Kamis, 21 Maret 2013

keris budaya jawa



KERIS SEBAGI KARYA SENI BUDAYA JAWA


1. Pengantar
            Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari beraneka ragam susku-suku dengan budayanya masing-masing. Budaya-budaya yang ada dalam suku-suku ini, akhirnya menghasilkan karya seni yang sangat indah dengan segala makna yang terkandung di dalamnya. Kami kelompok Jawa I dalam paper yang berjudul ”Keris Sebagai Karya Seni Budaya Jawa” ini, akan mencoba memaparkan salah satu karya seni hasil budaya Jawa, yaitu keris. Dalam paper ini kami akan mencoba memaparkan tentang keris sejauh apa yang kami pahamai. Misalnya; mengenai asal-usul keris, bagian-bagian keris, fungsi keris dalam kehidupan Orang Jawa dan makna keris sendiri bagi Orang Jawa.

2. Latar Belakang Masyarakat Jawa
2.1 Pulau Jawa
            Pulau Jawa merupakan salah satu dari beberapa pulau ada di Indonesia. Pulau ini sering disebut dengan nama Sunda Besar. Pulau Jawa memiliki panjang kira-kira 1.100 kilometer dan lebar 120 kilometer. Secara Geografis Pulau Jawa terdiri dari dataran-dataran rendah dengan tanah fulkanis yang subur, serta beberapa daerah yang agak kering, khususnya di sebelah Selatan pulau. Selain itu, Pulau Jawa juga banyak memiliki gunung berapi yang masih aktif, diantaranya Gunung Merapi dan Gunung Bromo. [1]
2.2 Masyarakat Jawa
            Jika ditanya mengenai asal-usul nenek moyang orang jawa, maka bisa diberikan penjelasan demikian. Orang jawa, dianggap sebagai keturunan orang-orang melayu yang pernah mengadakan imigrasi. Mereka berasal dari China Selatan dan masuk ke Asia Tenggara sekitar tiga ribu tahun Sebelum Masehi. Orang-orang Melayu ini hidup dari pertanian dan mereka sudah mengenal persawahan waktu itu. Selain itu, mereka juga sudah mengenal bentuk organisasi desa yang masih bertahan sampai sekarang.[2]

2.3 Bahasa dalam Masyarakat Jawa
            Pada awalnya, di Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda di tiap daerah. Pertama penduduk asli yang tinggal di ibu kota Jakarta, menggunakan dialek melayu yang disebut Melayu-Betawi. Kedua, penduduk di bagian Tengah dan Selatan Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda. Ketiga, Jawa Timur bagian Utara dan Timur yang sudah lama dihuni oleh para imigran dari Madura, menggunakan dan tetap mempertahankan bahasa mereka yaitu bahasa Madura. Sementara bahasa Jawa dalam arti sesungguhnya bisa dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka yang disebut orang Jawa asli adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa jawa dan mereka yang adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa.[3]

2.4 Prinsip dan Hidup Sosial Orang Jawa
            Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat jawa memiliki dua prinsip yaitu rukun dan hormat. Prinsip kerukunan memiliki tujuan untuk mempertahankan masyarakat Jawa dalam keadaan harmonis atau rukun. Bagi orang Jawa, rukun berarti berada dalam keadaan selaras tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan. Masyarakat bisa dikatakan rukun apabila semua pihak dalam keadaan damai satu sama lain, saling membantu dan saling menerima.[4]
            Sementara prinsip hormat memainkan peranan dalam hidup sosial masyarakat Jawa. Dalam prinsip hormat ini, ditegaskan bahwa setiap orang Jawa dalam bicara dan membawa diri harus selalu menunjukan sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Misalnya, apabila Sukari bertemu dan berbicara dengan romo Alex, maka bahasa, pembawaan, dan sikap Sukari harus menunjukan rasa hormat dan pengakuan terhadap kedudukan romo Alex sebagai imam dan sebagai orang yang sudah lebih tua dari Sukari.[5]
            Kehidupan sosial orang Jawa terbagi mejadi dua golongan besar dan satu golongan kecil. Golongan pertama adalah wong cilik (orang kecil). Wong cilik adalah orang yang hidup sebagai petani dan orang-orang yang berpendapatan rendah. Golongan kedua adalah kaum Priyayi. Kaum priyayi ini terdiri dari kaum pegawai dan kaum intelektual yang biasanya bekerja di kantor-kantor pemerintahan. Golongan ketiga yang lebih kecil adalah kaum ningrat (ndara/raja). Walaupun kaum ningrat ini adalah kelompok kecil, akan tetapi mereka memiliki kedudukan yang cukup tinggi dalam masyarakat Jawa.[6]

3. Keris Sebagai Karya Seni Budaya Jawa
3.1 Asal usul keris
            Keris sebagai salah satu senjata tikam tradisional dari Indonesia, merupakan karya seni yang telah berkembang dari zaman ke zaman. Menurut perkiraan, keris tertua dibuat di Pulau Jawa pada abad ke-6, kemudian menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Keris yang dibuat pada masa ini disebut dengan keris Buda. Akan tetapi, bentuk keris Buda ini masih sederhana, walaupun begitu bahan yang digunakan merupakan bahan pilihan.[7]
            Pada zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya pada abad ke-14, budaya pembuatan keris telah menyebar ke wilayah-wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Maka tidaklah mengherankan jika kita bisa menemukan keris di Malaysia, Brunei Darusalam, Filipina Selatan, Kambod[j]a, dan Thailand Selatan. Penyebaran keris yang luas ini, akhirnya juga  memunculkan keanekaragaman penyebutan untuk keris. Misalnya saja di Bali, keris disebut Kedutan, di Filipina disebut Sundanf, sedangkan di beberapa daerah lain yaitu di Sumatra dan Kepulauan Riau disebut dengan Karih, Karieh, atau Kres.[8]
            Meskipun tergolong sebagai senjata tikam, pada awalnya keris dibuat bukan semata-mata sebagai alat untuk membunuh. Sebab bagi sebagaian orang, keris lebih dianggap sebagai pusaka andalan dan dipercaya memiliki kekuatan gaib. Maka keampuhan atau kesaktian sebuah keris tidak diukur dengan ketazamannya, melainkan dengan daya gaib atau tuah yang diyakini oleh pemiliknya. Misalnya, ada keris yang diyakini memiliki kekuatan untuk menolak balak atau bencana. Ada juga keris yang diyakini memiliki kekuatan menghadirkan kesejahteraan bagi pemiliknya dalam bidang pertanian.

3.2 Pulau Jawa Sebagai Asal Mula Budaya Keris
            Prasasti tertua yang menjadi bukti keberadaan keris di Pulau Jawa, ditemukan di desa Dawuku, kecamatan Gragab, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti ini diperkirakan dibuat pada tahun 500 Masehi, dan ditulis dalam huruf Palawa dan dalam bahasa Sansekerta. Pada prasasti ini, diukir juga gambar berbagai bentuk benda tajam seperti kapak, sabit, dan keris. Bukti lain yang membuktikan keberadaan keris di Pulau Jawa adalah cerita tertulis yang menceritakan adanya keris di Pulau Jawa. Cerita ini terdapat dalam laporan Ma Huan seorang musafir Cina yang pernah mengunjungi Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Dalam bukunya yang berjudul Yingyai Seen-ia, yang ditulis pada tahun 1426 M, Ma Huan menceritakan bahwa para lelaki di Majapahit baik tua maupun muda mengenakan senjata tikam yang berbentuk keris.[9]

3.3 Bagian-bagian keris[10]
3.3.1 Pegangan atau Hulu Keris
            Hulu keris adalah bagian keris paling bawah yang berfungsi sebagai pegangan untuk tangan. Hulu keris memiliki bermacam-macam motif dan bentuk. Setiap daerah biasanya memiliki bentuk dan motifnya masing-masing, sehinga tidak selalu sama. Misalnya, di Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa, raksasa dan masih banyak lagi. Sementara untuk bahannya sendiri, berasal dari beraneka bahan, seperti gading, tulang, logam, dan yang paling umum berasal dari kayu.

3.3.2 Warangka atau Sarung Keris
            Warangka atau sarung keris, adalah bagian keris yang berfungsi untuk membungkus wilah keris. Dahulu warangka pada umunya terbuat dari kayu, misalnya kayu Jati dan kayu Cendana. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, warangka mendapat penambahan fungsi yaitu sebagai cerminan status sosial bagi penggunanya. Maka bagian atas dari warangka yang disebut ladrang-gayaman, biasanya diganti dengan gading.

3.3.3 Wilah
Wilah merupakan bagian utama dari sebuah keris. Wilah adalah bagian keris yang kedua sisinya sama tajam. Bagian ini memiliki dua bentuk yaitu lurus dan berlekuk yang sering disebut dengan dapur. Wilah terdiri dari beberapa bagian yaitu pesi, ganja, dan luk. Bagian Pertama adalah Pesi yang terletak di pangkal wilah dan juga merupakan ujung bawah dari sebilah keris. Panjang pesi berkisar antara 5-7cm, dengan penampang sekitar 5-10 mm, dan berbentuk bulat. Bagian kedua adalah ganja. Ganja terletak di bagian bawah dari sebilah keris dan bagian tengahnya berlubang supaya pesi bisa masuk ke dalamnya, sehingga antara ganja dan wilah tidak terpisahkan dan tampak menyatu. Bagian ketiga adalah luk. Bagian ini adalah bentuk wilah yang berlekuk-lekuk. Bagian keempat adalah pamor keris, yaitu bagian hiasan yang terdapat pada bagian wilah itu sendiri. Pamor ini berasal dari perpaduan antara besi dan bahan pamor yang dilebur dalam proses penempaan. Bahan pamor biasanya berasal dari batu meteorit atau batu bintang yang mengandung titanium atau bisa juga digunakan nikel sebagai bahan pamor.

3.4 Jenis-jenis Keris[11]
            Secara umum untuk mengetahui jenis keris, bisa dilakukan dengan melihat dapurnya (model) sebilah keris. Dalam dunia perkerisan dikenal dua dapur keris, yaitu keris lurus dan keris berlekuk. Keris lurus merupakan jenis yang tertua atau diciptakan lebih dahulu dibandingkan dengan keris yang berlekuk dan masih tetap dilestarikan sampai sekarang. Jenis-jenis keris lurus yang terkenal adalah dapur Tilam Upih, dapur Brojol, Kalamisani, Jalak Sangu Tumpeng, Sinom dan Mahesa Lajer.
            Sementara untuk keris yang berlekuk, terdiri dari beberapa jenis, diantaranya keris luk 13, keris luk 11, keris luk 3, dan keris yang lekukanya lebih dari 13 atau biasa disebut keris Kalawija. Akan tetapi keris yang demikian kurang lazim. Berikut ini akan kami coba jelaskan secara singkat mengenai dapur sebuah keris serta makna simbolik yang terkandung di dalamnya.

  • Keris Nagasasra
Keris nagasasra adalah sebutan untuk setiap keris yang mempunyai luk 13 dan terdapat ukiran kepala naga di bagian pangkalnya. Badan naga meliuk-liuk mengikuti luk keris dan umunya keris berdapur naga ini, dihiasi dengan kinatah emas. Keris Nagasara ini dibuat pada zaman Kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V (1466-1478). Keris ini dibuat oleh Mpu Sedayu atau Mpu Supa Mendagri atas permintaan sang Prabu Brawijaya. Keris Nagasasra dibuat untuk meredam seribu bencana dari berbagai penjuru wilayah kerajaan. Sebab pada waktu itu, ada kabar bahwa Adipati Blambangan akan melakukan pemberontakan dan menyerbu ke Kota Raja.

  • Keris Naga Kumolo
Keris ini dibuat pada zaman Kerajaan Giling Wesi, pada masa pemerintahan Prabu Budamuka. Keris ini dibuat oleh Empu Janggito sebagai ungkapan syukur atas lewatnya masa paceklik yang lama dialami oleh kerajaan GilingWesi.

  • Keris Sempono Bungkem
Keris Sempono Bungkem merupakan keris yang melambangkan terkuncinya mulut. Keris ini, memiliki tuah yang dapat mengunci lawan bicara si pemilik keris. Maka keris ini amatlah cocok dimiliki oleh seorang pedagang, pengacara, atau seorang pemimpin partai politik.

Dari ketiga dapur keris diatas Keris Nogososro, Keris Nogo Kumolo dan Keris Sempono Bungkem dimiliki oleh orang dan digunakan ditempat yang berbeda. Keris Nogososro dan Keris Nogo Kumolo merupakan keris pusaka yang dimiliki oleh para pemimpin kerajaan. Sedangkan Keris Sempono Bungkem adalah keris yang dimiliki oleh orang awam atau masyrakat umum.

4. Bahan dan Pembuatan Keris

4.1  Empu
Empu adalah gelar yang diberikan masyarakat bagi pandai keris yang karya-karyanya indah. Menjadi seorang empu bukanlah sesuatu yang gampang. Sebab, untuk menjadi empu, seseorang harus mempunyai kemampuan spiritual dan untuk itu ia harus menjalani laku tapa dan macam-macam latihan rohani kejawen. Melalui kemampuan-kemampuan tersebut, seorang empu tidak hanya membuat sebuah keris yang hanya dilihat dari unsur estetikanya saja. Akan tetapi, keris yang telah dibuat biasanya diberikan suatu kekuatan khusus yang berupa yoni,[12] sehingga di samping sebagai senjata, keris juga dianggap sebagai benda yang mempunyai kekuatan spiritual atau biasa disebut benda “sakral”.
Pada zaman dahulu, seorang empu mendapat kedudukan tinggi dalam masyarakat. Mereka yang menghasilkan keris-keris bermutu tinggi diangkat sebagai empu Kraton dan mendapat jaminan hidup yang baik. Beberapa diantaranya bahkan diangkat sebagai menantu raja dan diberi gelar bangsawan. Para empu tersebut diantaranya: pada zaman Pajajaran empu Sombro, pada zaman Majapahit empu Jigja, empu Supandriya, empu Pangeran Sendang Sedaya, dan lain sebagainya. Sedangkan, pada zaman Mataram, empu yang terkenal adalah empu Supo Anom dan empu Guling. Di madura, empu yang terkenal adalah Ki Kasa dan Ki Macan.

4.2 Bahan
            Bahan pembuatan keris terdiri dari: besi, baja, dan bahan pamor. Bahan pamor ini ada tiga macam. Pertama, batu meteorit atau batu bintang yang mengandung unsur titanium. Bahan pamor yang kedua adalah nikel, dan bahan pamor lainnya adalah senyawa besi yang digunakan sebagai bahan pokok. Untuk menempa bahan-bahan itu menjadi sebuah keris, diperlukan arang kayu jati sedikitnya 400 kilogram. Tetapi untuk membuat keris bermutu baik, harus disediakan arang sedikirnya 550 kilogram.[13]
            Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris adalah besi dan baja. Ada perbedaan yang mencolok antara keris masa kini dan masa lalu. Keris masa kini (nem-neman, dibuat sejak abad 20) biasanya dibuat dengan bahan campuran nikel. Sedangkan keris zaman dulu (keris kuna) yang baik meiliki campuran batu meteorit yang memiliki kandungan titanium yang tinggi, serta mengandung sedikit nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antinomium dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.
            Dalam sebuah keris juga mempunyai kelengkapan sebagai satu kesatuan, yaitu werangka dan hulu. Biasanya werangka dan hulu ini terbuat dari bahan kayu. Sebuah kayu diolah dan diberi ornamen sesuai dengan panjang dan ukuran keris tersebut.

4.3 Cara Pembuatan
            Sebuah keris dibuat tidak melalui proses yang gampang. Akan tetapi, dalam pembuatan keris diperlukan suatu keterampilan khusus dan kesabaran demi menghasilkan sebuah keris yang berkualitas. Berikut ini adalah proses secara ringkas dalam pembuatan keris: Bilah besi sebagai bahan dasar di wasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk mengurangi kadar karbon yang terdapat pada senyawa itu. Setelah bersih, bilahan dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor didalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan di tempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan di tempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi penempaan, serta banyaknya lipatan akan mempengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton. Bentuk akhir adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan diantara kedua kodhokan (seperti roti sandwich), diikat lalu ditempa untuk menyatukan.
            Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (risikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Tahap terakhir yaitu nyepuhi, dilakukan agar keris tampak tua. Nyepuhi (”menuakan”) dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Nyepuhi juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan kedalam cairan (air, air garam atau minyak kelapa).[14]

4.4 Perawatan Keris
            Dalam tradisi Jawa, perawatan keris dilakukan setiap tahun. Biasanya pada bulan muharam/sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah ”memandikan” keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris dengan menggunakan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, buah mengkudu yang dihancurkan, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi werangan (bila perlu) untuk mempertegas pamor. Setelah memberi werangan tersebut, kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.[15]

5. Fungsi dan Makna Keris

5.1 Fungsi Keris
            Dewasa ini secara umum keris hanya dikenal sebagai aksesoris atau pelengkap busana terutama dalam acara pernikahan dan sebagai benda keramat. Namun sesungguhnya pada zaman dahulu keris mempunyai banyak fungsi yaitu:
5.1.1 Keris Sebagai Senjata
            Keris pertama kali diciptakan oleh Panji Inukertapati. Keris pertama ini berbeda dengan bentuk keris yang saat ini biasa kita jumpai. Keris pada awalnya dibuat dalam bentuk lurus. Tapi, sesuai dengan perkembangannya, keris menjadi berbentuk liku-liku atau yang biasa disebut dengan keris luk. Namun, dalam corak dan gayanya tetap menekankan sebagai senjata tikam.

5.1.2 Keris Sebagai Lambang Kemapanan Hidup
            Bagi seorang laki-laki masyarakat jawa, hidupnya dikatakan paripurna atau mapan, jika telah memiliki: wisma (rumah), wanita (istri), turangga (kendaraan), kukila (hewa piaraan), dan curiga (keris).

5.1.3 Keris Sebagai Pusaka Wasiat
            Pada zaman dahulu, tanda-mata yang paling tinggi martabatnya adalah keris. Pandangan ini dibuktikan dengan istilah, “kancing gelung” atau “candhuk ukel” yaitu pemberian sebilah keris dari orangtua kepada anaknya, baik perempuan maupun laki-laki yang baru saja menikah.

5.1.4 Keris Sebagai Pelengkap Busana
            Ini sering dijumpai pada saat resepsi pernikahan. Keris dibawa oleh orang tua atau pengantin laki-laki. Keris biasanya diselipkan (disengkelit, dianggar) dan lainnya yang kesemuanya ditentukan oleh macam upacara.

5.2 Makna Filosofi Keris
            Makna filosofis yang terkandung dalam sebuah keris sebenarnya dapat dilihat mulai dari proses pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan perkembangan zaman. Keris atau dalam bahasa jawa disebut tosan aji merupakan penggalan dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti dihormati. Dengan demikian, keris merupakan perwujutan yang berupa besi dan diyakini bahwa kandungannya memiliki makna yang harus dihormati. Penghormatan ini bukan berarti harus disembah-sembah, tetapi selayaknya dihormati karena merupakan warisan budaya nenek moyang yang bernilai tinggi.
Keris mempunyai sejarah dan proses panjang dalam membuat atau menciptaka suatu karya yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. Empu menciptakan keris dengan tujuan sebagai Piyandel atau pegangan yang diyakini menambah kewibawaan dan menjaga diri dari bahaya serta sebagai tuntunan hidup yang benar. Membuat keris adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan sebuah keuletan, ketekunan, dan mental yang kuat, sehingga para pembuat harus meminta prtunjuk dari Tuhan melalui berpuasa, tapa atau bersemedi, dan sesaji untuk mendapatkan bahan baku.
Posisi keris sebagi barang pusaka mendapat perlakuan khusus mulai dari proses penyimpanan, membuka dari sarung, dan cara merawatnya. Hal ini sudah merupakan tradisi turun-temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa. Kekuatan spiritual di dalam keris diyakini dapat menimbulkan suatu perbawa atau sugesti kepada pemiliknya.
Keris bukan lagi digunakan sebagai senjata, namun masyarakat Jawa memaknai bahwa keris sekarang hanya sebagai ageman atau hanya dipakai sebagai pelengkap busana Jawa yang masih mempunyai nilai spiritual religius, serta sebagai barang pusaka yang bernilai.[16]



6. Penutup
            Seni merupakan suatu hasil karya yang bermutu dilihat dari segi kehalusan dan keindahannya. Sebuah keris dikatakan sebagai suatu karya seni karena mempunyai unsur keindahan, baik dalam bentuk maupun corak ornamennya (pamor). Sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat Jawa, bentuk bilah keris juga mengikuti kemajuan zaman. Bentuk bilah yang semula relatif gemuk, pendek, dan tebal, secara berangsur berubah menjadi lebih tipis, lebih langsing, lebih panjang, dan dengan sendirinya makin lama makin menjadi lebih indah. Selain itu penggunaan yang sebelumnya digunakan untuk berperang, kini lebih sebagai pelengkap busana adat masyarakat Jawa.
            Keris sebagai benda pusaka tidak hanya dipahami sebagai benda yang berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Tapi, keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup secara benar, baik dan seimbang. Meskipun demikian keris tetaplah benda mati, manusia Jawa pun tidak terjebak dalam pemahaman yang keiru tentang pusaka.
Peringatan para leluhur tentang hal di atas berbunyi: ”janjine dudu jimat kemat, ananging agunging Gusti kang Pinuji”. Artinya, janji bukan jimat, melainkan keagungan Tuhan-lah yang mesti diluhurkan. ”Nora kepingin misuwur karena peparinge leluhur, ananging tumindak luhur karena piwulange leluhur”. Artinya, tidak ingin terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur karena melaksanakan nasihat nenek moyang. Oleh karena itu, keris bukan jimat, tetapi lebih sebagai piyendel, sebagai sarana berbuat kebajikan dan memuji keagungan Ilahi.[17]











Daftar Istilah

  1. Dapur Keris     : Bentuk model bilah keris
  2. Empu               : Gelar pembuat keris yang telah mahir
  3. Ganja               : Bagian keris yang terletak melintang din pangkal keris
  4. Pamor              : Hiasan pada permukaan bilah keris dan ganjanya
  5. Pesi                  : Bagian keris yang masuk ke dalam hulu keris sehingga
                                memperkuat kedudukan bilah keris pada pegangannya
  1. Sepuhan          : Proses memperkuat besi keris dengan cara memanasinya sampai
  suhu diatas 550 derajat C, kemudian secara mendadak di dinginkan
  dengan cara mencelupkannya pada larutan air atau minyak tertentu.
  1. Selut                : Hiasan tambahan pada pangkal keris, ditaruh di ujung hulu keris
  yang berbatasan dengan bagian ganja. Selut terbuat dari logam
  kuningan, tembaga, perak, atau emas, umumnya diperindah lagi  
  dengan batu mulia.
  1. Tangguh          : Perkiraan jaman pembuatan keris.
  2. Warangan        : larutan senyawa arsenik dan air jeruk nipis yang dipakai untuk
  melumuri bilah keris, sehingga pamor keris dapat terlihat lebih
  cemerlang dan indah.
  1. Yoni                : Isi keris pusaka yang merupakan lambang realitas abstrak. Yoni
  mempunyai daya kekuatan gaib atau daya kekuatan adikodrati,
  berkat kerjasama empu pembuatnya dan berkat rahmat perkenaan
  Tuhan.










Daftar Pustaka

Departeman Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 8, Jakarta: Cipta Abdi Pustaka, 1990.

Dloyana Kusumah, Siti dan Supanto (ed), Upacara Tradisional Siraman Pusaka Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1988.

Doyodipuro, Ki Hudoyo, Keris: Daya Magic, Manfaat, Tuah, Misteri, Semarang: Dahara Prize, 1985.

Suryadi, Linus AG, Fenomena Kosmologi Jawa, Yogyakarta: Andi Offset, 1993.

Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia, 1985.







[1] Frans Magnis –Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. 9-10.
               
[2] Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm. 21.

[3] Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm. 11.

[4] Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm. 39.
[5] Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm. 60.

[6] Franz Magnis –Suseno, Etika Jawa..., hlm. 12.

[7] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Abdi Pustaka, Jilid. 8, 1990), hlm. 412.

[8] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi..., hlm. 412.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi NasionalIndonesia... , hlm. 412.

[10] Ki Hudoyo Doyodipuro, Keris: Daya Magic, Manfaat, Tuah, Misteri, (Semarang: Dahara Prize, 1985), hlm. 7-10.
[11] Ki Hudoyo Doyodipuro, Keris: Daya Magic, Manfaat..., hlm. 10.
[12] Linus Suryadi AG, Fenomena Kosmologi Jawa, (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), hlm. 42.

[13] Linus Suryadi, Fenomena…, hlm. 53.
[14] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi…, hlm. 413.

[15] Siti Dloyana Kusumah dan Supanto (ed), Upacara Tradisional Siraman Pusaka Kraton Yogyakarta, (Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1988), hlm. 79.
[16] Linus Suryadi AG, Fenomena…, hlm. 37.
[17] Ki Hudoyo Doyodipuro, Keris: Daya Magi…, hlm. 14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar