mahkamah Agung Indonesia, http://id.wikipedia.org/komisi.mahkamah.agung.Indonesia,                        9 Maret 2013.

-------, Komnas HAM, http://id.wikipedia.org/komisi.nasional.hak.asasi.manusia, 5 Maret 2013.

-------, Komisi Pemberantasan Korupsi, http://id.wikipedia.org/komisi.pemberantasan.korupsi,                   16 Juni 2012.   

-------, Majelis Permusyawaratan Rakyat, http://id.wikipedia.org/majelis.permusyaratan.rakyat,                  16 Februari 2013.  




[1] Bdk. Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 20037), hlm. 10.
[2] C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila dan UUD 1945 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 27; bdk. Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 49.
[3] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 112.
[4] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 49; bdk. Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 113; bdk. juga Darji Darmodiharjo, “Pancasila Sebagai Filsafat dan Ideologi”, dalam Pancasila Dalam Pemikiran dan Pemasyarakatannya (Malang: Laboratorium Pancasila IKIP, 1967-1983), hlm. 34. 
[5] C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 27.
[6] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 113; bdk. A. Gunawan Setiarja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 17-18; bdk. juga Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 193-196.
[7] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 114; bdk. Deliar Noer, Ideologi Politik dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), hlm. 30-32.
[8] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 122.
[9] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 123; bdk. C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 1-2.
[10] Darji Darmodiharjo, Pancasila ..., hlm. 32; bdk. Syahrial Syarbaini,  Pendidikan ..., hlm. 50-51.
[11] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 117.
[12] Syahrial, Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 51.
[13] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 51.
[14] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 52; bdk. Darji Darmodiharjo, “Orientasi Singkat Pancasila”, dalam Santiaji Pancasila (Jakarta: Kurnia Esa, 19853), hlm. 133.
[15] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 52; bdk. C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 29-30; bdk. juga Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 112.
[16] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 52; bdk. Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 118-119.
[17] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 52.
[18] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 54; bdk. Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 130-132.
[19] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 54-55; bdk. Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 122-123.
[20] Kapitalisme adalah suatu ideologi yang memandang bahwa sistem ekonomi semata-mata hanya mementingkan modal guna mendapatkan modal yang lebih besar lagi. Ciri khasnya adalah bahwa para penguasa menguasai modal kepemilikan. Modal ini berhadapan dengan tenaga kerja. [Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme (Jakarta - Yogyakarta: Yayasan Bhumiksara - Kanisius, 2003), hlm. 95-96.]
[21] Komunisme menurut Karl Marx adalah paham yang memandang manusia sebagai suatu hakikat yang menciptakan dirinya sendiri dengan menghasilkan sarana-sarana kehidupan sehingga sangat menentukan dalam perubahan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan agama. Komunisme tidak mengakui eksistensi Tuhan. Segala sesuatu terpusat pada manusia sendiri. Maka, komunisme mengandung  paham atheis. [Lihat Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 146.]
[22] Kepentingan pribadinya akan diselaraskan dengan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dengan pengertian bahwa kewajibannya terhadap masyarakat hendaknya lebih diutamakan daripada kepentingan pribadinya. [Lihat Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1976), hlm. 44.]
[23] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 56; bdk. Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 144-145.]
[24] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 57; bdk. C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 29; bdk. juga Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 144-145.
[25] C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 30.
[26] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 57.
[27] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 119.
[28] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 119-120.
[29] C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 32; bdk. Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 120.
[30] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 120; bdk. C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 32.
[31] C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 33; bdk. Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 121.
[32] C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 33.
[33] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 58-59; bdk. Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 121-122.
[34] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 58; bdk. C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 33-34.
[35] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 59; bdk. C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 35-36.
[36] Lembaga Soekarno Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila (Jakarta: Inti Idayu Press, 1984), hlm. 98; bdk. Krissantono (ed.), Pandangan ..., hlm. 26; bdk. juga Darji Darmodiharjo, Orientasi ..., hlm. 37-38.
[37] Krissantono, (ed.), Pandangan ..., hlm. 27; bdk. Darji Darmodiharjo, Orientasi ..., hlm. 38.
[38] Krissantono, (ed.), Pandangan ..., hlm. 27-28; bdk. Darji Darmodiharjo, Orientasi ..., hlm. 39.
[39] Che, “Masyarakat Tasikmalaya Ingin Damai”, dalam Kompas (Jakarta), Selasa, 5 Februari 2013, hlm. 25, klm. 1.
[40] Aloysius Budi Kurniawan, Banyak Pelanggaran Terhadap Nilai-nilai Pancasila, http://nasional.kompas.com/read/2012/06/01/banyak.pelanggaran.terhadap.nilai-nilai.Pancasila, 1 Juni 2012.
[41] Politik di Indonesia belakangan ini semakin terjebak dalam kepentingan sempit dan sesaat. Sehingga semakin jauh dari visi perjuangan untuk kemajuan bangsa. Panggung politik terus gaduh oleh berbagai kasus, terutama kasus dugaan korupsi, tetapi tidak memberikan manfaat bagi perbaikan kehidupan masyarakat. [Lihat Iam, “Politik Kehilangan Visi Perjuangan”, dalam Kompas (Jakarta), Rabu, 27 Februari 2013, hlm. 2, klm. 6.]
[42] Darji Darmodiharjo, ‘Orientasi ...”, hlm. 40-41; bdk. Krissantono (ed.), Pandangan ..., hlm. 39-40; bdk. juga R. Parmono-Kartini, Pancasila Dasar Negara Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), hlm. 74-77.
[43] Wikipedia, Komnas HAM, http://id.wikipedia.org/komisi.nasional.hak.asasi.manusia, 5 Maret 2013.
[44] Jos et al., “Papua Kembali Memanas”, dalam Kompas (Jakarta), Jumat, 22 Februari 2013, hlm. 1, klm. 1-2.
[45] Iam, “Minoritas Tidak Dilindungi”, dalam Kompas (Jakarta), Jumat, 1 Maret 2013, hlm. 5, klm. 3.
[46] Iam, “Minoritas …”, hlm. 5, klm. 4-7.
[47] Ire, et al., “Tentara Bakar Markas Polisi”, dalam  Kompas (Jakarta), Jumat, 8 Maret 2013, hlm. 1, klm. 7.
[48] Darji Darmodiharjo, “Orientasi …”, hlm. 42.
[49] Krissantono (ed.), Pandangan …, hlm. 48-49; bdk. Darji Darmodiharjo, “Orientasi …”, hlm. 43.
[50] K.H. Abdul Muhaimin, “Kemanusiaan Mengatasi Semua Perbedaan”, dalam J. Kristanto (ed.), et al., Dahsyatnya Merapi Tak Sedahsyat Cinta-Mu (Yogyakarta: Seminari Tinggi St. Paulus, 2011), hlm. 101.
[51] Darji Darmodiharjo, “Orientasi ...”, hlm. 44.
[52] Wikipedia, Majelis Permusyawaratan Rakyat, http://id.wikipedia.org/majelis.permusyaratan.rakyat,                  16 Februari 2013.  
[53] Wikipedia, Dewan Perwakilan Rakyat, http://id.wikipedia.org/dewan.perwakilan.rakyat, 28 Februari 2013  
[54] S. Sumarsono et al., Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2006), hlm. 19.
[55] Darji Darmodiharjo, “Orientasi …”, hlm. 81.
[56] Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia (Medan: Bina Media Pratama, 2008), hlm. 25.
[57] Zakaria Bangun, Demokrasi ..., hlm. 98.
[58] Zakaria Bangun, Demokrasi ..., hlm. 99-100.
[59] Eng, “Uang Parpol Masih Jadi Pilihan Rakyat”, dalam Kompas (Jakarta), Selasa, 20 November 2012, hlm. 2, klm. 2-4.
[60] F. Budi Hardiman, “Dalam Moncong Oligarki”, dalam Kompas (Jakarta), Sabtu, 23 Februari 2013, hlm. 6, klm. 4.
[61] Darji Darmodiharjo, “Orientasi ...”, hlm. 46.
[62] Krissantono (ed.), Pandangan ..., hlm 70.
[63] Krissantono (ed.), Pandangan ..., hlm 71.
[64] Wikipedia, Mahkamah Agung Indonesia, http://id.wikipedia.org/komisi.mahkamah.agung.Indonesia,                             9 Maret 2013.
[65] Wikipedia, Komisi Pemberantasan Korupsi, http://id.wikipedia.org/komisi.pemberantasan.korupsi, 16 Juni 2012.   
[66] Haryatmoko, “Rasa Keadilan Dilecehkan”, dalam Kompas (Jakarta), Selasa, 29 Januari 2013, hlm. 6, klm. 2.
[67] Rek, “Intimidasi dan Politik Uang Dilaporkan”, dalam Kompas (Jakarta), Selasa, 22 Februari 2013, hlm. 25, klm. 3-4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar