Sabtu, 21 Januari 2012

SURAT APOSTOLIK “NOVO MILLENNIO INEUNTE”




Resensi Buku

SURAT APOSTOLIK
“NOVO MILLENNIO INEUNTE”

(Pada Awal Milenium Baru)


KEPADA PARA USKUP, KLERUS DAN UMAT AWAM
PADA PENUTUPAN YUBILEUM AGUNG TAHUN 2000



Diterjemahkan dari Teks Inggris dan Jerman oleh Piet Go o. Carm.


Oleh:
Andreas Eko Wahyudianto
110510001


FAKULTAS Filsafat
Universitas Katolik St. Thomas
Sinaksak – Pematangsiantar- SUMUT
2010/2011


Pada Awal Milenium Baru

Awal milenium baru dan pada penutupan Yubileum Agung ini, Bapa Paus Yohanes Paulus II mengajak kita umat Allah untuk memulai masa baru dengan berlandasan pada sabda Yesus: “Bertolak ke tempat yang dalam”(Luk 5:4). Duc in altum ! Mengajak kita mengenangkan masa lampau dengan penuh syukur serta menghayati masa sekarang ini penuh antusiasme dan menatap masa depan penuh kepercayaan: “Yesus Kristus itu yang sama kemarin dan hari ini serta selamanya(Ibr 13:8)”. Sementara kita merayakan kelahiran Yesus ke 2000, mulailah tahap-tahap baru bagi perjalanan Gereja. Perjalanan ini sungguh amat dikuatkan melalui sabda Yesus ketika Ia berada di atas perahu Simon: “duc in altum” (Luk 5:4).
            Pada tahun 2000 Gereja sungguh bergembira dengan memandang wajah Tuhan sebagai permenungan masa depan. Gereja menjadi umat peziarah yang dituntun oleh Dia, “gembala Agung” (Ibr 13:20). Dalam penghayatan melalui kacamata iman, tahun Yubelium ini bukan hanya sebagai kenangan masa lampau, tetapi juga sebagai nubuat masa depan. Dengan demikian perlulah bagi kita untuk memanfaatkan kepenuhan Rahmat Allah sebagai modal dan semangat dalam menapaki perjalanan baru ini. Hanya dalam diri Allahlah cahaya terang dipancarkan dan kegelapan disingkirkan.













BAB I
MENJUMPAI KRISTUS PUSAKA–WARISAN YUBILEUM  AGUNG

Dengan Yubileum ini, Bapa Paus Yohanes Paulus II berharap kepada kita semua bahwa, perayaan ini dihayati sebagai “Suatu kidung syukur terima kasih yang tiada hentinya kepada Tritunggal”, serta sebagai perjalanan perdamaian. Serta tanda harapan yang sejati bagi semua orang yang mengarahkan pandangan kepada Kristus beserta Gerejanya. Dengan demikian, tahun Yubileum ini mampu membawa kita pada penghayatan akan kehadiran Allah yang penuh kerahiman pada tahun yang silam tepatnya sepanjang 2000 tahun yang lalu hingga saat ini.

Setelah Genap Waktunya
Dibukanya Milenium baru diharapkan dapat membantu umat supaya lebih menyadari misteri Kristus dalam cakrawala Agung sejarah keselamatan. Hidup Kristiani itu berurat-akar dalam sejarah. Dan dapat dimengerti bahwa dalam misteri ilahi dan insani-Nya, Kristus-lah sumber dan pusat sejarah. Sebagaimana dikatakan  bahwa melalui Dia, Sabda dan citra Bapa, “Segala sesuatu dijadikan” (Yoh 1:3; bdk Kol 1:15). “kepada-Mulah, Yesus Kristus, Kemuliaan, sebab Engkau meraja hari ini dan selamanya”. Melalui pujian ini, kita telah mengkontemplasikan Kristus seperti Ia ditampilkan dalam kitab Wahyu “Aku inilah Alfa dan Omega, yang pertama dan yang kemudian, yang awal dan yang akhir” (Why 22:23).

 Penjernihan Kenangan
            Untuk menjernihkan misi dalam kontemplasi itu, umat diajak terutama dalam tahun Yubileum ini, dengan tegas-tandas ditandai dengan “permohonan pengampunan.” Hal ini, berlaku tidak hanya untuk perorangan melainkan untuk semua anggota Gereja. “penjernihan kenangan” merupakan suatu langkah untuk meneguhkan dalam perjalanan menuju masa depan, serta menjadikan kita lebih rendah hati dan bersikap waspada dalam cara kita mencari Injil.

 Saksi-saksi Iman
            Kesadaran pertobatan tidak mencegah kita memanjatkan syukur kepada Tuhan atas semua yang telah dilaksanakan-Nya di setiap abad. Terutama dalam karunia yang Ia berikan kepada Gereja-Nya atas Laskar Agung para martir dan para Kudus. Bagi sebagian di antara mereka tahun Yubileum telah merupakan tahun beratifikasi atau kanonisasi mereka Dalam tahun Yubileum ini, Gereja telah mengusahakan untuk menghimpun kenangan-kenangan amat berharga akan saksi-saksi iman dalam abad 20.
 Bersama dengan para wakil Gereja-gereja lain dan jemaat-jemaat Gerejawi mengenang mereka secara khusus pada tgl. 7 Maret 2000, dalam lingkungan koloseum. Hal ini tidak lain sebagai modal untuk membangkitkan kenangan lambang penganiayaan pada masa kuno yang membawa pada kekudusan. Itulah yang menjadi pusaka warisan yang tidak boleh hilang dalam hidup Gereja serta hendaknya menjadi contoh teladan bagi kita semua.

Gereja Peziarah
            Banyak peziarah telah datang ke Roma dalam gelombang yang silih berganti ke makam para Rasul. Kedatangan mereka merupakan kesadaran untuk merasa perlu mengikrarkan iman, mengakui kesalahan-kasalahan, dan menerima kerahiman yang menyelamatkan. Peristiwa ini menjadi pemahaman yang mengarah pada penghayatan iman dalam nama Allah. Sikap yang mereka tunjukkan merupakan wujud citra konkret Gereja peziarah. Gereja berjalan dalam terang iman untuk mencari dan menemukan kekudusan dalam diri Kristus melalui teladan para gembala kudus umat-Nya.

Kaum Muda
            Kaum muda mempunyai ruang yang fundamental dalam Gereja, baik dalam perkembangan maupun generasi bagi masa depan Gereja. Kaum muda telah menunjukan intensitasnya secara khusus sebagai bagian dari anugerah istimewa Roh Allah. Ada kalanya bila kita perhatikan generasi muda beserta masalah dan kelemahan yang menandai mereka dalam masyarakat sekarang ini seakan-akan membuat kita cenderung  menjadi pesimis. Akan tetapi Yubileum kaum muda mengubah hal itu, bahwa segala keraguan-keraguan terhadap mereka mempunyai dambaan yang mendalam akan nilai sejati yang ditemukan kepenuhannya dalam diri Kristus.
Kristus adalah rahasia kebebasan yang sejati dan kegembiraan hati yang mendalam. Kristus adalah sahabat serta guru persaudaraan yang sejati. Oleh karena itu, sambil menanggapi antusiasme mereka seraya mengajak kaum muda untuk menentukan pilihan radikal tentang iman dan hidup, serta menyampaikan kepada mereka akan tugas yang mengagumkan, yaitu menjadi “pengawal-pengawal pagi” (bdk Yes 21:11-12) pada penyingsingan fajar milenium baru.

Kemacam-ragaman Para Peziarah 
 “Biarkan anak-anak datang kepada-Ku” (Muk 10:14). Barangkali, bahkan lebih lagi, itu berarti melakukan apa yang telah dilakukan-Nya. Ketika Ia menaruh anak kecil di tengah para murid-Nya dan menjadikannya sikap yang harus ada pada diri kita bila kita ingin memasuki kerajaan Allah (bdk Mat 18:2-4). Dalam arti tertentu, mengikuti jejak anak-anaklah semua kelompok umat dewasa yang beraneka ragam datang mencari rahmat Yubileum: dari orang-orang lanjut usia, hingga mereka yang sakit dan menyandang cacat, dari kaum buruh dan petani sampai kaum olah-ragawan, dari para seniman sampai para warga hidup bakti, dari kaum berpolitik dan para wartawan hingga tenaga-tenaga militer. Kedatangan mereka juga dimengerti sebagai sebagai bentuk peneguhan makna pelayanan mereka sebagai pengabdian kepada damai yang bermuara pada diri Allah.

Kongres Ekaristi Internasional
Kongres Ekaristi Internasional dimaksudkan supaya mempunyai relevansi yang istimewa. Karena Ekaristi merupakan korban Kristus yang dihadirkan di antara kita. Sekarang, bagaimanakah mungkin kehadiran-Nya yang nyata tidak merupakan pusat tahun suci yang dipersembahkan pada penjelmaan sabda? Tahun itu memang dimaksudkan justru karena alasan itu, yakni untuk menjadi “Intensif  Ekaristi”, dan begitulah kita berusaha menghayatinya. Sekaligus bersamaan dengan kenangan kelahiran Putera, bagaimana mungkin kenangan akan Ibunda dapat terabaikan? Maria hadir dalam perayaan Yubileum tidak hanya sebagai tema pertemuan-pertemuan bermutu tinggi, terutama dalam tidakan Agung kepercayaan kepada rengkuh keibuannya dalam hidup kaum pria maupun wanita abad millenium baru.

 Dimensi Ekumenis
            Pada tahun Yubileum ini, Bapa Paus dalam surat Apostoliknya menggarisbawahi peranan Gereja terhadap aspek ekumenis. Bahwa banyak usaha telah dijalankan dalam perspektif itu. Salah satu tonggak sejarahnya ialah pertemuan Ekumenis dalam Gereja Basilika St. Paulus pada 18 Januari 2000. Pertemuan ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah yang berarti suatu pintu suci telah dibuka bersama. Pertemuan ini dihadiri oleh utusan-utusan Gereja-gereja dan jemaan-jemaat Gerejawi dari seluruh dunia. ada juga pertemuan-pertemuan lain yang relevan dengan para patriark Ortodoksi dan kepala-kepala serta dimensi-dimensi lainnya. Perjalanan ekumenis pasti masih sukar dan barangkali akan berjalan lama. Tetapi semua itu bukan menjadi hambatan yang melemahkan. Kita akan selalu didorong oleh harapan, berkat tuntunan kehadiran Dia yang bangkit mulia dan kekuatan Roh-Nya senantiasa mampu menimbulkan kejutan-kejutan yang baru.

 Ziarah Ke Tanah Suci
            Ziarah mempunyai arti yang tidak biasa, bukan sekedar jalan-jalan atau menikmati fenomena nyata, tetapi ziarah mempunyai arti ungkapan iman melalui kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap suci atau sakral. Di sana kita dapat memperoleh sesuatu yang baru yakni perasaan iman yang ditunjukkan atas fakta sejarah iman. Melalui perziarahan tersebut, orang merasa dikuatkan dan semakin dimantapkan imannya. Ziarah adalah bentuk kedua dari penghayatan iman. Bapa Yohanes Paulus II juga mengungkapkan arti ziarah sebagai momen persaudaraan dan damai serta mengenangkannya sebagai salah satu karunia yang amat indah dalam seluruh peristiwa Yubileum. Di samping itu, ia juga mengungkapkan kerinduan yang mendalam akan solusi yang tepat dan adil bagi masalah-masalah tempat kudus yang belum teratasi.

Utang Internasional
            Yubileum merupakan peristiwa agung cinta kasih yang hendak dirasakan oleh segenap umat Allah. Dalam tahun Yubileum ini, sangat diharapkan perhatian yang lebih besar dan lebih cermat terhadap persoalan kemiskinan yang masih meliputi dunia. Masalah utang nasional negeri-negeri yang miskin mempunyai relevansi yang istimewa dalam konteks itu. tindakan-tindakan kebesaran jiwa terhadap masalah negeri-negeri itu memang selaras dengan semangat Yubileum sendiri. Dalam lingkungan Alkitabiah, yang relevan justru merupakan momen jemaat yang menyanggupkan diri untuk membangun ulang keadilan dan solidaritas. Diharapkan melalui milenium baru ini, para anggota-anggota dewan pemerintahan berpikir ulang untuk mencari jalan keluar dalam hal pelunasan utang negara. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi perkembangan kenegaraan tersebut, hingga kedamaian atau kesejahteraan dalam lingkup masyarakat kecil bahkan seluruh lapisan masyarakat negara tersebut.

Energi-energi Baru
            perayaan Yubileum secara langsung telah meninggalkan bagi kita sekian banyak kenangan-kenangan. Akan tetapi intipati yang paling mendasar dalam kaitannya dengan pusaka warisan agung yang ditinggalkan yakni dalam mengkontemplasikan wajah Kristus. Kristus yang dipandang dalam ciri-ciri historis-Nya dan dalam misteri-Nya, Kristus yang dikenal melalui berbagai cara kehadira-Nya dalam Gereja dan dunia, diikrarkan sebagai makna sejarah dan terang perjalanan hidup. Sekarang ini kita harus dapat memandang masa depan. Kita harus “bertolak ketempat yang dalam” sambil mempercayai sabda Kristus: “Duc in altum”. Apa yang yang tahun ini sudah kita jalankan tidak dapat membenarkan rasa puas, apalagi hingga padakekendoran komitmen kita. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman kita hendaklah menginspirasikan dalam batin kita energi yang baru. Serta mendorong kita untuk menanam dan menumbuhkan dalam inisiatif-inisiatif konkrit entusiasme yang telah kita rsakan. Yesus sendiri mengingatkan kita: “setiap orang yang siap membajak dan menoleh kebelakang, tidak layak untuk kerajaan Allah (luk 9:62).”
Dalam hal ini kita diajak untuk tidak merasa tenang-tenang saja dengan sikap malas. Akan tetapi hendaklah kita dengan antusias melangkah kedepan yang diakarkan dalam kontemplasi dan doa. Kita sekarang dihadapkan dalam masa bergerak tanpa henti yang sering mengantarkan kita pada sikap tidak beristirahat dengan resiko “bekerja demi kerajaan surga. Akan tetapi kita harus sanggup menolak pencobaab itu dengan mencoba “berada sebelum berusaha bertindak.”








BAB II
WAJAH UNTUK DIKOTEMPLASIKAN

            Kotemplasi merupakan metode penghayatan yang amat membantu dalam penghayatan iman umat Allah. Jelas Yubileum Agung telah membantu kita melaksanakan itu secara lebih mendalam. Wajah Kristus dihadirkan sebagai bentuk kontemplasi yang bertunas pada kemantapan iman yang sejati. Menjelang akhir Yubileum, sementara kita menekuni rutinitas yang biasa, tersimpan di hati kita harta karun yang sangt istimewa yakni pandangan kita yang semakin jelas dan tegas dalam keterarahan kepada wajah Tuhan.

 Kesaksian Injil-injil
            Kotemplasi wajah Kristus diinspirasikan kepada kita melalui segala sesuatu yang ada dalam Kitab Suci. Alkitab telah sejak awal hingga akhir dirasuki oleh misteri-Nya yang secara tersingkap diperlambangkan dalam Perjanjian Lama dan diwahyukan penuh dalam Perjanjian Baru. St. Hietonimus dapat dengan tegas menyatakan: “tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus.” Sementara tetap teguh berakar dalam kitab suci, kita membuka diri bagi karya Roh Kudus (bdk. Yoh 15:26) sebab dari padanyalah nas-nas Kitab Suci menjabarkan asalnya. Kisah-kisah dalam Injil memberi kesaksian yang menguatkan iman akan Allah dalam diri Yesus. Hal ini jelas terasa sesua yang dialami para Rasul. Mereka menjadi saksi akan kebenaran yang secara langsung diwartakan oleh Yesus. Dari pada-Nyalah mereka menerima karunia Roh (bdk. Yoh 20:22), serta perintah untuk mewartakan Injil kepada semua bangsa (Mat 28:19). Injil-injil tidak menjelaskan kisah Yesus secara historis, melainkan dari kitab-kitab itu wajah pribadi dari Nazaret muncul berdasarkan landasan historis yang sungguh mantap. Begitu juga para pengarang Injil berusaha membawakan Dia berdasarkan kesaksian-kesaksian yang mereka rangkumkan (bdk. Luk 1:3), dan menggunakan dokumen-dokumen yang diserahkan pada penyelidik Gerejawi secara akurat dan seksama.
           
            Hidup Iman
Iman secara harafiah diartikan sebagai ungkapan percaya. Akan tetapi nyatanya dalam hidup, kita sering meragukan kepercayaan yang sejak awal kita bangun. Keraguan itu timbul bukan dari Dia yang kita percayai namun justru dari diri kita sendiri. Hal ini seperti terungkap pada diri para Rasul, misalnya peristiwa perjalanan ke Emaus dan Thomas yang meragukan kebangkitan Yesus. Kita tidak dapat menggapai pemenuhan kotemplasi akan wajah Tuhan melalui usaha-usaha kita sendiri semata. Maka hendaklah kita mempersilahkan rahmat Allah hadir bersama kita. Hanya melalui pengalaman berdiam diri dan berdoalah menjadi sarana untuk menyediakan lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan pengertian yang sejati, setia, konsisten akan misteri kerahiman Allah. Sabda Allah telah menjadi sumber iman yang memampukan kita untuk mengerti dan mengkontemplasikan wajah Kristus menjadi iman yang sejati. Sikap percaya akan penyelenggaraan ilahi Allah, menjadi tolak ukur pencapaian iman kita yang sesungguhnya.

Kedalaman Misteri
            Yesus adalah Allah yang juga manusia “satu pribadi dalam dua kodrat”. Itulah pribadi dan hanya itulah Sabda kekal, Putera Bapa.      Kehadiran Kristus menggambarkan kehadiran Bapa dalam diri-Nya.Kristus yang adalah Allah menjadi misteri keagungan sang Ilahi. Di lain pihak, perendahan Yesus yang adalah Putera Allah dan yang adalah Allah bukan tujuan dalam dirinya; Ia terarah pada pemuliaan penuh Kristus, bahkan dalam kemanusiaan-Nya”. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus ialah Tuhan; bagi kemulaan Allah Bapa.

Wajah Sang Putera
            Dalam peristiwa ketika Yesus masih berumur 12 tahun yang berada di Kenisah Yerusalem, Yesus dimengerti sebagai pribadi Allah yang hidup.. Sudah pada saat itulah Ia menampakkan betapa Ia menyadari hubungan unik dengan Allah, dan hubungan itu khusus ada pada seorang “putera”. Ketika maria dan Yusuf menyampaikan kepada-Nya betapa mereka gelisah mencari-Nya, justru yesus menjawab tanpa ragu-ragu; “mengapa kamu mencari Aku” tidakkkah kamu tahu bahwa Aku harus berada dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk 2:49). Bahkan Yesus sendiri tidakn ragu mengatakan: “Bapa ada dalam diri-Ku dan Aku ada dalam Bapaku” (Yoh 10:38).Kesadaran manusiawi dalam diri Yesus akan misteri-Nya sendiri, telah berkembang menuju ungkapan yang paling penuh dalam kemanusiaan-Nya yang dimuliakan. Yesus menyadari jati diri-Nya sebagai Putera Allah bahkan dalam drama wafat dan sengsaranyapun tidak mampu menggoyahkan kepastian-Nya yang menyatakan bahwa Ia adalah Putera Bapa di surga.

Wajah Dukacita
            Dalam upaya mengkontemplasi wajah Kristus, kita berkonfrontasi dengan aspek misteri-Nya yang paling paradoksal, yakni ketika saat terakhirnya di Kayu Salib. Di sanalah kehadiran Kristus dilambangkan sebagai penebusan dosa manusia. Teriakan Yesus di salib, bukan merupakan kecemasan manusia yang tanpa harapan, melainkan doa sang Putera yang mengorbankan hidup-Nya kepada Bapa dalam cinta-kasih demi keselamatan seluruh umat manusia. Dosa-doasa manusia Ia tinggalkan bersama kematian-Nya kemudian dalam keadaan kudus, ia duduk bersama Bapa di dalam kerajaan Surga. Melebihi pengalaman rasa sakit fisik, sengsara Yesus merupakan penderitaan penuh sakrat maut dalam jiwa-Nya. Dalam tradisi Teologis tidaklah luput menanyakan: bagaimanakah mungkin Yesus mengalami sekaligus kesatuan-Nya yang mendalam dengan Bapa, yang menurut hakikatnya ialah sumber kegembiraan dan kebahagiaan, serta sakrat maut yang berlangsung sampai Ia merasa ditinggalkan dalam wafat-Nya di kayu salib. Kedua aspek yang berlawanan itu agaknya berakar pada kedalaman yang tiada terduga.

Wajah Dia yang Bangkit Mulia
            Dalam masa paskah yaitu ketika jumat agung dan sabtu paskah, secara khusus Gereja mengenangkan dalam penghayatan wafatnya Yesus di kayu salib. Tetapi kontemplasi permenungan wajah Kristus tidak dapat berhenti sampai disitu. Kristus itulah Dia yang bangkit mulia. Kebangkitan merupakan Jawaban Bapa kepada ketaatan Kistus. Hal ini juga dapat dimaknai sebagai puncak iman yang sejati. Dengan kata lain kebangkitan Kristus adalah puncak penghayatan iman Kristiani.  Kepada Kristus yang bangkit itulah, Gereja sekarang mengarahkan pandangannya. Kebangkitan Kristus memberi kebebasan selaras dengan tema utama kehendak Bapa bagi umatnya. Memang manislah Yesus yang dikenangkan dalam kebangkitan-Nya sebagai sumber kegembiraan hati yang sesungguhnya disemangati oleh pengalaman itulah Gereja sekarang kembali menempuh perjalanannya untuk mewartakan Kristus kepada dunia, terutama dalam semangat milenium baru ini.


BAB III
MEMULAI SEGERA DARI KRISTUS

            Sabda “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”  kiranya mengiringi Gereja selama perziarahannya. Rumusan-rumusan dalam kitab suci yang menyatakan janji-janji Allah, merupakan pedoman utama yang menjamin hidup kita melalui pribadi sang Putra. Yubileum telah memberi kita peluang yang luar biasa untuk bepergian bersama dalam sejumlah tahun-tahun dalam perjalanan yang umum bagi seluruh Gereja. Suatu perjalanan kateketis tentang tema Tritunggal, disertai oleh usaha-usaha pastoral yang tepat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin supaya Yubileum sungguh merupakan peristiwa atau momen yang subur. Tetapi sekarang ini bukan tujuan langsung yang kita hadapi, tetapi tantangan yang lebih meluas dan menuntut lebih banyak dari kegiatan pastoral yang biasa.
            Prioritas Gereja saat ini adalah berusaha meneropong karya revitalisasi pastoral yang sungguh menggairahkan, dan karya ini melibatkan secara penuh anggota Gereja seluruhnya. Pengalaman Yubileum Agung terikat langsung sebagai pedoman akan dorongan bagi kita semua dalam menentukan prioritas-prioritas pastoral yang berlandaskan pada semangat iman Kristus.

            Kekudusan
            Berkaitan dengan program pastoral yang hendak ditempuh, sangatlah penting menempatkan aspek kekudusan. Hal ini juga merupakan maksud inti dalam indulgensi Yubileum, sebagai rahmat istimewa yang oleh Kristus ditawarkan agar hidup setiap pribadi yang dibaptis, dapat dijernihkan dan diperbaharui secara mendalam.
            Oleh karena itu perlulah menemukan ulang relevansi penuh yang praktis dalam Bab 5 Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja yang diperuntukkan bagi “panggilan universal untuk kesucian”. Anggota Gereja yang sudah dibaptis, secara khusus memperoleh anugerah kekudusan dari Allah. Akan tetapi, pada dasarnya anugerah itu menjadi tugas yang harus membentuk keseluruhan hidup Kristiani : “inilah kehendak Allah: pengudusanmu” (1 Tes 4:3). Tugas ini merupakan kehendak mutlak yang harus ditanggung bukan hanya perorangan, melainkan seluruh lapisan jemaat Gereja Kristen. Disamping sebagai kekudusan hidup Kristiani, hal ini juga menuntut kita dalam menuju aspek kesempurnaan cinta kasih”.
            Dalam iman Kristiani, Sakramen Baptis dimaknai sebagai jalan masuk dalam kesejatian kekudusan Allah, melalui inkorporasi dalam diri Kristus bersama kediaman Roh-Nya. Akan tetapi yang perlu dipahami juga bahwa, jalan-jalan menuju kekudusan bersifat pribadi, serta memerlukan “pelatihan dalam kekudusan” yang sejati dan disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan umat manusia. Pelatihan-pelatihan itu dapat berbentuk metode pengintegrasian sumber-sumber daya yang ditawarkan dalam tiap individu maupun kelompok. Begitu pula bentuk-bentuk dukungan yang ditawarkan dalam gerakan-gerakan yang diakui oleh Gereja.

Doa
            Dalam pelatihan kekudusan sangat diperlukan hidup Kristiani yang berciri khas terutama dalam seni doa. Tahun Yubileum merupakan tahun doa yang lebih intensif, baik personal maupun komunal. Akan tetapi perlu diketahui bahwa doa tidak dapat diterima begitu saja. Kita harus belajar berdoa: seakan-akan belajar seni yang bersumber dari sang Guru Ilahi, seperti halnya para Rasul “Tuhan, ajarilah kami berdoa” (Luk 11:1).
            Doa bukanlah sekedar rutinitas sebagai seorang beriman, tetapi doa dapat membawa kita pada suatu hubungan yang intim dengan Tuhan. Selain itu, doa merupakan dialog cinta kasih setulus hati, hingga penyerahan pribadi seluruhnya kepada sang Ilahi yang bergetar pada Roh dan dikonfrontasikan ke dalam hati Bapa.
            Doa yang merupakan perjumpaan pribadi dengan Kristus, bukan melulu sebagai sarana untuk memohon bantuan. Tetapi juga sebagai sarana untuk memanjatkan syukur, pujian, sembah sujud, kontemplasi, sikap mendengarkan, dan devosi yang menyala sampai pada penghayatan hati yang terwujud dalam cinta.

Ekaristi Hari Minggu
Liturgi merupakan puncak karya kegiatan Gereja dan sekaligus dari sumber itulah berasal seluruh kekuatan iman (SC 10). Dalam abad ke-20, khususnya sejak Konsili, telah berlangsung perkembangan yang besar dalam cara jemaat Kristiani merayakan sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi. Ekaristi hari Minggu merupakan hari istimewa iman, hari Tuhan yang bangkit mulia dan hari anugerah Roh, serta paskah mingguan yang sesungguhnya. Berkaitan dengan misteri Paskah, kebangkitan Kristus dimaknai sebagai landasan bagi iman Kristiani (bdk, 1 Kor 15:14).Perayaan Ekaristi pada hari minggu, menjadi ciri khas perayaan paskah yang dilakukan setiap hari minggu. Gereja akan terus menerus menampilkan kepada setiap generasi “tonggak sejati sejarah, yang kepadanya misteri awal-mula dunia dan tujuan akhir ditampakkan”. Ekaristi dapat diartikan sebagai perayaan hari Tuhan. Perayaan ini merupakan perayaan umat yang terhimpun sebagai keluarga Allah mengelilingi meja persembahan dan Roti Hidup. Melalui keikut sertaan dalam merayakan Ekaristi, Gereja dapat secara efektif menunaikan peranan sebagai sakramen persatuan.

wayang kulit filosofi orang jawa


WAYANG KULIT SEBAGAI FILOSOFI JAWA

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Letak Geografis
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau Jawa memiliki panjang 1100 km dan lebar 120 km. Luasnya kira-kira 132.187 km2. Termasuk Madura, hanya sekitar 7% dari seluruh tanah di Indonesia.
Pulau Jawa merupakan pertemuan dua lempeng besar sehingga memiliki dataran rendah dan tinggi. Cukup banyak gunung berapi yang menyababkan tanah di dataran rendah subur., Suhu rata-rata di dataran rendah berkisar antara 26-27 derajat celcius. Kelembapan udara rata-rata 86 % pada bulan basah dan 73 % pada bulan kering. Pulau Jawa tidak mengenal musim dingin dan musim panas, tetapi ada perbedaan yang jelas antara musim hujan dan musim kering walaupun pada musim kering masih ada hujan.
Pada zaman dahulu, Jawa pernah ditutupi hutan tropis, tetapi karena semakin padatnya penduduk, hutan perlahan-lahan menyusut. sekarang hanya sebagian kecil daerah yang memiliki hutan, yaitu di puncak gunung-gunung.[1]

B.  Panorama Suku
Orang Jawa dianggap sebagai keturunan imigran Melayu yang berasal dari Cina Selatan. Mereka mungkin datang pada tahun 3000 SM. Orang Melayu itu pada mulanya adalah petani. Mereka juga sudah mempunyai bentuk organisasi desa yang tinggi (beradab), mungkin mereka sudah mempunyai kepala desa dan hidup dalam kelompok.

C.  Bahasa - Penyebaran Suku – Ekonomi
Orang yang dapat disebut sebagai orang Jawa adalah orang yang menggunakan ‘bahasa ibu’ dengan bahasa Jawa. Meskipun kesenian wayang berkembang seturut pemakaian bahasa Jawa, kesenian wayang juga berkembang di Bali, Lombok, dan Banjar dengan menggunakan bahasa setempat / lokal.
Orang Jawa membedakan diri menjadi dua golongan yaitu wong cilik dan kaum priyayi. kebanyakan wong cilik yang hidup di lereng pegunungan sebagai petani, sedangkan yang tinggal di tepi pantai sebagian besar adalah nelayan. Golongan kaum priayi adalah para pegawai dan kaum intelektual yang bekerja di pemerintahan. Dan ada kaum yang disebut kaum bangsawan.[2]

D.  Agama
Masuknya berbagai agama di Indonesia juga mempengaruhi perkembangan wayang dari zaman ke zaman. Kepercayaan Kejawen sebagai agama asli orang Jawa pun turut menjadi awal perkembangan wayang, menyusul agama Hindu – Jawa, Islam.


                                                             














BAB II.
SENI WAYANG PURWA

A.  Pengertian wayang[3]
Kesenian wayang adalah salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia khususnya kebudayaan Jawa. Wayang adalah sebuah pertunjukan, karena wayang dipertontonkan atau dipertunjukkan di depan umum. Kata wayang dalam bahasa Jawa berarti bayang-bayang. Cerita yang mengisinya disebut dengan lakon, yang berarti mlaku atau berjalan.menurut alur cerita yang dikisahkan. Ceritanya diambil dari buku Ramayana yang menceritakan tentang Sri Rama dan buku Mahabarata yang berkisah tentang perselisihan antara keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa, atau dari buku-buku Jawa kuno lainnya.
Manusia Jawa sangat suka menggunakan lambang atau simbol. Demikian pula termaksud di dalamnya dengan kesenian wayang itu sendiri.
Beberapa macam wayang yang hinga kini masih dikenal dikalangan masyarakat umum:
1.    Wayang krucil atau klitik: terbuat dari kayu namun tangannya terbuat dari kulit. Manusia tergambar miring, untuk raksasa agak terlihat dari depan sehingga kedua matanya dapat terlihat.
2.    Wayang golek: terbuat dari kayu dan kepala terlepas dari badan, tetapi terhubung dengan tangkai atau gagang sehingga kepala dapat menoleh.
3.    Wayang kulit atau wayang purwa: terbuat dari kulit hewan (sapi atau kambing), adalah wayang yang menggambarkan manusia yang tampak dari salah satu sisi. Bewberapa raksasa agak tampak dari depan.
4.    Wayang gedog: terbuat dari kulit binatang, tidak terlalu banyak perbedaan dengan wayang kulit.
5.    Wayang orang: bukan boneka maupun gambar, melainkan manusia asli, laki-laki atau perempuan yang justru menggambarkan wayang. Manusia berpakaian dan berwajah yang sedapatnya menyerupai tokoh-tokoh wayang, terutama wayang kulit.



B.  Pendekatan Historis tentang Wayang
Kira-kira pada abad V, Indonesia memasuki jaman sejarah, yang dapat dilihat melalui prasasti-prasasti.[4] Pada jaman ini pulau-pulau di Indonesia mulai berkontak dengan pedagang-pedagang asing. Melalui cara yang demikianlah maka terjadi proses interaksi budaya.
Budaya India menjadi sesuatu yang diminati oleh para pemimpin. Pandangan-pandangan politik mempengarui kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa. Menurut Drs. Suroto,[5] pada zaman Neolithicum, ± 1000 SM wayang sudah ada di Indonesia, secara khusus di pulau Jawa. Mereka (manusia pada zaman neolitikum) membentuk suatu boneka yang terbuat dari kulit binatang. Bentuk dari boneka itu menggambarkan tokoh nenek moyang dan dalam pertunjukkannya diusahakan timbul bayang-bayang dan dalam bayang-bayang itu roh nenek moyang akan hadir. Oleh karena itu pertunjukan wayang harus dikakukan pada malam hari, karena pada saat itu roh-roh nenek moyang bergentayangan. Namun, Robert von Heine Geldern dan K.A.H. Hidding menyatakan bahwa wayang sudah dipegelarkan sejak zaman Megaliticum (1500 SM).[6]
Pada zaman kebudayaan Hindu, wayang berkembang atau beralih dari cerita-cerita nenek moyang ke kesusasteraan Hindu seperti kisah Mahabarata dan  Ramayana. Pada zaman inilah kesenian wayang mulai berkembang.[7]
Pada zaman Kerajaan Islam, wayang digunakan oleh para wali untuk penyebaran agama Islam.

C.  Seni Wayang Purwa
Wayang Purwa adalah wayang yang terbuat dari kulit hewan. Biasanya, kulit binatang yang digunakan ialah sapi, kambing atau kerbau. Pergelaran wayang kulit biasanya dilakukan pada waktu malam hari mulai pukul 20.00 sampai dini hari atau 06.00 WIB. Biasanya diadakan pada saat upacara-upacara dalam tradisi Jawa, seperti khitan, nikah, suroan dan lain-lain.[8]

Perabot-perabot yang melengkapi wayang[9]:
1.    Kelir: kain putih/mori yang tebal, di sekelilingnya bewarna hitam atau merah, yang dibentangkan sebagai layar yang menampilkan bayang-bayang wayang.
2.    Gawangan: alat untuk membentangkan kelir. Umumnya tebuat dari kayu jati dengan ukiran atau tanpa ukiran.
3.    Batang pisang atau gedebok: batang tanaman pisang berfungsi untuk menancapkan wayang khususnya wayang kulit. Sedangkan tancapan untuk wayang kulit atau wayang klitik terbuat dari kayu yang diberi lubang untuk meletakkan wayang.
4.    Belencong: lampu minyak yang berfungsi untuk penerangan pada saat pertunjukan, kadang menggunakan lampu petromak dan kini menggunakan lampu listrik, lampu ini terletak di belakang layar.
5.    Kotak: alat untuk menyimpan wayang, pada saat pertunjukan kotak ini diletakkan di samping dalang. Isi wayang dalam kotak ini mencapai 500 buah[10].
6.    Cempala: alat untuk memukul kotak pada lakon tertentu. Ada dua jenis cempala:
a.    Cempala besar: terbuat dari kayu galih asem, dipegang dan dibunyikan oleh tangan kiri dalang.
b.    Cempala kecil:  terbuat dari kuningan atau besi, alat ini dijepit oleh jari kaki dalang.
7.    Keprak (kepyak): terbuat dari lempengan baja, digantung pada lambung kotak, dibunyikan pada saat tertentu.
8.    Gamelan: perangkat instrument, mengiringi pertunjukkan.
9.    Wayang.
10.     Dalang: seorang yang bertugas menyajikan cerita (sutradara).

Tujuh unsur seni dalam seni pewayangan atau pedalangan[11]
1.    Seni drama
Melalui wayang, cerita-cerita kuno dari kitab-kitab Jawa ditampilkan berupa drama.
2.    Seni lukis atau seni rupa
Seni lukis atau seni rupa dapat kita ketahui dari bentuk wayang.
3.    Seni ukir
Wayang yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi atau dari kayu, melalui proses sedemikian rupa dibuat seperti apa yang kita sebut wayang.
4.    Seni sastra
Seni sastra dapat didengar dari bahasa pedalangan.
5.    Seni suara
Seni suara dapat didengarkan melalui penyanyi yang disebut sinden, yang diiringi oleh perpaduan bunyi  gamelan. Begitu juga dengan salah satu peran yang ditampilkan oleh dalang. Dalang, dengan suara ia memperdengarkan suaranya selaras dengan nada gamelan, serta menguasai khususnya tokoh-tokoh wayang.
6.    Seni karawitan
7.    Seni gaya
Seni gaya dapat dilihat dari gerak dan gaya wayang hasil pantulan lampu atau blencong.

D.  Cara Menampilkan
Wayang-wayang (wayang kulit) disusun berjajar sebelah-menyebelah pada batang pisang. Diantara kedua jajaran itu terdapat tempat kosong yang digunakan untuk memainkan wayang tersebut. Dalang adalah seorang yang memainkan wayang itu, ia mampu untuk bernyanyi, berbicara, bercerita, meniru berbagai jenis suara dari berbagai macam suara tokoh yang dimainkan sehingga kisah menjadi lebih hidup.
Hampir setiap bagian pertunjukan wayang terdiri dari tiga bagian yang disebut dengan nama jejeran[12], meliputi :
1. Jejeran pendahuluan
Merupakan permulaan cerita. Misalnya: ada raja yang mempunyai maksud tertentu, hendak mengawinkan anaknya, atau hendak kedatangan musuh, jadi harus diadakan persiapan untuk menghadapi masalah tersebut. Maka di sini ditunjukkan pula rintangan-rintangan yang dihadapi.
2. Jejeran inti
Dalam jejeran ini, ditampilkan adegan-adegan yang istimewa, muncul pahlawan yang akan menyelesaikan masalah. Pahlawan itu biasanya berasal dari keturunan Pandawa, misalnya Harjuna.  Pahlawan itu tidak hanya berperang tetapi juga  harus jujur, hidup murni, sabar dan taat pada setiap petunjuk.
3. Jejeran akhir
Jejeran Inti menampilkan segala bentuk perwujudan tugas yang diemban oleh seorang pahlawan. Semua kesulitan dapat diatasi dan semuanya terkalahkan olehnya. Akhirnya, semua permasalahan ini hilang dan tercapai kemakmuran, ketentraman, keadlian dan kesejahteraan.


BAB III.
NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM WAYANG
           
A.  Dalang
Dalang dalam pewayangan menjadi wakil Tuhan. Wayang kulit di tangan dalang tidak hanya menggambarkan orang tetapi juga karakternya. Dalang seolah menyatu dengan wayangnya. Sebagai alat untuk memperagakan suatu ceritera wayang, fungsi dalang[13] adalah sebagai berikut:
1.    Sebagai seniman  
2.    Komunikator sosial
3.    Juru didik                                      
4.    Pelestari seni budaya
5.    Ahli falsafah dan kerohanian
6.    Juru suluh
7.    Juru dakwah
8.    Juru hibur

B.  Warna wayang
Makna warna wayang kulit[14]
1.    Warna merah, menggambarkan karakter yang keras, kurang sabar, berani dan keangkaramurkaan.
2.    Warna hitam, menggambarkan karakter kebijaksanaan, sentosa, luhur dan bertanggung jawab.
3.    Warna putih, menggambarkan karakter yang bersih dan suci.
4.    Warna prada (emas), menggambarkan karakter yang tenang dan tepa selira atau mawas diri.
5.    Warna biru dan hijau, menggambarkan karakter yang sempit, picik dan tidak bertanggung jawab.

C.  Makna Simbol Kayon[15] dalam Pewayangan
Kata Kayon berarti hidup, lambang bentuk kehidupan alam semesta. Ada beberapa hal yang menyimbolkan keseluruhan hidup, yaitu:
1.    Tanam Tumbuh (Pepohonan), sebagian orang menyebutnya dengan pohon kalpataru, makna: sumber kehidupan, sumber kebahagiaan, sumber keagungan (pohon jenggi), sumber asal mula kejadian (pohon purwaning dumadi), sumber asal dan tujuan hidup (pohon sangkan paran), serta sumber hidup di atas segala-galanya (pohon waringin sungsang).
2.    Gambar binatang dan bermacam unggas, lambang pelbagai macam tingkatan kehidupan di dunia. Sedangkan ular yang melilit di pohon, lambang menyatunya badan jasmani dan rohani.
3.    Tanah, makara (lambang api), kolam di bawah pohon (lambang air) dan sayap yang mengembang (angin) di kanan dan kiri; semuanya melambangkan unsur terjadinya manusia.
4.    Pintu gerbang, lambang pintu masuk ke dalam kebahagiaan abadi, untuk memasukinya harus melalui kedua penjaga sebagai lambang nafsu indrawi.
5.    Pada bagian atas sering digambarkan makara bermata satu, mata ketiga atau mata batin, dan pada puncak gunung terdapat gambar mustika, lambang puncak tujuan hidup.
6.    Awal kehidupan dilambangkan dengan bedol kayon, artinya gunungan wayang diangkat atau dilepaskan dari batang pisang (pementasan). Sedangkan akhir kehidupan dilambangkan dengan tancep kayon,  segala bentuk pertunjukan kehidupan selesai, kayon ditancapkan pada batang pisang.
7.    Dua bentuk gunungan yaitu: gunungan laki-laki dan perempuan. Gunungan laki-laki berbentuk meruncing ke atas, sedangkan gunungan perempuan agak melebar bagian bawahnya.
8.    Ular dan naga, lambang sejatining urip maknanya, kesulitan harus ditempuh untuk mencapai tujuan.
9.    Ayam, lambang suatu tantangan hidup.
10.     Kera, lambang ketangkasan dalam kehidupan yang belum tentu dapat terjaminnya terkabulnya suatu keinginan, namun dapat melambangkan keuletan dalam kehidupan manusia.
11.     Banteng melambangkan watak atau pendirian yang jujur, kuat dan pantang menyerah demi tujuan suci.
12.     Harimau, lambang keindahan, wibawa dan tangguh menghadapi lawan.
13.     Burung, lambang kesenangan dan kepastian untuk hari esok.
14.     Dua raksasa bersayap, lambang nafsu.
15.     Kijang berekor seperti komodo, lambang kemauan hidup tanpa mempertimbangkan segi untung dan rugi atau dengan kata lain, hidup hanya untuk kesenangan.
16.     Bejana, berbentuk bunga teratai di puncak pohon berisikan air suci, lambang air kehidupan dari Sang Pencipta.

BAB IV
REFLEKSI

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Jika ditinjau dari arti filsafatnya “wayang” dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain. Dalam hal ini wayang tidak hanya berarti sebagai bayangan fisik, melainkan pralambang roh dan jiwa yang dikuasai oleh Tuhan.


[1] Franz Magnis-Suseno, Etika jawa, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 9-10.
[2] Franz Magnis-Suseno, Etika jawa, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm.12-13.

[3] Filsafat sana-sini 1. Oleh: I.R. Poedjawijatna. Kanisius:1975, Yogyakarta, hlm 29-30.
[4] Etika jawa frans magnis …. Hlm. 22
[5] Pratiwimba adhiluhung: sejarah dan perkembangan wayang S. Haryanto. Hlm 24. Djambatan1988.
[6] Bayang baying adhiluhung: filsafat, simbolis dan mistik dalam wayang, S. Haryanto.Semarang 1992. Dahara Prize. Hlm 14.
[7] Pratiwimba hlm. 26
[8] ……………………………………………masih dicari sumbernya…..
[9] Masih dicari………………………
[10] Dari mana ya sumbernya………………….
[11] Pratiwimba adhiluhung: sejarah dan perkembangan wayang, hlm. 2-6. Oleh: S. Haryanto : Jakarta Djambatan, 1988.
[12] Filsafat sana-sini 1 oleh I.R. Poedjawijatna…… hlm. 32-33.
[13] ………………………….
[15] Bayang-bayang adhiluhung: Filsafat, simbolis dan Mistik dalam wayang. Oleh S. Haryanto, Dahara Prize, semarang, 1992. Hlm. 30-33.