Minggu, 05 Juli 2015

DEMOKRASI PANCASILA

BAB I:  LINGKUNGAN HIDUP

1.1          Pengertian Lingkungan Hidup
                Lingkungan hidup merupakan ruang kehidupan yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi secara seimbang. Interaksi ini disebabkan karena fungsi dari masing-masing individu atau makhluk hidup berbeda, dan berusaha menjaga serta mempertahankan eksistensi dan fungsinya. Semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya. Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan “environment”, dalam bahasa Belanda disebut “milieu” atau dalam bahasa Perancis disebut “l’environment”
1.2          Komponen dalam Lingkungan Hidup
1.2.1       Lingkungan Hidup Internal
                Yakni proses fisiologis dan biokimia yang berlangsung dalam tubuh manusia pada saat tertentu yang juga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan keadaan yang terjadi di luar tubuh untuk kelangsungan hidupnya atau disebut juga bersifat homeostatis. Contoh perubahan temperatur dari panas ke dingin.
1.2.2       Lingkungan Hidup Eksternal
                Yakni segala sesuatu yang berupa benda hidup atau mati, ruang energi, keadaan sosial, ekonomi maupun budaya yang dapat membawa pengaruh terhadap prikehidupan manusia di muka bumi ini. Ada beberapa komponen lingkungan hidup eksternal:
1.             Lingkungan fisik (physical environment), lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi dan lain-lain.
2.             Lingkungan biologis (biological environment) lingkungan biologis bersifat biotik atau benda hidup, misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agen penyakit, reservoir inveksi, vektor penyakit, dan hospes intermediate.
3.             Lingkungan sosial (social environment) lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan                kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik. Lingkungan social terdiri dari: a)        Fisiososial, yaitu yang meliputi kebudayaan materil: peralatan, senjata, mesin, gedung    dan sebagainya; b) Biososial manusia dan bukan manusia, yaitu manusia dan interaksi terhadap sesamanya dan hewan beserta tumbuhan domestik dan bahan yang digunakan manusia yang berasal dari sumber organic; c) Psikososial, yaitu yang berhubungan dengan tabiat manusia, seperti sikap, pandangan, keinginan, keyakinan. Hal ini terlihat dari kebiasaan, agama, ideologi, bahasa dan lain-lain; d) Lingkungan komposit, yaitu lingkungan yang diatur secara institusional, berupa lembaga-lembaga masyarakat.
                Dengan pemahaman lingkungan hidup di atas, pelestarian lingkungan hidup merupakan upaya pelestarian komponen-komponen lingkungan hidup beserta fungsi yang melekat dan interaksi yang terjadi di antara komponen tersebut.
1.3          Mengapa Manusia Harus Peduli Terhadap Lingkungan Hidup?
1.3.1       Eksploitasi Alam
                Masalah kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditumbulkan bukanlah suatu hal yang asing lagi. Dengan mudah dan sistematis kita dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup dan apa saja akibat yang ditimbulkanya. Misalnya; Eksploitasi alam dan penebagan hutan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; Membuang limbah industri ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya; dan Penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut dan masih banyak lagi daftar sebab akibat yang biasa terjadi dalam lingkungan hidup kita.
                Perspektif environmental scarcity (kelangkaan), yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik penguasaan sumber daya (khususnya yang terbarukan, renewable resources) sebagai akibat pertambahan penduduk dan permintaan. Akibat meningkatnya permintaan, kualitas dan kuantitas sumber daya menurun. Situasi ini mengakibatkan kerusakan, kelangkaan sumber daya, dan melahirkan konflik sosial. Konflik potensial mengacaukan keamanan, ketidakstabilan, dan kemiskinan sehingga negara diperingatkan memperkuat pengamanan lingkungan.
1.3.2       Perspektif Politik-Ekonomi
                Berkembangnya perspektif politik ekologi, yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik dengan memperhitungkan aspek politik-ekonomi. Cara pandang ini berusaha menjelaskan masalah kerusakan lingkungan dengan memperhitungkan aspek kekuasaan, keadilan distribusi, cara pengontrolan, kepentingan jejaring lokal-nasional-global, kesejarahan, gender, dan peran aktor. Ketajaman perspektif politik ekologi terlihat dalam cara memahami kerusakan lingkungan sebagai akibat praktik kekuasaan dan pasar. Kerusakan di suatu wilayah mikro bisa karena kekuatan pasar global yang tidak terlibat langsung. Kasus konflik dan kebakaran hutan, misalnya, selalu terkait dengan kepentingan politik, ekonomi, pasar, dan cara pengontrolan sumber daya, bukan karena kelangkaan.
1.3.3       Perspektif Kelangkaan
                Terlihat, perspektif "kelangkaan" mendorong isu kerusakan lingkungan sebagai hubungan "sebab-akibat" yang wajar antara jumlah penduduk, permintaan, dan kelangkaan. Sebaliknya, perspektif politik ekologi menegaskan isu kerusakan lingkungan terletak pada "kesalahan cara urus" yang dijalankan pihak "berkuasa". Pertanyaannya, apa jadinya jika perspektif "kelangkaan" merajai kerangka pikir dunia dalam melihat krisis lingkungan? Secara mikro, perspektif "kelangkaan" akan menjauhkan akurasi penjelasan kerusakan lingkungan. Di Indonesia, misalnya, negara akan terus menguatkan kontrol atas sumber daya alam dan konflik akan dihadapi melalui cara-cara represif. Sebaliknya, penjelasan atas dampak otoritas negara, kekuasaan, dan pasar tidak mendapat tempat. Keadilan dan hak akses bagi rakyat tersendat dan kemiskinan kian nyata. Secara makro, perspektif kelangkaan membuat nyaman negara maju menghadapi tekanan negara miskin yang bersandar pada sumber daya alam/hutan. Kita ditarik masuk dalam isu pengendalian penduduk dan permintaan. Pengaruh pasar global dan perilaku negara maju terlindungi. Negara yang menghabiskan hutan dan menyumbang polusi bisa tampil percaya diri menyerukan kesadaran moral, "krisis lingkungan adalah masalah bersama".
                Lingkungan hidup menjadi sebuah masalah besar karena: a) manusia memiliki pengetahuan, pengenalan dan kesadaran akan kerusakan lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkannya begitu rendah dan lamban; b) manusia tidak dapat berpikir secara logis dan sistematis sehingga tindakan untuk   mengeksploitasi lingkungan hidup hanya berhenti pada tahap pengeksploitasian semata tanpa diikuti proses selanjutnya yaitu tanggungjawab untuk merawat dan memilihara?; 3) lemahnya kesadaran terhadap lingkungan hidup karena adanya anggapan dan pandangan bahwa pemanfaat alam bagi manusia itu adalah hal yang “wajar”.
                Jika kerusakan lingkungan hidup berarti sama dengan kerusakan bumi, maka sama artinya dengan ancaman terhadap hidup dan tempat tinggal kita. Dengan kata lain, tugas untuk merawat dan memelihara lingkungan hidup, bumi serta segala isinya adalah tanggung jawab kita semua. Lingkungan hidup bumi serta segala isinya adalah “milik” kita.
1.4          Masalah Etika dan Moral
                Masalah kerusakan lingkungan hidup mempunyai cakupan yang cukup luas. Ia tidak hanya dibatasi di dalam bentuk kerusakan pada dirinya sendiri. Namun, ia juga terkait dengan masalah lain. Masalah yang dimaksud adalah masalah etika dan moral.
                Sebelum kita masuk pada uraian lebih lanjut, kiranya kita perlu memperjelas lebih dahulu apa itu arti etika dan moral. Etika dapat dipahami sebagai filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika memberikan orientasi pada manusia agar manusia tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap pelbagai fihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita dapat mengerti sendiri mengapa kita harus bersikap begini atau begitu. Etika mau membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita. Sedangkan moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, kotbah-kotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia.
1.4.1       Masalah Etika
                Masalah lingkungan hidup menjadi masalah etika karena manusia seringkali “lupa” dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam. Karena “lupa” dan kehilangan orientasi itulah, manusia lantas memperlakukan alam secara tidak bertanggungjawab. Dalam keadaan seperti itu, mereka juga tidak lagi menjadi kritis. Oleh karena itulah pendekatan etis dalam menyikapi masalah lingkungan hidup sungguh sangat diperlukan. Pendekatan tersebut pertama-tama dimaksudkan: a) untuk menentukan sikap, tindakan dan perspektif etis serta manejemen perawatan lingkungan hidup dan seluruh anggota ekosistem di dalamnya dengan tepat. Maka, sudah sewajarnyalah jika saat ini dikembangkan etika lingkungan hidup dengan opsi “ramah”  terhadap lingkungan hidup; b) teori etika lingkungan hidup sendiri secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral  yang               dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. 
1.4.2       Masalah Moral
                Dalam kehidupan sehari-hari tindakan moral adalah tindakan yang paling menentukan kualitas baik buruknya hidup seseorang. Agar tindakan moral seseorang memenuhi kriteria moral yang baik, ia perlu mendasarkan tindakanya pada prinsip-prinsip moral secara tepat. Prinsip-prinsip moral yang dimaksud di sini adalah prinsip sikap baik, keadilandan hormat terhadap diri sendiri. Prinsip-prinsip moral ini perlu dikembangkan lebih jauh. Artinya, prinsip moral semacam itu diandaikan hanyalah berlaku bagi sesama manusia. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak hanya berjumpa dan berinteraksi dengan sesamanya, tetapi berinteraksi dan berhubungan juga dengan makhluk non-human atau lingkungan hidup di mana ia tinggal, bekerja dan hidup. Maka rasanya kurang memadai jika dalam konteks tersebut tidak terdapat prinsip-prinsip moral yang jelas seperti ketika seseorang menghadapi sesamanya. Dengan kata lain, rasanya akan lebih baik jika terdapat prinsip-prinsip moral yang menjadi penentu baik-buruknya tindakan seseorang dengan lingkungan hidup dan unsur-unsur kehidupan lain di dalamnya
                Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita kembali pada: 1) pemahaman atau pendekatan etika, dengan pendekatan itu, kita dapat menemukan konsep moral yang lebih memadai bagi manusia dalam menentukan sikap, tindakan dan perspektifnya terhadap lingkungan hidup dan makhluk non-human; 2) semua bintang dan tumbuhan dimasukkan sebagai gologan subyek moral. Maka, manusia punya kewajiban dan tanggung jawab terhadap semua binatang dan tumbuh-tumbuhan.
                Alasan apa yang dapat membenarkan pandangan semacam itu? Pertama harus ditentukan, apakah mereka layak disebut sebagai agen moral. Kriteria “sesuatu” dapat disebut sebagai agen moral. Yang dapat disebut sebagai agen moral adalah sebenarnya apa saja yang hidup, yang memiliki kapasitas kebaikan atau kebajikan sehingga dapat bertindak secara moral, memiliki kewajiban dan tanggungjawab, dan dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindakanya. Agen moral dapat memberikan penilaian yang benar dan salah; dapat diajak dalam proses delibrasi moral; dan dapat menentukan keputusan berdasarkan semua alasan yang telah disebutkan. 
                Dengan melihat definisi tersebut, mingkin kita akan berpendapat bahwa semua itu adalah kapasitas yang hanya dimiliki oleh manusia. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendapat semacam itu benar seluruhnya? Dugaan bahwa seluruh kapasitas sebagai moral agent (pelaku moral) di atas, hanya   dimiliki oleh manusia tidaklah seluruhnya benar. Dalam kenyataan ada juga pengecualian-pengecualian yang dapat menjadi halangan bagi manusia untuk menjadi agen-agen moral, contohnya adalah anak-anak yang masih berada di bawah umur dan mereka yang mengalami cacat mental. Anak-anak dan mereka yang mengalami cacat mental jelas-jelas adalah manusia. Akan tetapi, mereka tidak dapat disebut sebagai agen moral sebab mereka memiliki keterbatasan baik yang tidak permanen maupun yang permanen. Oleh karena itu, apabila mereka melakukan tindakan yang melanggar nilai-nilai moral tidak dapat dikenakan sanksi.
                Kriteria agent moral, dapat disimpulkan bahwa ada makhluk hidup lain bukan manusia yang memiliki kapasitas sebagai agent moral. Bukan tidak mungkin bahwa makhluk non-human memiliki kapasitas-kapasitas yang telah disebutkan di atas sebagai kriteria untuk menjadi agent moral. Semut dan lebah pekerja yang bekerja degan giat dengan penuh rasa tanggungjawab untuk mengumpulkan makanan dan madu demi kebaikan bersama komunitas mereka tidak dapat diabaikan sebagai agent moral jika kita diukur dengan menggunakan kepemilikan kapasitas dapat berbuat baik dan bertanggungjawab. Begitu juga halnya dengan tanaman; pohon pisang yang rela menghasilkan buah bukan demi untuk dirinya sendiri tetapi demi kebaikan entah bagi manusia atau makhluk yang lain pun juga tidak dapat diingkari keberadaanya sebagai agent moral. Dengan kata lain, pohon pisang juga memiliki kapasitas kebaikan yang layak menjadikan dirinya sebagai agen moral. Sebagai agen moral ia patut dihormati.


BAB II:  EKOLOGI

1.             Pengertian
                Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani οίκος”,oikos”,  (rumah, tempat tinggal) dan λόγος, logos” (ilmu, kata, uraian). Ekologi dilukiskan sebagai ilmu, studi (penyelidikan) tentang hubungan antara planet, hewan, manusia, dan lingkungan hidup serta keseimbangan di antara mereka. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel seorang biolog Jerman (1834-1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai “kesatuan” atau “saling keterkaitan” antara organisme dengan lingkungan sekitarnya. Organisme adalah “entitas” yang berada hanya dalam kesatuan dengan lingkungannya. Kodrat setiap entitas selalu terpaut dengan yang lain. Hubungan dengan yang lain menjadi ciri khas organisme. Planet bumi dianggap sebagai salah satu bentuk “komunitas” hidup yang saling tergantung dan memiliki keseimbangan. Ekologi dipahami juga sebagai ilmu tentang keseluruhan organisme di tempat beradanya; ilmu tentang tatanan dan fungsi alam atau kelompok organisme yang ditemukan dalam alam dan interaksi di antara mereka.
2.             Pembahasan Ekologi
                Sebagai ilmu, ekologi membahas ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik dengan tujuan memperoleh paham menyeluruh tentang segenap keadaan jagat raya (ecosphere). Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, dan biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba.  Karena itu, ilmu ini mencoba mengerti apapun yang bisa diketahui manusia, termasuk keadaan hidup, memperhatikan keadaan di bawah lapisan hidup yang dipenuhi dengan unsur-unsur abiotik dan dunia di luar bumi seperti planet serta dunia budi atau pikiran manusia (noosphere). Pembahasan utama ekologi tercurah pada hubungan timbal-balik antar benda, perubahan-perubahan tetap, pengaruh-pengaruh yang saling terkait, saling ketergantungan yang melintasi jagat raya. Iklim, makanan, kependudukan, energi, dan polusi merupakan pembahasan para pakar ekologi.
                Seperti ilmu alam lainnya, ekologi tergantung pada hukum fisis yang terpaut dengan materi dan energi. Materi adalah sesuatu yang memiliki massa dan ruang. Sedangkan energi, dipahami sebagai daya untuk melalukan sesuatu atau menghasilkan perubahan yang berbentuk materi. Hukum-hukum fisis adalah hukum pengawetan materi dan energi. Secara material, segala sesuatu pasti berubah bentuk wakalupun benda itu tidak hancur. Sedangkan dalam proses kimia biasa, energi hanya berubah bentuk, termasuk menjadi bentuk yang kurang berguna. Para ahli ekologi mempelajari: perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang menyebabkannya; perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda dan faktor-faktor yang menyebabkannya; terjadi hubungan antarspesies (interaksi antar spesies) makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
                Ekologi merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang muncul pada tahun 70-an. Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologi. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya. Ekologi, biologi, zoologi, botani dan ilmu kehidupan lainnya saling melengkapi.
                Jadi ekologi adalah ilmu atau studi tentang organisme dalam hubungannya dengan seluruh lingkungan hidup, yang berusaha menyoroti, menganalisi dan memajukan seluruh unsur dalam alam semesta. Kini para ekolog berfokus pada ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim.
3.             Konsep Ekologi
                Keterkaitan dan ketergantungan antara seluruh komponen ekosistem harus dipertahankan dalam kondisi yang stabil dan seimbang (homeostatis). Perubahan terhadap salah satu komponen akan mempengaruhi komponen lainnya. Homeostatis adalah kecenderungan sistem biologi untuk menahan perubahan dan selalu berada dalam keseimbangan.
                Ekosistem mampu memelihara dan mengatur diri sendiri seperti halnya komponen penyusunnya yaitu organisme dan populasi. Dengan demikian, ekosistem dapat dianggap suatu cibernetik di alam. Namun manusia cenderung mengganggu sistem pengendalian alamiah ini.
4.             Hubungan Ekologi dengan Politik, Ekonomi dan Antropologi
                Ekologi menimbulkan banyak filsafat yang amat kuat dan pergerakan politik-termasuk gerakan konservasi, kesehatan, lingkungan,dan ekologi yang kita kenal sekarang. Saat semuanya digabungkan dengan gerakan perdamaian dan Enam Asas, disebut gerakan hijau. Umumnya, mengambil kesehatan ekosistem yang pertama pada daftar moral manusia dan prioritas politik, seperti jalan buat mencapai kesehatan manusia dan keharmonisan sosial, dan ekonomi yang lebih baik. Orang yang memiliki kepercayaan-kepercayaan itu disebut ekolog politik. Beberapa telah mengatur ke dalam Kelompok Hijau, namun ada benar-benar ekolog politik dalam kebanyakan partai politik. Sangat sering mereka memakai argumen dari ekologi buat melanjutkan kebijakan, khususnya kebijakan hutan dan energi. Seringkali argumen-argumen itu bertentangan satu sama lain, seperti banyak yang dilakukan para akademisi.
                Ekonomi, ekologi dan teori perkembangan manusia mencoba memisahkan ekonomi dengan lainnya, namun susah. Ekonomi menjadi bagian ekologi, dan jangan pernah mengabaikannya. "Modal alam" merupakan penggabungan ekologi dan ekonomi yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Ekologi terkadang dibandingkan dengan antropologi, sebab keduanya menggunakan banyak metode untuk mempelajari satu hal yang kita tak bisa tinggal tanpa itu. Antropologi mempelajari tentang bagaimana tubuh dan pikiran kita dipengaruhi oleh lingkungan kita, sedangkan ekologi mempelajari bagaimana lingkungan kita dipengaruhi oleh tubuh dan pikiran kita.
                Beberapa ilmuwan berpikir, paradigma mekanistik meletakkan subyek manusia dalam kontrol objek ekologi, atau disebut masalah subyek-obyek. Namun dalam psikologi evolusioner atau psikoneuroimunologi, jelas bahwa kemampuan manusia dan tantangan ekonomi berkembang bersama. Antoine de Saint-Exupery mengatakan, "Bumi mengajarkan kita lebih banyak tentang diri kita daripada seluruh buku”. Karena itu, manusia menemukan dirinya sendiri saat ia membandingkan dirinya dengan alam beserta isinya.
5.             Hubungan Manusia dengan Kosmos
                Maroni membagi 3 tahap penting latar belakang sejarah hubungan manusia dengan alam semesta:
5.1          Masa Keseimbangan Alam
                Pada zaman Paleolitikum (zaman batu) sekitar tahun 590 000 sM manusia belum mengenal dunia pertanian. Manusia hidup sebagai pemburu, pencari ikan, dan pengumpul buah-buahan. Dalam zaman ini, hubungan manusia dengan alam cukup seimbang. Manusia primitif berhubungan serasi dengan alam karena manusia menggantungkan dirinya pada alam. Kontrol manusia terhadap alam khususnya menyangkut sumber-sumber yang diperlukan manusia untuk hidup dan berkembang cukup kuat, demikian juga kontrol alam terhadap masyarakat dan hewan.
                Perkembangan teknologi (penggunaan api, pengenalan dan pengetahuan manusia tentang makanan dari tumbuh-tumbuhan dan daging hewan buruan) di kalangan manusia ternyata mempengaruhi lingkungannya sendiri. Pengetahuan manusia tentang jenis tanaman yang dapat dinikmati pada musim tertentu dan tingkah laku manusia terhadap hewan memungkinkan manusia untuk memperoleh sumber makanan seperlunya.
5.2          Masa  Ketidak-seimbangan Alam
                Pada masa ini terdapat dua perubahan kultural yang menimbulkan keretakan keseimbangan antara kelompok manusia dan lingkungan alam: 1) revolusi neolitikum (masa manusia mengubah lingkungan alam tanpa membahayakan proses fungsi alam); 2) revolusi industri yang melanda sejumlah negara maju. Zaman sekarang, manusia mengontrol lingkungan hidup dan menggarap kekayaan alam demi kepentingan manusia.
5.2.1       Revolusi Neolitikum (Abad ke-20)
                Ketidak-seimbangan hubungan antara manusia dengan alam muncul pada saat manusia mengalami krisis makanan. Keadaan ini terjadi pada zaman Mesolitikum (zaman peralihan antara Paleolitikum dan Neolitikum), pada waktu suhu bumi sedang mengalami perubahan sehingga terjadilah perpindahan binatang-binatang menuju ke kawasan Utara. Situasi ini membuat manusia mengambil sikap lain terhadap alam dan lingkungan hidupnya. Pada masa ini, bisa dikatakan masa awal sejarah dimana manusia mulai menyadari dirinya memiliki jarak dengan alam. Manusia mulai menyingkap rahasia bahwa alam semesta dapat menghasilkan makanan sehingga manusia mulai merambah hutan yang kaya akan bahan makanan manusia.
                Dengan bertani dan memelihara ternak, maka dimulailah zaman Neolitikum (zaman batu akhir). Revolusi Neolitikum adalah perubahan cara manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan tidak lagi mencari tumbuh-tumbuhan, tetapi menanam tumbuh-tumbuhan; ia tidak lagi berburu hewan tetapi mulai memeliharanya. Ciri kerja zaman ini yakni mengubah tatanan hidup masyarakat dengan bertani dan berternak. Api digunakan untuk membakar hutan, kemudian mulailah cara hidup nomaden yang berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain. Lambat laun muncul dunia pertukangan yang menangani pembangunan tenmpat tinggal manusia, hewan dan keperluan lainnya. Desa dan kota mulai tumbuh. Masa ini dimulai sekitar 8000-7000 sM di Asia Barat Daya, sekitar 5000 sM di Eropah Tenggara dan 4000 sM di Negeri Belanda dan Belgia.
                Dalam masa ini terjadi revolusi perkotaan. Di daerah perkotaan lahir masyarakat sipil dan peradaban manusiawi. Sumber energi yang baru mulai dipakai. Perak, tembaga dan besi dimanfaatkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan masyarakat zaman ini dengan alam pada dasarnya berlangsung hingga awal peradapan industrial. Hubungan baik antara manusia dengan alam semesta masih berlangsung hingga tahun 1950.
5.2.2       Revolusi Industri
                Revolusi industri bertitik tolak dari abad XVII dengan munculnya metode ilmiah dan pengetahuan-pengetahuan baru dan penyebarluasan teknologi. Industrialisasi mendatangkan kemudahan dan memperbaiki banyak aspek dalam hidup manusia seperti: pengobatan, kesehatan, peningkatan kerja kaum tani, penyebaran informasi. Dalam tempo 50 tahun terakhir telah muncul sorotan terhadap dualisme yang mendalam antara manusia dengan alam. Manusia dialami sebagai subyek aktif; sedangkan alam sebagai unsur pasif. Sumber-sumber alam dimanfaatkan manusai sebagai sarana pemenuhan kebutuhan. Kemajuan teknologi menunjukkan kuasa atas alam, lingkungan dan manusia. Lambat laun manusia mulai melepaskan diri dari kuasa alam dan manusia menaklukkan alam semesta.
                Pada tahun 1960-1970 munusia telah menjadi pusat dalam jagat raya. Manusia dipandang sebagai “realitas mutlak”. Manusia mulai bertindak tak kenal batas, utilitarialisme, tidak mengenal kewajiban atas alam, muncul budaya yang kurang menghargai nilai hidup, dan penghancuran alam semesta dengan teknologi modern.
5.3          Keadaan “Oikos” Dewasa ini
5.3.1       Keadaan Udara
                Pencemaran udara sejak era revolusi industri sangat meningkat. Kata Pencemaran berasal dari kata cemar, yang secara harafiah berarti kotor atau ternoda. Kata ini mengandung dua arti. Yang pertama berkaitan dengan keadaan lingkungan fisik. Misalnya air kotor yang disebut air yang tercemar. Yang kedua berkaitan dengan aspek moral, misalnya digunakan untuk menyebut suatu perbuatan perkosaan. Perbuatan tersebut disebut perbuatan tercemar atau ternoda. Dalam konteks di atas pencemaran yang dimaksud adalah yang pertama yaitu pencemaran fisik. Pencemaran berarti proses mengotori lingkungan, misalnya udara atau proses perusakan lingkungan dengan cara pengotoran. Dalam bahasa Inggris
                Keadaan udara telah dicemari asap yang menyembur dari cerobong-cerobong pabrik industri. Polusi udara kian meningkat. Selain itu, pabrik-pabrik industri mengeluarkan karbon dioksida yang dilepaskan dari pembakaran fosil bahan bakar, seperti pembakaran batu bara yang ternyata meresap energi solar, lalu dipantulkan kembali ke ruang angkasa. Akibatnya suhu udara meninggi. Sejak awal industri jumlah karbon dioksida bertambah 25% di atas permukaan bumi. Pantauan dari Mauna Loa (Hawai) menunjukkan bahwa belakangan ini korban dioksida bertambah rata-rata 1,4% per tahun dan tingkatan ini akan dipercepat lagi. Ukuran suhu rata-rata sekarang mengalami kenaikan 5%. Penggunaan kendaraan bermotor seperti becak mesin, sepeda motor, truk-truk angkutan dan mobil pribadi, telah meningkatkan kadar pencemaran udara. Bila batu bara mesin  terus-menerus dipergunakan, maka suhu bumi akan cepat meningkat dan akibatnya akan lebih terasa dalam tahun 2020 mendatang.
                Selain itu “hujan asam” (acid rain) terbentuk pada saat nitrogen dan sulfur oksida di dalam udara bergabung dengan uap air dalam awam untuk membentuk “asam sendawa” (nitric acid) dan asam belerang (sulfuric acid) yang diturunkan oleh curah hujan. Curah hujan asam dapat membunuh ikan-ikan dalam danau-danau dan sungai-sungai. Hujan asam ini termasuk masalah mondial. Dampak pencemaran udara dapat dilihat dalam dunia tumbuhan, hewan dan manusia. Hidup dan kesehatan manusia dapat terganggu sebagai akibat pencemaran udara. Karbon dioksida bisa menimbulkan sakit kepala dan kehilangan ketajaman pengelihatan. Termasuk asap, akan mengganggu pernafasan seseorang.
                Hasil studi Bank Dunia di tahun 1994 memperkirakan kerugian ekonomi akibat polusi udara khususnya di Ibukota Jakarta sudah mencapai Rp. 500 milyar/tahun. Ini baru perkiraan pada 18 tahun silam sehingga untuk kondisi saat ini jumlah kerugiannya jauh berlipat-lipat. Angka kerugian tersebut dengan memperhitungkan 1.200 kasus kematian prematur, 32 juta masalah pernafasan dan 464 kasus asma, pada waktu itu.
Dalam satu seminar yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) diawal tahun 2010 di Jakarta terungkap keadaan udara Kota Jakarta yang cenderung memburuk. Tingkat pencemaran udara di kota Jakarta sudah pada level pencemaran berat bila dibanding dengan beberapa kota di Asia seperti Tokyo, Beijing, Seoul, Taipei, Bangkok, Kuala Lumpur dan Manila. Salah satu sumber menyebutkan, berdasarkan data yang ada, total estimasi pollutant CO yang diestimasikan dari seluruh aktivitas di Jakarta sekitar 686,864 ton/tahun atau 48,6 persen dari jumlah emisi lima pollutant. Sebagian besar sumber pencemaran udara di Jakarta (sekitar 80%) berasal dari sektor transportasi, dan 20 persen industri serta limbah domestik. Sedangkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan sebesar 20 persen.
                Indikasi pencemaran udara di Indonesia kian menakutkan juga pernah diutarakan oleh staf ahli Menteri kehutanan bidang lingkungan, Yetti Rusli dalam satu seminar di Jakarta bulan Juni silam. Dikatakannya, jika mengacu pada standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pencemaran udara di Indonesia, khususnya di Jakarta, memang sudah mencemaskan.
                Pemantauan oleh KLH di tahun 2004 pada 10 kota besar di Indonesia antara lain Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, Denpasar, Pontianak, Palangkaraya, Pekanbaru, dan Jambi menunjukkan kualitas udara di kota-kota tersebut umumnya berkisar antara “tidak sehat” dan “sehat.” Hanya di Palangkaraya Kalimantan Tengah, kondisi udara selama dua hari sempat berada pada level “sangat tidak sehat, dan selama lima hari berada pada status “berbahaya.” Pemantauan mutu udara oleh KLH yang menggunakan peralatan air quality monitoring station (AQMS) ini tentu menjelaskan bahwa secara nasional degradasi mutu udara di Indonesia belum separah seperti saat ini.
                Laporan Environmental Performance Index tahun 2006 yang diterbitkan oleh Universitas Yale menunjukkan dari 133 negara yang dipantau, kualitas udara di Indonesia berada di posisi 124 dengan dengan skor 25,1. Uganda justru merupakan negara yang memiliki kualitas udara paling bagus dengan skor 90,0, sedangkan Bangladesh adalah negara yang memiliki kualitas udara paling buruk dengan skor 6,9. Turunnya kualitas udara Indonesia secara nasional disebabkan oleh tingginya pencemaran udara di kota-kota besar.
5.3.1.1    Penyebab Pencemaran Udara
                Pencemaran udara, atau lazim disebut “polusi udara” terjadi karena masuknya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau akibat perubahan tatanan lingkungan yang terjadi secara alami yang menyebabkan lingkungan udara tak dapat berfungsi optimal. Kualitas udara pun berubah menjadi berbahaya bila ada zat-zat berbahaya masuk dan tercampur di dalam udara, dan pada gilirannya mengganggu fungsi lingkungan, mengancam kesehatan dan jiwa manusia, dan atau menyebabkan udara tak dapat dimanfaatkan lagi sebagaimana mestinya.
                Masuknya partikel-partikel debu dari gunung berapi ke dalam udara atau asap dari kebakaran hutan adalah beberapa contoh sumber pencemar udara yang bersifat alami. Sedangkan, tercemarnya udara akibat gas buang kendaraan bermotor, asap pabrik dan aktivitas domestik merupakan sumber pencemar udara karena perbuatan manusia. Begitu pula, padatnya pemukiman, minimnya ruang terbuka hijau, pemakaian energi berlebihan, merupakan faktor penyebab pencemaran udara.
                Proses terjadinya pencemaran udara, ada yang bersifat langsung (Primary Air Pollution) yakni ditandai dengan masuknya unsur pencemar dari sumbernya langsung ke udara, ada juga yang tidak langsung (Secondary Air Pollution), yakni proses pencemaran baru terjadi setelah melalui proses kimia yang menghasilkan senyawa tertentu, dan senyawa itu yang kemudian masuk ke udara (misalnya: ozon (O3), aldehida dan hujan asam).
                Di perkotaan, sumber pencemaran udara paling dominan adalah sektor transportasi, industri dan aktivitas domestik. Ini disebabkan oleh pemakaian bahan bakar fosil yang menghasilkan unsur pencemar dominan yakni karbon monoksida (60%) dan hidrokarbon (15%). Pemakaian bahan bakar berupa bensin bertimbal dan solar dengan kandungan belerang yang tinggi menyebabkan pembakaran di dalam mesin tidak sempurna sehingga elemen pencemar yang terlepas ke udara terdiri dari 100% timbal, 13%-44% SPM, 71%-89% hidrokarbon, 34%-73% oksida nitrogen, dan hampir seluruh karbon monoksida ke udara Jakarta. Unsur polutan yang terlepas ke udara adalah CO, HC, SO2, NO2, dan partikulat.
                Sedangkan bahan pencemar udara yang bersumber dari kegiatan industri dan pembangkit listrik antara lain partikel debu, gas SO2 (Sulfur dioksida) gas NO2 (Nitrogen dioksida) gas CO (karbonmonoksida) gas He (helium). Perubahan kualitas udara biasanya mencakup parameter-parameter gas NO2, SO2, CO, C3, NH3, H2S, hidro karbon dan partikel debu.
5.3.1.2    Dampak Udara Kotor
                Degradasi mutu udara, tidak hanya berdampak negatif bagi lingkungan hidup, tapi pada derajat tertentu dapat mengancam keselamatan jiwa manusia. Dengan kata lain, krisis udara bersih tidak hanya mengancam keseimbangan ekosistem, tapi juga berpengaruh terhadap tingkat produktivitas penduduk dan derajat kesejahteraan masyarakat. Bahkan dalam jangka panjang dapat menghancurkan kehidupan di muka bumi karena pencemaran udara juga mendorong percepatan pemanasan global.
                Beberapa penelitian memaparkan dampak nyata dari udara kotor bagi kesehatan manusia yakni mewabahnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan gangguan saluran pernafasan lainnya. Di dalam laporan pusat-pusat kesehatan masyarakat jenis penyakit tersebut menempati peringkat pertama di kawasan perkotaan. samping itu, ada beberapa organ manusia yang dapat diserang akibat pencemaran udara, yaitu: a) mata yang ditandai dengan mata berair dan terasa pedih. Bahkan bila senyawa penyebabnya terdapat dalam jumlah banyak, penglihatan menjadi kabur; b) otak, yang ditandai dengan melemahnya fungsi dan koordinasi motorik otak. Ini terjadi akibat kadar O2 di dalam otak menurun pada saat CO tertutup; c) hidung, tenggorokan, dan paru-paru yang terganggu oleh Ozon (O3) yang ditandai dengan terjadinya iritasi pada hidung dan tenggorokan terasa terbakar. Selain itu Ozon dapat memperkecil paru-paru; d) jantung akibat CO yang dihirup berikatan dengan sel darah merah. Akibatnya fungsi sel darah merah terhambat, begitu pula penyaluran O2 ke seluruh tubuh. Sakit pada dada disebabkan oleh rendahnya kadar O2; e) syaraf terganggu akibat akumulasi Pb yang menyerang sel-sel syaraf, sehingga mengurangi tingkat intelegensia dan menganggu pertumbuhan anak. Pb (timbal) yang terakumulasi dalam tubuh manusia, juga meracuni atau merusak fungsi mental, perilaku, anemia, serta dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan sel syaraf dan sistem otak. Kandungan timbal dalam bahan bakar minyak juga dapat meracuni sistem pembentukan sel darah  merah.
                Pencemaran udara juga berdampak negatif bagi tanaman. Beberapa studi menyimpulkan, tanaman yang tumbuh di lingkungan yang udaranya sudah tercemar umumnya kerdil, meski telah diberi pupuk dalam jumlah memadai. Hal ini dapat dilihat pada pepohonan yang ditanam di sepanjang jalan dengan kepadatan lalulintas yang tinggi. Selain itu, pencemaran udara juga sangat berpotensi mengotori bangunan-bangunan, bahkan dapat menyebabkan tembok-tembok mudah keropos.
5.3.1.3    Pencegahan dan Pengendalian
                Mengatasi pencemaran atau setidaknya menekan tingkat pencemaran melalui sejumlah program, seperti Program Langit Biru, Uji Emisi, Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day), kampanye pemakaian bahan bakar ramah lingkungan, penanaman pohon, dan sebagainya. Tapi semua itu, tentu tidak cukup atau hasilnya tak akan maksimal jika tidak ditopang oleh partisipasi segenap warga masyarakat.
                Upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran udara sesungguhnya lebih dominan ditentukan oleh kesadaran dan dukung aktif masyarakat. Sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi kendaraan bermotor terhadap pencemaran udara cukup besar, maka tentu dukungan para pemilik dan pengemudi kendaraan bermotor sangat diharapkan. Dengan langkah sederhana namun bermakna penting bagi pencegahan pencemaran udara, pemilik/pengemudi kendaraan bermotor dapat berpartisipasi dalam mengatasi masalah ini. Antara lain dengan, selalu merawat mesin kendaraan bermotor agar tetap berfungsi baik, melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan secara berkala, memasang filter pada knalpot, sedapat mungkin memakai bahan bakar ramah lingkungan. Sementara bagi pelaku industri dapat melakukan beberapa langkah seperti memasang scruber pada cerobong asap, merawat mesin industri agar tetap baik dan lakukan pengujian secara berkala, menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara dengan kadar Sulfur, CO rendah, memodifikasi pada proses pembakaran.


5.3.2       Keadaan Air
                Pencemaran air dewasa ini kian bertambah. Pencemaran air bukan hanya pengaruh sampah organik melainkan juga  benda-benda lain yang tak terolah, termasuk bakteri, virus dan segala bentuk endapan dalam air. Ini semua akan mengancam kebersihan air, kehidupan dalam air dan kesehatan manusia. Pembuangan limbah secara sembarangan dan tak bertanggungjawab ikut memperburuk pencemaran air. Sampah-sampah organik umumnya berasal dari proses industri pelbagai produk makanan, dari pulp dan industry kertas. Sampah-sampah organik yang masuk ke dalam air akan dikonsumsi oleh pelbagai bentuk bakteri yang berada dalam proses menghabiskan oksigen dari air. Air yang kekurangan oksigen tidak mampu menjamin hidup ikan dan sejumlah organism lainnya.
5.3.2.1    Penyebab Pencemaran Air
                Bahan campuran fosfor akan mencemarkan sumber-sumber air. Kandungan ini ditemukan dalam bahan pembersih, seperti air sabun yang digunakan keluarga-keluarga atau pabrik dan pupuk-pupuk yang dipergunakan dunia pertanian. Pencemaran terhadap air tanah disebabkan oleh bahan kimia organic maupun bukan organik, sampah radio aktif atau organism mikro yang terus-menerus bertambah dan kini telah menembus tiap kawasan Negara tertentu. Sumber-sumber pencemaran mencakup tumpukan sisa pembuangan, tempat pembuangan sampah secara resmi dan tak resmi. Lebih dari 50% penduduk dunia menggantungkan hidup mereka pada air tanah sebagai minuman. Air tanah yang tercemar terkait dengan penyakit kanker, hati, buah pinggang dan malah dapat menimbulkan kerusakan pada sistem syaraf sentral. Cukup disayangkan pembongkaran kasus ini seringkali terjadi secara tak sengaja, sebab air ta nah yang tercemar ternyata selalu tak berbau, tak berwarna dan tak terasa.
                Debit air di dunia berkurang, perlu para ahli untuk membahas keadaan air dan krisis yang terjadi di dunia. Diprediksikan ke depan, banyak di berbagai negara akan mengalami krisis air dan mengalami pencemaran. Air merupakan senyawa yang penting untuk seluruh kehidupan. 71% bumi ditutupi oleh air. Air banyak berada di laut dan di berbagai sumber air lainnya. Air dibedakan menjadi dua yaitu ada air permukaan dan air tanah. Namun dengan berjalannya waktu, air kini sudah menjadi suatu masalah besar di dunia. Kini banyak di berbagai negara yang terkena krisis air, di negara miskin, negara berkembang, maupun di negara maju. 
5.3.2.2    Keadaan Air di Dunia khususnya di Indonesia
                Sekarang, banyak permasalahaan akan kurangnya air di dunia. Salah satunya adalah negara Indonesia. Dalam acara Forum Air di dunia pada bulan Maret tahun 2000 disebutkan bahwa, Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami krisis air pada tahun 2025. Ini di sebabkan oleh lemahnya warga Indonesia dalam mengelola air. Dengan bertambahnya kebutuhan air dan potensi ketersediaanya sangat tidak simbang, sehingga menekan kemampuan alam dalam menyediakan air. Banyak juga sungai-sungai yang mulai tercemar di Indonesia salah satunya adalah sungai Ciliwung.
        Sungai Ciliwung merupakan sungai di pulau Jawa. Sungai ini relatif lebar dahulu sungai ini menjadi tempat hilir mudiknya perahu pengangkutan barang. Aliran sungai ciliwung melewati wilayah kota Bogor, kota Depok, kabupaten Bogor dan juga Jakarta. Namun sungai ciliwung yang sekarang dengan sungai ciliwung yang dahulu sangatlah berbeda. Dahulu sungai ciliwung sangatlah bersih dan dapat digunakan untuk mandi, berwudhu dan lain-lain. Namun dengan beriringnya waktu sungai ciliwung menjadi tercemar dan terkontaminasi. Sungai Ciliwung menjadi tercemar karena ulah-ulah manusia seperti membuang sampah sembarangan, membuang air besar dan kecil sehingnga membuat air yang jernih menjadi coklat dan kotor.
           Sungai Ciliwung memiliki dampak yang sangat besar ketika hujan datang. Sungai Ciliwung juga merupaka sungai yang memiliki perusakan yang sangat parah dibandingan dengan sungai-sungai yang ada di Jakarta. Selain karena DAS (Daerah Aliran Sungai) di bagian hulu di puncak dan bogor rusak DAS di jakarta juga mengalami penyempitan sehingga mengakibatkan banjir di Jakarta besar. Dengan banyaknya sumber air yang yang tercemar sehingga membuat indonesia menjadi kekurangan air bersih. Bukan hanya negara Indonesia saja yang akan mengalami  krisis air. Di negara kaya pun mengalami krisis air salah satunya di amerika serikat sejumlah kawasan mengunakan air secara  berlebihan dibandingkan yang dapat di isi secara alami, dengan sedikitnya curah hujan yang mengakibatkan pemanasan global.
              Di Afrika selatan banyak di berbagai daerahnya mengalami krisis air. Krisis air tersebut disebabkan di bangunya berbagai industri-industri dan juga pabri-pabrik. Polusi yang dicemrkan oleh pabrik-pabrik tersebut mengakibatkan air menjadi tercemar. Bukan hanya pabrik-pabrik dan industri yang membuat Afrika mengalami krisis air. Di Ethiopia dan sekitarnya di kenal sebagai daerah yang kering dan minim air, itu disebabkan oleh banyaknya pohon yang di tebang secara liar sehingga tidak ada tempat peresapan air.
               Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan juga kebutuhan air yang meningakat, sumber daya air perlu tersedia dalam kuantitas yang memadai dan juga harus memadai kebutuhan masyarakat. Kualitas air ditentukan dari alam. Dari mana air itu berasal dan bagaimana air itu tercemar.
5.3.3       Keadaan Ozon
                Ozon adalah salah satu bentuk oksigen. Oksigen normal mengandung dua atom yang disebut 𝛰2.  𝛰2  bersifat sangat stabil dan sulit terlepas. Sementara itu, ozon yang memiliki tiga atom disebut 𝛰3,  bersifat kurang stabil dan mudah terlepas, jika dibandingkan dengan 𝛰2.  Penyelidikan laboratorium menunjukkan bahwa khlor dapat terpisah dari ozon. Bila dekat dengan tanah, ozon adalah salah satu unsur utama smog (kabut campur asap), apabila ozon berada tinggi di udara, maka ozon menyerap radiasi ultraviolet yang berbahaya. Ozon yang berada tinggi di atas tanah dirusak oleh khlor dari bahan kimia yang terkandung antara lain, dalam almari es dan air conditioners. Kaum pendukung pengawasan kependudukan menegaskan, teori tentang penghancuran bahan kimia ini telah terbukti. Kini lubang ozon kian besar, akibatnya ribuan dan mungkin jutaan orang akan meninggal akibat kanker kulit karena perusakan ozon.
                Kerusakan lapisan Ozon berawal dari adanya emisi molekul gas yang mengandung Klor dan Brom dari proses alamiah maupun aktifitas manusia. Radiasi matahari memecah molekul gas tersebut menjadi radikal Klor dan Brom. Radikal Klor dan Brom ini akan memecah ikatan gas-gas lain di stratosfir termasuk molekul Ozon. Reaksi yang terjadi menyebabkan molekul Ozon terpecah menjadi Oksigen dan radikal Oksigen. Karena reaksi tersebut berlangsung secara berantai maka konsentrasi ozon di stratosfir akan terus berkurang, sehingga akhirnya dapat membentuk lubang Ozon.
                Penipisan lapisan Ozon menyebabkan fungsinya untuk menyerap radiasi UV menjadi berkurang. Akibatnya intensitas radiasi UV yang mencapai permukaan bumi meningkat. Paparan radiasi UV yang berlebihan terhadap manusia, hewan, tanaman dan bahan-bahan bangunan dapat berdampak negatif. Dampak negatif pada manusaia misalnya dapat menimbulkan kanker kulit, katarak mata serta mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada tumbuhan, menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi lambat, bahkan kerdil, sehingga hasil panen menurun dan tanahan hutan rusak. Pada ekosistem air, intensitas UV yang berle bihan memusnahkan organisme kecil yang hidup di permukaan air. Phytoplankton sebagai sumber rantai makanan musnah sehingga memengaruhi kehidupan biota laut.
Untuk menjaga kondisi Ozon tetap baik dapat dilakukan dengan membatasi/mengurangi emisi bahan perusak ozon menggantinya dengan bahan yang ramah Ozon, melestarikan hutan dan mencegah pembakaran hutan, serta mengurangi tingkat polusi dengan penggunaan sumber energi ramah lingkungan.

5.3.3.1    Tempat dan Fungsi Lapisan Ozon
                 Lapisan ozon adalah lapisan di atmosfer pada ketinggian 19-48 km (12-30 mil) di atas permukaan Bumi yang mengandung molekul-molekul ozon. Konsentrasi ozon di lapisan ini mencapai 10 ppm dan terbentuk akibat pengaruh sinar ultraviolet Matahari terhadap molekul-molekul oksigen. Peristiwa ini telah terjadi sejak berjuta-juta tahun yang lalu, tetapi campuran molekul-molekul nitrogen yang muncul di atmosfer menjaga konsentrasi ozon relatif stabil. Ozon adalah gas beracun sehingga bila berada dekat permukaan tanah akan berbahaya bila terhisap dan dapat merusak paru-paru. Sebaliknya, lapisan ozon di atmosfer melindungi kehidupan di Bumi karena ia melindunginya dari radiasi sinar ultraviolet yang dapat menyebabkan kanker. Oleh karena itu, para ilmuwan sangat khawatir ketika mereka menemukan bahwa bahan kimia kloro fluoro karbon (CFC) yang biasa digunakan sebagai media pendingin dan gas pendorong spray aerosol, memberikan ancaman terhadap lapisan ini. Bila dilepas ke atmosfer, zat yang mengandung klorin ini akan dipecah oleh sinar matahari yang menyebabkan klorin dapat bereaksi dan menghancurkan molekul-molekul ozon. Setiap satu molekul CFC mampu menghancurkan hingga 100.000 molekul ozon. Oleh karena itu, penggunaan CFC dalam aerosol dilarang di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia. Bahan-bahan kimia lain seperti bromin halokarbon, dan juga nitrogen oksida dari pupuk, juga dapat menyerang lapisan ozon.
                Menipisnya lapisan ozon dalam atmosfer bagian atas diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penyakit kanker kulit dan katarak pada manusia, merusak tanaman pangan tertentu, memengaruhi plankton yang akan berakibat pada rantai makanan di laut, dan meningkatnya karbondioksida (lihat pemanasan global) akibat berkurangnya tanaman dan plankton. Sebaliknya, terlalu banyak ozon di bagian bawah atmosfer membantu terjadinya kabut campur asap, yang berkaitan dengan iritasi saluran pernapasan dan penyakit pernapasan akut bagi mereka yang menderita masalah kardiopulmoner. [1]
5.3.3.2    Lubang Ozon
                Pada awal tahun 1980-an, para peneliti yang bekerja di Antartika mendeteksi hilangnya ozon secara periodik di atas benua tersebut. Keadaan yang dinamakan lubang ozon (suatu area ozon tipis pada lapisan ozon) ini, terbentuk saat musim semi di Antartika dan berlanjut selama beberapa bulan sebelum menebal kembali. Studi-studi yang dilakukan dengan balon pada ketinggian tinggi dan satelit-satelit cuaca menunjukkan bahwa persentase ozon secara keseluruhan di Antartika sebenarnya terus menurun. Penerbangan-penerbangan yang dilakukan untuk meneliti hal ini juga memberikan hasil yang sama.
5.3.3.3    Regulasi
                Pada tahun 1987, ditandatangani Protokol Montreal, suatu perjanjian untuk perlindungan terhadap lapisan ozon. Protokol ini kemudian diratifikasi oleh 36 negara termasuk Amerika Serikat. Pelarangan total terhadap penggunaan CFC sejak 1990 diusulkan oleh Komunitas Eropa (sekarang Uni Eropa) pada tahun 1989, yang juga disetujui oleh Presiden AS George Bush. Pada Desember 1995, lebih dari 100 negara setuju untuk secara bertahap menghentikan produksi pestisida metil bromida di negara-negara maju. Bahan ini diperkirakan dapat menyebabkan pengurangan lapisan ozon hingga 15 persen pada tahun 2000. CFC tidak diproduksi lagi di negara maju pada akhir tahun 1995 dan dihentikan secara bertahap di negara berkembang hingga tahun 2010. Hidrofluorokarbon atau HCFC, yang lebih sedikit menyebabkan kerusakan lapisan ozon bila dibandingkan CFC, digunakan sementara sebagai pengganti CFC, hingga 2020 pada negara maju dan 2016 di negara berkembang. Untuk memonitor berkurangnya ozon secara global, pada tahun 1991, National Aeronautics and Space Administration (NASA) meluncurkan Satelit Peneliti Atmosfer. Satelit dengan berat 7 ton ini mengorbit pada ketinggian 600 km (372 mil) untuk mengukur variasi ozon pada berbagai ketinggian dan menyediakan gambaran jelas pertama tentang kimiawi atmosfer di atas.
5.3.3.4    “Oikos” Dewasa ini Memprihatinkan
                Oikos kita telah dan sedang berubah akibat tindakan manusia. Manusia tidak hanya menempati oikos, tetapi menggarap oikos hingga pada batas yang memprihatinkan. Manusia sering mengolah oikos dan kandungannya sesuai dengan “vested interest” (kepentingan terselubung) tanpa memperhatikan mempertimbangkan dampak dan masa depan tindakan mereka secara bijaksana dan adil. Akibatnya, muncul bencana alam berupa tanah longsor, pengarapan hutan sehingga hutan semakin berkurang (padahal hutan adalah paru-paru bumi). Pada Kongres Kehutanan Sedunia VIII di Jakarta (Tema Kongres “Forest for People”, 16-28 Oktober 1978) disoroti tentang gangguan keamanan hutan diakibatkan antara lain, pencarian kayu pertukangan, percetakan, penggarapan hutan secara liar, penggembalaan ternak dan kebakaran hutan. Dalam pengelolaan hutan, telah dilalaikan prinsip kelestarian alam demi keselamatan dan masa depan hutan yang berguna bagi generasi mendatang.
6.             Habitus Baru Diperlukan Untuk Lingkungan Hidup
6.1          Menghindari Paham Reduksionisme
                Hubungan manusia dengan lingkungan hidup menjadi sulit karena pengaruh ketidakmemadainya penerapan metode-metode analisis ilmiah dan campurtangan manusia yang berlebihan terhadap lingkungan hidup. Perkembangan penyelidikan ilmiah, pengalihan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi telah memberi sumbangan positif bagi manusia untuk member gambaran hidup ke depan.
                Tetapi tafsiran metode ilmiah pada tahun 800, yang membatasi ilmu pengetahuan hanya pada hal yang emperis telah menghalangi manusia untuk memahami dimensi saling  ketergantungan atau keterkaitan antara unsur-unsur, factor-faktor dan proses-proses sistem hubungan dengan lingkungan hidup. Spesialisasi ilmu-ilmu begitu ketat, sehingga hubungan antarorganisme diabaikan atau tidak meuncul, padahal dalam dirinya tiap cabang ilmu pengetahuan tidak mungkin terlepas satu dari yang lain. Dimensi “interdisipliner” dapat menimbulkan adanya bahaya “ketertutupan” spesialisasi bidang disiplin ilmu tertentu. Penyelidikan ilmiah yang tertutup akan menjadikan kenyataan otonom.
                Di dunia Barat muncul habitus masyarakat yang sarat akan produktivitas ekonomis, sehingga keadaan masyarakatnya terpilah-pilah akibat arus spesialisasi. Misalnya, pelbagai teknologi berkembangan dan diterapkan dalam dipelbagai sektor, tetapi mengabaikan atau tidak menempatkan masalah lingkungan hidup dan manusia dalam suatu interaksi yang saling ketergantungan.
                Pemisahan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu manusia, antara ekonomi dan ekologi, antara etika, politik dan ekonomi, antara perseorangan dan masyarakat. Untuk mengatasi pengaruh reduksionisme dalam pandangan lingkungan hidup, sangat penting untuk mengembangkan pandangan integral tentang kenyataan natural dan social kosep sistematik lingkungan hidup. Dimensi-dimensi lain dari makhluk ciptaan hendaknya digali dan diperhatikan secara lebih mendalam.
                Lingkungan hidup yang kita tempati sekarang  adalah hasil evolusi selama miliaran tahun. Evolusi ini bermula dari dunia primitif dalam alam fisis. Evolusi kimia telah menuntun dunia kepada pembentukan molekul yang hidup dan yang mampu memperbanyak diri kepada pembentukan lingkungan alamiah. Hal ini terjadi melalui evolusi biologis. Kemudian, langkah berikutnya, dilangsungkan pembentukan lingkungan manusia berkat manusia dan pembentukan kultural lingkungan. Perlu dititik-beratkan terdapat keterkaitan antara setiap unsur dalam lingkungan hidup.
6.2          Mengubah Budaya Penggarapan Menuju Keterlibatan Personal
                Bagaimanakah kedudukan dan peran manusia dalam alam semesta? Manusia termasuk bagian integral dari alam semesta. Manusia itu serupa dengan tiap jenis makhluk hidup lainnya dalam proses peredaran, pemeliharaan keseimbangan yang menjamin fungsi ekosistem.
                Manusia bila menguasai diri, lambat laun akan semakin menyadari dirinya sebagai bagian dari alam semesta yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan tetumbuhan dan hewan. Manusia mengembangkan perbandingan kultural dalam konteks hidup sebagai manusia. Yang dimaksudkan dengan budaya (kebudayaan) di sini adalah sistem konsep, nilai, sarana, ungkapan sosio-politik, ekonomi, artistik, etis, berkat pribadi yang hidup dan berkarya dalam kelompok yang berhubungan dengan lingkungannya. Sejarah kemanusiaan bukan hanya sejarah prinsip, perang dan perjanjian, melainkan juga peralihan dan pergantian kebudayaan; melalui perubahan dinamis ini, komunitas manusia telah mengolah lingkungannya menuju identitas dan keserasian dan fungsi alam semesta. Kehadiran kebudayaan ini (penggarapan) mencerminkan kemanusiaan yang telah menerapkan pengaruh manusia terhadap lingkungan hidup. Fenomena ini tampak dari pengaruh dunia industrialisasi terhadap lingkungan hidup. Pengelolan unsur alam dan bumi mendatangkan perubahan terhadap keadaan lingkungan hidup manusia.
                Kedudukan dan peran manusia dewasa ini, telah bergeser dari “bagian dunia” menjadi “menguasai alam semesta”. Manusia bersikap untuk menduduki dan menguasai lingkungan hidupnya. Manusia menggarap bahkan “memperkosa” alam semesta tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan lingkungan di sekitarnya. Manusialah yang membedakan antara tanaman, hewan dan manusia. Mereka berhubungan dengan udara, air, tanah, tanaman, dan hewan-hewan hingga pada saat tertentu muncul “konflik” antara manusia dengan alam semesta. Manusia tidak lagi bersahabat dengan alam dan alam tidak bersahabat dengan manusia. Menurut Lynn White, sejarawan budaya dari Sekolah Sosiologi di Chicago tahun 1967, menulis sebuah artikel terkenal hingga kini, “Akar-akar Sejarawi Krisis Lingkungan Kita”, akar konflik di kalangan orang Kristen bisa ditemukan dalam antropologi Yahudi-Kristen. Setidaknya terdapat tiga akar krisis: 1) tingkah laku manusia yang menguasai dan menundukkan makhluk ciptaan lain, seperti dikisahkan dalam Kej. 1:26-28; 2) “desakralisasi” alam dan kandungannya; 3) kurang adanya pengertian agama Yahudi-Kristen mengenai peran yang seharusnya dimainkan oleh agama ini sehubungan dengan perkembangan ilmiah dan teknologi.
                Sebagai bagian dari keseluruhan jagat raya, manusia hendaknya memperbaiki pandangan hidup dan mengambil sikap baru yang kembali “bersahabat” dengan alam. Manusia dan alam merupakan kesatuan yang saling berhubungan dan tergantung. Bukan lagi saatnya bagi manusia untuk mengklaim bahwa menusialah “penguasa” atau “pemilik” tunggal alam semesta. Ini berarti diperlukan “tranformasi” diri manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik di kawasan lingkungan dalam maupun lingkungan luar.
6.3          Etika Lingkungan Hidup
                Etika adalah upaya menemukan asas-asas yang mendasari tindakan manusia. Tugas khusus etika lingkungan hidup ialah mengembangkan asas-asas berkenaan dengan tindakan manusia terhadap dunia yang bukan manusia. Jadi etika lingkungan hidup mempunyai tujuan praktis dan bukanlah sekedar merupakan uraian tentang tempat manusia dalam alam semesta atau pembenaran sistem etika yang disepakati di antara manusia. Juga dibahas isu-isu praktis yang mempengaruhi studi etika, seperti keluasan (batasan), kemendesakan dan kerumitan isu-isu lingkungan hidup yang tercermin dalam persoalan-persoalan etis yang berkaitan satu dengan yang lain. Salah satu contoh persoalan etis lingkungan hidup:
                Seorang petani di Tanah Karo memutuskan untuk meningkatkan hasil panen jeruknya dengan memberi pupuk nitrogen dalam dosis tinggi. Ternyata pupuk tersebut menyebabkan berlipat gandanya hama yang menghancurkan tanamannya. Kemudian, untuk membasmi hama itu, ia memutuskan menyemprot tanamannya dengan pestisida untuk menjaga hasil panennya agar tinggi. Pasar menekan untuk menghasilkan jeruk murah sebab ada daerah penghasil jeruk pesaing seperti Kalimantan dan Malaysia. Masyarakat menuntut supaya disediakan bahan-bahan makanan dengan harga rendah sehingga harga turun dan keuntungannya sedikit. Sialnya, kandungan nitrat yang tinggi yang berasal dari pupuk mengalir ke sungai di sekitar dan itu berarti air tidak dapat lagi dipergunakan manusia. Juga pestisida membunuh sejumlah besar ikan  sehingga nelayan local kehilangan sumber rezeki.
                Contoh di atas menunjukkan betapa kita membutuhkan metode pemahaman asas-asas etis yang mendasar yang bisa menjadi titik tolak tindakan kita dalam situasi tertentu. Dalam etika lingkungan hidup,  sedang berlangsung perdebatan sengit mengenai bagaimana merumuskan dan menjabarkan asas-asas etika dalam lingkungan hidup. Dalam perumusan rumusan asas-asas etika tersebut, adanya sikap mendua dalam upaya merumuskan dasar etis bagi tindakan yang menyangkut lingkungan hidup. Ada berbagai pendirian teoritis dalam hal etika, tetapi tidak semuanya sama-sama menolong kita memahami tindakan macam apa yang dapat kita jalankan dalam situasi tertentu. Sebab itu, di bawah ini akan diberikan contoh konkret guna memperjelas atau membantu bagaimana asas-asas etika diterapkan dalam situasi-situasi praktis tertentu.
6.3.1       Pencarian Nilai Hakiki Alam
                Menggunakan istilah “alam” merupakan acuan pada ciptaan bukan manusia. Istilah “alam” ini perlu diberi pembatasan, karena istilah tersebut cenderung kabur. Manusia adalah bagian dari “alam” dalam arti kita ikut serta dalam proses biologis dan fisiologis, sama seperti binatang dan makhluk hidup lainnya. Sebaliknya, manusia juga “terpisah” dari alam karena kita memiliki kesadaran dan sanggup mengambil keputusan secara sadar tentang cara mengubah alam di sekitar kita. Perdebatan yang sedang berlangsung di bidang etika lingkungan berkisar persoalan bagaaimana kita, sebagai manusia, seharusnya menilai dunia alamiah. Kalau kita memandang alam sebagai sumber untuk dikelola bagi kepantingan manusia, alam mempunyai nilai instrumental (instrumental value). Kalau kita yakin bahwa alam memiliki nilai di dalam dan dari dirinya sendiri, maka alam memiliki nilai bawaan (inherent value). Nilai bawaan ini sering digunakan oleh etikawan sebagai acuan pada nilai sesuatu, dengan asumsi bahwa ada nilai subjek. Misalnya, kayu mempunyai nilai bawaan bagi pemiliknya selama ia ada. Sebaliknya, kita yakini juga bahwa alam memiliki nilai hakiki (intrinsic value), nilai itu ada terbebas dari manusia atau kehadiran manusia subjek yang menilai.
                Ahli etika lingkungan hidup sangat menekankan nilai “hakiki” alam yang sangat berharga. Berharganya nilai “hakiki” alam telah dirumuskan oleh beberapa etikawan sebagai  yang mempunyai “daya tarik” yang harus dibiarkan. “Daya tarik” alam ini adalah hal yang pokok yang mendasari kelangsungan organisme.
6.3.2       Pendasaran Etika Lingkungan: Apakah Berpusat Pada Munusia atau Alam?
                Pandangan etika tradisional adalah nilai kita tergantung pada apa yang paling baik bagi pribadi dan kelompok dalam komunitas manusia. Pendasaran etika tradisional ini berpijak pada diskusi etis, apa yang terbaik bagi kepentingan manusia, dengan istilah antroposentris. Pandangan ini ditentang  oleh para ahli yang hendak memperluas nilai yang diberikan pada manusia dengan memasukkan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Pandangan ini disebut biosentris. Pandangan biosentris mendukung hak-hak binatang, yang mendukung pergeseran dari antroposentris ke biosentrisme.
                Isu tentang krisis lingkungan hidup menunjukkan bahwa sikap antroposentris tidak menolong dan mengandung bahaya merusak. Perintah “menguasai” sering ditafsirkan sebagai lisensi untuk “penhuasaan”. Dengan cara atau pandangan ini, pendekatan antroposentris sebagian disalahkan sebagai penyebab krisis lingkungan hidup.
                Pandangan biosentrik membawa pada perkembangan kelompok-kelompok penekanan yang berkaitan dengan hak-hak binatang. Ada organisasi khusus yang mengkampanyekan perlawanan terhadap penggunaan binatang dalam percobaan ilmiah dan membubarkan komersialisasi pertanian dan menghentikan perdagangan olah raga berburu.
                Dari kedua pandangan di atas, terbuka suatu debat yang mempertanyakan argumen mana yang paling sesuai. Apakah diskusi tentang pandangan antroposentris dan biosentris tidak menciptakan kesulitan-kesulitan baru? Entah dengan menggunakan pandangan biosentrik atau antroposentrik, ada kesulitan tambahan dalam memutuskan untuk kepentingan siapa harus diprioritaskan dalam masyarakat. “kesalahan” karena kerusakan hutan-hutan tropis secara sempit dapat diarahkan langsung terhadap orang miskin, atau terhadap perusahaan multinasional, pejabat pemrintahan atau sistem ekonomi dunia. Untuk menentukan kekuatan penggerak ke arah kerusakan hutan tidak mudah dipahami dalam situasi-situasi ini.
                Dari diskusi-diskusi terhadap kedua pandangan di atas, memunculkan suatu persektif etis yang mendorong pandangan berpusat pada Allah atau teosentris, yang menekankan secara seimbang kepentingan manusia dan perhatian lebih besar terhadap alam. Dalam beberapa hal pandangan ini melebihi baik pendekatan antroposentris maupun pendekatan biosentris. Pandangan teosentris menghargai nilai semua ciptaan, tetapi juga melihat tempat tanggungjawab manusia. Apabila kita mengambil pandangan teosentrik sebagai dasar etika, pandangan kita tentang Allah akan membentuk cara kita berperilaku dengan cara yang lebih akrap dibandingkan dengan pandangan antroposentrik atau biosentrik. Misalnya, kalau kita percaya bahwa Allah sama sekali dipisahkan dari dunia, perilaku kita akan sangat kecil dipengaruhi Allah. Maka lebih mudah mengangkat auatu etika yang cocok dengan kepentingan manusia sendiri. Dipihak lain, apabila kita percaya bahwa Allah pada hakikatnya termasuk di dalam dunia, perilaku kita akan mempengaruhi Allah dan kita akan lebih mengangkat etika yang memperhitungkan kepentingan ciptaan lain. Selanjutnya, bila kita percaya bahwa ciri-ciri yang mendasar dari Allah adalah pencipta yang Mahakasih dan bukan penguasa atas alam semesta, kasih Allah akan meluas kepada seluruh ciptaan secara menyeluruh, bukan hanya species secara sendiri-sendiri.
6.3.3       Perhatian Etis Lingkungan Hidup
                Apakah perhatian etis lingkungan hidup pertama-tama mengarah kepada individu, kelompok atau sistem? Perdebatan tentang etika lingkungan hidup membahas mengenai prioritas individu atau kelompok. Contoh tentang seorang petani yang menggunakan pupuk dan pestisida di ladang, akibatnya, kerusakan akan terjadi untuk seluruh ekosistem, bukan hanya untuk spesies tertentu. Meluasnya kerusakan akan tergantung kepada kepandaian menyaring herbisida dan pestisida. Contoh di atas merupakan perusakan terhadap individu tanaman dan organism, sama juga seperti perusakan terhadap sistem sebagai suatu keseluruhan. Perdebatan etis lingkungan hidup perlu memperhatikan nilai keseluruhan yang disebut sebagai nilai sistemis yang berkaitan dengan suatu sistem di samping niloai khusus spesies. Misalnya, beberapa tumbuhan tumbuh dekat pinggiran ladang tersebut dan kalau tumbuhan ini mati kerusakan mencakup juga nilai spesies ini.
                Dilema etis memperhitungkan nilai yang berbeda-beda ini dan juga memperhitungkan cara membuat keputusan yang terbaik. Keputusan-keputusan  demikian selalu mengandung satu resiko yang sebagian disebabkan oleh kelalaian kita, sebagian lagi disebabkan oleh tiadanya pengetahuan yang menjamin masa depan. Misalnya, kita mungkin membiarkan seorang  petani mengupayakan ladangnya dengan menggunakan pupuk dan pestisida secara terbatas, tetapi kita mungkin tidak memiliki data yang memuaskan mengenai penggunaan bahan-bahan kimia itu untuk jangka panjang. Resiko kerusakan ekosistem mungkin lebih berat daripada kepentingan individu petani.
6.3.4       Pendasaran Nilai Ekologi
                Pendasaran nilai ekologi adalah mereka yang mendukung kedudukan ekologi yang “dalam” yang menuntut nilai keseluruhan lebih bermanfaat daripada bagian-bagian individu. Secara praktis, ini adalah cara perpindahan dari antroposentris ke holisme. Holisme berbeda dengan biosentrisme. Dalam pandangan biosentrisme, nilai yang diberikan pada manusia diperluas dengan mencukupkan seluruh ciptaan yang hidup. Bagi holisme dan ekologi yang dalam, keterkaitan antara segala sesuatu sangat mendasar, sehingga kita samapai pada dasar baru untuk merumuskan nilai. Bukan hanya nilai-nilai di luar manusia, tetapi suatu aksioma baru.
                Bagi ahli ekologi “dalam”, mereka yang memilih menilai alam menurut kepentingan manusia sendiri atau menjadikan manusia sebagai perhatian utama, diberi label (bersifat merendahkan) sebagai ahli lingkungan dangkal. Perhatian pada lingkungan ada di sana, tetapi didasarkan pada kepentingan manusia. Ini tidak sedalam perhatian ahli lingkungan “dalam”. Bagi penganut lingkungan “dalam”, tidak akan ada perubahan nyata dalam hubungan kita dengan alam kalau kita tidak mempertajam pemahaman kita bahwa manusia dan alam terkait satu sama lain.


BAB III:
MORAL LINGKUNGAN HIDUP

1.             Lahirnya Moral Lingkungan Hidup
1.1          Krisis Ekologi

                Krisis ekologi, seperti yang disinggung sebelumnya, sungguh mengancam landasan tempat tinggal manusia (‘oikos’). Keadaan ini termasuk buah ‘mismanagement’ umat manusia. Tanpa menghargai dan menghormati hak hidup makhluk ciptaan lain, manusia terus menerus menggarap kandungan alam hingga batas terakhir demi kepentingan hidupnya. Keadaan ini khususnya melanda Negara-negara yang sedang membangun (‘dunia ketiga’) dan yang menampung sebagian besar umat manusia di atas permukaan bumi. Krisis ekologi ini menutut manusia untuk lebih serius berpikir dan bertindak supaya manusia memiliki masa depan yang baik dan tak mendatangkan mala petaka bagi generasi mendatang. Manusia, dalam banyak hal, seharusnya mulai membatasi diri supaya terhindar dari hidup yang menyengsarakan diri sendiri. Keadaan sumber alam haruslah memadai dan dirawat secara bertanggung jawab supaya manusia-manusia yang akan lahir nanti tidak menjadi korban kelaparan
                Sejak penerbitan hasil penyelidikan pertama ‘Kelompok Roma’ mengenai ‘Batas Pertumbuhan’ tahun 1972, tampaknya bukan hanya banyaknya masalah ekologi yang muncul, melainkan juga keruwetan masalah semakin bertambah. Ancaman terhadap masa depan keadaan bumi dan umat manusia kian menjadi. Pada awal yang menjadi masalah pokok adalah kekurangan bahan makanan sebagai sumber kelaparan dan kurangnya sumber makanan di atas permukaan bumi. Sekarang, yang menjadi masalah bukanlah sekadar masalah kelaparan, melainkan masalah semakin memanasnya suhu bumi, semakin membesarnya lubang pada lapisan ozon, penebangan dan pembakaran hutan tropis secara berkelebihan (a.l. pembukaan lahan perkebunan). Hujan mulai jarang turun. Kawasan pertanian kering kerontang. Tanah pecah. Hasil bumi kian merosot. Pengelolaan kekayaan alam secara tak terencana.2
                Malah, dalam waktu 20 tahun kemudian, konferensi “Lingkungan Hidup dan Perkembangan”, yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1992 di Rio de Janeiro (Brasilia), kembali menegaskan bahwa dunia kita sedang ditimpa keadaan yang mencemaskan banyak orang. Ratusan juta manusia belum terlepas dari cengkraman kelaparan; hingga kini belum tampak perbaikan keadaan dengan segera. Padang gurun kian meluas. Persediaan air minum semakin menipis dan keadaan cuaca dari hari ke hari bertambah panas.
1.2           Kesadaran Akan Suatu Tatanan Hidup Bermoral
                Ekologi dan moral lingkungan hidup saling terpaut. Sejak awal tahun 1970-an masalah ekologi mulai menembus dunia moral. Masalah dunia ekologi umumnya merefleksikan ‘krisis moral’ dalam proses dan usaha memahami hubungan antara manusia dan lingkungannya. Manusia merenung keadaan lingkungan hidupnya. Bagaimanakah sikap yang semestinya ditunjukkan manusia terahadap lingkungannya? Bagaimanakah pengaruh lingkungan terhadap hidup manusia di sekitarnya?
                Moral lingkungan hidup pada dasarnya bermula dari kesadaran hakiki manusia sewaktu menghadapai keadaan hidup dan lingkungannya. Kesadaran, yang telah muncul sejak dekade lalu, mengundang manusia untuk bersikap. Semenjak dekade lalu, manusia menyadari dampak dan bahaya penggarapan alam semesta. Penggarapan ini seiring dengan teori-teori ekonomi dan teologi yang dominan dalam abab ke-19 dan 20. Mereka yang berdaulat dalam bidang ekonomi dan politik ternyata telah memanfaatkan mereka yang d lemah dan tak berdaya untuk menggarap dan ‘memporak-porandakan’kekayaan alam. Keuntungan mereka dipergunakan untuk memenuhi keperluan dan kepentingan mereka.
                Moral menganggap adanya kesalahan dalam sikap dasar manusia terhadap lingkungan hidup. Cukup banyak yang berpendapat bahwa hanya manusialah yang memiliki nilai-nilai intrinsik; bahwa hanya manusia yang layak mendapat pertimbangan moral; sementara itu penghuni alam semesta lainnya hanya memiliki nilai intstrumental sebagai sarana dalam pencapaian tujuan-tujuan hidup manusia. Ini tidak terlepas dari pengaruh pemikiran dan sikap manusia yang bercorak antroposentrik.
                Berdasarkan kesadaran ini manusia membentuk sistem pemikiran ekologis yang terus-menerus mendorongnya dalam hal bersikap dan bertindak secara bertanggungjawab. Kesadaran ini terkait dengan penemuan kembali nilai alam semesta. Pemikiran ini menyoroti sikap manusia, penerapan teknologi dan nilai-nilai yang seharusnya menuntun sikap dan tindakan manusia.
                Sejumlah pengamat berpendapat, masalah pencemaran udara dapat dirumuskan sebagai kurangnya tanggung jawab dan kewajiban manusia untuk mengawetkan ‘sistem ekologi’ di mana manusia berada. ‘sistem ekologi’ adalah seperangkat organisme dan lingkungan yang saling terkait dan saling tergantung, seperti keadaan dalam sebuah danau: ikan tergantung dari organisme-organisme air yang kecil. Tiap unsur organisme dalam lingkungan saling berhubungan dan tergantung. Ini menyadarkan manusia bahwa mereka adalah bagian dari seluruh sistem ekologi yang lebih luas dan terus menerus mendorong pencinta lingkungan hidup dan para penulis untuk mengingatkan manusia bahwa mereka sungguh bertanggung jawab moral untuk melindungi kesejahteraan yang bukan hanya monopoli manusia, melainkan untuk bagain-bagian yang bukan manusiawi dari sistem.
                Karena itu, tidaklah terlampau mengherankan kalau 31 tahun lalu White mengemukakan tesisnya tentang sikap ‘konfliktual’ antara manusia dengan alam dan tanggung jawab kebudayaan Yahudi-Kristen dalam masalah lingkungan hidup. Gagasannya mengenai keterkaitan tingkah laku manusia terhadap lingkungan hidup bisa dijadikan sumber acuan penting kalau manusia sekarang ingin memasuki masalah moral lingkungan hidup. [Tesis yang diajukan oleh White adalah benar, sejauh tesis itu menunjuk sikap dasar dan tingkah laku ‘manusia kristiani’. Tesis ini tidak dapat begitu saja diterapkan dalam dunia yang penduduknya kebanyakan bukan Kristen. Ternyata perusakan lingkungan hidup tidak hanya melanda lingkungan hidup masyrakat non-kristiani, seperti yang terjadi di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Lagi pula, mereka yang merusak lingkungan hidup belum kenal kisah dalam Kitab Kejadian atau tradisi Yahudi-Kristen. Justru karena itu, yang mengakibatkan pengrusakan lingkungan hidup di sejumlah belahan dunia pertama-tama bukanlah pengaruh ajaran dan pandangan Yahudi-Kristen, sebab sikap dan tingkah laku manusia pada dasarnya bersifat personal dan latar belakang hidup, pendidikan dan filsafat hidup (a.l. utilitarianisme, pragmatisme, hedonisme) manusia akan sangat mempengaruhi tindakan seseorang terhadap lingkungan hidup.]
2.             Apa Itu Moral Lingkungan Hidup
2.1          Pertimbangan Filosofis dan Biologis
                Moral lingkungan hidup acapkali dilukiskan sebagai ‘evolusi alamiah dunia moral’. Maksudnya, dunia moral lambat-laun memberikan perhatian kepada jagat raya dan masalah ekologis. Mula-mula dunia moral memperhatikan masalah hubungan sosial antarpribadi manusia dan kemudian hubungan sosial antara perseorangan dengan masyarakat secara menyeluruh.
                Mengikuti jejak Aldo Leopold, seorang pecinta lingkungan hidup, penulis termasyhur “A Sand County Almanac and Sketches Here and There” (New York: Oxford University Press, 1949), E.P. Odum merumuskan moral lingkungan hidup sebagai ‘pertimbangan filosifis’ dan ‘biologis’ secara bersama tentang hubungan manusia dengan tempat tinggalnya dan semua makhluk non-manusia. Dalam suatu masyaralat beradab moral lingkungan hidup harus menuntun manusia menuju suatu peninjauan kembmali atas sejumlah konsep yang benar dan tidak benar mengenai tingkah laku manusia terhadap alam sekitarnya. Sangatlah perlu dipahami, mutu hidup individual dan sosial sangat tergantung pada keadaan-keadaan lingkungan. Perluasan dari etika yang meliputi hubungan manusia dengan lingkungan seharusnya menjadi bagian integral dari filsafat manusia.
                Tampak, Odum melukiskan moral ekologi sebagai pertimbangan yang melibatkan hidup manusia. Saling keterkaitan antarunsur dalam jagat raya mendapat perhatian. Dimensi sosial hidup moral medapat sorotan dalam tinjauan mengenai moral lingkungan hidup.
2.2          Moral Belas Kasih
                Ekologi mengandaikan landasan atau tempat berpijak. Setidaknya ilmu ini dapat bersandar pada sikap penghargaan dan penghormatan terhadap makhluk ciptaan lain. Seharusnya diakui dan dihargai bahwa dalam diri ciptaan lain terdapat nilai intrinsik. Penghargaan ini menimbulkan sikap positif manusia untuk melindungi lingkungan hidup dan hidup makhluk ciptaan lain. Dengan kata lain, ‘moral belas kasih berperan penting dalam melestarikan dan mengembangkan mutu kehidupan berlingkungan. Dalam dunia purba kala, moral ini hidup dan berkembang dalam dunia religi. Sedangkan dalam zaman modern ini, moral ini dituangkan dalam bentuk ‘sentimen’ dan ‘simpati’. Belas kasih ini tidak hanya dinyatakan kepada manusia, melainkan juga kepada makhluk ciptaan lain, yang bukan manusia. Tingkah laku dan tindakan manusia yang berbelas kasih ini bukanlah didorong oleh akal budi manusia yang sehat, melainkan oleh sentimen yang dapat menuntun manusia untuk tidak melakukan sesuatu yang membahayakan makhluk hidup lain. Di kalangan moralis Inggris dan Perancis dalam tahun 700-an sentimen berperan penting dalam hidup manusia.
                Dalam hal ini, David Hume (1711 – 1776), misalnya, secara terang-terangan menolak etika rasionalistik. Tindakan manusia tidak tergantung pada penalaran akal budi, melainkan tergantung dari perasaan-perasaan, sentimen senang atau tidak senang dan dari simpati. Etika yang ditampilkan Hume bersifat ‘antiintelektual’. Penilaian moral ditentukan oleh perasaan-perasaan dan bukan analisis atas baik dan buruk sesuai dengan takaran akal budi. Tak heran, menurut Hume, moralitas [(1) moralitas dilukiskan sebagai seperangkat sistem, prinsip, kode atau pandangan tentang bagaimanakah manusia seharusnya atau tidak seharusnya bertingkah laku terhadap diri dan sesama dalam hidup bermasyarakat. Dalam artian ini moralitas mengandaikan sejumlah nilai, keyakinan tentang hidup dan dunia. Hanya, moralitas tidak mutlak selalu bermuatan religius. (2) moralitas selalu tepaut dengan baik buruknya tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari.] Tidak terdapat dalam satupun kenyataan yang dapat ditemukan dengan akal budi manusia. Baik atau jahatnya tindakan manusiawi diketahui melalui sentiment manusia.
                Selain itu, Jean Jacque Rousseau (1712 – 1778) juga menekankan hubungan intrinsic emosional manusia dengan dunia. Di ladanglah manusia belajar untuk mencintai dan melayani kemanusiaan; sedangkan di kawasan kota umumnya manusia belajar untuk tidak menghargainya. Dia telah menggunakan sejumlah gagasan dalam dunia ekologi modern, seperti pandangan ekosistem yang saling terkait satu dengan yang lain. Tema utama kesadaran ekologis modern adalah ‘belas kasih’ (‘misericordia’, ‘ compassion’). Belas kasih berarti ‘mengalami derita nyata pada diri tiap manusia yang berperasaan, sekalipun dia mengetahui bahwa derita nyata dan kematian tiap individu dan tak terhindarkan dalam suatu keserasian dengan makhluk hidup”. Belas kasih ini adalah keikut-sertaan pada derita makhluk ciptaan lain sebagai ungkapan kesetia-kawanan. Belas kasih adalah simpati (rasa kasih) (M. Scheler: 1874 -1928). Simpati ini diungkapkan dalam belas kasih dan kegembiraan. Pengungkapan sikap ini tentu tidak menggeser kedudukan dan peran manusia sebagai ciptaan Tuhan yang luhur yang berada di atas makhluk ciptaan lain, namun ini tidak berarti bahwa manusia musti menaklukkan dan menguasai makhluk ciptaan lain.
2.3          Keharusan Untuk Bertindak
                Terence R. Anderson, pengajar Etika Sosial di Sekolah Tinggi Vancouver (Kanada) menulis: “Moral Lingkungan Hidup memusatkan usaha dan kegiatannya pada apa yang seahrusnya dilakukan manusia dan sikap yang seharusnya diambil manusai dalam melakukan sesuatu yang berkaitan dengan alam atau dunia bendawi”.
                Berhadapan denganmakhluk ciptaan lain dan jagat raya manusia seharusnya mengambil sikap yang benar, tepat dan bertanggung jawab. Manusia bisa melakukan 1001 tindakan, namun berapakah tindakan yang boleh dilakukan manusia dalam hidupnya? Manusia seharusnya mampu memilih dan mengambil keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan sebelum bertindak. Untung dan rugi tindakan seseorang musti dipertimbangkan. Anderson belajar dari pengalaman dan perilaku manusia secara umum terhadap alam semesta dan khususnya dengan lingkungan hidup di sekitar. Dimensi tanggung jawab mendapat sorotan utama. Manusia seharusnya mengambil sikap dasar yang sehat dan bertanggung jawab tetrhadap lingkungannya.
3.             Lingkup Perhatian Moral Lingkungan Hidup
                Andrerson melukiskan beberapa bidang yang mendapat perhatian utama dari moral lingkungan hidup.
3.1  Pandangan Manusia Tentang Alam Semesta
                Hingga kini dalam diri manusia masih hidup dan berkembang pikiran dan sikap manusia yang cenderung meng-obyek-kan alam. Manusia ditempatkan terlepas dari alam dan manusia menjadi pengamat dan penggarap alam semesta. Manusia memusatkan perhatian pada pertanyaan: ‘Bagaimanakah benda-benda yang ada di dalam alam semesta ini berfungsi?’. Manusia modern umumnya kurang melihat makhluk ciptaan lain dan benda-benda sebagaimana adanya. Makhluk ciptaan tidak dipandang dalam kesatuan organisme. Ini mendatangkan banyak keuntungan dan menimbulkan keadaan-keadaan revolusioner dalam hidup manusia. Namun, banyak pihak memandang bahwa sikap demikian telah menjadi sumber krisis ekologi sekarang ini. Manusia menjadi pemanfaat dan pemakai makhluk ciptaan.
3.2          Pelebaran dan Perluasan Komunitas Moral
                Turut dipikirkan dan diperhatikan hidup generasi mendatang. Generasi ini memiliki  ‘moral standing’. Namun, haruskah komunitas moral dibatasi sampai pada hidup manusia atau bahkan terbatas pada pribadi-pribadi manusia? Mereka yang bermaksud memperluas ‘moral standing’ di luar hidup manusia cenderung unuk mengembangkan moral dengan menekankan ‘pengawetan’ alam. Masalahnya, apakah ‘komunitas moral’ ini mencakup semua makhluk yang berperasaan dan beremosi atau mencakup semua makhluk hidup? Kelompok ‘holist’ (yang lebih mengutamakan keseluruhan jagat raya dari pada bagian-bagian jagar raya), misalnya, berpendapat bahwa seluruh jagat raya dipandang sebagai organisme tunggal yang harus diberikan ‘moral standing’ yang tak tergantung dari manusia.
3.3  Dampak Tindakan Manusia
                Menentukan rangkaian dampak atau pengaruh tindakan manusia terhadap alam. Tiap tindakan manusia sealalu disertai dampak, akibat atau konsekuensi. Karena itu, manusia seharusnya berpikir ulang dan matang sebelum melakukan sesuatu. Tindakan manusia berdimensi sosial. Terkadang, perkembangan teknologi yang kian modern mempersulit takaran atas dampak negative itu. Pertimbangan manusia hendaknya memperhitungkan dimensi sosial kehidupan manusia dalam suatu masyarakat yang sedang membangun. Pertimbangan ini semustinya memperhatikan keadaan masa depan generasi mendatang.
3.4  Norma-norma Moral
                Mengembangkan norma-norma moral (obyektif) untuk memantapkan tanggung jawab dan keutamaan-keutamaan manusia sehubungan dengan alam non-manusia dan generasi masa depan. Seandainya muncul konflik antara kepentingan hidup manusia dan hak dasariah makhluk hidup untuk mempertahankan hidupnya, sikap dasar apakah yang seharusnya diambil? Bagaimanakah dengan kecenderungan kodrati manusia untuk memperkaya diri dalam bidang perekonomian, hasrat kuat untuk melepaskan diri dari tekanan kemiskinan dengan cara menghabiskan riwayat hidup makhluk lain?
3.5          Keputusan Politis
                Keputusan-keputusan politik dalam negara ikut mempengaruhi keadaan lingkungan hidup. Langkah-langkah prosedural apakah yang harus ditempuh untuk mengambil keputusan yang tepat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan? Bagaimana seharusnya dipertimbangkan kepentingan bersama sekarang dan di masa mendatang? Adalah bagian kewajiban pemerintah untuk menerapkan perundang-undangan atau hukum secara konsisten dalam rangka mewujudkan kelestarian dan kemajuan lingkungan hidup. Tanpa penerapan UU lingkungan hidup secara konsisten dan bertanggung jawab, maka akan muncul perusakan dan penghancuran lingkungan hidup dalam lingkup yang lebih luas di masa-masa mendatang.
4.             Teori Moral Lingkungan Hidup
4.1          ‘Human-centered ethic’ (‘antroposentrisme’)
                Sekelompok manusia berpikir bahwa rangkaian kebijaksanaan mengenai lingkungan hidup dinilai hanya berdasarkan pengaruh kebijaksanaan itu terhadap hidup manusia. Ini mengandaikan kedudukan dan peran moral lingkungan hidup yang terpusat pada manusia (‘Human-centered ethic’). Manusia menjadi jantung perhatian dalam bahasan tentang lingkungan hidup. Titik berat dalam pandangan ini terletak pada peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dalam alam semesta.
                Dalam hal ini, keberadaan manusia sebagai ‘makhluk sosial’ sama sekali tak dapat dilupakan. Sebagai contoh: sebuah perusahaan kaya mendapat izin dari pihak penguasa untuk mengelola pertambangan emas di salah satu kawasan di Pulau Irian. Dari satu sisi, pemilik perusahaan dan karyawannya mendapat pekerjaan sebab mereka boleh mengeruk kekayaan setempat dan umumnya mereka akan hidup lebih baik dari orang-orang sederhana di sekitar kawasan pertambangan emas itu. Dari sisi lain, sumber kekayaan alam akan menipis danmungkin sejumlah warga setempat merasa dirugikan karena tidak dilibatkan dalam mengelola kekayaan alam itu. Selain itu, kehidupan hewan tertentu akan kian memprihatinkan karena habitat mereka diporak-porandakan oleh para pendatang.
                Pandangan moral yang bernafas antroposentrik berpandangan bahwa hanya manusia-lah yang layak dipertimbangkan secara moral. Manusia berperan sebagai subyek dan bukan alat untuk mencapai tujuan tertentu. Yang mendapat pertimbangan secara moral hanyalah kebahagiaan dan ketidakbahagiaan manusia.
4.2          “Animal-centered ethic’ (‘animalsentrisme’)
                Pandangan ini beranggapan bahwa bukan hanya manusia yang pantas mendapat pertimbangan moral, melainkan juga dunia hewan. Perhatian moral tidak hanya terbatas pada manusia, tapi mencakup seluruh dunia hewan.
                Sebagai contoh: perusakan terhadap lingkungan hidup dengan cara menebang hutan secara liar dan tidak bertanggung jawab dengan sendirinya ikut mempengaruhi kehidupan makhluk-makhluk hidup lain di sekitarnya. Dampak penebangan hutan secara liar dan penggalian kekayaan alam tidak hanya dirasakan oleh manusia, melainkan juga kehidupan hewan-hewan lain.
                Moral ini menekankan bahwa semua hewan dapat dipertimbmangkan secara moral; walupun tidak perlu mendudukkan semua jenis hewan pada jenjang yang sama. Moral ini memberikan makna yang berbeda kepada jenis-jenis hewan yang berbeda. Makna yang diberikan kepada seekor ikan hiu akan berbeda dari pada makna yang diberikan kepada seekor nyamuk pembawa penyakit malaria. Atau, secara moral manusia akan memberikan penghargaan yang lebih tinggi kepada domba-domba yang menghasilkan bulu-bulu secara aktif dari pada domba-domba yang banyak makan dan tidak produktif.
4.3 “Life-contered ethic” (‘biosentrisme’)
                Yang dimaksudkan dengan makhluk hidup bukanlah hanya manusia dan hewan, sebab makhluk hidup juga mencakup tetumbuhan, ganggang, organisme bersel tunggal dan mungkin termasuk virus. Kerumitan dari ‘life-contered ethic’ terletak pada bagaimana manusia menjawab pertanyaan: ‘Apa hidu itu?’. Pandangan ini berpendapat bahwa setiap makhluk hidup bisa dipertimbangkan secara moral walupun mereka tidak memiliki makna moral yang sama. Penghargaan moral yang diberikan kepada makhluk hidup lain dipengaruhi juga oleh ‘fungsi’ atau ‘manfaat’ makhluk hidup itu sendiri bagi kepentingan manusia (dalam hal ini muncul pengaruh ‘human-centered ethic’!). ‘ Moral hidup’ ini menerapkan pertimbangan dasariah yang terkait dengan ‘pengaruh perbuatan manusia’ dan ‘untung atau rugi’ yang muncul dari tindakan manusia. Memang, secara moral tidak pernah dilarang untuk menebang pohon atau membunuh jenis hewan tertentu, namun akibat tindakan manusia harus ikut dipertimbangkan dalam suatu keseluruhan. Kalau ‘life-centered ethic’ ini mengambil bentuk yang radikal, maka paham ini akan menekankan bahwa hidup dalam setiap makhluk ciptaan Tuhan memiliki makna moral yang sama. Dalam hal ini, ‘life-centered ethic’ yang ‘most proposed’ membenarkan makna berbeda dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain.
4.4          Teori Nilai Intrinsik
                Ada pendapat yang mengatakan bahwa hanya manusia-lah yang memiliki nilai intrinsik (nilai yang terdapat dalam diri sesuatu) dan pengakuan atas nilai intrinsik ini kemudian diperluas ke kalangan makhluk ciptaan lain di luar diri manusia. Salah seorang pendukung teori ‘nilai intrinsik’, Paul Taylor, menekankan secara moral manusia terikat untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan makhluk hidup lain yang non-manusia. Dia mengingatkan bahwa tanaman dan hewan liarpun termasuk bagian komunitas hidup dalam jagat raya.
                Pandangan moral ini setidaknya mengandung dua gagasan pokok: (1) tiap makhluk hidup memiliki ‘kebaikan’ dalam dirinya, sehingga dengan mudah manusia dapat memanfaatkannya sesuai dengan kehendak dan  keperluan mereka; (2) adalah perlu untuk memandang bahwa makhluk-makhluk hidup bernilai dalam dirinya seperti yang diklaim oleh manusia. Kebaikan dalam diri makhluk ciptaan lain di luar manusia bukan pertama-tama karena makhluk itu berkesadaran diri, berpengetahuan akan diri; perlu diingat bahwa kebaikan dari organisme non-manusia tampak dan ditentukan oleh perkembangan penuh dari kekuatan biologis (Robin Attfield dan Paul Taylor).
                Berkenaan dengan nilai intrinsic dalam diri makhluk ciptaan non-manusia, maka dapat dikemukakan dua arus pemikiran. Pertama, pendekatan yang dipandang memadai; apa saja yang berkebaikan dalam dirinya yang ber-‘moral standing’ dan pantas mendapat pertimbangan moral. Apabila manusia menerima pertimbangan moral, maka makhluk lain non-manusia juga patut memperoleh pertimbangan moral, walupun ini tidak mudah dilaksanakan, namun, sejumlah makhluk ciptaan non-manusia yang bernilai intrinsic ini hanya mempunyai sedikit makna moral (Robin Attfield). Kedua, pendekatan yang dianggap tidak memadai; pendekatan ini bersifat ‘anti-antoprosentrik’: semua pengada diandaikan bernilai sama. Tiap makhluk hidup memiliki nilai intrinsik yang sama. Pendekatan ini secara radikal telah menggeser antroposentrisme dari dunia etika (Paul Taylor).
                Tantangan bagi teori nilai intrinsik muncul kalau berhadapan dengan skeptisisme antroposentrik sehubungan dengan kemungkinan dan keperluan untuk menempatkan nilai intrinsik di luar diri manusia atau di luar alam kesadaran. Perlu diingat, pendekatan-pendekatan ‘life-centered ethic’ tak terpisahkan dari etika humanis, yang mengakui antroposentrisme moderat. Pendekatan antroposentrik dan teori nilai intrinsik saling melengkapi.
4.5          Teori Teosentris
                Dari diskusi-diskusi terhadap kedua pandangan di atas, memunculkan suatu persektif etis yang mendorong pandangan berpusat pada Allah atau teosentris, yang menekankan secara seimbang kepentingan manusia dan perhatian lebih besar terhadap alam.
                Apabila kita mengambil pandangan teosentrik sebagai dasar etika, pandangan kita tentang Allah akan membentuk cara kita berperilaku dengan cara yang lebih akrap dibandingkan dengan pandangan antroposentrik atau biosentrik. Misalnya, kalau kita percaya bahwa Allah sama sekali dipisahkan dari dunia, perilaku kita akan sangat kecil dipengaruhi Allah. Maka lebih mudah mengangkat auatu etika yang cocok dengan kepentingan manusia sendiri. Dipihak lain, apabila kita percaya bahwa Allah pada hakikatnya termasuk di dalam dunia, perilaku kita akan mempengaruhi Allah dan kita akan lebih mengangkat etika yang memperhitungkan kepentingan ciptaan lain. Selanjutnya, bila kita percaya bahwa ciri-ciri yang mendasar dari Allah adalah pencipta yang Mahakasih dan bukan penguasa atas alam semesta, kasih Allah akan meluas kepada seluruh ciptaan secara menyeluruh, bukan hanya species secara sendiri-sendiri.



5.             Pandangan Kitab Suci
5.1           Perjanjian Lama (PL)
                Gagasan tentang kosmos tidaklah mendominasi dunia Israel secara menyeluruh dan terus menerus, sebab iman bangsa Israel memang lebih menyadarkan diri pada sejarah dari pada kosmologi. Dalam PL kosmos dipandang sebagai yang berbeda dari Tuhan. Dunia dilukiskan sebagai suatu keadaan dengan keindahan, yang tak sanggup diungkapkan secara penuh oleh sastera mazmur-mazmur dan kebijaksanaan. Kosmos dan segala kandungannya diciptakan dengan sabda Tuhan. Gagasan penciptaan dalam PL bukan paham filosofis yang diterima karena peristiwa penciptaan disingkapkan kepada pemikiran manusia. Gagasan ini adalah ajaran iman yang kebenarannya terus-menerus dipertegas pada waktu berhadapan dengan rangkaian pencobaan baru.
                Menurut K. Meyer-Abich kebijaksanaan dalam PL (khususnya mazmur-mazmur) memahami dunia sebagai keindahan yang terpotret. Keindahan ini tak lain dari mutu seni dan kodrat yang ditentukan secara manusiawi dan seharusnya dirumuskan sebagai ‘pemberian diri’ : menanggapi ‘undangan’ dunia kepada kita, kita menghilangkan diri kita dalam yang lain. Jadi, ‘keindahan’ adalah norma yang dapat disentuh untuk menakar hubungan buruk kita dengan alam. Seperti karya seni, ‘keindahan’ berasal dalam agama.
5.1.1  Kitab Kejadian
                Kitab Kejadian dan Ulangan-lah yang terbanyak berbicara mengenai lingkungan hidup. Para pengarang kedua kitab mengaitkan pengalaman hidup mereka dari kawasan lingkungannya dengan pemahaman tentang sejarah penyelenggaraan ilahi Israel sebagai bangsa yang dipersatukan dengan Tuhan dan sebagai bangsa yang telah dijanjikan tanah khusus. Mereka menggolongkan alam semesta ke dalam peristiwa penciptaan manusia dan mereka menyisipnya ke dalam terjadinya kehidupan. Bab-bab pertama dari Kitab Kejadian, antara lain, melukiskan permenungan klasik tentang peristiwa penciptaan. Perbedaan-perbedaan yang muncul dalam lukisan ini menunjukkan kekayaan gambaran mereka tentang penciptaan.
                Dua tokoh besar sebagai penafsir Kotab Kejadian, Gerhard Von Rad dan Claus Westermann memiliki visi berbeda tentang penciptaan. Berkenaan dengan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian, Von Rad menekankan kekhasan perjanjian khusus Israel dengan Yahweh, sementara itu Westermann memahami bab-bab pertama dari Kitab itu sebagai lukisan umum kodrat manusia. Lalu, Brevard Childs berusaha menjembatani perbedaan ini dengan meringkas kedudukan kanonik Kitab Kej. 1-11 sbb.: Bab-bab ini memprioritaskan peristiwa penciptaan. Hubungan ilahi dengan dunia bermula dari maksud awal Tuhan untuk menciptakan alam semesta, bukan hanya untuk bangsa Israel.
                Tradisi Yahwista melukiskan kosmos sebagai peristiwa yang tertuju pada Yahweh, sebagai tempat kehadiran berkat Tuhan demi manusia. Manusia mempunyai hubungan yang tak terpisahkan dengan alam semesta. Manusia hidup berdekatan dengan hewan (Kej.2:19-20). Sementara itu, tradisi Priester (Kej. 1:1-2:4a) mengisahkan asal kosmos untuk menunjukkan struktur arketipe keberadaan manusia dan dunia. Ada tiga hal yang dititik-beratkan oleh tradisi Priester sehubungan dengan peristiwa penciptaan dunia: tatanan, waktu dan hidup. Sorotan atas Kej. 1-11 sebenarnya bukan terutama terletak pada gagasan ‘creatio ex nihilo’, melainkan tindakan keteraturan Yahweh. Sekarang, tatanan kosmik dikaitkan dengan tatanan moral dan sosial: ketidak-teraturan moral, kekerasan, air bah. Perhatian bagian Kitab Suci khususnya terpusat pada tatanan kosmos dan bukan pada penggalian asal-muasal kosmos.
                Apakah yang dimaksudkan dengan ‘kekuasaan’ manusia terhadap makhluk ciptaan lain seperti yang dilukiskan dalam Kitab Kejadian? Penulis Kitab ini tidak memandangnya sebagai ‘kuasa tak terbatas’, namun di hadapan mata Tuhan makhluk ciptaan non-manusia dan manusia diandaikan untuk membentuk ‘suatu komunitas makhluk ciptaan’, dan di dalam komunitas itu manusia bertanggung jawab.
5.1.2       Mazmur-mazmur
                Mazmur 19 (ay.2-5b), misalnya, adalah kerygma tentang kosmos sebagai buah tangan Tuhan (bdk. Bar. 3:35; Sir. 16:26; 42:15-25). Langit, termasuk bintang-bintang, mengidungkan kemuliaan Allah dan memberikan kesaksian karya pencipta. Kosmos bukan sekadar undangan untuk percaya akan Allah Pencipta, namun termasuk desakkan untuk terus-menerus memuji kebesaran Tuhan melalui doa. Kosmos tidak hanya mengungkapkan kebesaran Tuhan, melainkan juga termasuk pendorong manusia untuk memberikan jawaban kepada Tuhan di dalam iman dan pujian.
                Mazmur 104 kembali mengumandangkan pandangan kontemplatif mengenai penciptaan alam semesta dalam Kitab Kej. 1 dengan mengetengahkan sejumlah unsur alam, seperti: cahaya, gunung, lembah, matahari, sungai, tetumbuhan, hewan-hewan … di sini tak dikisahkan peristiwa penciptaan, namun peristiwa itu direnungkan dan dikidungkan. Mazmur ini tidak bermaksud menelusuri dan menerangkan asal-muasal penciptaan, namun mazmur ini bertujuan memahami keindahan dan keteraturan di dalamnya. Penciptaan alam semesta dimengerti sebagai tindakan sekarang dan bukan peristiwa yang telah berlalu. Alam semesta mengandung dua makna: dari satu sisi, alam semesta adalah tempat pertemuan dengan Tuhan, namun serentak berjarak dari Tuhan. Bisa saja kita tidak melihat Tuhan dalam alam semesta atau kita tidak memahami kehadiran-Nya, namun sebenarnya Tuhan memperhatikan dan menuntun kita. Dunia dan sejarahnya adalah karya cinta kasih Allah yang menakjubkan (Mz. 136). Kita dapat menemukan kaitan cinta kasih yang menghubungkan Tuhan dengan alam semseta dan sejarah manusia: penciptaan dan sejarah tak terpisahkan. Cinta kasih-Nya menyelamatkan dan summer penciptaan alam semesta.
                Tampak, doa-doa bangsa Israel melalui mazmur mencerminkan kedekatan hidup mereka dengan makhluk ciptaan, seperti dengan keindahan matahari, symbol kekuasaan Ilahi. Kosmos yang dilukiskan dalam mazmur-mazmur adalah ‘dunia bermakna’, yang mengandung arti, seperti penjelmaan makna yang diberikan Tuhan melalui sabda-Nya yang mencipta. Tiap benda adalah buah sabda Tuhan dan karena itu ciptaan itu membawa makna dalam dirinya.
5.2          Perjanjian Baru (PB)
5.2.1       Pandangan Umum
                Pengertian ‘kosmos’ dalam PB berbeda dari dunia Yunani. Dalam dunia Yunani yang dimaksudkan dengan ‘kosmos’ adalah ‘tatanan organisme dalam ketenangan’. Sementara itu, gagasan ‘kosmos’ dalam PB terorientasi pada hidup manusia dalam sejarah. Semula, kosmos berarti himpunan keadaan dan kemungkinan hidup manusia; dalam artian ini kosmos diciptakan.
                PB mempertimbangkan kosmos dalam kaitan dengan Yesus Krsitus dan manusia di hadapan Yesus Kristus. Perspektif kosmos dalam PB bercorak Kristologis dan antropologis. Kata ‘kosmos’ dalam PB dihubungkan dengan gagasan ‘ruang’. Kata ini juga dipergunakan untukmelukiskan ‘kemanusiaan’. PB tidak memberikan suatu konsep kosmologis khusus sebagai bagian pewartaan integral dari Injil. Gambaran tentang kosmos dalam PB dipandang sebagai sarana untuk pewartaan Injil. Maksudnya, PB tidak berbicara tentang ‘kosmos’ dalam dirinya, sebagai benda belaka, namun pembicaraan tentang ‘kosmos’ dikaitkan dengan dunia manusia, tempat Tuhan bertindak dan manusia melakukan sesuatu secara bertanggung jawab. Pada dasarnya terdapat suatu ‘konsep antroposentris’ dunia: dalam cara tertentu, dunia ‘berubah’ bersama sejarah manusia.
5.2.2       Surat-surat Paulus
                Yang dimaksud dengan ‘kosmos’ oleh Paulus adalah segala sesuatu yang bukan Tuhan, yakni alam semesta (universum). Kosmos mencakup semua benda (Roma 11:36); ini mencakup kemanusiaan yang dilukiskan sebagai alam semesta dalam Gal.3:22; kosmos mencakup kekuasaan Ilahi (1 Kor. 8:4). Kosmos adalah ruang yang meliputi semua yang berada di luar Tuhan, namun dalam pikiran Paulus, kosmos tidak mempunyai arti ‘keteraturan’, karena menurut Paulus dunia telah kehilangan keseimbangan dan keserasiannya. Untuk melukiskan dunia di bawah kuasa dosa, Paulus menggunakan ungkapan ‘dunia ini’ (1 Kor. 1:20-21; 3:19; 5:10; 7:31.33-34).
                Ada tiga pokok pikiran Paulus yang dapat menjadi permenungan kita tentang kosmos:
                (1) Dunia sebagai penciptaan yang berdimensi Kristosentris. Dunia dan sejarah selalu berada di bawah kuasa, tindakan penciptaan dan penyelamatan Ilahi. Kodrat dan kebebasan manusia kembali memasuki tingkat pencipta ilahi yang menyelamatkan. Ditegaskan pengakuan iman akan penciptaan langit dan bumi oleh Tuhan (Kis. Ras. 17:24; 4:24). Penciptaan berdimensi Kristosentris (Kol. 1:15-17). Tak ada satupun unsur di atas permukaan bumi yang dapat terpisah dari kuasa Kristus. Tuhan telah menciptakan dunia di dalam Kristus sebagai ‘titik keteguhan’, dasar primodial dan kekal, awal dan akhir (Why. 1:8). Kalau begitu, dunia tidak dapat dipandang terlepas dari Tuhan dalam Yesus Kristus. Terus-menerus dunia kita dilalui dan diresapi kebaikan ilahi yang selalu menang. Dunia tak dapat dipandang dalam kekuatannya sendiri, namun selalu terkait dengan hubungan asalnya yang dinamis dengan Tuhan. Kristosentrisme alam semesta menegaskan kebenaran mutlak alam semesta, yang tidak terbatas hanya pada fungsi-fungsi, seperti ilmu-ilmu pengetahuan lain. Tuhan berkarya dalam kedalaman di dalam tenaga-tenaga alam dan tersembunyi dalam keputusan-keputusan manusia.
                (2) Penebusan kosmos. Dunia memerlukan keselamatan, yang terlaksana melalui dan di dalam Kristus, sebab adalah kehendak Tuhan untuk merukunkan diri dengan semua manusia, semua pengada di atas permukaan bumi dan di langit; damai ini terwujud melalui darah-Nya di kayu salib (Kol. 1:20). Kesetia-kawanan antara manusia dan kosmos tetap berlaku hingga sekarang: manusia dan kosmos, dalam keadaan sekarang, dipersatukan dengan kejatuhan, kerusakan, derita dan penantian. Karya penciptaan setia kawan dengan tujuan manusia. Bagi Paulus, makna terakhir dari kosmos dan kemanusiaan berada dalam tujuan kepada Kristus: “…, baik Paulus, maupun Kefas, baik dunia, hidup maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan dating. Semuanya kamu punya. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah” ( 1Kor. 3:22-23).
                (3) Manusia Kristen dan dunia. Bagaimanakah seharusnya manusia bersikap terhadap alam semesta? Paulus memegang dua pernyataan ini secara serempak. Kendati terjadi dalam suatu ketegangan dialektis terus-menerus: (a) Dunia diciptakan Tuhan dan karena itu adalah baik; (b) Dunia sekarang menjadi sasaran kuasa negative dosa. Walau demikian, Paulus tetap menganut prinsip “karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” (1 Tim.4:4-5). Satu-satunya penguasa dunia adalah Yesus Kristus. Dalam menghadapi dan memecahkan masalah, Yesus Kristus dan Injil menjadi takaran kritis. Bagi Paulus dunia tak hanya bermakna univok yang menunjuk dunia fisis atau kemanusiaan; dunia sebagai penciptaan dan kenyataan sejarawi. Kepada orang Kristen Paulus tak memberikan tugas untuk ‘mengubah dunia’, tapi terutama membiarkan diri untuk diubah oleh Yesus Kristus; atau lebih baik dikatakan: bagi Paulus perubahan dunia diwujudkan melalui suatu transformasi mendalam ‘hati nurani’. Tanggung jawab khusus orang-orang Kristen di hadapan dunia terutama melihat ‘apa yang dikehendaki Allah’: kebaikan, juga bagi dunia, yaitu kehendak Allah, diungkapkan dalam Yesus Kristus. Kebaikan hanya datang dari Yesus Kristus. Orang Kristen bertugas untuk bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan, memandang dunia seperti yang dilakukan oleh Allah. Dengan demikian orang Kristen mengubah bentuk dunia ‘dari dalam’, menghidupi semua keadaan di dunia menurut Roh Yesus. Untuk mengubah atau membebaskan dunia, umat Allah harus melakukan tindak pembaharuan hati dan dengan tingkah laku yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
                Ini tidak hanya menyangkut pembaharuan batiniah individual, tapi melahirkan komunitas ‘ciptaan baru’ yaitu umat Allah. Manusia Kristen harus terlibat di dalam dunia dan dia bukanlah ‘Tuhan’, melainkan harus menjadi milik Tuhan. Manusia Kristen seharusnya tidak bermaksud menjadi ‘tuan’ atas dunia atau memperbudak dunia, melainkan dia harus tahu mencintai dunia; dengan cinta kasih kritis yang menolak kepongahan kemampuan dunia untuk berdikari.
                Dalam suratnya keopada jemaat di Roma 8:18-27 Paulus menyoroti dunia yang diciptakan Tuhan sebagai ‘suatu keseluruhan’. Pandangan dan sikap manusia terhadap alam semesta berdimensi antroposentrik. Kendati demikian, ini bukan antroposentrik subyektif yang mereduksi segala sesuatu dalam alam semesta menjadi nilai-nilai yang kita perhatikan sejauh menjamin keuntungan manusia. Tempat kita dalam penciptaan ditentukan oleh pengakuan kita bahwa posisi dan hubungan-hubungan kita adalah sesuatu yang tujuan dan nilainya berasal dari Tuhan. Menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan, maka kita tidak bisa mendevaluasikan segala yang ada dalam alam hanya karena kita belum melihat nilainya bagi manusia. Kita ingin memandang segala sesuatu yang dengannya kita berada di atas permukaan bumi sebagai entitas yang menemukan tujuan tertinggi mereka untuk memuji dan menggembirakan Tuhan dan bukan manusia. Ini akan menjadi tantangan bagi iman, sebab dasar pujian dan kegembiraan kepada Tuhan tidaklah akan selalu tampak.
                Seluruh peristiwa penciptaan ditandai dengan awal yang menggembirakan. Sejak semula Tuhan telah menyatakan keindahan ciptaan-Nya. Jagat raya, terang, lautan, tumbuhan, hewan semuanya diciptakan-Nya dalam keadaan baik (bdk. Kej. 1). Semua unsur dalam alam saling terkiat.
                Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka manusia diusir dari Taman Eden. Mereka harus mengolah tanah dan memeras keringat demi sesuap makanan. Dalam teologi Kitab Ulangan, berkat dan/atau kutuk yang melibatkan lingkungan hidup terkait dengan penghayatan hidup kesetiaan dan ketidak-setiaan (bdk. Ul. 28). Namun Tuhan sendiri telah berikrar untuk tidak mengutuk semesta alam karena ulah manusia (Kej. 8:21). Manusia tetap meiliki hubungan dengan alam semesta, walupun telah jatuh ke dalam kedosaan.
                Dalam penciptaan termuat pengharapan. Dalam perumpamaan tentang bunga bakung di lading dan burung-burung di langit (Mt. 6:25-34) Yesus meghantar para pendengar untuk mencapai keyaikan terakhir dala tangan Tuhan (Kaesemann). Telah muncul pengharapan, pengharapan akan pembangunan kembali manusia dari kejatuhannya ke dalam dosa, melalui salib dan kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus. Pernyataan Paulus dalam Roma 8:18-27 mengulangi argument yang bersifat Kristologis dan bukan mesianik, sebab (1) tradisi sasterayang dikutipnya dipergunakan untuk menghubungkan pembaharuan alam dengan parousia Putera Allah dan bukan sebagai perristiwa persiapan akan masa ‘mesianik’; (2) pengharapan yang dibicarakan di sini bukanlah pengharapan’mesianik’ biasa, melainkan pengharapan yang dapat dilihat hanya melalui salib. Pengharapan di sini bukanlah pengharapan yang membuat seseorang menjadi pasif, namun pengharapan yangmendorong manusia untuk bertindak dan menanti terus-menerus. Pengharapan di sini bisa dipahami sebagai suatu ‘penantian’.
                Dapat disimpulkan, setidaknya masih tampak perwujudan pengharapansegala makhluk ciptaan Tuhan. Secara khusus pengharapan ini dikaitkan dengan pemulihan citra ilahi anak-anak Allah dalam hubungan dunia alam semesta. J.A. Rimbach, seorang mahaguru teologi di Seminari Concordia, Kowloon, Hongkong, berpendapat bahwa keterbukaan mata bagi salib yang dipikul orang Kristen adalah untuk memandang jeritan bersama seluruh ciptaan. Dengan demikian manusia merasakan suatu tanggung jawab baru. Guna melepaskan keterikatan kita kehancuran sebagai buah pembangkangan umat manusia, maka kita dapat mengajukan janji ini: kita memulai lagi dan meneruskan status citra kita dalam hubungan dengan ciptaan, tidak terlampau banyak ‘bertransformasi’, melainkan untuk mewujudkan, mencapai tujuan kita sebagai ciptaan dalam hubungan dengan semua makhluk ciptaan.
6.             Ajaran Sosial Gereja
6.1          Bapa-bapa Gereja
                Setelah menelusuri tradisi alkitabiah tentang penciptaan dan alam semesta sekarang kita coba melihat pandangan para Bapa Gereja mengenai masalah lingkungan hidup?
                Alexandre Ganoczy berpendapat bahwa para Bapa Gereja umumnya mepertahankan dua tesis utama ini: (1)  umat manusia kehilangan hak ‘penguasaan atas bumi’ akibat kejatuhan ke dalam dosa; (2) manusia masih memiliki kuasa itu walupun telah mengalami kejatuhan. Tesis pertam dengan jelas mereduksi lingkup ekologis dalam Kej. 1:28 dan menggantikannya dengan suatu etika individual: ‘ Manusia harus meninggikan diri di atas tingkat hewan-hewan dengan kedisiplinan diri, dengan mengikuti akal budinya’. Tesis kedua tetap tinggal terbuka secara ekologis: sungguhpun telah jatuh, manusia toh masih mampu dan seharusnya mengatur hidup dan tugas yang dipercayakan kepadanya oleh karya penciptaan. Di kalangan Bapa Gereja terdapat pola pandangan filosofis atas sikap terhadap alam semesta dan makhluk ciptaan. Tekanan terletak pada unsur kebijaksanaan yang dihubungkan dengan pengetahuan. Manusia menunjukkan diri sebagai tuan atas makhluk ciptaan non-manusia karena kebijaksanaan. Sebagai ‘anugerah’, kebijaksanaan memungkinkan manusia bukan hanya untuk memiliki pengertian yang benar tentang Tuhan, tapi serentak menyelidiki perjalanan bintang-bintang, mebangun kota, menemukan hukum dan obat, dan karena itu mencapai suatu hubungan tertentu, kokoh dan aktif dengan dunia.
                Pertama, Lactantius (240-320) berpendapat bahwa alam semesta pasti diciptakan oleh Tuhan. Dalam penciptaan ini manusia menjadi ‘pengada’ yang mengakui penciptanya dan menikmati segala kebaikan. Guna mencapai tujuan tersebut, manusia menggunakan api, air, tanah, gunung dan lautan – benda-benda yang berfungsi dalam kegiatan ekonomi. Manusia membuktikan diri sebagai ‘bagian dari asas ilahi’ dan ‘satu-satunya ras berakal budi yang sanggup mencintai Tuhan di natara rekan-rekan makhluk ciptaan lainnya (Eusebius: 260-340). Setidaknya umat manusia dapat melihat diri mereka sebagai makhluk hidup yang secitra dengan pencipta, apabila mereka mampu memadukan pengetahuan dengan kebijaksanaan.
                Kedua, Agustinus (354-430) mengulas masalah penciptaan dan alam semesta dalam cahaya KS. Tafsiran atas kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian diangkatmenjadi salah satu tema permenungannya, khsususnya setelah dia dipermandikan di Milano pada tahun 387. corak bibles tafsirannya tak dapat dipungkiri. Dia memiliki perspektif teologis-ekologis yang diperkaya dimensi soteriologis. Ditekankan bahwa ciptaan di luar diri manusia, entah berjiwa atau tidak, tetap memiliki ‘nilai lebih’ dari pada sekadar bersifat memenuhi kegunaan manusia. Makhluk ciptaan lain tidak hanya berada untuk memenuhi keperluan-keperluan manusia. Lebih persis, akal budilah yang sebenarnya menempatkan manusia pada jajaran hirarkis yang lebih tinggi. Seiring dengan gagasan dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma 8:18-25, Agustinus melihat adanya keluhan dari segala makhluk hidup (ay.22). berbeda dari manusia, makhluk-makhluk ciptaan lain tidak menimbulkan pemberontakan. Malah setelah kejatuhan ke dalam dosa mereka kembali memperoleh ‘kebaikan dalam kodratnya’. Dalam pandangan Trinitarian yang bercorak Kristologis, penyembuhan dan penyelamatan juga dikaitkan dengan lingkungan hidup, agar akal budi sebagai anugerah efektif Tuhan ikut berperan. Sekarang tampak bahwa kerja digolongkan ke dalam factor teologis. Karya menjadikan manusia seperti Tuhan. Ditemukan sesuatu yang menyerupai ‘analogia L\laboris’ (‘analogi kerja’) antara pencipta dengan citra-Nya yang kreatif. Jelas, Agustinus menekankan bahwa tanah air kita berasal dari Bapa kita. Setelah menjadi Katolik dengan terang-terangan Agustinus mengakui ketergantungan penuh jiwa manusia pada tindakan Allah yang kreatif.
                Sejak abad keempat, pengakuan akan ‘Bapa yang mahakuasa’ (‘Pater omnipotens’) diperluas dengan pengakuan ‘pencipta langit dan bumi’ (‘factorem caeli e terrae’). Penciptaan dari ketiadaan kembali dititk-beratkan (pengakuan iman sejak abad kedua). Gagasan penciptaan dan pemeliharaan ciptaan ditekankan. Pemikiran tentang penciptaan terkait dengan gagasan tentang hukum sebab-akibat.
6.2          Abad Pertengahan
                Untuk mengetahui pandangan abad pertengahan mengenai alam semesta dan kandungannya, maka perlu kita perhatikan etika kerja para rahib Benediktin (abad ke-6) danSistersian (1098). Peraturan hidup Benediktus dari Nursia dipengaruhi oleh semboyan ‘Ora et Labora’ (“Berdoa dan Bekerja’). Makna yang ditemukan dalam kerja bukan terletak pada usaha penggarapan alam dan penggalian keuntungan dari alam, tapi terutama terletak pada kerja manusia yang menghasilkan ‘kultur’. Selain itu, terdapat ‘keterkaitan sosial’ yang diungkapkan dalam bentuk keramah-tamahan biara; kini dikenal sebagai ‘ekologi sosial’. Cita-cita kekudusan yang relatif baru terwujud pada waktu itu mencakup ‘pengolahan lahan’ disamping mencintai Tuhan dan sesama dan asketisme sebagai keutamaan-keutamaan yang menentukan. Jadi, pertanian, keahlian dan teknologi dapat disatukan dengan hidup iman yang mengontrolnya.
                Melalui karya Hugo dari St. Victor dapat diketahui kesaksian bermakna atas pengertian abad pertengahan mengenai alam, yang menjadikan hewan dan mesin sebagai obyek tangung jawab iman. Tuhan menghendak I manusia agar tak hanya menguasai dan menggunakan dunia hewan tapi juga memeliharanya danmengetahui apa yang seharusnya dilakukan manusia.
                Thomas Aquias (+1274) menggarisbawahi Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan kandungannya. Tuhan tidak menciptakannya di dalam waktu, sebab bersamaan dengan dunia menciptakan waktu. Tidak ada waktu sebelum Tuhan menciptakannya (bdk. S.Th. Ia, 44-46). Alam semesta tergantung penuh pada Tuhan. Dia tidak hanya mengadakannya, tapi Dia juga menyebabkannya berada terus. Tuhan menjadi sumber keberadaan dan kelangsungan dunia dan segala isinya. Tampak bahwa pandangan abad pertengahan tentang dnia dan kandungannya selalu dikaitkan dengan Tuhan sebagai pencipta.
6.3          Ajaran Sosial Gereja
                Sejarah membuktikan bahwa dari dulu hingga sekarang Gereja kita telah anyak memperhatikan moral individual, seksual dan sosial, yang berhubungan dengan dunia kerja (RN – 1891), perdamaian antar bangsa (PT – 1963), perkembangan manusia (PP – 1967). Namun belakangan ini perhatian Gereja tidak hanya tercurah pada sector-sektor kehidupan di atas. Masalah lingkungan hidup dimasukkan ke dalam agenda perhatian Gereja. Paus Paulus VI, misalnya, dalam suratnya kepada Maurice Strong pada kesempatan konferensi Bangsa-Bangsa tentang lingkungan hidup manusia yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1972 menegaskan bahwa manusia dan lingkungan alamiahnya saling terpaut dan perlunya pembatasan dalam menggunakan kekayaan alam yang sama. Beberapa tahun kemudian, Paus Yohanes Paulus II menetapkan dan mengajukan ajaran sosial baru yang berhubungan dengan alam dan perlindungan lingkungan hidup.
                Dalam analisisnya mengenai ajaran kepausan, Vaillancourt menyatakan bahwa sebenarnya dalam tulisan Paus Pius XII dan Yohanes XXIII terdapat sejumlah referensi tentang himbauan dan perhatian Gereja kepada lingkungan hidup, yang menyangkut masalah keindahan ciptaan dan penghargaan kepada alam semesta. Namun, Puas Paulus VI adalah ‘paus pertama’ yang sungguh-sungguh berbicara mengenai lingkungan hidup dalam teks-teks penting seperti ensiklik popularum progessio (1967), pesan kepada FAO 1970, pesan kepada Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972, pesan kepada PBB mengenai kemapanan manusia pada tahun 1976, dan pesan pada kesempatan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia V pada tahun 1977. dalam pesan terakhirnya, Paulus VI berbicara tentang krisis lingkungan hidup dan ancaman, akibat-akibat yang ditimbulkan oleh polusi industrial dan mendesak sejumlah perubahan tingkah laku kita yang boros danmengaitkan lingkungan hidup dengan perkembangan dalam perspektif kerja sama internasional.
                Paus Yohanes Paulus II banyak memperhatikan masalah lingkungan hidup. Pada tahun 1979, stahun setelah menduduki kursi kepausan, dia menyatakan St. Fransiskus dari Assisi sebagai pelindung para Pelestari Lingkungan Hidup. Dalam suratnya ‘Sanctorum Altrix’ (11 Juli 1980) juga disebut nama seorang kudus lain sebagai pelindung ekologi, St. Benediktus, yang membaca Sabda Tuhan bukan hanya dalam Kitab Suci tapi juga dalam kitab raksasa, yaitu alam raya. Sri paus memandang manusia sebagai ‘makhluk pengkontemplasi’ atas keindahan ciptaan. Manusia didorong untuk bersikap hormat terhadap keindahan, cahaya dan kebenarannya. Hasil inventarisasi naskah-naskah Yohanes Paulus II yang berbicara tentang lingkungan hidup melalui Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Damai mulai dari tahun 1979 hingga 1992 menunjukkan bahwa Sri Paus sekarang sungguh memperhatikan masalah lingkungan hidup. Dalam lima tahun (1979-1983) terdapat 28 teks Sri Paus yang berbicara mengenai lingkungan hidup.. kemudian, dari tahun 1984-1988 terdapat 39 teks sejenis, sementara itu, dari tahun 1989 hingga 1992 terdapat 65 teks yang menyinggung masalah lingkungan hidup. Ini berarti dari 1979 hingga 1992 terdapat ratusan naskah mengenai lingkungan hidup yang dikeluarkan oleh Paus kita sekarang. Pada tahun-tahun pertama kepausannya, Yohanes Paulus II memusatkan perhatian pada masalah keindahan alam, keserasian penciptaan, tanah yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan tanggung jawab umum dalam penggunaan sumber-sumber alam. Dalam ensiklik sosial pertamanya, Laborem Exercens (1981), Sri Paus menyoroti masalah kerja manusia, pandangannya mengenai perlunya pengelolaan tanah melalui kerja mansuia sebagai peran serta manusia dalam karya penciptaan, pentingnya kemajuan dunia dari satu segi dan perlindungan terhadap alam dari segi lain.
                Dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987), peringatan 20 tahun Ensiklik Popularum Progessio Paus Paulus VI, Yohanes Paulus II menampilkan analisis baru dan asli tentang krisis lingkungan hidup. Hingga sekarang memang tidak ada satupun ensiklik yang hanya berbicara mengenai lingkungan hidup. Ensiklik ini meyentuh subyek ini dari sudut tinjau perkembangan, pengangguran, hutang, pemisahan Utara-Selatan, konflik Timur-Barat, bahaya nuklir, terorisme dan masalah demografik. Setidaknya dititik-beratkan tiga perhatian utama: (1) lebih menyadari bahwa pemanfaatan makhluk ciptaan, bernyawa atau tak bernyawa, selalu menimbulkan akibat yang tidak terhindarkan. Penggarapan kekayaan alam demi keperluan ekonomi tanpa mengingat kodrat setaip pengada dan saling keterkaitan di antaranya dalam sistem organisme teratur (kosmos) memang berbahaya. (2)  terdpaat cirri keterbatasan sumber-sumber alam. Bagaimanakah sumber terbatas ini masih dapat diperbaharui? Pemanfaatan kekayaan alam dengan sikap dominasi mutlak bukan hanya membahayakan generasi sekarang, tapi juga generasi mendatang. (3) industrialisasi selalu menambah kontiminasi lingkungan dengan akibat-akibat berat untuk kesehatan masyarakat.
                Sementara itu dalam Ensiklik Centesimus Annus (1991) Puas Yohanes Paulus II kembali mengingatkan masalah lingkungan hidup dan ekologi yang kian berat. Kritik tajam telah dilontarkan terhadap sikap manusia dalam menafaatkan kekayaan alam. Seharusnya manusia menjadi kolaborator dengan Tuhan dalam karya penciptaan dan bukan mengganti kedudukan dan peran Tuhan. Sri Paus juga berbicara tentang perlindungan dan penyelamatan keadaan ekologi manusiawi, melindungi jenis-jenis hewan yang terancam punah dan keseimbangan umum bumi. Dimensi tanggung jawab dititikberatkan oleh Paus.
                Bernard J. Przewosny menyarikan enam analsis Paus Yohanes Paulus II tentang masalah ekologi: (1) seluruh keberadaan kosmos saling tergantung, saling ketergantungan ini membuat kita mengerti bahwa masalah ekologi adalah global; (2) sumber-sumber alam adalah sangat terbatas dan sejumlah sumber alam tidak dapat diperbaharui; (3)  kekayaaan alam milik seluruh umat manusia dan bukan hanya kaum berada; (4) Manusia adalah bebas untuk mengalami perkembangan manusiawi, suatu perkembangan global semua manusia, antara lain, melalui perkembangan ekonomi; (5) masalah demografi adalah rumit, dalam artian perluasan demografi bukan hanya menimbulkan perendahan lingkungan, tapi bertambahnya kelaparan di dunia dan masih ada juga penyebab masalah-masalah ekonomi; (6) krisis ekologi adalah masalah moral yang mendesak suatu kesetia-kawanan baru di antara seluruh umat manusia. Selin itu, menurut Przewosny, Yohanes Paulus II juga mengajarkan bahwa manusia dapat mengenal Tuhan melalui keindahan alam. Dalam diri alam terdapat nilai dalam dirinya dan memperoleh otonomi legitim yang harus dihargai dan dihormati manusia.
7.             Pembaharuan Sikap
7.1          Menyadari Dampak Teori Lingkungan Hidup
                Sikap dasar dan peri laku manusia terhadap lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh paham tentang lingkungan hidup. Penganut paham antroposentrisme umumnya cenderung untuk lebih mengutamakan kedudukan dan peran manusia di tengah makhluk ciptaan lain. Dalam keadaan harus mempertahankan hidup, manusia dari kodratnya akan mengorbankan makhluk hidup lain (tetumbuhan atau hewan). Walupun demikian, dari dulu manusia telah menggarap kandungan alam demi kehidupan dan kesejahteraan mereka.
                Seorang yang bercorak piker biosentris dengan sendirinya akan menimbang dan memperjuangkan harkat hidup dalam makhluk lain. Dia berusaha sedemikian rupa sehingga tak menimbulkan kerugian bagi makhluk hidup non-manusia, karena mereka memiliki kehidupan yang berasal dari pencipta yang satu dan sama. Pandangan ini akan dibela mati-matian oleh mereka yang menganut paham biosentrisme radikal. Sedangkan penganut biosentrisme moderat mempertimbangkan keluhuran hidup dalam makhluk lain dan kebutuhan pokok manusia yang tinggal di dalam jagat raya.
                Masalahmendasar yang muncul adalah keberadaan dan peran manusia dalam alam semesta. Apakah manusia tidak boleh memanfaatkan isi dan kekayaan alam demi kesejahteraan hidupnya sekarang dan generasi mendatang tanpa menimbulkan perusakkan-perusakkan yang memprihatinkan manusia? Bagaimanakah manusia dapat mempertahankan hidupnya di tengah alam yang terkadang ganas dan mengancam hidup manusia. Dalam situasi hidup nyata, senantiasa terjadi pertarungan manusia untuk membela dan mempertahankan hidup. Dalam perjuangan inilah manusia akan kembali kepada prinsip ‘struggle for life’.
                Demi hidup dan kesejahteraan, manusia boleh mengolah kekayaan alam sambil memperhatikan beberapa catatan penting yang tak dapat diabaikan, seperti: bertindak secara bertanggung jawab; memikirkan masa depan generasi mendatang; mengembangkan sikap ‘konservatif’. Dalam keadaan bagaimanapun dan apaun, manusia seharusnya menyadari diri sebagai ‘makhluk sosial’ dan tindakannya yang berdimensi sosial. Kemungkinan akan jatuh ke dalam pandangan ekstrim dan radikal sebaiknya diperhatikan dan dihindari. Pandangan dan sikap moderat sangat dituntut dari manusia modern dalam upaya mengelola jagat raya dan kekayaan di dalamnya. Sikap radikal dan ekstrim hanya akan menimbulkan ‘kemutlakan’ pandangan dan tindakan manusia dalam menghadapi jagat raya.
7.2          Revisi Filsafat Hidup Manusia
                Filsafat dalam konteks ini adalah ‘cara hidup menurut akal budi atau berdasarkan sejumlah prinsip dan kebenaran religus yang lebih tinggi; Filsafat adalah kebijaksanaan yang dihidupi oleh manusia’. Filsafat dalam artian ini bukan hanya berupa refleksi kritis, melainkan sungguh menyentuh kehidupan nyata seseorang.
                Ternyata filsafat hidup mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia terhadap alam ciptaan dan organisme di dalamnya. Manusia berlatar-belakangkan dan menghidupi filsafat utilitarianisme dan pragmatisme tentu akan mengincar keuntungan yang bisa digarap dari alam semesta. Kadang mereka melupakan dampak sampingan sebagai akibat ‘kerakusan’ manusia. Tidak sedikit manusia yang menghargai atau memberi nilai kepada makhluk ciptaan yang non-manusia hanya berdasarkan ‘kegunaan dan fungsinya’ bagi hidup dan kesejahteraan manusia.
                Sedangkan manusia yang dipengaruhi oleh sistem pemikiran ekologis akan menunjukkan sikap yang dekat, bersahabat dan melindungi lingkungan hidup. Manusia menyadari diri sebagai bagian integral dari seluruh jagat raya dan merasa bertanggung jawab atas apapun yang terjadi atau melanda jagat raya. Manusia ini memiliki kepekaan khusus terhadap keadaan lingkungan hidup disekitarnya.
                Menanggapi pengaruh latar belakang filsafat hidup dalam pola pandang dan tindakan seseorang, maka dari waktu ke waktu seharusnya manusia membaharui filsafat hidup selama ini. Filsafat hidup yang menghargai dan menghormati perlu ditanamkan dan dikembangkan dalam kehidupan bersama sebagai komunitas ciptaan Tuhan. Gagasan hubungan persaudaraan antara manusia dengan makhluk ciptaan lain musti dikembangkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kebanyakkan orang timur umumnya diwariskan filsafat hidup yang menyatu dan menghormati alam semesta. Manusia tidak begitu saja menghabiskan kekayaan alam tanpa memikirkan kebersamaannya dengan seluruh jagat raya.
7.3          Bertanggung Jawab
                Sebagai sebagian kecil dari seluruh sistem ekologis, manusia memang seharusnya bertanggung jawab atas tindakannya terhadap diri, sesame dan lingkungan hidup. Tanggung jawab dan kewajiban moral menjadi tema utama moral lingkungan yang sedang kita gumuli. Moral ini mengingatkan manusia akan pentingnya perlindungan etis terhadap lingkungan dan menghindari terjadinya perusakan isi lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup tak terpisahkan dari manusia. Bagaimanakah pemahaman manusia mengenai alam, lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya? Selain itu, moral lingkungan hidup dalam dirinya terpaut dengan moral lain, seperti: moral sosial, moral perusahaan dsb.
                Sebagai kesadaran moral, tanggung jawab bisa dipandang sebagai sumbangan pandangan Gereja terhadap lingkungan hidup. Tiap tindakan manusia, entah dalam bidang pertanian, perkebunan, pabrik dan teknologi (bertenaga nuklir) pasti mempengaruhi keadaan lingkungan hidup. Dalam bidang tenaga nuklir, misalnya, muncul dua sikap yang cukup sering merugikan lingkungan hidup: (1) pendekatan fungsional terhadap alam, yang mementingkan keuntungan si pengelola tanpa penghargaan atau penghormatan terhadap lingkungan hidup sekitar; (2) keyakinan tak terbatas terhadap kemajuan teknologi. Makhluk hidup lain dan lingkungan hidup ditundukkan. Manusia, bagaimanapun juga, haruslah belajar untuk mengontrol kecenderungan diri untuk menguasai dan menundukkan alamdan lingkungan hidup (P. Paulus VI).
                Tanggung jawab ini bukan hanya menyangkut keadaan dan generasi sekarang, namun mencakup keadaan dan generasi mendatang. Mengapa kita bertanggung jawab atas generasi mendatang? Sudah pada tempat dan waktunya kita mendesak kesetia-kawaan manusiawi sepanjang sejarah; kita termasuk ‘pendosa’ terhadap masa lampau dan masa depan akan menilai tindakan-tindakan kita dengan segala dampaknya. Generasi muda juga memiliki kebutuhan ekologis dalam bidang sumber-sumber alam. Ini berarti manusia dewasa ini musti mempertimbangkan perencanaan dan tindakanm ereka sekarang tanpa melupakan kehadiran generasi mendatang.
                Dalam hal ini, para ilmuwan seharusnya menunjukkan apa yang diperlukan oleh semua masyarakat dunia supaya hidup semua manusia terjamin dan kebutuhannya terpenuhi. Di kawasan tempat tinggal makhluk hidup (‘biosphere’), ‘orang-orang dewasa’ memelihara sumber-sumber yang diperlukan untuk keberadaan manusia. Contoh: tiap molekul (partikel terkecil dari persenyawaan) oksigen berasal dari tetumbuhan, lalu diciutkan dan didaur ulang oleh organisme-organisme yang memakan waktu 2000 tahun. Tiap molekul air melewati oragnaisme-organisme yang hidup dan diperbaharui sebagai secara keseluruhan setiap 22 juta tahun. Jika kita ingin bertahan, maka kita harus menyadari bahwa sistem kehidupan ini masih berlangsung terus dan menyita waktu yang tidak sedikit.
                Tanggung jawab ekologis terpenuhi kalau penggunaan sumber alam masih mampu menjamin cadangan untuk generasi mendatang; kalau sumber alam dipergunakan sebagaimana mestinya (perlu adanya proses daur ulang dan teknologi baru); kalau penanganan masalah polusi dilaksanakan secara berkesinambungan. Kedudukan dan peran manusia dalam jagat raya mesti diperhatikan.
8.             Kriteria Etis Perlindungan Lingkungan
                Salvino Leone mencetuskan tiga kriteria etis:
                Pertama, menyangkut langkah awal dan perlunya kesadaran etis yang jelas tentang masalah yang dihadapi perlindungan lingkungan hidup, baik mengenai kesadaran setiap individu maupun perhatian dari pihak politisi administratif.
                Kedua, menyangkut tatanan filosofis-kultural dan terdiri dari pemikiran mendalam tentang makna moral lingkungan hidup. Dalam hal ini tak perlu disingkirkan refleksi teologis yang berkenaan dengan masalah alam dan penciptaan. Pandangan-pandangan Gereja disoroti, khususnya pandangan dari Puas sekarang. Keterlibatan kaum beriman dalam masalah lingkungan hidup lahir langsung dari iman akan Tuhan Pencipta, penilaian atas pengaruh dosa asal dan dosa pribadi dan kepastian ditebus oleh Kristus. Penghormatan terhadap hidup dan keseluruhan pribadi manusia mencakup penghormatan dan pemeliharaan terhadap makhluk ciptaan, yang dipanggil untuk mempersatukan diri dengan manusia untuk memuliakan Tuhan”.
                Ketiga, perlu ditentukan sejumlah orientasi normatif yang kemudian dapat diterjemahkan dalam politik lingkungan hidup yang nyata. Ditekankan pentingnya perlindungan makhluk ciptaan lain; demi kepentingan generasi sekarang dan masa depan. Penggunaan sumber-sumber alam yang terbatas musti dipertimbangkan dengan arif. Pembuangan sampah yang bertanggung jawab sambil mempertimbangkan kemungkinan untuk mendaur ulang sampah-sampah tertentu. Ditingkatkan permenungan kritis tentang alam dalam sejarah dan etika; menghidupi suatu kebudayaan baru berkaitan dengan dunia lingkungan hidup. Yang mendesak adalah program pendidikan tentang lingkungan hidup baik, bagi generasi sekarang maupun generasi masa depan.
9.             Prinsip-Prinsip Etis Perlindungan Lingkungan
                Dalam “Ethical Principles for Environmental Protection”, Robert E. Goodin mengajukan beberapa prinsip pokok yang musti dipertimbangkan dalam dunia pelestarian lingkungan hidup.
9.1          Utilitarianisme
                Prinsip ortodoks yang masih dianut pada saat pengambilan keputusan umum dan khususnya menghenai masalah lingkungan adalah ‘Utilitarianisme’ yang disesuaikan dengan keadaan hidup konkret. Paham ini menekankan bahwa tiap tindakan dinilai berdasarkan besarnya pembiayaan dan keuntungan diperoleh. Umumnya manusia cenderung memburu keuntungan sebesar-besarnya. Hidup manusia dianggap baik dan berbahagia jika kegiatannya menguntungkan.
                Setidaknya Robert E. Goodin mengajukan tiga keberatan umum terhadap pandangan ini. (1) prinsip utilitarian berpijak pada kecenderungan dan keinginan pribadi yang mendorong manusia untuk bertindak dengan sikap acuh tak acuh (‘indifferent’) terhadap orang lain. Yang diandalkan adalah keuntungan pribadi atau kelompk kecil. (2) prinsip ini mengandaikan keseimbangan nilai-nilai. Dari satu sisi, ini terkait dengan tindakan manusia untuk membandingkan kecenderungan, keinginan dan manfaat dari individu yang berbeda. Dalam hal ini, Goodin tidak meyakini adanya dasar obyektif, kecuali tuntutan-tuntutan etis yang harus dipenuhi. Dari sisi lain, perlu diingat adanya sejumlah tuntutan konfliktual dalam keputusan sosial. Bagaimanakah seharusnya mendamaikan tuntutan ekonomis dengan perlindungan dan pengawetan lingkungan hidup? (3) Prinsip ini tidak mempan berhadapan dengan pembagian kesejahteraan. Prinsip ini bisa saja merestui dan menghalalkan perwujudan kesejahteraan penuh bagi seseorang atau sekelompok manusia, sementara itu pihak lain harus menderita. Contoh: Kasus penggusuran 1000 keluarga dari daerah tertentu hanya untuk mewujudkan proyek pembendungan sungai.
                Kalau begitu, penerapan prinsip ini mesti mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan umum. Yang diutamakan adalah kesejahteraan bersama, manusia dan seluruh jagat raya; bukan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu!
9.2          Pengawetan
                Prinsip ini memperjuangkan pengawetan dan perlindungan terhadap tumbuhan dan hewan yang terancam punah, pelestarian lingkungan hidup meminta supaya dunia mencegah kepunahan sejumlah jenis tanaman atau hewan. Penghancuran kawasan bersejarah hendaknya dihindari sedapat mungkin. Perusakan global terhadap lingkungan hidup memang harus dicegah. Umumnya, kemungkinan untuk memilih ‘kebijaksanaan’ terbaik dalam menghadapi masalah lingkungan hidup masih tetap terbuka. Contoh: lebih baik membuang sampah radio aktif dalam batu karang yang terletak jauh dari permukaan laut daripada membuang sampah itu sembarangan. Namun, dalam sejumlah kasus memang tidak ada pilihan lain, kecuali menolak. Misalnya: langsung ditolak usaha memulai perang nuklir demi keselamatan dan kesejahteraan lingkungan hidup.
9.3          Membandingkan Kemungkinan Memilih
                Prinsip ini berasaskan pertimbangan untung-ruginya suatu pemilihan. Semula prinsip ini diabadikan dalam dunia ekonomi. Lambat-laun prinsip ini merembes ke dalam dunia politik. Belakangan ini prinsip ini diterapkan dalam debat tentang energi yang terkait dengan masalah harga, keuntungan dan dampak yang muncul dalam suatu pemilihan. Dampak praktek menurut prinsip perbandingan alternative harus menimbang dimensi untung dan rugi. Untung-rugi ini ditinjau dari sudut ekonomis dan ekologis.
9.4          Melindungi Kelompok Lemah
                Prinsip lebih memperhatikan jenis atau kelompok tumbuhan atau hewan yang lemah, seperti anjing laut dan ikan hiu. Penggunaan zat-zat kimia tertentu di tengah lautan luas dan pembuangan sampah-sampah nuklir seharusnya memperhatikan dampak sampingan yang muncul dari tindakan itu. Sikap dasar dan tindakan generasi sekarang ini akan sangat mempengaruhi keadaan generasi mendatang. Dalam hal ini, sikap perlindungan kita terhadap kelompok lemah menajdi landasan kode dalam etika profesi dan sikap ini membentuk dasar hubungan-hubungan cinta kasih.
9.5          Menghindari Kerugian
                Prinsip ‘menghindari kerugian’ menyangkal adanya simetri antara kerugian dan keuntungan dalam penanganan lingkungan hidup. Pada hal, keuntungan dan kerugian saling berdampingan dalam dunia lingkungan hidup. Menghindari kerugian berarti menghasilkan keuntungan. Menurut prinsip ini adalah lebih buruk menimbulkan kerugian dari pada gagal menghasilkan keuntungan. Prinsip ini adalah salah satu komponen yang lebih penting dalam argumen-argumen  yang dicetus oleh ekologis untuk melawan campur tangan sembrono dalam proses alamiah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar