KERIS SEBAGI KARYA SENI BUDAYA JAWA
1. Pengantar
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri
dari beraneka ragam susku-suku dengan budayanya masing-masing. Budaya-budaya
yang ada dalam suku-suku ini, akhirnya menghasilkan karya seni yang sangat
indah dengan segala makna yang terkandung di dalamnya. Kami kelompok Jawa I
dalam paper yang berjudul ”Keris Sebagai Karya Seni Budaya Jawa” ini, akan
mencoba memaparkan salah satu karya seni hasil budaya Jawa, yaitu keris. Dalam
paper ini kami akan mencoba memaparkan tentang keris sejauh apa yang kami
pahamai. Misalnya; mengenai asal-usul keris, bagian-bagian keris, fungsi keris
dalam kehidupan Orang Jawa dan makna keris sendiri bagi Orang Jawa.
2. Latar
Belakang Masyarakat Jawa
2.1 Pulau Jawa
Pulau Jawa merupakan salah satu dari beberapa pulau
ada di Indonesia. Pulau ini sering disebut dengan nama Sunda Besar. Pulau Jawa
memiliki panjang kira-kira 1.100 kilometer dan lebar 120 kilometer. Secara
Geografis Pulau Jawa terdiri dari dataran-dataran rendah dengan tanah fulkanis
yang subur, serta beberapa daerah yang agak kering, khususnya di sebelah
Selatan pulau. Selain itu, Pulau Jawa juga banyak memiliki gunung berapi yang
masih aktif, diantaranya Gunung Merapi dan Gunung Bromo. [1]
2.2 Masyarakat Jawa
Jika
ditanya mengenai asal-usul nenek moyang orang jawa, maka bisa diberikan
penjelasan demikian. Orang jawa, dianggap sebagai keturunan orang-orang melayu
yang pernah mengadakan imigrasi. Mereka berasal dari China Selatan dan masuk ke
Asia Tenggara sekitar tiga ribu tahun Sebelum Masehi. Orang-orang Melayu ini
hidup dari pertanian dan mereka sudah mengenal persawahan waktu itu. Selain
itu, mereka juga sudah mengenal bentuk organisasi desa yang masih bertahan
sampai sekarang.[2]
2.3 Bahasa dalam Masyarakat Jawa
Pada
awalnya, di Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda di tiap daerah. Pertama
penduduk asli yang tinggal di ibu kota Jakarta, menggunakan dialek melayu yang
disebut Melayu-Betawi. Kedua, penduduk di bagian Tengah dan Selatan Jawa Barat
menggunakan bahasa Sunda. Ketiga, Jawa Timur bagian Utara dan Timur yang sudah
lama dihuni oleh para imigran dari Madura, menggunakan dan tetap mempertahankan
bahasa mereka yaitu bahasa Madura. Sementara bahasa Jawa dalam arti
sesungguhnya bisa dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka yang disebut
orang Jawa asli adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa jawa dan mereka
yang adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa.[3]
2.4 Prinsip dan Hidup Sosial Orang Jawa
Dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat jawa memiliki dua prinsip yaitu rukun dan
hormat. Prinsip kerukunan memiliki tujuan untuk mempertahankan masyarakat Jawa
dalam keadaan harmonis atau rukun. Bagi orang Jawa, rukun berarti berada dalam
keadaan selaras tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan.
Masyarakat bisa dikatakan rukun apabila semua pihak dalam keadaan damai satu
sama lain, saling membantu dan saling menerima.[4]
Sementara
prinsip hormat memainkan peranan dalam hidup sosial masyarakat Jawa. Dalam
prinsip hormat ini, ditegaskan bahwa setiap orang Jawa dalam bicara dan membawa
diri harus selalu menunjukan sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan derajat
dan kedudukannya. Misalnya, apabila Sukari bertemu dan berbicara dengan romo
Alex, maka bahasa, pembawaan, dan sikap Sukari harus menunjukan rasa hormat dan
pengakuan terhadap kedudukan romo Alex sebagai imam dan sebagai orang yang
sudah lebih tua dari Sukari.[5]
Kehidupan
sosial orang Jawa terbagi mejadi dua golongan besar dan satu golongan kecil.
Golongan pertama adalah wong cilik (orang
kecil). Wong cilik adalah orang yang hidup sebagai petani dan orang-orang yang
berpendapatan rendah. Golongan kedua adalah kaum Priyayi. Kaum priyayi ini terdiri dari kaum pegawai dan kaum
intelektual yang biasanya bekerja di kantor-kantor pemerintahan. Golongan
ketiga yang lebih kecil adalah kaum ningrat
(ndara/raja). Walaupun kaum ningrat ini adalah kelompok kecil, akan tetapi
mereka memiliki kedudukan yang cukup tinggi dalam masyarakat Jawa.[6]
3. Keris Sebagai Karya Seni Budaya Jawa
3.1 Asal usul keris
Keris
sebagai salah satu senjata tikam tradisional dari Indonesia, merupakan karya
seni yang telah berkembang dari zaman ke zaman. Menurut perkiraan, keris tertua
dibuat di Pulau Jawa pada abad ke-6, kemudian menyebar ke seluruh wilayah
Indonesia. Keris yang dibuat pada masa ini disebut dengan keris Buda. Akan tetapi, bentuk keris Buda ini masih sederhana, walaupun
begitu bahan yang digunakan merupakan bahan pilihan.[7]
Pada
zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya pada abad ke-14, budaya pembuatan keris
telah menyebar ke wilayah-wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Maka tidaklah
mengherankan jika kita bisa menemukan keris di Malaysia, Brunei Darusalam,
Filipina Selatan, Kambod[j]a, dan Thailand Selatan. Penyebaran keris yang luas
ini, akhirnya juga memunculkan
keanekaragaman penyebutan untuk keris. Misalnya saja di Bali, keris disebut Kedutan, di Filipina disebut Sundanf, sedangkan di beberapa daerah
lain yaitu di Sumatra dan Kepulauan Riau disebut dengan Karih, Karieh, atau Kres.[8]
Meskipun
tergolong sebagai senjata tikam, pada awalnya keris dibuat bukan semata-mata
sebagai alat untuk membunuh. Sebab bagi sebagaian orang, keris lebih dianggap
sebagai pusaka andalan dan dipercaya memiliki kekuatan gaib. Maka keampuhan
atau kesaktian sebuah keris tidak diukur dengan ketazamannya, melainkan dengan
daya gaib atau tuah yang diyakini oleh pemiliknya. Misalnya, ada keris yang
diyakini memiliki kekuatan untuk menolak balak atau bencana. Ada juga keris
yang diyakini memiliki kekuatan menghadirkan kesejahteraan bagi pemiliknya
dalam bidang pertanian.
3.2 Pulau Jawa Sebagai Asal Mula Budaya Keris
Prasasti tertua yang menjadi bukti keberadaan keris
di Pulau Jawa, ditemukan di desa Dawuku, kecamatan Gragab, Magelang, Jawa
Tengah. Prasasti ini diperkirakan dibuat pada tahun 500 Masehi, dan ditulis
dalam huruf Palawa dan dalam bahasa Sansekerta. Pada prasasti ini, diukir juga
gambar berbagai bentuk benda tajam seperti kapak, sabit, dan keris. Bukti lain
yang membuktikan keberadaan keris di Pulau Jawa adalah cerita tertulis yang
menceritakan adanya keris di Pulau Jawa. Cerita ini terdapat dalam laporan Ma
Huan seorang musafir Cina yang pernah mengunjungi Kerajaan Majapahit pada abad
ke-15. Dalam bukunya yang berjudul Yingyai
Seen-ia, yang ditulis pada tahun 1426 M, Ma Huan menceritakan bahwa para
lelaki di Majapahit baik tua maupun muda mengenakan senjata tikam yang
berbentuk keris.[9]
3.3 Bagian-bagian keris[10]
3.3.1 Pegangan atau Hulu Keris
Hulu keris adalah bagian keris paling bawah yang
berfungsi sebagai pegangan untuk tangan. Hulu keris memiliki bermacam-macam
motif dan bentuk. Setiap daerah biasanya memiliki bentuk dan motifnya
masing-masing, sehinga tidak selalu sama. Misalnya, di Bali ada yang bentuknya
menyerupai dewa, raksasa dan masih banyak lagi. Sementara untuk bahannya
sendiri, berasal dari beraneka bahan, seperti gading, tulang, logam, dan yang
paling umum berasal dari kayu.
3.3.2 Warangka atau Sarung Keris
Warangka atau sarung keris, adalah bagian keris
yang berfungsi untuk membungkus wilah keris. Dahulu warangka pada umunya terbuat
dari kayu, misalnya kayu Jati dan kayu Cendana. Akan tetapi seiring dengan
perkembangan zaman, warangka mendapat penambahan fungsi yaitu sebagai cerminan
status sosial bagi penggunanya. Maka bagian atas dari warangka yang disebut ladrang-gayaman, biasanya diganti dengan
gading.
3.3.3 Wilah
Wilah
merupakan bagian utama dari sebuah keris. Wilah adalah bagian keris yang kedua
sisinya sama tajam. Bagian ini memiliki dua bentuk yaitu lurus dan berlekuk
yang sering disebut dengan dapur. Wilah terdiri dari beberapa bagian yaitu
pesi, ganja, dan luk. Bagian Pertama adalah Pesi yang terletak di pangkal wilah
dan juga merupakan ujung bawah dari sebilah keris. Panjang pesi berkisar antara
5-7cm, dengan penampang sekitar 5-10 mm, dan berbentuk bulat. Bagian kedua adalah
ganja. Ganja terletak di bagian bawah dari sebilah keris dan bagian tengahnya
berlubang supaya pesi bisa masuk ke dalamnya, sehingga antara ganja dan wilah
tidak terpisahkan dan tampak menyatu. Bagian ketiga adalah luk. Bagian ini
adalah bentuk wilah yang berlekuk-lekuk. Bagian keempat adalah pamor keris,
yaitu bagian hiasan yang terdapat pada bagian wilah itu sendiri. Pamor ini
berasal dari perpaduan antara besi dan bahan pamor yang dilebur dalam proses
penempaan. Bahan pamor biasanya berasal dari batu meteorit atau batu bintang
yang mengandung titanium atau bisa juga digunakan nikel sebagai bahan pamor.
3.4 Jenis-jenis Keris[11]
Secara
umum untuk mengetahui jenis keris, bisa dilakukan dengan melihat dapurnya
(model) sebilah keris. Dalam dunia perkerisan dikenal dua dapur keris, yaitu
keris lurus dan keris berlekuk. Keris lurus merupakan jenis yang tertua atau
diciptakan lebih dahulu dibandingkan dengan keris yang berlekuk dan masih tetap
dilestarikan sampai sekarang. Jenis-jenis keris lurus yang terkenal adalah
dapur Tilam Upih, dapur Brojol, Kalamisani, Jalak Sangu Tumpeng, Sinom dan
Mahesa Lajer.
Sementara
untuk keris yang berlekuk, terdiri dari beberapa jenis, diantaranya keris luk
13, keris luk 11, keris luk 3, dan keris yang lekukanya lebih dari 13 atau biasa
disebut keris Kalawija. Akan tetapi keris yang demikian kurang lazim. Berikut
ini akan kami coba jelaskan secara singkat mengenai dapur sebuah keris serta
makna simbolik yang terkandung di dalamnya.
- Keris Nagasasra
Keris
nagasasra adalah sebutan untuk setiap keris yang mempunyai luk 13 dan terdapat
ukiran kepala naga di bagian pangkalnya. Badan naga meliuk-liuk mengikuti luk
keris dan umunya keris berdapur naga ini, dihiasi dengan kinatah emas. Keris Nagasara ini dibuat pada zaman Kerajaan Majapahit,
pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V (1466-1478). Keris ini dibuat oleh Mpu
Sedayu atau Mpu Supa Mendagri atas permintaan sang Prabu Brawijaya. Keris
Nagasasra dibuat untuk meredam seribu bencana dari berbagai penjuru wilayah
kerajaan. Sebab pada waktu itu, ada kabar bahwa Adipati Blambangan akan
melakukan pemberontakan dan menyerbu ke Kota Raja.
- Keris Naga Kumolo
Keris ini
dibuat pada zaman Kerajaan Giling Wesi, pada masa pemerintahan Prabu Budamuka.
Keris ini dibuat oleh Empu Janggito sebagai ungkapan syukur atas lewatnya masa
paceklik yang lama dialami oleh kerajaan GilingWesi.
- Keris Sempono Bungkem
Keris
Sempono Bungkem merupakan keris yang melambangkan terkuncinya mulut. Keris ini,
memiliki tuah yang dapat mengunci lawan bicara si pemilik keris. Maka keris ini
amatlah cocok dimiliki oleh seorang pedagang, pengacara, atau seorang pemimpin
partai politik.
Dari ketiga dapur keris diatas
Keris Nogososro, Keris Nogo Kumolo dan Keris Sempono Bungkem dimiliki oleh
orang dan digunakan ditempat yang berbeda. Keris Nogososro dan Keris Nogo
Kumolo merupakan keris pusaka yang dimiliki oleh para pemimpin kerajaan.
Sedangkan Keris Sempono Bungkem adalah keris yang dimiliki oleh orang awam atau
masyrakat umum.
4. Bahan dan Pembuatan Keris
4.1
Empu
Empu adalah gelar yang
diberikan masyarakat bagi pandai keris yang karya-karyanya indah. Menjadi
seorang empu bukanlah sesuatu yang gampang. Sebab, untuk menjadi empu,
seseorang harus mempunyai kemampuan spiritual dan untuk itu ia harus menjalani
laku tapa dan macam-macam latihan rohani kejawen.
Melalui kemampuan-kemampuan tersebut, seorang empu tidak hanya membuat sebuah
keris yang hanya dilihat dari unsur estetikanya saja. Akan tetapi, keris yang
telah dibuat biasanya diberikan suatu kekuatan khusus yang berupa yoni,[12]
sehingga di samping sebagai senjata, keris juga dianggap sebagai benda yang
mempunyai kekuatan spiritual atau biasa disebut benda “sakral”.
Pada zaman dahulu, seorang
empu mendapat kedudukan tinggi dalam masyarakat. Mereka yang menghasilkan
keris-keris bermutu tinggi diangkat sebagai empu Kraton dan mendapat jaminan
hidup yang baik. Beberapa diantaranya bahkan diangkat sebagai menantu raja dan
diberi gelar bangsawan. Para empu tersebut diantaranya: pada zaman Pajajaran
empu Sombro, pada zaman Majapahit empu Jigja, empu Supandriya, empu Pangeran
Sendang Sedaya, dan lain sebagainya. Sedangkan, pada zaman Mataram, empu yang
terkenal adalah empu Supo Anom dan empu Guling. Di madura, empu yang terkenal
adalah Ki Kasa dan Ki Macan.
4.2 Bahan
Bahan
pembuatan keris terdiri dari: besi, baja, dan bahan pamor. Bahan pamor ini ada
tiga macam. Pertama, batu meteorit atau batu bintang yang mengandung unsur
titanium. Bahan pamor yang kedua adalah nikel, dan bahan pamor lainnya adalah
senyawa besi yang digunakan sebagai bahan pokok. Untuk menempa bahan-bahan itu
menjadi sebuah keris, diperlukan arang kayu jati sedikitnya 400 kilogram.
Tetapi untuk membuat keris bermutu baik, harus disediakan arang sedikirnya 550
kilogram.[13]
Logam
dasar yang digunakan dalam pembuatan keris adalah besi dan baja. Ada perbedaan
yang mencolok antara keris masa kini dan masa lalu. Keris masa kini (nem-neman, dibuat sejak abad 20)
biasanya dibuat dengan bahan campuran nikel. Sedangkan keris zaman dulu (keris
kuna) yang baik meiliki campuran batu meteorit yang memiliki kandungan titanium
yang tinggi, serta mengandung sedikit nikel, kobal, perak, timah putih,
kromium, antinomium dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit
Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.
Dalam
sebuah keris juga mempunyai kelengkapan sebagai satu kesatuan, yaitu werangka
dan hulu. Biasanya werangka dan hulu ini terbuat dari bahan kayu. Sebuah kayu
diolah dan diberi ornamen sesuai dengan panjang dan ukuran keris tersebut.
4.3 Cara
Pembuatan
Sebuah
keris dibuat tidak melalui proses yang gampang. Akan tetapi, dalam pembuatan
keris diperlukan suatu keterampilan khusus dan kesabaran demi menghasilkan
sebuah keris yang berkualitas. Berikut ini adalah proses secara ringkas dalam
pembuatan keris: Bilah besi sebagai bahan dasar di wasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa
berulang-ulang untuk mengurangi kadar karbon yang terdapat pada senyawa itu.
Setelah bersih, bilahan dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan
pamor didalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan di tempa.
Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan di tempa kembali
berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi penempaan, serta banyaknya lipatan
akan mempengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton. Bentuk akhir adalah lempengan
memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu
ditempatkan diantara kedua kodhokan
(seperti roti sandwich), diikat lalu
ditempa untuk menyatukan.
Tahap
selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (risikan) dengan menggarap
bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Tahap
terakhir yaitu nyepuhi, dilakukan
agar keris tampak tua. Nyepuhi (”menuakan”)
dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam dan perasan
jeruk nipis (disebut kamalan). Nyepuhi juga dapat dilakukan dengan
memijarkan keris lalu dicelupkan kedalam cairan (air, air garam atau minyak
kelapa).[14]
4.4 Perawatan Keris
Dalam
tradisi Jawa, perawatan keris dilakukan setiap tahun. Biasanya pada bulan
muharam/sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah
”memandikan” keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak
pewangi lama dan karat pada bilah keris dengan menggunakan cairan asam (secara
tradisional menggunakan air buah kelapa, buah mengkudu yang dihancurkan, atau
perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi werangan (bila perlu) untuk mempertegas
pamor. Setelah memberi werangan tersebut,
kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi keris dari karat baru. Minyak
pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana
yang diencerkan pada minyak kelapa.[15]
5. Fungsi dan Makna Keris
5.1 Fungsi Keris
Dewasa
ini secara umum keris hanya dikenal sebagai aksesoris atau pelengkap busana
terutama dalam acara pernikahan dan sebagai benda keramat. Namun sesungguhnya
pada zaman dahulu keris mempunyai banyak fungsi yaitu:
5.1.1 Keris Sebagai Senjata
Keris
pertama kali diciptakan oleh Panji Inukertapati. Keris pertama ini berbeda
dengan bentuk keris yang saat ini biasa kita jumpai. Keris pada awalnya dibuat
dalam bentuk lurus. Tapi, sesuai dengan perkembangannya, keris menjadi
berbentuk liku-liku atau yang biasa disebut dengan keris luk. Namun, dalam corak dan gayanya tetap menekankan sebagai
senjata tikam.
5.1.2 Keris Sebagai Lambang Kemapanan Hidup
Bagi
seorang laki-laki masyarakat jawa, hidupnya dikatakan paripurna atau mapan,
jika telah memiliki: wisma (rumah), wanita (istri), turangga (kendaraan),
kukila (hewa piaraan), dan curiga (keris).
5.1.3 Keris Sebagai Pusaka Wasiat
Pada
zaman dahulu, tanda-mata yang paling tinggi martabatnya adalah keris. Pandangan
ini dibuktikan dengan istilah, “kancing
gelung” atau “candhuk ukel” yaitu
pemberian sebilah keris dari orangtua kepada anaknya, baik perempuan maupun
laki-laki yang baru saja menikah.
5.1.4 Keris Sebagai Pelengkap Busana
Ini
sering dijumpai pada saat resepsi pernikahan. Keris dibawa oleh orang tua atau
pengantin laki-laki. Keris biasanya diselipkan (disengkelit, dianggar) dan
lainnya yang kesemuanya ditentukan oleh macam upacara.
5.2 Makna Filosofi Keris
Makna
filosofis yang terkandung dalam sebuah keris sebenarnya dapat dilihat mulai
dari proses pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring
berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan
pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan perkembangan
zaman. Keris atau dalam bahasa jawa disebut tosan
aji merupakan penggalan dari kata tosan
yang berarti besi dan aji berarti
dihormati. Dengan demikian, keris merupakan perwujutan yang berupa besi dan
diyakini bahwa kandungannya memiliki makna yang harus dihormati. Penghormatan
ini bukan berarti harus disembah-sembah, tetapi selayaknya dihormati karena
merupakan warisan budaya nenek moyang yang bernilai tinggi.
Keris mempunyai sejarah dan
proses panjang dalam membuat atau menciptaka suatu karya yang mempunyai nilai
estetika yang tinggi. Empu menciptakan keris dengan tujuan sebagai Piyandel atau pegangan yang diyakini
menambah kewibawaan dan menjaga diri dari bahaya serta sebagai tuntunan hidup
yang benar. Membuat keris adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan sebuah
keuletan, ketekunan, dan mental yang kuat, sehingga para pembuat harus meminta
prtunjuk dari Tuhan melalui berpuasa,
tapa atau bersemedi, dan sesaji untuk mendapatkan bahan baku.
Posisi keris sebagi barang
pusaka mendapat perlakuan khusus mulai dari proses penyimpanan, membuka dari
sarung, dan cara merawatnya. Hal ini sudah merupakan tradisi turun-temurun yang
masih dilakukan oleh masyarakat Jawa. Kekuatan spiritual di dalam keris
diyakini dapat menimbulkan suatu perbawa atau
sugesti kepada pemiliknya.
Keris bukan lagi digunakan
sebagai senjata, namun masyarakat Jawa memaknai bahwa keris sekarang hanya
sebagai ageman atau hanya dipakai
sebagai pelengkap busana Jawa yang masih mempunyai nilai spiritual religius,
serta sebagai barang pusaka yang bernilai.[16]
6. Penutup
Seni
merupakan suatu hasil karya yang bermutu dilihat dari segi kehalusan dan
keindahannya. Sebuah keris dikatakan sebagai suatu karya seni karena mempunyai
unsur keindahan, baik dalam bentuk maupun corak ornamennya (pamor). Sesuai
dengan perkembangan budaya masyarakat Jawa, bentuk bilah keris juga mengikuti
kemajuan zaman. Bentuk bilah yang semula relatif gemuk, pendek, dan tebal,
secara berangsur berubah menjadi lebih tipis, lebih langsing, lebih panjang,
dan dengan sendirinya makin lama makin menjadi lebih indah. Selain itu
penggunaan yang sebelumnya digunakan untuk berperang, kini lebih sebagai
pelengkap busana adat masyarakat Jawa.
Keris
sebagai benda pusaka tidak hanya dipahami sebagai benda yang berkekuatan magis
untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Tapi, keris menjadi pusaka karena
makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan
pemiliknya untuk hidup secara benar, baik dan seimbang. Meskipun demikian keris
tetaplah benda mati, manusia Jawa pun tidak terjebak dalam pemahaman yang keiru
tentang pusaka.
Peringatan para leluhur
tentang hal di atas berbunyi: ”janjine
dudu jimat kemat, ananging agunging Gusti kang Pinuji”. Artinya, janji
bukan jimat, melainkan keagungan Tuhan-lah yang mesti diluhurkan. ”Nora kepingin misuwur karena peparinge
leluhur, ananging tumindak luhur karena piwulange leluhur”. Artinya, tidak
ingin terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur karena
melaksanakan nasihat nenek moyang. Oleh karena itu, keris bukan jimat, tetapi
lebih sebagai piyendel, sebagai
sarana berbuat kebajikan dan memuji keagungan Ilahi.[17]
Daftar Istilah
- Dapur Keris : Bentuk model bilah keris
- Empu : Gelar pembuat keris yang telah mahir
- Ganja : Bagian keris yang terletak melintang din pangkal keris
- Pamor : Hiasan pada permukaan bilah keris dan ganjanya
- Pesi : Bagian keris yang masuk ke dalam hulu keris sehingga
memperkuat kedudukan bilah keris pada
pegangannya
- Sepuhan : Proses memperkuat besi keris dengan cara memanasinya sampai
suhu diatas 550 derajat C, kemudian secara
mendadak di dinginkan
dengan
cara mencelupkannya pada larutan air atau minyak tertentu.
- Selut : Hiasan tambahan pada pangkal keris, ditaruh di ujung hulu keris
yang berbatasan dengan bagian ganja. Selut
terbuat dari logam
kuningan,
tembaga, perak, atau emas, umumnya diperindah lagi
dengan batu mulia.
- Tangguh : Perkiraan jaman pembuatan keris.
- Warangan : larutan senyawa arsenik dan air jeruk nipis yang dipakai untuk
melumuri bilah keris, sehingga pamor keris
dapat terlihat lebih
cemerlang dan indah.
- Yoni : Isi keris pusaka yang merupakan lambang realitas abstrak. Yoni
mempunyai daya kekuatan gaib atau daya
kekuatan adikodrati,
berkat kerjasama empu pembuatnya dan berkat
rahmat perkenaan
Tuhan.
Daftar Pustaka
Departeman
Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Nasional
Indonesia, Jilid 8, Jakarta: Cipta Abdi Pustaka, 1990.
Dloyana Kusumah, Siti dan Supanto (ed), Upacara Tradisional Siraman Pusaka Kraton
Yogyakarta, Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Kebudayaan
Daerah, 1988.
Doyodipuro,
Ki Hudoyo, Keris: Daya Magic, Manfaat,
Tuah, Misteri, Semarang: Dahara Prize, 1985.
Suryadi, Linus
AG, Fenomena Kosmologi Jawa,
Yogyakarta: Andi Offset, 1993.
Suseno,
Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa
tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia, 1985.
[1]
Frans Magnis –Suseno, Etika Jawa; Sebuah
Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT Gramedia,
1985), hlm. 9-10.
[2]
Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm. 21.
[3]
Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm.
11.
[4]
Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm. 39.
[5]
Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm.
60.
[6]
Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm. 12.
[7] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Nasional Indonesia,
(Jakarta: Cipta Abdi Pustaka, Jilid. 8, 1990), hlm. 412.
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi..., hlm. 412.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi NasionalIndonesia... , hlm. 412.
[10] Ki Hudoyo Doyodipuro, Keris: Daya Magic, Manfaat,
Tuah, Misteri, (Semarang:
Dahara Prize, 1985), hlm. 7-10.
[11] Ki Hudoyo Doyodipuro, Keris: Daya Magic, Manfaat..., hlm. 10.
[12] Linus Suryadi AG, Fenomena Kosmologi Jawa, (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), hlm. 42.
[13] Linus Suryadi, Fenomena…, hlm. 53.
[14] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi…, hlm. 413.
[15] Siti Dloyana Kusumah dan Supanto (ed), Upacara Tradisional Siraman Pusaka Kraton
Yogyakarta, (Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Kebudayaan
Daerah, 1988), hlm. 79.
[16] Linus Suryadi AG, Fenomena…, hlm. 37.
[17] Ki Hudoyo Doyodipuro, Keris: Daya Magi…, hlm. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar