BAB I
PENDAHULUAN[1]
Pancasila sebagai ideologi nasional secara sah diresmikan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 dan
tercantum dalam mukadimah UUD 1945 yang dipromulgasikan dalam Berita Republik
Indonesia tahun II No. 7 serentak dengan Batang Tubuh UUD 1945.
Dalam perjalanan historis, eksistensi Pancasila sebagai ideologi
nasional RI dilanda oleh berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik
seturut kepentingan penguasa demi mempertahankan eksistensi kekuasaan yang
berlindung di balik legitimasi ideologi negara Pancasila. Dengan kata lain,
Pancasila tidak lagi ditempatkan sebagai ideologi nasional negara Republik Indonesia,
melainkan telah direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan politik
penguasa pada masa itu.
Di era globalisasi ini, ideologi Pancasila kurang meresap dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Hal ini ditandai dengan meningkatnya
kasus-kasus pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur ideologi Pancasila, misalnya
konflik antar umat beragama, kekerasan, korupsi, disintegrasi oleh kaum
separatisme (GAM dan OPM) dan pelanggaran HAM.
Bertitik tolak dari kenyataan di atas, gerakan reformasi bertujuan untuk
mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai ideologi nasional RI. Pancasila
sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang mencakup
pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, hukum dan
negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia. Hal ini
direalisasikan melalui Tap MPR tahun 1998 No. XVIII/MPR/1998 ditandai dengan
pencabutan P-4 dan pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi
Organisasi Sosial Politik (ORSOSPOL) di Indonesia. Monopoli Pancasila demi
kepentingan politik kekuasaan tertentu harus segera diakhiri. Kita perlu
memiliki pengetahuan ilmiah dan objektif dalam memahami Pancasila sebagai
ideologi nasional agar kita dapat mengamalkannya dengan baik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, kami tertarik untuk mengangkat tema
ini: PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL.
BAB II
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
1.
Pengantar
Ideologi berasal dari dua akar kata dalam
bahasa Yunani, yakni eidos
(cita-cita) dan logos (pengetahuan).
Ideologi artinya suatu ide pemikiran yang berlandaskan pada pemikiran filsafat
yang sangat dalam. Sedangkan filsafat adalah suatu nilai atau kebenaran yang
dijadikan keyakinan atau pandangan hidup suatu bangsa. Bagi suatu bangsa,
kebenaran itu dijadikan dasar negara atau ideologi negara.[2]
Sebagai suatu ideologi nasional, Pancasila
pada hakikatnya bukan hanya hasil permenungan atau pemikiran seseorang atau
kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia ini. Pancasila
digali dan ditimba dari nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan, dan religius
yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk
negara. Singkat kata, Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup bangsa
Indonesia sendiri, bukan diambil dari ideologi bangsa lain. Sehingga bangsa ini
adalah causa materialis (asal bahan)
Pancasila.[3]
2.
Pengertian Pancasila
2.1
Arti Ideologi
Berdasarkan etimologi, ideologi berasal dari
dua akar kata dalam bahasa Yunani, yakni eidos
(cita-cita) dan logos (pengetahuan). Secara
sederhana, ideologi artinya suatu ide pemikiran yang berlandaskan pada
pemikiran filsafat yang sangat dalam. Ideologi dibagi menjadi dua arti, yakni
arti luas dan sempit. Ideologi dalam arti luas dikenakan untuk segala kelompok
cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi
sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit, ideologi merupakan ide atau teori
yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai mutlak bagaimana manusia
hidup dan bertindak.[4]
Ideologi menurut W. White adalah cita-cita
politik atau doktrin atau ajaran suatu lapisan masyarakat atau sekelompok
manusia yang dapat dibeda-bedakan. Sedangkan Harol H. Titus mengatakan bahwa
ideologi itu dipergunakan untuk sekelompok cita-cita tentang segala problem politik
dan ekonomi filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang
sistematis tentang cita-cita yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan
masyarakat.[5]
Secara historis, ideologi pertama kali
digunakan dan dikemukakan oleh seorang Prancis, Destutt de Tracy, tahun 1796.
Ia mengatakan bahwa ideologi adalah suatu cita-cita untuk membangun suatu
sistem pemerintahan. Pernyataannya tersebut serupa dengan yang didefinisikan
oleh Leibniz. Karl Marx mengartikan ideologi sebagai pandangan hidup yang
dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam
bidang politik atau sosial ekonomi.[6]
Secara umum, ideologi dapat dikatakan sebagai
kumpulan ide-ide, gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, keyakinan-keyakinan,
kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan keagamaan. Maka, ideologi negara dalam arti
cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem
kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya
merupakan asas kerohanian.[7]
2.2
Ideologi Pancasila
Suatu ideologi pada suatu bangsa pada
hakikatnya memiliki ciri khas serta karateristik masing-masing sesuai dengan
sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri. Di sisi lain, dapat juga terjadi bahwa
ideologi pada suatu bangsa datang dari luar dan dipaksakan pelaksanaannya pada
bangsa tersebut sehingga tidak mencerminkan kepribadian dan karakteristik bangsa
tersebut.[8]
Ideologi Pancasila bersumber dari nilai-nilai
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yakni dalam adat-istiadat, serta dalam
agama-agama bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup bangsa. Oleh sebab itu,
nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar
filsafat negara, kemudian menjadi ideologi bangsa dan negara. Jadi, ideologi
Pancasila ada pada kehidupan bangsa dan menyatu dalam kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia. Pancasila berorientasi pada hakikat sifat kodrat
manusia, menjunjung hak dan kebebasan sebagai makhluk individu dan sosial yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.[9]
2.3
Hubungan Filsafat dan Ideologi
Filsafat berasal dari dua akar kata Yunani,
yaitu Philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Secara harafiah,
filsafat diartikan cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran. Filsafat adalah
proses dan sekaligus hasil dari pemikiran tentang sesuatu secara metodis,
sistematis, menyeluruh dan universal.[10]
Ideologi merupakan suatu rangkaian kesatuan
cita-cita yang mendasar dan menyeluruh yang terjalin menjadi satu sistem
pemikiran logis yang berdasar pada filsafat. Ideologi dapat dikatakan juga
sebagai konsep operasional dari suatu pandangan atau filsafat hidup dan
merupakan norma ideal yang melandasi ideologi. Sebab norma tersebut akan
diaplikasikan dalam perilaku, kelembagaan sosial, politik, ekonomi, pertahanan
keamanan dan keagamaan. Letak hubungan filsafat dan ideologi, yakni filsafat
menjadi dasar dan sumber bagi perumusan ideologi yang menyangkut strategi dan
doktrin untuk menghadapi segala permasalahan dalam kehidupan bangsa dan negara
serta untuk menentukan sudut pandang dan sikap dalam menyaring aliran atau
sistem filsafat lain.[11]
2.4
Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Ideologi memiliki arti orientasi yang memosisikan
seseorang dalam lingkungan ilmiah dan sosial. Dalam orientasi ini ideologi
memiliki pandangan tentang alam, masyarakat, manusia dan segala realitas yang
dijumpai dan dialami selama hidupnya. Ada empat tipe ideologi, yakni pertama
ideologi konservatif. Ideologi konservatif adalah ideologi yang memelihara
keadaan yang ada (status quo),
setidak-tidaknya secara umum, walaupun membuka kemungkinan perbaikan dalam
hal-hal teknis. Kedua, kontra ideologi. Kontra ideologi, yakni melegitimasikan
penyimpangan yang ada dalam masyarakat sebagai yang sesuai dan baik. Ketiga,
ideologi reformis. Ideologi ini berkehendak untuk mengubah keadaan. Keempat,
ideologi revolusioner. Ideologi ini bertujuan mengubah seluruh sistem nilai
masyarakat itu.[12]
Dalam kurun waktu yang panjang, suatu
ideologi dapat mengalami perbaikan tipe. Sebagai contoh, ideologi komunis yang
sebelumnya revolusioner dapat berubah menjadi konservatif ketika para
penganutnya berkuasa. Secara historis, Pancasila sebagai ideologi bersifat
reformis dan revolusioner.[13]
Kita mengenal berbagai macam istilah
ideologi, misalnya ideologi negara, ideologi bangsa dan ideologi nasional.
Secara khusus, ideologi negara dihubungkan dengan pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan negara. Sedangkan ideologi nasional meliputi ideologi negara dan
ideologi yang terkait dengan pandangan hidup bangsa. Ideologi nasional bangsa
Indonesia tercermin dan terkandung dalam mukadimah (pembukaan) UUD 1945.
Ideologi nasional bangsa Indonesia yang tercermin dan terkandung dalam pembukaan
UUD 1945 adalah ideologi perjuangan yang sarat dengan jiwa dan semangat
perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.[14]
Dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945
terkandung motivasi, dasar, dan pembenaran perjuangan. Alinea kedua mengandung
cita-cita bangsa Indonesia. Alinea ketiga memuat petunjuk atau tekad
pelaksanaannya. Alinea keempat memuat tugas negara/tujuan nasional, penyusunan
undang-undang dasar, bentuk susunan negara yang berkedaulatan rakyat dan dasar
negara Pancasila. Pembukaan UUD 1945 yang mengandung pokok-pokok pikiran yang
dijiwai Pancasila dijabarkan dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945. Pembukaan
UUD 1945 memenuhi persyaratan sebagai ideologi yang memuat ajaran, doktrin,
teori dan ilmu tentang cita-cita bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya
dan disusun secara sistematis serta diberi petunjuk pelaksanaannya. Maka,
Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran
yang mencakup pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia,
masyarakat, hukum dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan
Indonesia.[15]
3.
Makna Ideologi Pancasila
Pancasila sebagai ideologi nasional
mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang mencerminkan cara berpikir
dan cara kerja perjuangan bangsa Indonesia. Dalam memahami Pancasila perlu meninjau latar belakang sejarah
perjuangan Indonesia. Sedangkan Pancasila sebagai dasar negara, perlu memahami
latar belakang konstitusi proklamasi atau hukum dasar kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat, yakni pembukaan batang tubuh dan penjelasan UUD
1945.[16]
Pancasila bersifat integralistik, yakni paham
tentang hakikat negara yang dilandasi dengan konsep kehidupan bernegara. Supomo
mengatakan bahwa Pancasila yang menjadi landasan kehidupan bernegara berada
dalam kerangka negara integralistik untuk membedakan paham-paham yang digunakan
oleh pemikir kenegaraan lain. Dalam memahami Pancasila yang bersifat
integralistik, kita harus terlebih dahulu memahami beberapa teori dasar negara,
seperti di bawah ini:[17]
3.1
Teori Perseorangan (Individualistik)
Sarjanawan yang membahas teori ini adalah
Herbert Spencer (1820-1903) dan Horald J. Laski (1893-1950). Dalam teori ini
dikatakan bahwa negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh orang dalam
masyarakat itu (social contract).
Negara dipandang sebagai organisasi kesatuan pergaulan hidup manusia yang
tertinggi. Teori ini menghargai manusia sebagai makhluk individu yang bebas dan
merdeka. Keakuan individu lebih ditonjolkan. Akibatnya setiap individu saling
menonjolkan diri dan saling mengadu tenaga dalam perebutan kekuasaan. Hal
itulah yang menjadi titik kelemahan teori ini. Selain itu, negara dipandang
sebagai hasil perjanjian masyarakat dari individu-individu yang bebas. Hak
asasi manusia dijunjung tinggi kedudukannya daripada negara yang merupakan
hasil bentukan dari individu-individu bebas tersebut. Supomo mengatakan bahwa
teori ini tidak cocok dengan Pancasila. Maka, tidak bisa diikuti atau dipilih
oleh bangsa kita.
3.2
Teori Golongan (ClassTheory)
Teori ini diajarkan oleh Karl Marx. Ia mengatakan bahwa negara merupakan
penjelmaan dari segala pertentangan kekuatan ekonomi. Dalam teori ini golongan
ekonomi yang kuat memperalat negara dengan menindas golongan ekonomi yang
lemah. Golongan ekonomi yang kuat adalah mereka yang menguasai alat-alat
produksi. Negara akan lenyap apabila tidak ada lagi perbedaan kelas dan
pertentangan ekonomi dalam masyarakat. Menurut Marx, ada tiga fase terbentuknya
negara dalam sejarah perkembangan masyarakat, yakni fase borjuis, fase
kapitalis, dan fase sosialis-ekonomis.
Negara RI tidak menganut teori di atas sebab bertentangan dengan nilai-nilai ideologi Pancasila.
Dalam ideologi Pancasila perekonomian dikelola oleh negara untuk kesejahteraan
bersama. Golongan ekonomi yang kuat wajib melindungi golongan ekonomi yang
lemah.
3.3
Teori Kebersamaan (Integralistik)[18]
Awal mula teori integralistik diajarkan oleh
Spinoza dan Adam Muhler. Mereka mengatakan bahwa negara adalah suatu susunan
masyarakat yang integral di antara semua golongan dan seluruhnya merupakan
bagian dari anggota masyarakat. Kesatuan masyarakat ini bersifat organis.
Dari sisi integritas, pemerintah dan rakyat
bersatu padu secara bersama-sama memikirkan dan mengupayakan kehidupan yang
sejahtera bagi seluruh bangsa. Tidak ada satupun pihak yang mengutamakan
golongan tertentu. Dalam teori ini kepentingan rakyat/umum lebih diutamakan
daripada kepentingan pribadi.
Supomo mengatakan bahwa teori integralistik
sangat cocok diterapkan oleh bangsa Indonesia yang masyarakatnya bersifat
majemuk/plural. Teori ini sesuai dengan ideologi Pancasila yang berasaskan
kekeluargaan dan gotong royong. Teori integralistik ini sudah lama diterapkan
oleh bangsa Indonesia, misalnya pemimpin yang selalu bermusyawarah dengan
rakyatnya.
Dalam penjelasan UUD 1945, tercantum dengan
jelas bahwa negara mengatasi segala paham golongan dan paham perseorangan serta
menganut paham negara persatuan. Alinea ketiga menegaskan bahwa negara adalah
suatu keadaan kehidupan berkelompoknya bangsa Indonesia yang atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan yang luhur bangsa
Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Negara Indonesia dalam sudut pandang integralistik,
tidak akan memiliki fungsi masing-masing dalam suatu negara sebagai kesatuan
yang utuh. Supomo mengatakan Indonesia sebagai suatu negara yang totalitas.
Pancasila bersifat integralistik karena mengandung semangat kekeluargaan dalam
kebersamaan, adanya gotong-royong, memelihara persatuan dan kesatuan, dan
mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
4.
Perbandingan Ideologi Pancasila dengan
Ideologi Lain[19]
Ideologi Pancasila berbeda dengan beberapa
ideologi lainnya, seperti kapitalisme[20]
dan komunisme[21]. Kedua
ideologi itu pertama kali lahir sebagai pemikiran filsafat. Kemudian dituangkan
dalam rumusan ideologi lalu diwujudkan dalam konsep-konsep politik. Sebagai
contoh, manifesto komunis lahir dari ideologi pada tahun 1841, kemudian menjadi
konsep politik pada tahun 1917.
Sebelum tahun 1945, belum ada pemikiran
filosofi tentang ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila terbentuk setelah
kemerdekaan Republik Indonesia. Gagasan ini lahir setelah para pemimpin kita
bermusyawarah. Dalam musyawarah itu, Dr. Radjiman mengatakan: apa dasar negara
yang hendak kita bentuk? Pertanyaan itu dijawab dengan menentukan nilai-nilai
dasar yang sama dalam kemajemukan bangsa kita. Maka, Pancasila dirumuskan
sebagai konsensus politik yang didasarkan pada nilai kebudayaan masyarakat.
4.1
Ideologi Liberalisme
Ideologi liberalisme pertama kali lahir di
Inggris pada zaman pencerahan (aufklarung).
Pada masa itu, manusia sangat mengagungkan kekuatan rasio. Rasio dianggap
menjadi kekuatan yang menerangi dunia ini. Dengan rasio, manusia dapat
mengerjakan segala sesuatu.
Ideologi liberalisme adalah paham ideologi
yang memandang manusia sebagai makhluk yang bebas. Liberalisme ini membawa
sistem kapitalisme. Ajaran liberalisme bertumpu pada hak asasi manusia yang
telah ada sejak lahir dan tak dapat diganggu gugat oleh siapapun, kecuali atas
persetujuannya. Dalam hak asasi manusia terdapat nilai-nilai dasar manusia,
yakni kebebasan dan kepentingan individu yang menuntut kebebasan mutlak.
Ideologi liberalisme ini bertentangan dengan
Pancasila sebab liberalisme ini menekankan kepentingan individu yang memiliki
kebebasan mutlak. Sedangkan kepentingan umum cenderung diabaikan. Pancasila
menghargai manusia sebagai makhluk Tuhan yang mengemban tugas pribadi dan tugas
sosial. Dalam ideologi Pancasila, kepentingan pribadi[22]
harus diselaraskan dengan kepentingan bersama.
4.2
Ideologi Sosialisme-Komunisme
Karl Marx adalah tokoh peletak dasar paham
komunisme. Komunisme didasarkan atas kebendaan. Oleh sebab itu, komunis tidak
mengakui eksistensi Tuhan. Agama dianggap sebagai racun masyarakat. Ajaran itu
bertentangan dengan ajaran Pancasila yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha
Esa. Masyarakat komunis tidak berjiwa nasional. Cita-cita masyarakat komunis
adalah masyarakat dunia yang tidak dibatasi oleh kesadaran nasional. Hal ini
terungkap dalam perkataan Karl Marx: “Kaum Buruh sedunia bersatulah”.
Masyarakat komunis adalah masyarakat yang bebas dari kelas-kelas masyarakat,
aman, tenteram dan tidak adanya kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi.
Menurut paham ini, pertumbuhan masyarakat hanya dapat dilakukan dengan jalan
revolusi sehingga kaum proletar dapat memegang dan menguasai tampuk
pemerintahan.[23]
5.
Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
5.1
Arti Ideologi Terbuka
Ideologi terbuka merupakan ideologi yang mengikuti
perkembangan zaman dan mampu berkembang secara dinamis. Sumber semangat
ideologi terbuka tercantum dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang berbunyi
demikian: Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar
yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok. Aturan-aturan yang
menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih
mudah cara membuatnya, mengubahnya, dan mencabutnya [...] yang sangat penting
dalam pemerintahan dan dalam hidupnya bernegara adalah semangat, semangat para
penyelenggara, semangat para pemimpin pemerintahan.[24]
5.2
Asal Muasal Ideologi Terbuka
Ideologi terbuka pertama kali dikemukakan
oleh Presiden pada tanggal 10 November 1986 dalam acara pembukaan penataran
calon manggala BP-7 Pusat. Kemudian dikemukakan kembali pada tanggal 16 Agustus
1989 dalam pidato kenegaraan 1989, yang berbunyi demikian: “Itulah sebabnya,
beberapa tahun yang lalu saya kemukakan, bahwa Pancasila adalah ideologi
terbuka, maka kita dalam mengembangkan pemikiran baru yang kreatif untuk
mengamalkan Pancasila dalam menjawab perubahan dan tantangan zaman yang terus
bergerak dinamis, yakni nilai-nilai dasar Pancasila tidak boleh berubah,
sedangkan pelaksanaannya kita sesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata
yang kita hadapi dalam tiap kurun waktu”.[25]
5.3
Ciri Khas Ideologi Terbuka
Ideologi yang dianut oleh setiap bangsa
memiliki ciri khasnya masing-masing. Demikian juga dengan ideologi terbuka.
Ideologi terbuka merupakan bagian dari sistem ideologi Pancasila. Ideologi
terbuka memiliki ciri khas, yaitu nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan
dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri. Ideologi terbuka berlandaskan pada
konsensus masyarakat, bukan berasal dari negara, tetapi digali dan ditemukan
dari masyarakat sendiri. Oleh karena itu, ideologi terbuka adalah milik semua
rakyat.[26]
5.4
Nilai-nilai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak
bersifat kaku dan tertutup, melainkan bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan
bahwa ideologi Pancasila bersifat aktual, dinamis dan senantiasa menyesuaikan
diri dengan perkembangan zaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan untuk mengubah
nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, melainkan untuk mengembangkan
wawasan secara kongkrit, aktual dan dinamis seturut perkembangan IPTEK dan
zaman.[27]
Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan
nilai-nilai dasar yang bersifat tetap dan tidak berubah. Oleh karena itu, harus
senantiasa dieksplisitkan. Eksplisitasi ini dengan cara menghadapkannya pada
berbagai masalah yang direfleksikan secara rasional agar tampak makna
operasionalnya. Ada tiga nilai dasar yang terkandung dalam ideologi terbuka,
yaitu nilai dasar, instrumental dan praksis.[28]
Nilai dasar terletak pada hakikat kelima
Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai dasar tersebut merupakan esensi dari
sila-sila Pancasila yang bersifat universal sehingga dalam nilai dasar itu
terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan benar, termasuk
tata hubungan antar lembaga serta tugas dan wewenangnya yang bersifat tetap
sepanjang zaman. Nilai dasar ideologi tersebut tertuang dalam pembukaan UUD
1945.[29]
Nilai instrumental tercermin dalam bentuk
arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya. Nilai
instrumental ini merupakan eksplisitasi, penjabaran yang lebih lanjut dari
nilai-nilai ideologi Pancasila,
misalnya GBHN, Departemen, Ditjen, Gubernur yang senantiasa disesuaikan dengan
perkembangan zaman.[30]
Nilai praksis merupakan realisasi nilai-nilai
instrumental yang dilaksanakan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam realisasi praksis ini, penjabaran nilai-nilai Pancasila
senantiasa berkembang seturut perubahan zaman, IPTEK dan aspirasi masyarakat.[31]
5.5
Hakikat Ideologi Terbuka
Berdasarkan penjelasan di atas, kita telah
mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi terbuka. Sekarang, kami
akan menguraikan hakikat dari ideologi terbuka. Hakikat dari ideologi terbuka
adalah Pancasila sebagai nilai dasar ideologi negara (Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945) tidak boleh berubah. Sedangkan yang dapat berubah adalah nilai-nilai
instrumental, yakni voting (musyawarah untuk mufakat), asas Pancasila dan
sistem penataran P-4, diskusi, paripurna, permainan simulasi.[32]
6.
Sifat-sifat Ideologi Terbuka
Suatu ideologi selain memiliki aspek-aspek
yang terdiri dari cita-cita, pemikiran-pemikiran, serta nilai-nilai baik juga
harus memiliki norma yang jelas. Ideologi harus mampu diwujudkan dalam
kehidupan praksis yang kongkrit. Sifat-sifat ideologi mencakup empat dimensi
penting, yakni sebagai berikut di bawah ini:[33]
6.1
Dimensi Realitas
Nilai-nilai yang terkandung dalam dimensi
realitas bersumber dari nilai-nilai riil dalam hidup sehingga mengakar dalam
masyarakat. Masyarakat sungguh dapat merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai
dasar itu adalah milik mereka.
6.2
Dimensi Idealisme
Dimensi idealisme mengandung cita-cita yang
hendak dicapai dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Cita-cita itu berisi harapan yang rasional, bukan khayalan. Ideologi
yang ideal umumnya memiliki keterkaitan yang kuat antara dimensi realitas dan
idealisme.
6.3
Dimensi Fleksibilitas
Dimensi fleksibilitas adalah dimensi yang
memiliki dinamika internal guna merangsang orang-orang untuk melahirkan dan
mengembangkan pemikiran-pemikiran baru. Dengan pemikiran-pemikiran baru itu,
ideologi dapat berkembang dan relevan sepanjang masa. Nama lain dari dimensi
fleksibilitas adalah dimensi pengembangan.
6.4
Dimensi Normatif
Dimensi normatif berisi nilai-nilai Pancasila yang telah diatur dalam
sistem norma-norma, seperti yang terkandung dalam norma-norma kenegaraan. Norma
hukum Pancasila yang tertinggi di Indonesia tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Ideologi Pancasila harus memiliki norma yang jelas agar mampu dijabarkan dalam
langkah operasionalnya.
7.
Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi
Pancasila[34]
Dalam ideologi terbuka, ada empat faktor yang
mendorong keterbukaan ideologi Pancasila, yakni pertama, kenyataan bahwa dalam
proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat berkembang secara cepat. Kedua,
kenyataan bahwa ideologi tertutup seperti marxisme, leninisme, dan komunisme mengalami kebangkrutan dan
melemahkan perkembangan ideologi tersebut. Ketiga, pengalaman sejarah politik
negeri kita pada masa silam. Keempat, tekad Republik Indonesia untuk
menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
8.
Batas-batas Keterbukaan Ideologi Pancasila[35]
Ideologi merupakan a system ideas yang mensyaratkan adanya sistematik serta
konsistensi dalam ide-idenya. Artinya, bahwa segala unsur wajib serasi, selaras
dan seimbang dengan P-4, Repelita dan GBHN yang perlu diperhatikan secara
berkala agar senantiasa aktual seturut perkembangan masyarakat Indonesia.
Pancasila adalah ideologi yang terbuka
terhadap perubahan zaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan seluas segala
kenyataan, melainkan memiliki batasan-batasan sebagai pedoman yang harus
ditaati dan tidak boleh dilanggar, yakni pertama, stabilitas nasional yang
dinamis. Kedua, penolakan terhadap ideologi marxisme, leninisme, dan komunisme.
Ketiga, mencegah berkembangnya paham liberal. Keempat, larangan terhadap pandangan
ekstrim yang menggelisahkan kehidupan masyarakat. Kelima, penciptaan norma yang
baru harus melalui konsensus.
9.
Rangkuman
Secara etimologi, ideologi berasal dari dua akar kata
dalam bahasa Yunani, yaitu eidos (cita-cita) dan logos (pengetahuan). W. White
mendefinisikan ideologi adalah cita-cita politik, doktrin atau ajaran suatu
lapisan masyarakat atau sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan. Ideologi dibagi menjadi dua arti, yakni arti
luas dan sempit. Ideologi dalam arti luas dikenakan untuk segala kelompok
cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi
sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit, ideologi merupakan ide atau teori
yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai mutlak bagaimana manusia hidup
dan bertindak.
Harol H. Titus mengatakan bahwa ideologi itu
dipergunakan untuk sekelompok cita-cita tentang segala problem politik dan
ekonomi filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang
sistematis tentang cita-cita yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan
masyarakat. Seorang Prancis, Destutt de Tracy mengatakan bahwa ideologi
adalah suatu cita-cita untuk membangun suatu sistem pemerintahan. Karl Marx
seorang sosialisme mengartikan ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan
berdasarkan kepentingan golongan atau kelas-kelas sosial tertentu dalam bidang
politik atau sosial ekonomi. Secara umum, ideologi diartikan sebagai kumpulan
ide-ide, gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, keyakinan-keyakinan,
kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis.
Ideologi Pancasila bersumber dari kehidupan bangsa dan
melekat erat pada kelangsungan hidup bangsa dalam rangka bermasyarakat. Ideologi
Pancasila berorientasi pada sifat kodrat manusia, menjunjung hak dan kebebasan
manusia sebagai makhluk individu dan sosial yang merupakan anugerah dari Tuhan
Yang Maha Esa.
Filsafat berhubungan erat dengan ideologi, yaitu filsafat menjadi
dasar dan sumber bagi perumusan ideologi. Sebaliknya, ideologi adalah rangkaian
kesatuan cita-cita yang fundamen, menyeluruh dan terjalin menjadi satu sistem
pemikiran logis yang bersumber pada filsafat.
Ideologi mengandung arti orientasi yang memosisikan
seseorang dalam lingkungan ilmiah dan sosial. Dalam orientasi ini ideologi
memiliki pandangan tentang alam, masyarakat, manusia, dan segala realitas yang
dialami dalam hidup. Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung pengertian
suatu pemikiran yang mencakup pandangan dan cita-cita mengenai sejarah,
manusia, masyarakat, hukum dan negara Indonesia yang bersumber pada kebudayaan
Indonesia.
Untuk memahami makna ideologi Pancasila, kita perlu
mengetahui tiga teori penting, yakni teori perseorangan, golongan, dan
integralistik. Ideologi Pancasila menolak teori perseorangan dan teori golongan
sebab ajaran kedua teori tersebut bertentangan dengan Pancasila. Teori
perseorangan sangat menonjolkan prinsip individualistik yang mengagungkan
keakuan individu sebagai pribadi yang bebas dan merdeka. Sedangkan teori
golongan sangat menonjolkan sosialisme yang sarat dengan unsur-unsur komunisme.
Ideologi Pancasila menganut teori integralistik. Teori ini merangkul semua
golongan, baik individu maupun sosial.Dalam teori ini semua pihak menurut
fungsi dan kedudukannya masing-masing dalam negara bersatu padu untuk
memikirkan dan mengupayakan kesejahteraan rakyat.
Teori Pancasila berbeda dengan ideologi-ideologi lain,
seperti liberalisme dan komunisme.
Liberalisme sangat menekankan kebebasan individu sehingga kepentingan pribadi
lebih diutamakan daripada kepentingan umum. Hal itu tidak sesuai dengan
ideologi Pancasila. Dalam
ideologi Pancasila, kepentingan pribadi harus diselaraskan dengan kepentingan
bersama/umum.
Ideologi Pancasilajuga tidak sesuai dengan ideologi
sosialisme-komunisme. Ideologi Pancasila meyakini dan mengakui eksistensi
Tuhan. Ideologi Pancasila berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
sosialisme-komunisme bersikap anti terhadap Tuhan dan bersifat atheis. Selain
itu, Pancasila berjiwa nasional dan sosialisme-komunisme tidak berjiwa
nasional. Cita-cita masyarakat sosialisme-komunisme adalah mewujudkan
masyarakat yang tidak dibatasi oleh kesadaran nasional.
Ideologi Pancasila adalah ideologi yang terbuka. Ideologi
terbuka adalah ideologi yang terbuka mengikuti perkembangan zaman dan mampu
berkembang secara dinamis. Asal muasal ideologi terbuka pertama kali
diungkapkan oleh Presiden pada tanggal 10 November 1986 dalam pembukaan
penataran calon manggala BP-7 pusat dan diulangi kembali dalam pidato
kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1989.
Ciri khas ideologi terbuka, yaitu nilai-nilai dan
cita-citanya bukan dari luar, melainkan digali dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri. Ada tiga nilai yang terkandung
dalam ideologi terbuka, yakni nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praksis. Nilai
dasar terletak pada hakikat kelima Pancasila, yaitu nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai instrumental tercermin
dalam bentuk arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya. Nilai praksis merupakan realisasi nilai-nilai
instrumental yang dilaksanakan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Hakikat ideologi terbuka, yakni Pancasila sebagai
nilai-nilai dasar ideologi negara (Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) yang tak dapat
diubah. Sedangkan yang dapat berubah adalah
nilai-nilai instrumental, yakni voting (musyawarah untuk mufakat), asas
Pancasila dan sistem penataran P-4, diskusi, paripurna, permainan simulasi.
Sifat-sifat ideologi
terbuka mencakup empat dimensi penting, yaitu dimensi realitas, dimensi
idealisme, dimensi fleksibilitas, dan dimensi normatif. Dalam ideologi terbuka, ada empat faktor yang
mendorong keterbukaan ideologi Pancasila, yakni pertama,proses pembangunan
nasional dan dinamika masyarakat berkembang secara cepat. Kedua, kenyataan
bahwa ideologi tertutup mengalami kebangkrutan dan melemahkan perkembangan
ideologi tersebut. Ketiga, pengalaman sejarah politik negeri kita pada masa
silam. Keempat, tekad Republik Indonesia untuk menempatkan Pancasila sebagai
asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keterbukaan ideologi Pancasila tidak seluas segala
kenyataan, melainkan memiliki batas-batas yang tak dapat dilanggar dan wajib
ditaati.Pertama, stabilitas nasional yang dinamis. Kedua, larangan terhadap
ideologi marxisme, leninisme, dan komunisme. Ketiga, mencegah berkembangnya
paham liberal. Keempat, larangan terhadap pandangan ekstrim serta penciptaan
norma baru melalui konsensus.
BAB
III
IDEOLOGI
PANCASILA DALAM REALITAS MASA KINI
1.
Pengantar
Ideologi Pancasila terdiri dari lima sila.
Kelima sila tersebut merupakan kesatuan yang utuh. Setiap sila saling
berhubungan, tidak terpisahkan dan tidak saling bertentangan. Ideologi
Pancasila lahir sebagai dasar negara pada tanggal 1 Juni 1945 di Jakarta.[36]
Pada bagian ini, kami akan menguraikan
tentang teori lima sila Pancasila, data-data tentang perwujudan dan
penyimpangan terhadap ideologi Pancasila. Semuanya itu kami kemukakan secara
objektif (sesuai dengan realitas).
2.
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama yang berbunyi, “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, mengandung pernyataan bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya
eksistensi Tuhan. Dengan kata lain, sila ini mencerminkan bahwa bangsa kita
bersifat religius yang mengakui adanya kehidupan di masa nanti setelah
kehidupan kita di dunia ini. Hal ini memotivasi diri kita untuk mengejar
nilai-nilai luhur yang membuka jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti.[37]
Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak
semata-mata menunjukkan bahwa negara kita bersifat theokrasi. Rumusan tersebut
mengandung pengertian bahwa negara tidak mendasarkan diri pada agama tertentu.
Negara mendasarkan dirinya pada keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa. Negara
memiliki kewajiban untuk menganut agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agama dan keyakinannya itu. Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan kehidupan
beragama yang sehat dan tidak memaksakan setiap manusia untuk menganut agama
tertentu.[38]
2.1 Perwujudan
Sila Pertama
Sebanyak 1.200 pondok
pesantren dan 18 gereja di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya ikut berpartisipasi
dalam kegiatan Tasikmalaya Bershalawat Khidmat Doa bersama, Minggu 3 Februari
2013. Acara ini bertujuan mewujudkan suasana Tasikmalaya tetap aman, termasuk menyambut
Pilkada Jawa Barat 2013 yang akan digelar 24 Februari 2013. Lewat kegiatan ini,
kami mengajak masyarakat Kota dan Kabupaten Tasikmalaya ikut merenugkan dan
mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk kemajuan dan kelancaran
segala aktivitas.[39]
2.2 Penyimpangan
Sila Pertama[40]
Indonesia sebagai negara yang beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa mengakui bahwa ajaran Tuhan mengandung kebenaran mutlak
yang tak dapat salah. Oleh karena itu, kita harus mempelajari dan mengamalkan
apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada kita melalui ajaran agama. Semua ajaran
agama yang telah kita pelajari itu, sebaiknya perlu kita amalkan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tetapi situasi yang melanda bangsa kita
saat ini, yaitu semakin banyak orang yang mengabaikan ajaran-ajaran Tuhan
sehingga terjadi banyak penyimpangan terhadap sila pertama Pancasila.
Penyimpangan terhadap ideologi Pancasila
terjadi dalam berbagai bidang, khususnya yang paling menonjol adalah dalam
bidang politik[41].
Korupsi adalah bentuk penyimpangan terbesar dalam bidang politik yang melanggar
sila pertama Pancasila. Tindakan korupsi jelas bertentangan dengan agama.
Seharusnya aspek politik ini mampu memberikan panutan yang baik pada
masyarakat, sebab orang-orang yang berada dalam politik adalah ornag-orang yang
memegang amanat rakyat untuk menjalankan pemerintahan negara. Namun, mereka
telah gagal menjadi panutan rakyat karena mereka terjerat oleh skandal korupsi.
Para wakil rakyat saat ini tidak lagi bertujuan menyejahterakan rakyat, tetapi
mereka bertujuan memperkaya diri sendiri dengan jalan korupsi yang menyebabkan
rakyat semakin menderita. Tujuan memperkaya diri tersebut menjadi penyebab
utama maraknya korupsi dalam kalangan para wakil rakyat. Jika mereka bertujuan
menyejahterakan rakyat, kata “korupsi” mungkin tidak akan terdengar lagi
gemanya.
3.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab[42]
Kemanusiaan berasal dari kata manusia,
artinya makhluk berbudi yang memiliki pikiran, rasa, karsa, dan cipta. Oleh
karena itu, manusia memiliki martabat yang tinggi.
Adil mengandung arti bahwa suatu kebijakan
dan perilaku harus berlandaskan pada norma-norma yang obyektif. Dengan kata
lain dalam keadilan tidak berlaku paham subjektif dan tindakan yang
sewenang-wenang.
Beradab berasal dari kata adab, yang artinya
budaya. Maka, beradab berarti berbudaya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa
sikap hidup, keputusan, dan tindakan selalu berdasarkan nilai-nilai budaya,
khususnya norma sosial dan kesusilaan (moral). Istilah adab juga mencakup arti
kesopanan kesusilaan atau moral. Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan
kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat hakiki manusia
yang berbudi, sadar nilai, dan berbudaya.
Sila kedua ini hendak menempatkan manusia
sesuai dengan harkatnya sebagai makhluk Tuhan. Selain itu, rumusan sila ini mengungkapkan
pengakuan negara bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sederajat
dan sama terhadap undang-undang, memiliki kewajiban dan hak yang sama. Negara
menjamin hak dan kebebasan setiap warga negara yang menyangkut relasi dengan
Tuhan, negara dan masyarakat. Sila kedua ini juga menjamin kebebasan
berpendapat demi mencapai kehidupan yang layak sesuai
dengan hak-hak manusia.
3.1 Perwujudan
Sila Kedua[43]
Nilai yang terkandung dalam sila kedua ini, yaitu
nilai kemanusiaan. Demi menegakkan nilai kemanusiaan, pemerintah telah
mewujudkan sila kedua ini dalam bentuk pendirian Komnas HAM. Komnas HAM ini
didirikan dengan tujuan untuk membela dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia
sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia.
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas
HAM adalah sebuah lembaga mandiri di Indonesia
yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan fungsi
melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia. Komisi
ini berdiri sejak tahun 1993
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia. Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari Sidang
paripurna dan Subkomisi. Di samping itu, Komnas HAM mempunyai Sekretariat
Jenderal sebagai unsur pelayanan. Saat ini Komnas HAM diketuai oleh Otto Nur Abdullah.
3.2 Penyimpangan
Sila Kedua
Rumusan sila kedua Pancasila yang berbunyi: “Kemanusiaan yang adil dan beradab” belum
sepenuhnya terealisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Fakta kongkret di
lapangan masih banyak ditemukan bentuk penyimpangan terhadap sila kedua ini.
Contohnya: Tanggal 21 Februari 2013, Papua kembali memanas. Serangan kelompok
sipil bersenjata di dua tempat berbeda, yaitu di Tingginambut dan Sinak
menewaskan delapan prajurit dan dua warga sipil. Serangan juga melukai seorang
perwira dan menyebabkan seorang anggota TNI belum diketahui nasibnya.[44]
Fakta lain, yaitu kekerasan atas nama agama
masih kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia
di bawah kepemimpinan Soesilo Bambnag Yudhoyono dinilai gagal melindungi
kelompok-kelompok minoritas dari berbagai kekerasan atas nama agama. Presiden
kerap mewacanakan pentingnya menjaga kehidupan majemuk yang saling menghargai,
tetapi tidak sungguh-sungguh menegakkan hukum terhadap para pelaku kekerasan,
bahkan aparat keamanan justru cenderung membiarkan.[45]
Koordinator Badan
Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Haris Azar
mengatakan, aksi-aksi intoleran dan represi terhadap kelompok minoritas terus
terjadi pada awal 2013. Pada Januari hingga pertengahan Februari 2013, diduga
terjadi 18 insiden di delapan wilayah di Indonesia dengan bentuk tindakan
pembubaran, intimidasi, pengrusakan, dan pelarangan ibadah, contohnya bentuk
kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik 6 Februari 2011.[46]
Tindak kekerasan lain
yang masih hangat dalam ingatan kita, yaitu TNI menyerang dan membakar markas
Polisi di Baturaja, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Tanggal 8 Maret 2013,
Pk. 08.00 WIB, markas Polisi diserang dan dibakar oleh sekelompok anggota TNI
di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Kapolsek Martapura Komisaris Ridwan
terluka serius akibat diserang sejumlah oknum TNI. Sekitar 70 motor dan empat
mobil rusak.[47]
4.
Sila Ketiga:
Persatuan Indonesia
Persatuan berasal
dari kata satu, yang berarti utuh tidak terpecah belah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu
kebulatan.[48]
Pada hakikatnya, sila
Persatuan Indonesia mengandung prinsip nasionalisme cinta bangsa dan tanah air;
menggalang terus persatuan dan kesatuan bangsa. Prinsip persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara mengandung arti bahwa kita tidak membesar-besarkan perbedaan
suku, golongan, kepentingan, keyakinan, agama, dan segala perbedaan lain yang
tidak penting. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa;
sebaliknya membina tumbuhnya persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa yang
padu, tidak terpecah belah oleh sebab apapun.[49]
4.1 Perwujudan Sila Ketiga
Peristiwa Letusan
Gunung Merapi di Kaliurang menggerakkan banyak dari berbagai tempat di seluruh
nusantara dan kelompok untuk bersolider dengan masyarakat lereng Merapi. Mereka
membantu dalam wujud bantuan logistik, tenaga, uang, hiburan, siraman rohani,
dan doa. Perbedaan dan kemajemukan yang ada tidak menghalangi untuk bersolider
dan membangun persatuan serta persaudaraan antar agama.[50]
4.2 Penyimpangan Sila Ketiga
Jakarta, Kompas
melaporkan, ketentuan dan ketertinggalan wilayah perbatasan Republik Indonesia
merupakan produk warisan rezim Orde Baru. Pemerintahan rezim Orde Baru tidak
pernah membangun wilayah perbatasan. Pemerinatah saat inipun dinilai tidak
berbuat apa-apa untuk membangun daerah perbatasan tersebut. “Pulau
Sipadan-Ligitan lepas dari RI bukan karena kesalahan rezim Pasca Reformasi 1998,
pemerintah sudah tidak punya kekuatan untuk membangun wilayah perbatasan”, kata
peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabotinggi.
5.
Sila Keempat:
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan[51]
Kerakyatan berasal dari kata rakyat, yang artinya
sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah tertentu. Kerakyatan yang
terkandung dalam sila keempat ini adalah kekuasaan yang tertinggi berada di
tangan rakyat. Kerakyatan disebut dengan istilah kedaulatan rakyat atau
demokrasi.
Hikmat kebijaksanaan mengandung arti penggunaan
pikiran atau rasa yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan
kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan
bertanggungjawab. Semua sikap tersebut didorong oleh itikad baik berdasarkan
dengan hati nurani.
Permusyawaratan diartikan sebagai tata cara khas
kepribadian bangsa Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal
berdasarkan kehendak rakyat. Perumusan sebuah keputusan harus sampai tercapai
suatu keputusan yang berdasarkan mufakat.
Perwakilan merupakan suatu sistem arti tata cara
(prosedur) mengusahakan partisipasi rakyat dalam kehidupan bernegara, misalnya
dilakukan melalui badan-badan perwakilan. Jadi sila keempat ini secara umum
mengandung arti bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui sistem
perwakilan dan segala keputusan diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin
oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan maupun
kepada rakyat. Penjelmaan dalam sila keempat ini tidak lain adalah sistem
demokrasi.
5.1 Perwujudan Sila Keempat
Terbentuknya
MPR dan DPR merupakan bentuk perwujudan dari sila keempat. Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) adalah lembaga legislatif yang merupakan salah satu lembaga
tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang
sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.MPR didirikan atas dasar
Dekrit Presiden 5 Juli 1950.Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2
Tahun 1959
yang mengatur tentang ketentuan MPR.[52]
Sedangkan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga dirikan pada tahun 1950 dalam masa
pemerintahan Presiden Soekarno.Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah satu lembaga
tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan
rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih melalui pemilihan umum.[53]
Bentuk
perwujudan yang lain, yaitu Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila.
Secara etimologi, demokrasi berasal dari dua akar kata Yunani, yakni demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan atau kekuasaan).Demokrasi diartikan sebagai
sebuah bentuk kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[54]
Sistem
demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah demokrasi Pncasila.Demokrasi
Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah
hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya tertuang dalam pembukaan UUD 1945.[55]
5.2 Penyimpangan
Sila Keempat
Pengertian
demokrasi secara umum adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Fakta dalam praktik politik, demokrasi dijadikan slogan dan tameng
untuk melegitimasi pemerintahan otoritarianisme yang memotivasi kreativitas
warga masyarakat yang sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia.[56]
Demokrasi Pancasila yang
berjalan saat ini telam menyimpang dari prinsipnya. Prinsip demokrasi Pancasila
adalah memperhatikan kepentingan seluruh warga negara. Sebaliknya, ditemukan
fakta bahwa pemimpin yang meraih kekuasaan tidak lagi memperhatikan kepentingan
seluruh warga negara, melainkan untuk kepentingan pribadi atau golongan
tertentu, walaupun dengan cara melanggar hukum. Tindakan tersebut dapat dilihat
dari beberapa elite politik yang terlibat korupsi hingga menjalani proses
pengadilan.[57]
Bagian terpenting dalam sistem demokrasi Pancasila adalah partai politik,
yakni sebagai sarana sosialisasi, komunikasi dan rekruitmen politik. Faktanya,
partai politik belum berhasil menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Akibatnya
banyak partai politik melahirkan kader-kader yang tidak berkualitas dan
berwawasan nasional. Partai politik juga belum berhasil melahirkan para
pemimpin yang demokratis dan berpihak kepada rakyat. Akhirnya, demokrasi
sebagai sebuah cita-cita belum dapat diwujudkan oleh partai politik.[58]
Ironisnya lagi banyak parpol yang menrapkan politik uang untuk meraih
tujuan, cita-cita dan kekuasaan partainya. Seperti yang dimuat dalam Kompas
Indonesia Networking Election Survei. Dalam hasil surveinya melaporkan bahwa
ketertarikan dan kenal terhadap partai politik masih didasarkan kepada uang,
entah yang dibagik-bagikan saat kampanye maupun saat pemilu. Hal yang sangat
mengenaskan, yakni 50,3 persen responden memilih uang dalam memilih partai
politik. Partai politik gagal dalam mengenalkan program dan visinya. Ketua DPP
PAN, Bina Arya Sugianto mengatakan: “bila survey itu masih sungguh mewujudkan
potret masyrakat kita, berarti demokrasi kita telah rusak. Ini harus dievaluasi
secara keseluruhan.” Jika demokrasi ditentukan oleh uang, menurut dia
perjuangan demokrasi bangsa ini menjadi tergerus oleh pola-pola transaksional
mengenaskan.[59]
F. Budi Hardiman, seorang dosen Filsafat STF Driyarkara, Jakarta
mengemukakan pendapat lain berkaitan dengan demokrasi ini. Menurut
pengamatannya, demokrasi di Indonesia telah digerogoti oleh virus-virus
oligarki. Oligarki adalah sistem pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang
bermodal besar. Kekuasaan bukan lagi berada di tangan rakyat, melainkan berada
di tangan orang-orang konglomerat, khususnya kaum elite politik.[60]
6.
Sila Kelima: Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala
bidang kehidupan, baik material maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia
mengandung pengertian setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia, baik yang
berdiam di wilayah Indonesia maupun warga negara Indonesia yang berada di luar
negeri.[61]
Prinsip sila kelima ini menghendaki adanya kemakmuran yang merata diantara
seluruh rakyat; bukan merata yang statis melainkan merata yang dinamis dan meningkat.
Artinya, seluruh kekayaan alam Indonesia, seluruh potensi bangsa diolah secara
bersama-sama menurut kemmapuan dan bidang masing-masing. Kemudian dimanfaatkan
bagi kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial berarti harus melindungi yang lemah; hal ini bukan berarti yang
lemah boleh tidak bekerja dan sekedar menuntut perlindungan, melainkan
sebaliknya justru harus bekerja menurut kemampuan dan bidangnya. Perlindungan
yang diberikan adalah untuk mencegah kesewenang-wenangan dari yang kuat untuk
menjamin adanya keadilan.[62]
Realisasi daripada prinsip keadilan sosial tidak lain adalah dengan jalan
pembangunan yang benar-benar dapat dilaksanakan dan berguna serta dinikmati
oleh seluruh rakyat. Karena itu, kita harus meniadakan segala bentuk kepincangan
sosial dan kepincangan dalam pembangunan kekayaan nasional.[63]
6.1 Perwujudan
Sila Kelima
Sila kelima ini menjunjung tinggi nilai keadilan.
Pemerintah mendirikan Mahkamah Agung ini untuk menegakkan keadilan dalam hukum.
Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga
tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan
lainnya. Mahkamah ini didirikan pada tangga 18 Agustus 1945. Mahkamah Agung
membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.[64]
Tindak
korupsi merupakan bentuk ketidakjujuran dan ketidakadilan yang terjadi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia. Korupsi harus diberantas
sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu, pemerintah mendirikan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi,
atau disingkat menjadi KPK,
adalah komisi di Indonesia
yang dibentuk pada tahun 2003
untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di
Indonesia.
Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode 2006-2011 KPK dipimpin
bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit
Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK
ditolak oleh DPR. Pada 25 November 2010, M.
Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui
proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dilanjutkan lagi oleh Abraham Samad
sejak 2011.[65]
6.2
Penyimpangan Sila Kelima
Vonis ringan terhadap Angie
(Angelina Sondakh) dan koruptor lain adalah pukulan yang bisa melemahkan upaya
pemberantasan korupsi. Kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi dan dukungan
hampir seluruh lapisan masyarakat dilecehkan oleh keputusan hakim yang melawan
rasa keadilan. Ketidakadilan tidak hanya melanggar hak orang lain, tetapi juga
gagal meringankan penderitaan.[66]
Contoh lain, yakni kader muda
NU Jawa Barat dari sukarelawannya di daerah tentang adanya intimidasi dan
politik uang yang dilakukan oleh para calon gubernur dan wakil gubernur. Hampir
semua pasangan calon berjumlah lima itu diketahui melakukan pelanggaran yang
jenisnya bervariasi, antara lain dengan pemberian sembako, uang dan intimidasi
langsung kepada warga calon pemilih. “Kami menemukan pembagian unag Rp. 50.000
dalam amplop yang dilakukan tim Dede Yusuf-Lex Laksamana di Cirebon dan juga
ada pemaksaan kepada pengurus muslimat NU di Subang agar milih Dede-Lex. Jika
mereka tak milih diancam akan diberhentikan dari jabatannya.”, kata Muiz.[67]
BAB IV
PENUTUP
1. Rangkuman Umum
2. Refleksi Kritis
3. Relevansi
4. Status Kita Sebagai Anggota Gereja dan Negara
Bibliografi
Buku-buku
Abdul Muhaimin,
K.H. “Kemanusiaan Mengatasi Semua Perbedaan”, dalam J. Kristanto (ed.). et al. Dahsyatnya
Merapi Tak Sedahsyat Cinta-Mu”. Yogyakarta: Seminari Tinggi St. Paulus, 2011.
Bangun, Zakaria.
Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di
Indonesia. Medan: Bina Media Pratama, 2008.
Darmodiharjo,
Darji. “Pancasila Sebagai Filsafat dan Ideologi”, dalam Pancasila Dalam Pemikiran dan Pemasyarakatannya. Malang:
Laboratorium Pancasila IKIP, 1967-1983.
------- “Orientasi
Singkat Pancasila”, dalam Santiaji
Pancasila. Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.
Gunawan Setiarja, A. Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta:
Kanisius, 1983.
Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma, 20037.
Kansil, C.S.T. ‒
T. Kansil, Christine S. Pancasila dan UUD
1945. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.
Krissantono (ed.). Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila. Jakarta: CSIS, 1976.
Lembaga Soekarno
Hatta. Sejarah Lahirnya Undang-undang
Dasar 1945 dan Pancasila. Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.
Noer, Deliar. Ideologi Politik dan Pembangunan. Jakarta:
Yayasan Perkhidmatan, 1983.
Parmono, R.-Kartini. Pancasila Dasar Negara Indonesia. Yogyakarta:
Andi Offset, 1984.
Poespowardojo, Soerjanto. Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya. Jakarta:
Gramedia, 1989.
Soetoprawiro, Koerniatmanto. Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme. Jakarta ‒ Yogyakarta: Yayasan
Bhumiksara ‒ Kanisius, 2003.
Sumarsono, S. et al. Pendidikan
Kewarganegaraan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2006.
Syarbaini, Syahrial.
Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Media Massa
Budi Hardiman, F. “Dalam Moncong
Oligarki”, dalam Kompas (Jakarta),
Sabtu, 23 Februari 2013, hlm. 6, klm. 4.
Che, “Masyarakat
Tasikmalaya Ingin Damai”, dalam Kompas
(Jakarta), Selasa, 5 Februari 2013, hlm. 25, klm. 1.
Eng, “Uang Parpol Masih Jadi Pilihan
Rakyat”, dalam Kompas (Jakarta),
Selasa, 20 November 2012, hlm. 2, klm. 2-4.
Haryatmoko, “Rasa Keadilan Dilecehkan”,
dalam Kompas (Jakarta), Selasa, 29
Januari 2013, hlm. 6, klm. 2.
Iam, “Minoritas
Tidak Dilindungi”, dalam Kompas
(Jakarta), Jumat, 1 Maret 2013, hlm. 5, klm. 3.
------- “Politik Kehilangan Visi Perjuangan”, dalam Kompas (Jakarta), Rabu, 27 Februari
2013, hlm. 2, klm. 6
Ire, et al.,
“Tentara Bakar Markas Polisi”, dalam Kompas (Jakarta), Jumat, 8 Maret 2013,
hlm. 1, klm. 7.
Jos et al., “Papua Kembali Memanas”,
dalam Kompas (Jakarta), Jumat, 22
Februari 2013, hlm. 1, klm. 1-2.
Rek, “Intimidasi dan Politik Uang
Dilaporkan”, dalam Kompas (Jakarta),
Selasa, 22 Februari 2013, hlm. 25, klm. 3-4.
Media Elektronik
Aloysius Budi Kurniawan, Banyak Pelanggaran Terhadap Nilai-nilai Pancasila, http://nasional.kompas.com/banyak.pelanggaran.terhadap.nilai-nilai.Pancasila, 1 Juni 2012.
Wikipedia, Dewan Perwakilan Rakyat, http://id.wikipedia.org/dewan.perwakilan.rakyat, 28 Februari 2013
-------, Mahkamah Agung Indonesia, http://id.wikipedia.org/komisi.mahkamah.agung.Indonesia, 9 Maret 2013.
-------,
Komisi Pemberantasan Korupsi, http://id.wikipedia.org/komisi.pemberantasan.korupsi, 16 Juni 2012.
-------, Majelis Permusyawaratan Rakyat, http://id.wikipedia.org/majelis.permusyaratan.rakyat, 16 Februari 2013.
[2] C.S.T. Kansil-Christine S.T.
Kansil, Pancasila dan UUD 1945
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 27; bdk. Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 49.
[4] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 49; bdk. Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 113; bdk. juga
Darji Darmodiharjo, “Pancasila Sebagai Filsafat dan Ideologi”, dalam Pancasila Dalam Pemikiran dan
Pemasyarakatannya (Malang: Laboratorium Pancasila IKIP, 1967-1983), hlm.
34.
[6] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 113; bdk. A. Gunawan Setiarja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi
Pancasila (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 17-18; bdk. juga Soerjanto
Poespowardojo, Filsafat Pancasila: Sebuah
Pendekatan Sosio-Budaya (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 193-196.
[7] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 114; bdk. Deliar Noer, Ideologi Politik dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan,
1983), hlm. 30-32.
[9] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 123; bdk. C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil,
Pancasila ..., hlm. 1-2.
[10] Darji Darmodiharjo, Pancasila ..., hlm. 32; bdk. Syahrial
Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 50-51.
[14] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 52; bdk. Darji
Darmodiharjo, “Orientasi Singkat Pancasila”, dalam Santiaji Pancasila (Jakarta: Kurnia Esa, 19853), hlm.
133.
[15] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 52; bdk. C.S.T.
Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila
..., hlm. 29-30; bdk. juga Kaelan, Pendidikan
..., hlm. 112.
[20] Kapitalisme adalah suatu ideologi
yang memandang bahwa sistem ekonomi semata-mata hanya mementingkan modal guna
mendapatkan modal yang lebih besar lagi. Ciri khasnya adalah bahwa para
penguasa menguasai modal kepemilikan. Modal ini berhadapan dengan tenaga kerja.
[Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan
Kapitalisme Bukan Sosialisme (Jakarta - Yogyakarta: Yayasan Bhumiksara -
Kanisius, 2003), hlm. 95-96.]
[21] Komunisme menurut Karl Marx
adalah paham yang memandang manusia sebagai suatu hakikat yang menciptakan
dirinya sendiri dengan menghasilkan sarana-sarana kehidupan sehingga sangat
menentukan dalam perubahan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan agama.
Komunisme tidak mengakui eksistensi Tuhan. Segala sesuatu terpusat pada manusia
sendiri. Maka, komunisme mengandung
paham atheis. [Lihat Kaelan, Pendidikan
..., hlm. 146.]
[22] Kepentingan pribadinya akan
diselaraskan dengan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dengan pengertian
bahwa kewajibannya terhadap masyarakat hendaknya lebih diutamakan daripada
kepentingan pribadinya. [Lihat Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS,
1976), hlm. 44.]
[24] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 57; bdk. C.S.T.
Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ...,
hlm. 29; bdk. juga Kaelan, Pendidikan ...,
hlm. 144-145.
[29] C.S.T. Kansil-Christine S.T.
Kansil, Pancasila ..., hlm. 32; bdk.
Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 120.
[30] Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 120; bdk. C.S.T. Kansil-Christine S.T. Kansil,
Pancasila ..., hlm. 32.
[31] C.S.T. Kansil-Christine S.T.
Kansil, Pancasila ..., hlm. 33; bdk.
Kaelan, Pendidikan ..., hlm. 121.
[34] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 58; bdk. C.S.T.
Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ...,
hlm. 33-34.
[35] Syahrial Syarbaini, Pendidikan ..., hlm. 59; bdk. C.S.T.
Kansil-Christine S.T. Kansil, Pancasila ...,
hlm. 35-36.
[36] Lembaga Soekarno Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945
dan Pancasila (Jakarta: Inti Idayu Press, 1984), hlm. 98; bdk. Krissantono
(ed.), Pandangan ..., hlm. 26; bdk.
juga Darji Darmodiharjo, Orientasi
..., hlm. 37-38.
[38] Krissantono, (ed.), Pandangan ..., hlm. 27-28; bdk. Darji
Darmodiharjo, Orientasi ..., hlm. 39.
[39] Che,
“Masyarakat Tasikmalaya Ingin Damai”, dalam Kompas
(Jakarta), Selasa, 5 Februari 2013, hlm. 25, klm. 1.
[40] Aloysius Budi Kurniawan, Banyak Pelanggaran Terhadap Nilai-nilai
Pancasila, http://nasional.kompas.com/read/2012/06/01/banyak.pelanggaran.terhadap.nilai-nilai.Pancasila, 1 Juni 2012.
[41] Politik di Indonesia belakangan
ini semakin terjebak dalam kepentingan sempit dan sesaat. Sehingga semakin jauh
dari visi perjuangan untuk kemajuan bangsa. Panggung politik terus gaduh oleh
berbagai kasus, terutama kasus dugaan korupsi, tetapi tidak memberikan manfaat
bagi perbaikan kehidupan masyarakat. [Lihat Iam, “Politik Kehilangan Visi
Perjuangan”, dalam Kompas (Jakarta),
Rabu, 27 Februari 2013, hlm. 2, klm. 6.]
[42] Darji Darmodiharjo, ‘Orientasi
...”, hlm. 40-41; bdk. Krissantono (ed.), Pandangan
..., hlm. 39-40; bdk. juga R. Parmono-Kartini, Pancasila Dasar Negara Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1984),
hlm. 74-77.
[43] Wikipedia, Komnas HAM, http://id.wikipedia.org/komisi.nasional.hak.asasi.manusia, 5 Maret
2013.
[44] Jos et al., “Papua Kembali
Memanas”, dalam Kompas (Jakarta),
Jumat, 22 Februari 2013, hlm. 1, klm. 1-2.
[45]
Iam, “Minoritas Tidak Dilindungi”, dalam Kompas
(Jakarta), Jumat, 1 Maret 2013, hlm. 5, klm. 3.
[46]
Iam, “Minoritas …”, hlm. 5, klm. 4-7.
[47]
Ire, et al., “Tentara Bakar Markas Polisi”, dalam Kompas (Jakarta), Jumat, 8
Maret 2013, hlm. 1, klm. 7.
[48]
Darji Darmodiharjo, “Orientasi …”, hlm. 42.
[49]
Krissantono (ed.), Pandangan …, hlm.
48-49; bdk. Darji Darmodiharjo, “Orientasi …”, hlm. 43.
[50] K.H.
Abdul Muhaimin, “Kemanusiaan Mengatasi Semua Perbedaan”, dalam J. Kristanto
(ed.), et al., Dahsyatnya Merapi Tak
Sedahsyat Cinta-Mu (Yogyakarta: Seminari Tinggi St. Paulus, 2011), hlm.
101.
[51] Darji Darmodiharjo, “Orientasi
...”, hlm. 44.
[52] Wikipedia, Majelis Permusyawaratan Rakyat, http://id.wikipedia.org/majelis.permusyaratan.rakyat, 16
Februari 2013.
[53] Wikipedia, Dewan Perwakilan Rakyat, http://id.wikipedia.org/dewan.perwakilan.rakyat, 28
Februari 2013
[54]
S. Sumarsono et al., Pendidikan
Kewarganegaraan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2006), hlm. 19.
[55]
Darji Darmodiharjo, “Orientasi …”, hlm. 81.
[56] Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di
Indonesia (Medan: Bina Media Pratama, 2008), hlm. 25.
[59] Eng, “Uang Parpol Masih Jadi
Pilihan Rakyat”, dalam Kompas (Jakarta),
Selasa, 20 November 2012, hlm. 2, klm. 2-4.
[60] F. Budi Hardiman, “Dalam Moncong
Oligarki”, dalam Kompas (Jakarta),
Sabtu, 23 Februari 2013, hlm. 6, klm. 4.
[64] Wikipedia,
Mahkamah Agung Indonesia, http://id.wikipedia.org/komisi.mahkamah.agung.Indonesia, 9 Maret 2013.
[65] Wikipedia,
Komisi Pemberantasan Korupsi, http://id.wikipedia.org/komisi.pemberantasan.korupsi, 16 Juni 2012.
[66] Haryatmoko, “Rasa Keadilan
Dilecehkan”, dalam Kompas (Jakarta),
Selasa, 29 Januari 2013, hlm. 6, klm. 2.
[67] Rek, “Intimidasi dan Politik Uang
Dilaporkan”, dalam Kompas (Jakarta),
Selasa, 22 Februari 2013, hlm. 25, klm. 3-4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar