BAB
I: LINGKUNGAN HIDUP
1.1 Pengertian Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup merupakan ruang
kehidupan yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi secara
seimbang. Interaksi ini disebabkan karena fungsi dari masing-masing individu
atau makhluk hidup berbeda, dan berusaha menjaga serta mempertahankan
eksistensi dan fungsinya. Semua
benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia
atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya. Istilah lingkungan
hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan “environment”,
dalam bahasa Belanda disebut “milieu” atau
dalam bahasa Perancis disebut “l’environment”
1.2 Komponen dalam Lingkungan Hidup
1.2.1 Lingkungan Hidup Internal
Yakni
proses fisiologis dan biokimia yang berlangsung dalam tubuh manusia pada saat
tertentu yang juga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan keadaan yang
terjadi di luar tubuh untuk kelangsungan hidupnya atau disebut juga bersifat
homeostatis. Contoh perubahan temperatur dari panas ke dingin.
1.2.2 Lingkungan Hidup Eksternal
Yakni
segala sesuatu yang berupa benda hidup atau mati, ruang energi, keadaan sosial,
ekonomi maupun budaya yang dapat membawa pengaruh terhadap prikehidupan manusia
di muka bumi ini. Ada beberapa komponen lingkungan hidup eksternal:
1. Lingkungan
fisik (physical environment),
lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah,
cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi dan lain-lain.
2. Lingkungan
biologis (biological environment)
lingkungan biologis bersifat biotik atau benda hidup, misalnya
tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain
yang dapat berperan sebagai agen penyakit, reservoir inveksi, vektor penyakit,
dan hospes intermediate.
3. Lingkungan
sosial (social environment)
lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama,
sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik.
Lingkungan social terdiri dari: a) Fisiososial,
yaitu yang meliputi kebudayaan materil: peralatan, senjata, mesin, gedung dan sebagainya; b) Biososial manusia dan
bukan manusia, yaitu manusia dan interaksi terhadap sesamanya dan hewan beserta
tumbuhan domestik dan bahan yang digunakan manusia yang berasal dari sumber
organic; c) Psikososial, yaitu yang berhubungan dengan tabiat manusia, seperti
sikap, pandangan, keinginan, keyakinan. Hal ini terlihat dari kebiasaan, agama,
ideologi, bahasa dan lain-lain; d) Lingkungan komposit, yaitu lingkungan yang
diatur secara institusional, berupa lembaga-lembaga masyarakat.
Dengan
pemahaman lingkungan hidup di atas, pelestarian lingkungan hidup merupakan
upaya pelestarian komponen-komponen lingkungan hidup beserta fungsi yang
melekat dan interaksi yang terjadi di antara komponen tersebut.
1.3
Mengapa Manusia Harus Peduli
Terhadap Lingkungan Hidup?
1.3.1 Eksploitasi Alam
Masalah
kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditumbulkan bukanlah suatu
hal yang asing lagi. Dengan mudah dan sistematis kita dapat menunjuk dan
mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup dan apa saja akibat yang
ditimbulkanya. Misalnya; Eksploitasi alam dan penebagan hutan yang terlalu
berlebihan dapat menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air
bersih; Membuang limbah industri ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan
merusak habitatnya; dan Penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak
terumbu karang dan biota laut dan masih banyak lagi daftar sebab akibat yang
biasa terjadi dalam lingkungan hidup kita.
Perspektif environmental
scarcity (kelangkaan), yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik
penguasaan sumber daya (khususnya yang terbarukan, renewable resources) sebagai akibat pertambahan penduduk dan
permintaan. Akibat meningkatnya permintaan, kualitas dan kuantitas sumber daya
menurun. Situasi ini mengakibatkan kerusakan, kelangkaan sumber daya, dan
melahirkan konflik sosial. Konflik potensial mengacaukan keamanan, ketidakstabilan,
dan kemiskinan sehingga negara diperingatkan memperkuat pengamanan lingkungan.
1.3.2 Perspektif
Politik-Ekonomi
Berkembangnya perspektif politik ekologi, yang
menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik dengan memperhitungkan aspek
politik-ekonomi. Cara pandang ini berusaha menjelaskan masalah kerusakan
lingkungan dengan memperhitungkan aspek kekuasaan, keadilan distribusi, cara
pengontrolan, kepentingan jejaring lokal-nasional-global, kesejarahan, gender,
dan peran aktor. Ketajaman perspektif politik ekologi terlihat dalam cara
memahami kerusakan lingkungan sebagai akibat praktik kekuasaan dan pasar.
Kerusakan di suatu wilayah mikro bisa karena kekuatan pasar global yang tidak
terlibat langsung. Kasus konflik dan kebakaran hutan, misalnya, selalu terkait
dengan kepentingan politik, ekonomi, pasar, dan cara pengontrolan sumber daya,
bukan karena kelangkaan.
1.3.3 Perspektif
Kelangkaan
Terlihat, perspektif "kelangkaan" mendorong isu
kerusakan lingkungan sebagai hubungan "sebab-akibat"
yang wajar antara jumlah penduduk, permintaan, dan kelangkaan. Sebaliknya, perspektif politik ekologi menegaskan
isu kerusakan lingkungan terletak pada "kesalahan
cara urus" yang dijalankan pihak "berkuasa".
Pertanyaannya, apa jadinya jika perspektif "kelangkaan" merajai
kerangka pikir dunia dalam melihat krisis lingkungan? Secara mikro, perspektif "kelangkaan" akan menjauhkan
akurasi penjelasan kerusakan lingkungan. Di Indonesia, misalnya, negara akan
terus menguatkan kontrol atas sumber daya alam dan konflik akan dihadapi
melalui cara-cara represif. Sebaliknya, penjelasan atas dampak otoritas negara,
kekuasaan, dan pasar tidak mendapat tempat. Keadilan dan hak akses bagi rakyat
tersendat dan kemiskinan kian nyata. Secara makro, perspektif kelangkaan
membuat nyaman negara maju menghadapi tekanan negara miskin yang bersandar pada
sumber daya alam/hutan. Kita
ditarik masuk dalam isu pengendalian penduduk dan permintaan. Pengaruh pasar
global dan perilaku negara maju terlindungi. Negara yang menghabiskan hutan dan
menyumbang polusi bisa tampil percaya diri menyerukan kesadaran moral,
"krisis lingkungan adalah masalah bersama".
Lingkungan hidup menjadi sebuah masalah besar karena: a)
manusia memiliki pengetahuan, pengenalan dan kesadaran akan kerusakan
lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkannya begitu rendah dan lamban; b)
manusia tidak dapat berpikir secara logis dan sistematis sehingga tindakan
untuk mengeksploitasi lingkungan hidup hanya berhenti
pada tahap pengeksploitasian semata tanpa diikuti proses selanjutnya yaitu
tanggungjawab untuk merawat dan memilihara?; 3) lemahnya kesadaran terhadap lingkungan hidup karena adanya anggapan dan pandangan
bahwa pemanfaat alam bagi manusia itu adalah hal yang “wajar”.
Jika kerusakan lingkungan hidup
berarti sama dengan kerusakan bumi, maka sama artinya dengan ancaman terhadap
hidup dan tempat tinggal kita. Dengan kata lain, tugas untuk merawat dan
memelihara lingkungan hidup, bumi serta segala isinya adalah tanggung jawab
kita semua. Lingkungan hidup bumi serta segala isinya adalah “milik” kita.
1.4 Masalah
Etika dan Moral
Masalah
kerusakan lingkungan hidup mempunyai cakupan yang cukup luas. Ia tidak hanya dibatasi di dalam bentuk kerusakan pada
dirinya sendiri. Namun, ia juga terkait dengan
masalah lain. Masalah yang dimaksud adalah masalah etika dan moral.
Sebelum
kita masuk pada uraian lebih lanjut, kiranya kita perlu memperjelas lebih
dahulu apa itu arti etika dan moral. Etika dapat dipahami sebagai filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika memberikan orientasi pada manusia agar manusia tidak hidup dengan
cara ikut-ikutan saja terhadap pelbagai fihak yang mau menetapkan bagaimana
kita harus hidup, melainkan agar kita dapat mengerti sendiri mengapa kita harus
bersikap begini atau begitu. Etika mau membantu, agar kita lebih mampu untuk
mempertanggungjawabkan kehidupan kita. Sedangkan moral adalah ajaran-ajaran,
wejangan-wejangan, kotbah-kotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan
ketetapan entah lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia
sebagai manusia.
1.4.1 Masalah
Etika
Masalah lingkungan hidup menjadi
masalah etika karena manusia seringkali “lupa” dan kehilangan orientasi dalam
memperlakukan alam. Karena “lupa” dan kehilangan orientasi itulah, manusia
lantas memperlakukan alam secara tidak bertanggungjawab. Dalam keadaan seperti
itu, mereka juga tidak lagi menjadi kritis. Oleh karena itulah pendekatan etis
dalam menyikapi masalah lingkungan hidup sungguh sangat diperlukan. Pendekatan
tersebut pertama-tama dimaksudkan: a) untuk menentukan sikap, tindakan dan
perspektif etis serta manejemen perawatan lingkungan hidup dan seluruh anggota
ekosistem di dalamnya dengan tepat. Maka, sudah sewajarnyalah jika saat ini
dikembangkan etika lingkungan hidup dengan opsi “ramah” terhadap lingkungan hidup; b) teori etika
lingkungan hidup sendiri secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk
membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat
dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam
dan lingkungan sekitarnya.
1.4.2 Masalah
Moral
Dalam kehidupan sehari-hari
tindakan moral adalah tindakan yang paling menentukan kualitas baik buruknya
hidup seseorang. Agar tindakan moral seseorang memenuhi kriteria moral yang
baik, ia perlu mendasarkan tindakanya pada prinsip-prinsip moral secara tepat.
Prinsip-prinsip moral yang dimaksud di sini adalah prinsip sikap baik, keadilandan
hormat terhadap diri sendiri. Prinsip-prinsip moral ini perlu dikembangkan
lebih jauh. Artinya, prinsip moral semacam itu diandaikan hanyalah berlaku bagi
sesama manusia. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak hanya
berjumpa dan berinteraksi dengan sesamanya, tetapi berinteraksi dan berhubungan
juga dengan makhluk non-human atau lingkungan hidup di mana ia tinggal, bekerja
dan hidup. Maka rasanya kurang memadai jika dalam konteks tersebut tidak
terdapat prinsip-prinsip moral yang jelas seperti ketika seseorang menghadapi
sesamanya. Dengan kata lain, rasanya akan lebih baik jika terdapat
prinsip-prinsip moral yang menjadi penentu baik-buruknya tindakan seseorang dengan lingkungan hidup dan unsur-unsur
kehidupan lain di dalamnya
Untuk menjawab pertanyaan di
atas, kita kembali pada: 1) pemahaman atau pendekatan etika, dengan pendekatan
itu, kita dapat menemukan konsep moral yang lebih memadai bagi manusia dalam
menentukan sikap, tindakan dan perspektifnya terhadap lingkungan hidup dan makhluk
non-human; 2) semua bintang dan tumbuhan dimasukkan sebagai gologan subyek
moral. Maka, manusia punya kewajiban dan tanggung jawab terhadap semua binatang
dan tumbuh-tumbuhan.
Alasan
apa yang dapat membenarkan pandangan semacam itu? Pertama harus ditentukan,
apakah mereka layak disebut sebagai agen moral. Kriteria “sesuatu” dapat
disebut sebagai agen moral. Yang dapat disebut sebagai agen moral adalah
sebenarnya apa saja yang hidup, yang memiliki kapasitas kebaikan atau kebajikan
sehingga dapat bertindak secara moral, memiliki kewajiban dan tanggungjawab,
dan dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindakanya. Agen moral dapat
memberikan penilaian yang benar dan salah; dapat diajak dalam proses delibrasi
moral; dan dapat menentukan keputusan berdasarkan semua alasan yang telah
disebutkan.
Dengan
melihat definisi tersebut, mingkin kita akan berpendapat bahwa semua itu adalah
kapasitas yang hanya dimiliki oleh manusia. Sekarang yang menjadi pertanyaan
adalah apakah pendapat semacam itu benar seluruhnya? Dugaan bahwa seluruh
kapasitas sebagai moral agent (pelaku
moral) di atas, hanya dimiliki oleh
manusia tidaklah seluruhnya benar. Dalam kenyataan ada juga
pengecualian-pengecualian yang dapat menjadi halangan bagi manusia untuk
menjadi agen-agen moral, contohnya adalah anak-anak yang masih berada di bawah
umur dan mereka yang mengalami cacat mental. Anak-anak dan mereka yang
mengalami cacat mental jelas-jelas adalah manusia. Akan tetapi, mereka tidak
dapat disebut sebagai agen moral sebab mereka memiliki keterbatasan baik yang
tidak permanen maupun yang permanen. Oleh karena itu, apabila mereka melakukan
tindakan yang melanggar nilai-nilai moral tidak dapat dikenakan sanksi.
Kriteria
agent moral, dapat disimpulkan bahwa
ada makhluk hidup lain bukan manusia yang memiliki kapasitas sebagai agent moral. Bukan tidak mungkin bahwa
makhluk non-human memiliki kapasitas-kapasitas yang telah disebutkan di atas
sebagai kriteria untuk menjadi agent
moral. Semut dan lebah pekerja yang bekerja degan giat dengan penuh rasa
tanggungjawab untuk mengumpulkan makanan dan madu demi kebaikan bersama
komunitas mereka tidak dapat diabaikan sebagai agent moral jika kita diukur dengan menggunakan kepemilikan
kapasitas dapat berbuat baik dan bertanggungjawab. Begitu juga halnya dengan
tanaman; pohon pisang yang rela menghasilkan buah bukan demi untuk dirinya
sendiri tetapi demi kebaikan entah bagi manusia atau makhluk yang lain pun juga
tidak dapat diingkari keberadaanya sebagai agent
moral. Dengan kata lain, pohon pisang juga memiliki kapasitas kebaikan yang
layak menjadikan dirinya sebagai agen moral. Sebagai agen moral ia patut
dihormati.
BAB
II: EKOLOGI
1. Pengertian
Ekologi adalah ilmu yang
mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang
lainnya. Berasal dari kata Yunani “οίκος”, “oikos”, (rumah, tempat tinggal) dan λόγος, “logos” (ilmu, kata,
uraian). Ekologi dilukiskan sebagai ilmu, studi (penyelidikan) tentang hubungan
antara planet, hewan, manusia, dan lingkungan hidup serta keseimbangan di
antara mereka. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst
Haeckel seorang biolog Jerman (1834-1914). Dalam
ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai “kesatuan” atau “saling keterkaitan”
antara organisme dengan lingkungan sekitarnya. Organisme adalah “entitas” yang
berada hanya dalam kesatuan dengan lingkungannya. Kodrat setiap entitas selalu
terpaut dengan yang lain. Hubungan dengan yang lain menjadi ciri khas
organisme. Planet bumi dianggap sebagai salah satu bentuk “komunitas” hidup
yang saling tergantung dan memiliki keseimbangan. Ekologi dipahami juga sebagai
ilmu tentang keseluruhan organisme di tempat beradanya; ilmu tentang tatanan dan
fungsi alam atau kelompok organisme yang ditemukan dalam alam dan interaksi di
antara mereka.
2. Pembahasan Ekologi
Sebagai
ilmu, ekologi membahas ekosistem dengan
berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik dengan tujuan
memperoleh paham menyeluruh tentang segenap keadaan jagat raya (ecosphere). Faktor abiotik antara lain suhu, air,
kelembaban, cahaya, dan
topografi, dan biotik adalah makhluk
hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Karena itu, ilmu ini mencoba mengerti apapun
yang bisa diketahui manusia, termasuk keadaan hidup, memperhatikan keadaan di
bawah lapisan hidup yang dipenuhi dengan unsur-unsur abiotik dan dunia di luar
bumi seperti planet serta dunia budi atau pikiran manusia (noosphere). Pembahasan utama ekologi tercurah pada hubungan
timbal-balik antar benda, perubahan-perubahan tetap, pengaruh-pengaruh yang
saling terkait, saling ketergantungan yang melintasi jagat raya. Iklim,
makanan, kependudukan, energi, dan polusi merupakan pembahasan para pakar
ekologi.
Seperti
ilmu alam lainnya, ekologi tergantung pada hukum fisis yang terpaut dengan
materi dan energi. Materi adalah sesuatu yang memiliki massa dan ruang.
Sedangkan energi, dipahami sebagai daya untuk melalukan sesuatu atau
menghasilkan perubahan yang berbentuk materi. Hukum-hukum fisis adalah hukum
pengawetan materi dan energi. Secara material, segala sesuatu pasti berubah
bentuk wakalupun benda itu tidak hancur. Sedangkan dalam proses kimia biasa,
energi hanya berubah bentuk, termasuk menjadi bentuk yang kurang berguna. Para
ahli ekologi mempelajari: perpindahan energi dan materi dari makhluk
hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan
faktor-faktor yang menyebabkannya; perubahan populasi atau spesies
pada waktu yang berbeda dan faktor-faktor yang menyebabkannya; terjadi hubungan
antarspesies (interaksi antar spesies) makhluk hidup dan hubungan antara
makhluk hidup dengan lingkungannya.
Ekologi
merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang muncul pada tahun 70-an.
Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologi. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk
hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar
makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau
lingkungannya. Ekologi, biologi, zoologi, botani dan ilmu
kehidupan lainnya saling melengkapi.
Jadi
ekologi adalah ilmu atau studi tentang organisme dalam hubungannya dengan
seluruh lingkungan hidup, yang berusaha menyoroti, menganalisi dan memajukan
seluruh unsur dalam alam semesta. Kini para ekolog berfokus pada ekowilayah bumi dan riset
perubahan iklim.
3. Konsep
Ekologi
Keterkaitan dan ketergantungan
antara seluruh komponen ekosistem harus dipertahankan dalam kondisi yang stabil dan seimbang (homeostatis). Perubahan terhadap salah satu komponen
akan mempengaruhi komponen lainnya. Homeostatis adalah kecenderungan sistem biologi untuk menahan perubahan dan selalu berada dalam keseimbangan.
Ekosistem
mampu memelihara dan mengatur diri sendiri seperti halnya komponen penyusunnya
yaitu organisme dan populasi. Dengan
demikian, ekosistem dapat dianggap suatu cibernetik di alam. Namun manusia cenderung
mengganggu sistem pengendalian alamiah ini.
4. Hubungan
Ekologi dengan Politik, Ekonomi dan Antropologi
Ekologi menimbulkan banyak filsafat yang amat kuat dan pergerakan politik-termasuk gerakan konservasi, kesehatan, lingkungan,dan ekologi yang kita kenal sekarang. Saat
semuanya digabungkan dengan gerakan perdamaian dan Enam Asas, disebut gerakan
hijau. Umumnya, mengambil kesehatan ekosistem yang pertama pada daftar moral
manusia dan prioritas politik, seperti jalan buat mencapai kesehatan manusia
dan keharmonisan sosial, dan ekonomi yang lebih baik. Orang yang
memiliki kepercayaan-kepercayaan itu disebut ekolog politik. Beberapa telah
mengatur ke dalam Kelompok Hijau, namun ada benar-benar ekolog politik dalam
kebanyakan partai politik. Sangat sering mereka memakai argumen dari ekologi
buat melanjutkan kebijakan, khususnya kebijakan hutan dan energi. Seringkali
argumen-argumen itu bertentangan satu sama lain, seperti banyak yang dilakukan para akademisi.
Ekonomi, ekologi dan
teori perkembangan manusia mencoba memisahkan ekonomi dengan
lainnya, namun susah. Ekonomi menjadi bagian ekologi, dan jangan pernah
mengabaikannya. "Modal alam" merupakan penggabungan ekologi dan
ekonomi yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Ekologi terkadang
dibandingkan dengan antropologi, sebab
keduanya menggunakan banyak metode untuk mempelajari satu hal yang kita tak
bisa tinggal tanpa itu. Antropologi mempelajari tentang bagaimana tubuh dan
pikiran kita dipengaruhi oleh lingkungan kita,
sedangkan ekologi mempelajari bagaimana lingkungan kita dipengaruhi oleh tubuh
dan pikiran kita.
Beberapa
ilmuwan berpikir,
paradigma mekanistik meletakkan subyek manusia dalam kontrol objek ekologi,
atau disebut masalah subyek-obyek. Namun dalam psikologi evolusioner atau psikoneuroimunologi, jelas bahwa kemampuan manusia dan tantangan
ekonomi berkembang bersama. Antoine de Saint-Exupery mengatakan, "Bumi
mengajarkan kita lebih banyak tentang diri kita daripada seluruh buku”. Karena
itu, manusia
menemukan dirinya sendiri saat ia membandingkan dirinya dengan alam
beserta isinya.
5. Hubungan Manusia dengan Kosmos
Maroni
membagi 3 tahap penting latar belakang sejarah hubungan manusia dengan alam
semesta:
5.1 Masa Keseimbangan
Alam
Pada
zaman Paleolitikum (zaman batu) sekitar tahun 590 000 sM manusia belum mengenal
dunia pertanian. Manusia hidup sebagai pemburu, pencari ikan, dan pengumpul
buah-buahan. Dalam zaman ini, hubungan manusia dengan alam cukup seimbang. Manusia
primitif berhubungan serasi dengan alam karena manusia menggantungkan dirinya
pada alam. Kontrol manusia terhadap alam khususnya menyangkut sumber-sumber
yang diperlukan manusia untuk hidup dan berkembang cukup kuat, demikian juga
kontrol alam terhadap masyarakat dan hewan.
Perkembangan
teknologi (penggunaan api, pengenalan dan pengetahuan manusia tentang makanan
dari tumbuh-tumbuhan dan daging hewan buruan) di kalangan manusia ternyata
mempengaruhi lingkungannya sendiri. Pengetahuan manusia tentang jenis tanaman
yang dapat dinikmati pada musim tertentu dan tingkah laku manusia terhadap
hewan memungkinkan manusia untuk memperoleh sumber makanan seperlunya.
5.2 Masa Ketidak-seimbangan Alam
Pada masa ini
terdapat dua perubahan kultural yang menimbulkan keretakan keseimbangan antara
kelompok manusia dan lingkungan alam: 1) revolusi neolitikum (masa manusia
mengubah lingkungan alam tanpa membahayakan proses fungsi alam); 2) revolusi
industri yang melanda sejumlah negara maju. Zaman sekarang, manusia mengontrol
lingkungan hidup dan menggarap kekayaan alam demi kepentingan manusia.
5.2.1 Revolusi
Neolitikum (Abad ke-20)
Ketidak-seimbangan hubungan
antara manusia dengan alam muncul pada saat manusia mengalami krisis makanan.
Keadaan ini terjadi pada zaman Mesolitikum (zaman peralihan antara Paleolitikum
dan Neolitikum), pada waktu suhu bumi sedang mengalami perubahan sehingga
terjadilah perpindahan binatang-binatang menuju ke kawasan Utara. Situasi ini
membuat manusia mengambil sikap lain terhadap alam dan lingkungan hidupnya.
Pada masa ini, bisa dikatakan masa awal sejarah dimana manusia mulai menyadari
dirinya memiliki jarak dengan alam. Manusia mulai menyingkap rahasia bahwa alam
semesta dapat menghasilkan makanan sehingga manusia mulai merambah hutan yang
kaya akan bahan makanan manusia.
Dengan bertani dan memelihara
ternak, maka dimulailah zaman Neolitikum (zaman batu akhir). Revolusi
Neolitikum adalah perubahan cara manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
dengan tidak lagi mencari tumbuh-tumbuhan, tetapi menanam tumbuh-tumbuhan; ia
tidak lagi berburu hewan tetapi mulai memeliharanya. Ciri kerja zaman ini yakni
mengubah tatanan hidup masyarakat dengan bertani dan berternak. Api digunakan
untuk membakar hutan, kemudian mulailah cara hidup nomaden yang berpindah dari
tempat satu ke tempat yang lain. Lambat laun muncul dunia pertukangan yang
menangani pembangunan tenmpat tinggal manusia, hewan dan keperluan lainnya.
Desa dan kota mulai tumbuh. Masa ini dimulai sekitar 8000-7000 sM di Asia Barat
Daya, sekitar 5000 sM di Eropah Tenggara dan 4000 sM di Negeri Belanda dan
Belgia.
Dalam masa ini terjadi revolusi
perkotaan. Di daerah perkotaan lahir masyarakat sipil dan peradaban manusiawi.
Sumber energi yang baru mulai dipakai. Perak, tembaga dan besi dimanfaatkan
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan masyarakat zaman ini dengan alam
pada dasarnya berlangsung hingga awal peradapan industrial. Hubungan baik
antara manusia dengan alam semesta masih berlangsung hingga tahun 1950.
5.2.2 Revolusi
Industri
Revolusi industri bertitik tolak
dari abad XVII dengan munculnya metode ilmiah dan pengetahuan-pengetahuan baru
dan penyebarluasan teknologi. Industrialisasi mendatangkan kemudahan dan
memperbaiki banyak aspek dalam hidup manusia seperti: pengobatan, kesehatan,
peningkatan kerja kaum tani, penyebaran informasi. Dalam tempo 50 tahun
terakhir telah muncul sorotan terhadap dualisme yang mendalam antara manusia
dengan alam. Manusia dialami sebagai subyek aktif; sedangkan alam sebagai unsur
pasif. Sumber-sumber alam dimanfaatkan manusai sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan. Kemajuan teknologi menunjukkan kuasa atas alam, lingkungan dan
manusia. Lambat laun manusia mulai melepaskan diri dari kuasa alam dan manusia
menaklukkan alam semesta.
Pada tahun 1960-1970 munusia
telah menjadi pusat dalam jagat raya. Manusia dipandang sebagai “realitas
mutlak”. Manusia mulai bertindak tak kenal batas, utilitarialisme, tidak
mengenal kewajiban atas alam, muncul budaya yang kurang menghargai nilai hidup,
dan penghancuran alam semesta dengan teknologi modern.
5.3 Keadaan
“Oikos” Dewasa ini
5.3.1 Keadaan
Udara
Pencemaran udara sejak era
revolusi industri sangat meningkat. Kata Pencemaran berasal dari kata cemar, yang secara harafiah berarti
kotor atau ternoda. Kata ini mengandung dua arti. Yang pertama berkaitan dengan
keadaan lingkungan fisik. Misalnya air kotor yang disebut air yang tercemar.
Yang kedua berkaitan dengan aspek moral, misalnya digunakan untuk menyebut
suatu perbuatan perkosaan. Perbuatan tersebut disebut perbuatan tercemar atau
ternoda. Dalam konteks di atas pencemaran yang dimaksud adalah yang pertama
yaitu pencemaran fisik. Pencemaran berarti proses mengotori lingkungan,
misalnya udara atau proses perusakan lingkungan dengan cara pengotoran. Dalam
bahasa Inggris
Keadaan udara telah dicemari
asap yang menyembur dari cerobong-cerobong pabrik industri. Polusi udara kian
meningkat. Selain itu, pabrik-pabrik industri mengeluarkan karbon dioksida yang
dilepaskan dari pembakaran fosil bahan bakar, seperti pembakaran batu bara yang
ternyata meresap energi solar, lalu dipantulkan kembali ke ruang angkasa.
Akibatnya suhu udara meninggi. Sejak awal industri jumlah karbon dioksida
bertambah 25% di atas permukaan bumi. Pantauan dari Mauna Loa (Hawai)
menunjukkan bahwa belakangan ini korban dioksida bertambah rata-rata 1,4% per
tahun dan tingkatan ini akan dipercepat lagi. Ukuran suhu rata-rata sekarang
mengalami kenaikan 5%. Penggunaan kendaraan bermotor seperti becak mesin,
sepeda motor, truk-truk angkutan dan mobil pribadi, telah meningkatkan kadar
pencemaran udara. Bila batu bara mesin
terus-menerus dipergunakan, maka suhu bumi akan cepat meningkat dan
akibatnya akan lebih terasa dalam tahun 2020 mendatang.
Selain itu “hujan asam” (acid rain) terbentuk pada saat nitrogen
dan sulfur oksida di dalam udara bergabung dengan uap air dalam awam untuk
membentuk “asam sendawa” (nitric acid) dan asam belerang (sulfuric acid) yang
diturunkan oleh curah hujan. Curah hujan asam dapat
membunuh ikan-ikan dalam danau-danau dan sungai-sungai. Hujan asam ini termasuk
masalah mondial. Dampak pencemaran udara dapat dilihat dalam dunia tumbuhan,
hewan dan manusia. Hidup dan kesehatan manusia dapat terganggu sebagai akibat
pencemaran udara. Karbon dioksida bisa menimbulkan sakit kepala dan kehilangan
ketajaman pengelihatan. Termasuk asap, akan mengganggu pernafasan seseorang.
Hasil studi Bank Dunia di tahun 1994 memperkirakan
kerugian ekonomi akibat polusi udara khususnya di Ibukota Jakarta sudah mencapai Rp. 500 milyar/tahun.
Ini baru perkiraan pada 18 tahun silam sehingga untuk kondisi saat ini jumlah
kerugiannya jauh berlipat-lipat. Angka kerugian tersebut dengan memperhitungkan
1.200 kasus kematian prematur, 32 juta masalah pernafasan dan 464 kasus asma,
pada waktu itu.
Dalam satu seminar
yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) diawal tahun 2010
di Jakarta terungkap keadaan udara Kota Jakarta yang cenderung memburuk.
Tingkat pencemaran udara di kota Jakarta sudah pada level pencemaran berat bila
dibanding dengan beberapa kota di Asia seperti Tokyo, Beijing, Seoul, Taipei,
Bangkok, Kuala Lumpur dan Manila. Salah satu sumber menyebutkan, berdasarkan
data yang ada, total estimasi pollutant CO yang diestimasikan dari seluruh
aktivitas di Jakarta sekitar 686,864 ton/tahun atau 48,6 persen dari jumlah
emisi lima pollutant. Sebagian besar sumber pencemaran udara di Jakarta
(sekitar 80%) berasal dari sektor transportasi, dan 20 persen industri serta
limbah domestik. Sedangkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan
sebesar 20 persen.
Indikasi pencemaran udara di Indonesia kian menakutkan juga pernah
diutarakan oleh staf ahli Menteri kehutanan bidang lingkungan, Yetti Rusli
dalam satu seminar di Jakarta bulan Juni silam. Dikatakannya, jika mengacu pada
standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pencemaran udara di
Indonesia, khususnya di Jakarta, memang sudah mencemaskan.
Pemantauan oleh KLH di tahun
2004 pada 10 kota besar di Indonesia antara lain Jakarta, Semarang, Surabaya,
Bandung, Medan, Denpasar, Pontianak, Palangkaraya, Pekanbaru, dan Jambi
menunjukkan kualitas udara di kota-kota tersebut umumnya berkisar antara “tidak
sehat” dan “sehat.” Hanya di Palangkaraya Kalimantan Tengah, kondisi udara
selama dua hari sempat berada pada level “sangat tidak sehat, dan selama lima
hari berada pada status “berbahaya.” Pemantauan mutu udara oleh KLH yang
menggunakan peralatan air quality monitoring station (AQMS) ini tentu
menjelaskan bahwa secara nasional degradasi mutu udara di Indonesia belum
separah seperti saat ini.
Laporan Environmental
Performance Index tahun 2006 yang diterbitkan oleh Universitas Yale
menunjukkan dari 133 negara yang dipantau, kualitas udara di Indonesia berada
di posisi 124 dengan dengan skor 25,1. Uganda justru merupakan negara yang
memiliki kualitas udara paling bagus dengan skor 90,0, sedangkan Bangladesh
adalah negara yang memiliki kualitas udara paling buruk dengan skor 6,9.
Turunnya kualitas udara Indonesia secara nasional disebabkan oleh tingginya
pencemaran udara di kota-kota besar.
5.3.1.1 Penyebab Pencemaran Udara
Pencemaran udara, atau lazim disebut “polusi udara” terjadi karena masuknya
makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan,
atau akibat perubahan tatanan lingkungan yang terjadi secara alami yang
menyebabkan lingkungan udara tak dapat berfungsi optimal. Kualitas udara pun
berubah menjadi berbahaya bila ada zat-zat berbahaya masuk dan tercampur di
dalam udara, dan pada gilirannya mengganggu fungsi lingkungan, mengancam
kesehatan dan jiwa manusia, dan atau menyebabkan udara tak dapat dimanfaatkan
lagi sebagaimana mestinya.
Masuknya partikel-partikel debu
dari gunung berapi ke dalam udara atau asap dari kebakaran hutan adalah
beberapa contoh sumber pencemar udara yang bersifat alami. Sedangkan,
tercemarnya udara akibat gas buang kendaraan bermotor, asap pabrik dan
aktivitas domestik merupakan sumber pencemar udara karena perbuatan manusia.
Begitu pula, padatnya pemukiman, minimnya ruang terbuka hijau, pemakaian energi
berlebihan, merupakan faktor penyebab pencemaran udara.
Proses terjadinya pencemaran
udara, ada yang bersifat langsung (Primary Air Pollution) yakni ditandai
dengan masuknya unsur pencemar dari sumbernya langsung ke udara, ada juga yang
tidak langsung (Secondary Air Pollution), yakni proses pencemaran baru
terjadi setelah melalui proses kimia yang menghasilkan senyawa tertentu, dan
senyawa itu yang kemudian masuk ke udara (misalnya: ozon (O3), aldehida dan
hujan asam).
Di perkotaan, sumber pencemaran
udara paling dominan adalah sektor transportasi, industri dan aktivitas
domestik. Ini disebabkan oleh pemakaian bahan bakar fosil yang menghasilkan
unsur pencemar dominan yakni karbon monoksida (60%) dan hidrokarbon (15%). Pemakaian
bahan bakar berupa bensin bertimbal dan solar dengan kandungan belerang yang
tinggi menyebabkan pembakaran di dalam mesin tidak sempurna sehingga elemen
pencemar yang terlepas ke udara terdiri dari 100% timbal, 13%-44% SPM, 71%-89%
hidrokarbon, 34%-73% oksida nitrogen, dan hampir seluruh karbon monoksida ke
udara Jakarta. Unsur polutan yang terlepas ke udara adalah CO, HC, SO2, NO2,
dan partikulat.
Sedangkan bahan pencemar udara yang bersumber dari
kegiatan industri dan pembangkit listrik antara lain partikel debu, gas SO2
(Sulfur dioksida) gas NO2 (Nitrogen dioksida) gas CO (karbonmonoksida) gas He
(helium). Perubahan kualitas udara biasanya mencakup parameter-parameter gas
NO2, SO2, CO, C3, NH3, H2S, hidro karbon dan partikel debu.
5.3.1.2 Dampak Udara Kotor
Degradasi mutu udara, tidak hanya berdampak negatif bagi
lingkungan hidup, tapi pada derajat tertentu dapat mengancam keselamatan jiwa
manusia. Dengan kata lain, krisis udara bersih tidak hanya mengancam
keseimbangan ekosistem, tapi juga berpengaruh terhadap tingkat produktivitas
penduduk dan derajat kesejahteraan masyarakat. Bahkan dalam jangka panjang
dapat menghancurkan kehidupan di muka bumi karena pencemaran udara juga
mendorong percepatan pemanasan global.
Beberapa penelitian memaparkan
dampak nyata dari udara kotor bagi kesehatan manusia yakni mewabahnya penyakit
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan gangguan saluran pernafasan lainnya.
Di dalam laporan pusat-pusat kesehatan masyarakat jenis penyakit tersebut
menempati peringkat pertama di kawasan perkotaan. samping itu, ada beberapa
organ manusia yang dapat diserang akibat pencemaran udara, yaitu: a) mata yang
ditandai dengan mata berair dan terasa pedih. Bahkan bila senyawa penyebabnya
terdapat dalam jumlah banyak, penglihatan menjadi kabur; b) otak, yang ditandai
dengan melemahnya fungsi dan koordinasi motorik otak. Ini terjadi akibat kadar
O2 di dalam otak menurun pada saat CO tertutup; c) hidung, tenggorokan, dan
paru-paru yang terganggu oleh Ozon (O3) yang ditandai dengan terjadinya iritasi
pada hidung dan tenggorokan terasa terbakar. Selain itu Ozon dapat memperkecil
paru-paru; d)
jantung akibat
CO yang dihirup berikatan dengan sel darah merah. Akibatnya fungsi sel darah
merah terhambat, begitu pula penyaluran O2 ke seluruh tubuh. Sakit pada dada
disebabkan oleh rendahnya kadar O2; e) syaraf terganggu akibat akumulasi Pb
yang menyerang sel-sel syaraf, sehingga mengurangi tingkat intelegensia dan
menganggu pertumbuhan anak. Pb (timbal) yang terakumulasi dalam tubuh manusia,
juga meracuni atau merusak fungsi mental, perilaku, anemia, serta dapat
menyebabkan kerusakan-kerusakan sel syaraf dan sistem otak. Kandungan timbal
dalam bahan bakar minyak juga dapat meracuni sistem pembentukan sel darah merah.
Pencemaran udara juga berdampak
negatif bagi tanaman. Beberapa studi menyimpulkan, tanaman yang tumbuh di
lingkungan yang udaranya sudah tercemar umumnya kerdil, meski telah diberi pupuk
dalam jumlah memadai. Hal ini dapat dilihat pada pepohonan yang ditanam di
sepanjang jalan dengan kepadatan lalulintas yang tinggi. Selain itu, pencemaran
udara juga sangat berpotensi mengotori bangunan-bangunan, bahkan dapat
menyebabkan tembok-tembok mudah keropos.
5.3.1.3 Pencegahan
dan Pengendalian
Mengatasi pencemaran atau
setidaknya menekan tingkat pencemaran melalui sejumlah program, seperti Program
Langit Biru, Uji Emisi, Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day),
kampanye pemakaian bahan bakar ramah lingkungan, penanaman pohon, dan
sebagainya. Tapi semua itu, tentu tidak cukup atau hasilnya tak akan maksimal
jika tidak ditopang oleh partisipasi segenap warga masyarakat.
Upaya pencegahan dan
pengendalian pencemaran udara sesungguhnya lebih dominan ditentukan oleh
kesadaran dan dukung aktif masyarakat. Sebagaimana hasil penelitian menunjukkan
bahwa kontribusi kendaraan bermotor terhadap pencemaran udara cukup besar, maka
tentu dukungan para pemilik dan pengemudi kendaraan bermotor sangat diharapkan.
Dengan langkah sederhana namun bermakna penting bagi pencegahan pencemaran
udara, pemilik/pengemudi kendaraan bermotor dapat berpartisipasi dalam
mengatasi masalah ini. Antara lain dengan, selalu merawat mesin kendaraan
bermotor agar tetap berfungsi baik, melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan
secara berkala, memasang filter pada knalpot, sedapat mungkin memakai bahan
bakar ramah lingkungan. Sementara bagi pelaku industri dapat melakukan beberapa
langkah seperti memasang scruber pada cerobong asap, merawat mesin industri
agar tetap baik dan lakukan pengujian secara berkala, menggunakan bahan bakar
minyak atau batu bara dengan kadar Sulfur, CO rendah, memodifikasi pada proses
pembakaran.
5.3.2 Keadaan Air
Pencemaran
air dewasa ini kian bertambah. Pencemaran air bukan hanya pengaruh sampah
organik melainkan juga benda-benda lain
yang tak terolah, termasuk bakteri, virus dan segala bentuk endapan dalam air.
Ini semua akan mengancam kebersihan air, kehidupan dalam air dan kesehatan
manusia. Pembuangan limbah secara sembarangan dan tak bertanggungjawab ikut
memperburuk pencemaran air. Sampah-sampah organik umumnya berasal dari proses
industri pelbagai produk makanan, dari pulp dan industry kertas. Sampah-sampah
organik yang masuk ke dalam air akan dikonsumsi oleh pelbagai bentuk bakteri
yang berada dalam proses menghabiskan oksigen dari air. Air yang kekurangan
oksigen tidak mampu menjamin hidup ikan dan sejumlah organism lainnya.
5.3.2.1 Penyebab Pencemaran Air
Bahan
campuran fosfor akan mencemarkan sumber-sumber air. Kandungan ini ditemukan
dalam bahan pembersih, seperti air sabun yang digunakan keluarga-keluarga atau
pabrik dan pupuk-pupuk yang dipergunakan dunia pertanian. Pencemaran terhadap
air tanah disebabkan oleh bahan kimia organic maupun bukan organik, sampah
radio aktif atau organism mikro yang terus-menerus bertambah dan kini telah
menembus tiap kawasan Negara tertentu. Sumber-sumber pencemaran mencakup
tumpukan sisa pembuangan, tempat pembuangan sampah secara resmi dan tak resmi. Lebih dari 50% penduduk dunia menggantungkan hidup mereka
pada air tanah sebagai minuman. Air tanah yang tercemar
terkait dengan penyakit kanker, hati, buah pinggang dan malah dapat menimbulkan
kerusakan pada sistem syaraf sentral. Cukup disayangkan pembongkaran kasus ini
seringkali terjadi secara tak sengaja, sebab air ta nah yang tercemar ternyata
selalu tak berbau, tak berwarna dan tak terasa.
Debit
air di dunia
berkurang,
perlu para ahli untuk membahas keadaan air dan krisis yang terjadi di
dunia. Diprediksikan ke depan, banyak di berbagai negara akan mengalami krisis
air dan mengalami pencemaran. Air merupakan senyawa yang penting untuk seluruh
kehidupan. 71% bumi ditutupi oleh air. Air banyak berada di laut dan di
berbagai sumber air
lainnya. Air dibedakan
menjadi dua yaitu ada air permukaan dan air tanah. Namun dengan berjalannya
waktu, air kini sudah menjadi suatu masalah besar di dunia. Kini banyak di
berbagai negara yang terkena krisis air, di negara miskin, negara berkembang,
maupun di negara maju.
5.3.2.2 Keadaan Air di Dunia khususnya di Indonesia
Sekarang, banyak permasalahaan akan kurangnya air di dunia. Salah
satunya adalah negara Indonesia. Dalam acara Forum Air di dunia pada bulan Maret
tahun 2000 disebutkan bahwa, Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami krisis air
pada tahun 2025. Ini di sebabkan oleh lemahnya warga Indonesia dalam
mengelola air. Dengan bertambahnya kebutuhan air dan potensi ketersediaanya
sangat tidak simbang, sehingga menekan kemampuan alam dalam menyediakan air.
Banyak juga sungai-sungai yang mulai tercemar di Indonesia salah satunya adalah
sungai Ciliwung.
Sungai
Ciliwung merupakan sungai di pulau Jawa. Sungai ini relatif lebar dahulu sungai
ini menjadi tempat hilir mudiknya perahu pengangkutan barang. Aliran sungai
ciliwung melewati wilayah kota Bogor, kota Depok, kabupaten Bogor dan juga
Jakarta. Namun sungai ciliwung yang sekarang dengan sungai ciliwung yang dahulu
sangatlah berbeda. Dahulu sungai ciliwung sangatlah bersih dan dapat digunakan
untuk mandi, berwudhu dan lain-lain. Namun dengan beriringnya waktu sungai
ciliwung menjadi tercemar dan terkontaminasi. Sungai Ciliwung menjadi tercemar
karena ulah-ulah manusia seperti membuang sampah sembarangan, membuang air
besar dan kecil sehingnga membuat air yang jernih menjadi coklat dan kotor.
Sungai Ciliwung memiliki dampak yang sangat
besar ketika hujan datang. Sungai Ciliwung juga merupaka sungai yang memiliki
perusakan yang sangat parah dibandingan dengan sungai-sungai yang ada di
Jakarta. Selain karena DAS (Daerah Aliran Sungai) di bagian hulu di puncak dan
bogor rusak DAS di jakarta juga mengalami penyempitan sehingga mengakibatkan
banjir di Jakarta besar. Dengan banyaknya sumber air yang yang tercemar
sehingga membuat indonesia menjadi kekurangan air bersih. Bukan hanya negara Indonesia saja yang akan mengalami krisis air. Di negara kaya pun mengalami
krisis air salah satunya di amerika serikat sejumlah kawasan mengunakan air
secara berlebihan dibandingkan yang dapat
di isi secara alami, dengan sedikitnya curah hujan yang mengakibatkan pemanasan
global.
Di Afrika selatan
banyak di berbagai daerahnya mengalami krisis air. Krisis air tersebut
disebabkan di bangunya berbagai industri-industri dan juga pabri-pabrik. Polusi
yang dicemrkan oleh pabrik-pabrik tersebut mengakibatkan air menjadi tercemar.
Bukan hanya pabrik-pabrik dan industri yang membuat Afrika mengalami krisis air. Di Ethiopia
dan sekitarnya di kenal sebagai daerah yang kering dan minim air, itu
disebabkan oleh banyaknya pohon yang di tebang secara liar sehingga tidak ada
tempat peresapan air.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan juga kebutuhan air yang
meningakat, sumber daya air perlu tersedia dalam kuantitas yang memadai dan
juga harus memadai kebutuhan masyarakat. Kualitas air ditentukan dari alam.
Dari mana air itu berasal dan bagaimana air itu tercemar.
5.3.3 Keadaan Ozon
Ozon adalah salah satu bentuk
oksigen. Oksigen normal mengandung dua atom yang
disebut 𝛰2. 𝛰2 bersifat sangat stabil dan sulit terlepas.
Sementara itu, ozon yang memiliki tiga atom disebut 𝛰3, bersifat kurang stabil dan mudah terlepas,
jika dibandingkan dengan 𝛰2. Penyelidikan laboratorium menunjukkan bahwa
khlor dapat terpisah dari ozon. Bila dekat dengan tanah, ozon adalah salah satu
unsur utama smog (kabut campur asap), apabila ozon berada tinggi di udara, maka
ozon menyerap radiasi ultraviolet yang berbahaya. Ozon yang berada tinggi di
atas tanah dirusak oleh khlor dari bahan kimia yang terkandung antara lain,
dalam almari es dan air conditioners. Kaum pendukung pengawasan kependudukan
menegaskan, teori tentang penghancuran bahan kimia ini telah terbukti. Kini
lubang ozon kian besar, akibatnya ribuan dan mungkin jutaan orang akan
meninggal akibat kanker kulit karena perusakan ozon.
Kerusakan
lapisan Ozon berawal dari adanya emisi molekul gas yang mengandung Klor dan
Brom dari proses alamiah maupun aktifitas manusia. Radiasi matahari memecah
molekul gas tersebut menjadi radikal Klor dan Brom. Radikal Klor dan Brom ini
akan memecah ikatan gas-gas lain di stratosfir termasuk molekul Ozon. Reaksi
yang terjadi menyebabkan molekul Ozon terpecah menjadi Oksigen dan radikal
Oksigen. Karena reaksi tersebut berlangsung secara berantai maka konsentrasi ozon
di stratosfir akan terus berkurang, sehingga akhirnya dapat membentuk lubang
Ozon.
Penipisan
lapisan Ozon menyebabkan fungsinya untuk menyerap radiasi UV menjadi berkurang.
Akibatnya intensitas radiasi UV yang mencapai permukaan bumi meningkat. Paparan
radiasi UV yang berlebihan terhadap manusia, hewan, tanaman dan bahan-bahan
bangunan dapat berdampak negatif. Dampak negatif pada manusaia misalnya dapat
menimbulkan kanker kulit, katarak mata serta mengurangi daya tahan tubuh
terhadap penyakit infeksi. Pada tumbuhan, menyebabkan pertumbuhan tanaman
menjadi lambat, bahkan kerdil, sehingga hasil panen menurun dan tanahan hutan
rusak. Pada ekosistem air, intensitas UV yang berle bihan memusnahkan organisme
kecil yang hidup di permukaan air. Phytoplankton sebagai sumber rantai makanan
musnah sehingga memengaruhi kehidupan biota laut.
Untuk menjaga kondisi Ozon tetap
baik dapat dilakukan dengan membatasi/mengurangi emisi bahan perusak ozon
menggantinya dengan bahan yang ramah Ozon, melestarikan hutan dan mencegah
pembakaran hutan, serta mengurangi tingkat polusi dengan penggunaan sumber
energi ramah lingkungan.
5.3.3.1 Tempat dan Fungsi Lapisan Ozon
Lapisan ozon
adalah lapisan di atmosfer pada ketinggian 19-48 km (12-30 mil) di atas
permukaan Bumi yang mengandung molekul-molekul ozon. Konsentrasi ozon di
lapisan ini mencapai 10 ppm dan terbentuk akibat pengaruh sinar ultraviolet
Matahari terhadap molekul-molekul oksigen. Peristiwa ini telah terjadi sejak
berjuta-juta tahun yang lalu, tetapi campuran molekul-molekul nitrogen yang
muncul di atmosfer menjaga konsentrasi ozon relatif stabil. Ozon adalah gas
beracun sehingga bila berada dekat permukaan tanah akan berbahaya bila terhisap
dan dapat merusak paru-paru. Sebaliknya, lapisan ozon di atmosfer melindungi
kehidupan di Bumi karena ia melindunginya dari radiasi sinar ultraviolet yang
dapat menyebabkan kanker. Oleh karena itu, para ilmuwan sangat khawatir ketika
mereka menemukan bahwa bahan kimia kloro fluoro karbon (CFC) yang biasa
digunakan sebagai media pendingin dan gas pendorong spray aerosol, memberikan
ancaman terhadap lapisan ini. Bila dilepas ke atmosfer, zat yang mengandung
klorin ini akan dipecah oleh sinar matahari yang menyebabkan klorin dapat
bereaksi dan menghancurkan molekul-molekul ozon. Setiap satu molekul CFC mampu
menghancurkan hingga 100.000 molekul ozon. Oleh karena itu, penggunaan CFC
dalam aerosol dilarang di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia.
Bahan-bahan kimia lain seperti bromin halokarbon, dan juga nitrogen oksida dari
pupuk, juga dapat menyerang lapisan ozon.
Menipisnya lapisan ozon dalam
atmosfer bagian atas diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penyakit kanker
kulit dan katarak pada manusia, merusak tanaman pangan tertentu, memengaruhi
plankton yang akan berakibat pada rantai makanan di laut, dan meningkatnya
karbondioksida (lihat pemanasan global) akibat berkurangnya tanaman dan
plankton. Sebaliknya, terlalu banyak ozon di bagian bawah atmosfer membantu
terjadinya kabut campur asap, yang berkaitan dengan iritasi saluran pernapasan
dan penyakit pernapasan akut bagi mereka yang menderita masalah kardiopulmoner.
[1]
5.3.3.2 Lubang
Ozon
Pada awal tahun 1980-an, para
peneliti yang bekerja di Antartika mendeteksi hilangnya ozon secara periodik di
atas benua tersebut. Keadaan yang dinamakan lubang ozon (suatu area ozon tipis
pada lapisan ozon) ini, terbentuk saat musim semi di Antartika dan berlanjut
selama beberapa bulan sebelum menebal kembali. Studi-studi yang dilakukan
dengan balon pada ketinggian tinggi dan satelit-satelit cuaca menunjukkan bahwa
persentase ozon secara keseluruhan di Antartika sebenarnya terus menurun.
Penerbangan-penerbangan yang dilakukan untuk meneliti hal ini juga memberikan
hasil yang sama.
5.3.3.3 Regulasi
Pada tahun 1987, ditandatangani Protokol Montreal, suatu perjanjian untuk
perlindungan terhadap lapisan ozon. Protokol ini kemudian diratifikasi oleh 36
negara termasuk Amerika Serikat. Pelarangan total terhadap penggunaan CFC sejak
1990 diusulkan oleh Komunitas Eropa (sekarang Uni Eropa) pada tahun 1989, yang
juga disetujui oleh Presiden AS George Bush. Pada Desember 1995, lebih dari 100
negara setuju untuk secara bertahap menghentikan produksi pestisida metil
bromida di negara-negara maju. Bahan ini diperkirakan dapat menyebabkan pengurangan
lapisan ozon hingga 15 persen pada tahun 2000. CFC tidak diproduksi lagi di
negara maju pada akhir tahun 1995 dan dihentikan secara bertahap di negara
berkembang hingga tahun 2010. Hidrofluorokarbon atau HCFC, yang lebih sedikit
menyebabkan kerusakan lapisan ozon bila dibandingkan CFC, digunakan sementara
sebagai pengganti CFC, hingga 2020 pada negara maju dan 2016 di negara
berkembang. Untuk memonitor berkurangnya ozon secara global, pada tahun 1991, National Aeronautics and Space Administration (NASA) meluncurkan
Satelit Peneliti Atmosfer. Satelit dengan berat 7 ton ini mengorbit pada
ketinggian 600 km (372 mil) untuk mengukur variasi ozon pada berbagai
ketinggian dan menyediakan gambaran jelas pertama tentang kimiawi atmosfer di
atas.
5.3.3.4 “Oikos”
Dewasa ini Memprihatinkan
Oikos kita telah dan sedang
berubah akibat tindakan manusia. Manusia tidak hanya menempati oikos, tetapi
menggarap oikos hingga pada batas yang memprihatinkan. Manusia sering mengolah
oikos dan kandungannya sesuai dengan “vested
interest” (kepentingan terselubung) tanpa memperhatikan mempertimbangkan
dampak dan masa depan tindakan mereka secara bijaksana dan adil. Akibatnya,
muncul bencana alam berupa tanah longsor, pengarapan hutan sehingga hutan
semakin berkurang (padahal hutan adalah paru-paru bumi). Pada Kongres Kehutanan
Sedunia VIII di Jakarta (Tema Kongres “Forest
for People”, 16-28 Oktober 1978) disoroti tentang gangguan keamanan hutan
diakibatkan antara lain, pencarian kayu pertukangan, percetakan, penggarapan
hutan secara liar, penggembalaan ternak dan kebakaran hutan. Dalam pengelolaan
hutan, telah dilalaikan prinsip kelestarian alam demi keselamatan dan masa
depan hutan yang berguna bagi generasi mendatang.
6. Habitus
Baru Diperlukan Untuk
Lingkungan Hidup
6.1 Menghindari Paham Reduksionisme
Hubungan
manusia dengan lingkungan hidup menjadi sulit karena pengaruh ketidakmemadainya
penerapan metode-metode analisis ilmiah dan campurtangan manusia yang
berlebihan terhadap lingkungan hidup. Perkembangan penyelidikan ilmiah,
pengalihan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi telah memberi sumbangan
positif bagi manusia untuk member gambaran hidup ke depan.
Tetapi
tafsiran metode ilmiah pada tahun 800, yang membatasi ilmu pengetahuan hanya
pada hal yang emperis telah menghalangi manusia untuk memahami dimensi
saling ketergantungan atau keterkaitan
antara unsur-unsur, factor-faktor dan proses-proses sistem hubungan dengan
lingkungan hidup. Spesialisasi ilmu-ilmu begitu ketat, sehingga hubungan
antarorganisme diabaikan atau tidak meuncul, padahal dalam dirinya tiap cabang
ilmu pengetahuan tidak mungkin terlepas satu dari yang lain. Dimensi “interdisipliner” dapat menimbulkan adanya bahaya
“ketertutupan” spesialisasi bidang disiplin ilmu tertentu. Penyelidikan ilmiah
yang tertutup akan menjadikan kenyataan otonom.
Di dunia Barat muncul habitus
masyarakat yang sarat akan produktivitas ekonomis, sehingga keadaan
masyarakatnya terpilah-pilah akibat arus spesialisasi. Misalnya, pelbagai
teknologi berkembangan dan diterapkan dalam dipelbagai sektor, tetapi
mengabaikan atau tidak menempatkan masalah lingkungan hidup dan manusia dalam
suatu interaksi yang saling ketergantungan.
Pemisahan antara ilmu-ilmu alam
dan ilmu-ilmu manusia, antara ekonomi dan ekologi, antara etika, politik dan
ekonomi, antara perseorangan dan masyarakat. Untuk mengatasi pengaruh reduksionisme
dalam pandangan lingkungan hidup, sangat penting untuk mengembangkan pandangan
integral tentang kenyataan natural dan social kosep sistematik lingkungan
hidup. Dimensi-dimensi lain dari makhluk ciptaan hendaknya digali dan
diperhatikan secara lebih mendalam.
Lingkungan hidup yang kita
tempati sekarang adalah hasil evolusi
selama miliaran tahun. Evolusi ini bermula dari dunia primitif dalam alam
fisis. Evolusi kimia telah menuntun dunia kepada pembentukan molekul yang hidup
dan yang mampu memperbanyak diri kepada pembentukan lingkungan alamiah. Hal ini
terjadi melalui evolusi biologis. Kemudian, langkah berikutnya, dilangsungkan
pembentukan lingkungan manusia berkat manusia dan pembentukan kultural
lingkungan. Perlu dititik-beratkan terdapat
keterkaitan antara setiap unsur dalam lingkungan hidup.
6.2 Mengubah Budaya Penggarapan Menuju
Keterlibatan Personal
Bagaimanakah
kedudukan dan peran manusia dalam alam semesta? Manusia termasuk bagian
integral dari alam semesta. Manusia itu serupa dengan tiap jenis makhluk hidup
lainnya dalam proses peredaran, pemeliharaan keseimbangan yang menjamin fungsi
ekosistem.
Manusia
bila menguasai diri, lambat laun akan semakin menyadari dirinya sebagai bagian
dari alam semesta yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan tetumbuhan dan
hewan. Manusia mengembangkan perbandingan kultural dalam konteks hidup sebagai
manusia. Yang dimaksudkan dengan budaya (kebudayaan) di sini adalah sistem konsep,
nilai, sarana, ungkapan sosio-politik, ekonomi, artistik, etis, berkat pribadi
yang hidup dan berkarya dalam kelompok yang berhubungan dengan lingkungannya.
Sejarah kemanusiaan bukan hanya sejarah prinsip, perang dan perjanjian,
melainkan juga peralihan dan pergantian kebudayaan; melalui perubahan dinamis
ini, komunitas manusia telah mengolah lingkungannya menuju identitas dan
keserasian dan fungsi alam semesta. Kehadiran kebudayaan ini (penggarapan)
mencerminkan kemanusiaan yang telah menerapkan pengaruh manusia terhadap
lingkungan hidup. Fenomena ini
tampak dari pengaruh dunia industrialisasi terhadap lingkungan hidup. Pengelolan
unsur alam dan bumi mendatangkan perubahan terhadap keadaan lingkungan hidup
manusia.
Kedudukan dan peran manusia dewasa ini, telah bergeser
dari “bagian dunia” menjadi “menguasai alam semesta”. Manusia bersikap untuk
menduduki dan menguasai lingkungan hidupnya. Manusia menggarap bahkan
“memperkosa” alam semesta tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan
lingkungan di sekitarnya. Manusialah yang membedakan antara tanaman, hewan dan
manusia. Mereka berhubungan dengan udara, air, tanah, tanaman, dan hewan-hewan
hingga pada saat tertentu muncul “konflik” antara manusia dengan alam semesta. Manusia
tidak lagi bersahabat dengan alam dan alam tidak bersahabat dengan manusia.
Menurut Lynn White, sejarawan budaya dari Sekolah Sosiologi di Chicago tahun
1967, menulis sebuah artikel terkenal hingga kini, “Akar-akar Sejarawi Krisis
Lingkungan Kita”, akar konflik di kalangan orang Kristen bisa ditemukan dalam
antropologi Yahudi-Kristen. Setidaknya terdapat tiga akar krisis: 1) tingkah
laku manusia yang menguasai dan menundukkan makhluk ciptaan lain, seperti
dikisahkan dalam Kej. 1:26-28; 2) “desakralisasi” alam dan kandungannya; 3) kurang
adanya pengertian agama Yahudi-Kristen mengenai peran yang seharusnya dimainkan
oleh agama ini sehubungan dengan perkembangan ilmiah dan teknologi.
Sebagai
bagian dari keseluruhan jagat raya, manusia hendaknya memperbaiki pandangan
hidup dan mengambil sikap baru yang kembali “bersahabat” dengan alam. Manusia
dan alam merupakan kesatuan yang saling berhubungan dan tergantung. Bukan lagi
saatnya bagi manusia untuk mengklaim bahwa menusialah “penguasa” atau “pemilik”
tunggal alam semesta. Ini berarti diperlukan
“tranformasi” diri manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik di kawasan
lingkungan dalam maupun lingkungan luar.
6.3 Etika
Lingkungan Hidup
Etika adalah upaya menemukan asas-asas yang mendasari
tindakan manusia. Tugas khusus etika lingkungan hidup
ialah mengembangkan asas-asas berkenaan dengan tindakan manusia terhadap dunia
yang bukan manusia. Jadi etika lingkungan hidup mempunyai tujuan praktis dan
bukanlah sekedar merupakan uraian tentang tempat manusia dalam alam semesta
atau pembenaran sistem etika yang disepakati di antara manusia. Juga dibahas
isu-isu praktis yang mempengaruhi studi etika, seperti keluasan (batasan),
kemendesakan dan kerumitan isu-isu lingkungan hidup yang tercermin dalam
persoalan-persoalan etis yang berkaitan satu dengan yang lain. Salah satu
contoh persoalan etis lingkungan hidup:
Seorang
petani di Tanah Karo memutuskan untuk meningkatkan hasil panen jeruknya dengan
memberi pupuk nitrogen dalam dosis
tinggi. Ternyata pupuk tersebut menyebabkan berlipat gandanya hama yang
menghancurkan tanamannya. Kemudian, untuk membasmi hama itu, ia memutuskan
menyemprot tanamannya dengan pestisida untuk
menjaga hasil panennya agar tinggi. Pasar menekan untuk menghasilkan jeruk
murah sebab ada daerah penghasil jeruk pesaing seperti Kalimantan dan Malaysia.
Masyarakat menuntut supaya disediakan bahan-bahan makanan dengan harga rendah
sehingga harga turun dan keuntungannya sedikit. Sialnya, kandungan nitrat yang
tinggi yang berasal dari pupuk mengalir ke sungai di sekitar dan itu berarti
air tidak dapat lagi dipergunakan manusia. Juga pestisida membunuh sejumlah
besar ikan sehingga nelayan local
kehilangan sumber rezeki.
Contoh
di atas menunjukkan betapa kita membutuhkan metode pemahaman asas-asas etis
yang mendasar yang bisa menjadi titik tolak tindakan kita dalam situasi
tertentu. Dalam etika lingkungan hidup,
sedang berlangsung perdebatan sengit mengenai bagaimana merumuskan dan
menjabarkan asas-asas etika dalam lingkungan hidup. Dalam perumusan rumusan
asas-asas etika tersebut, adanya sikap mendua dalam upaya merumuskan dasar etis
bagi tindakan yang menyangkut lingkungan hidup. Ada berbagai pendirian teoritis
dalam hal etika, tetapi tidak semuanya sama-sama menolong kita memahami
tindakan macam apa yang dapat kita jalankan dalam situasi tertentu. Sebab itu,
di bawah ini akan diberikan contoh konkret guna memperjelas atau membantu
bagaimana asas-asas etika diterapkan dalam situasi-situasi praktis tertentu.
6.3.1 Pencarian Nilai Hakiki Alam
Menggunakan
istilah “alam” merupakan acuan pada ciptaan bukan manusia. Istilah “alam” ini perlu diberi pembatasan, karena
istilah tersebut cenderung kabur. Manusia adalah bagian dari “alam” dalam arti
kita ikut serta dalam proses biologis dan fisiologis, sama seperti binatang dan
makhluk hidup lainnya. Sebaliknya, manusia juga “terpisah” dari alam karena
kita memiliki kesadaran dan sanggup mengambil keputusan secara sadar tentang
cara mengubah alam di sekitar kita. Perdebatan yang sedang berlangsung di
bidang etika lingkungan berkisar persoalan bagaaimana kita, sebagai manusia,
seharusnya menilai dunia alamiah. Kalau kita memandang alam sebagai sumber
untuk dikelola bagi kepantingan manusia, alam mempunyai nilai instrumental (instrumental value). Kalau
kita yakin bahwa alam memiliki nilai di dalam dan dari dirinya sendiri, maka
alam memiliki nilai bawaan (inherent
value). Nilai bawaan ini sering digunakan oleh etikawan sebagai acuan pada
nilai sesuatu, dengan asumsi bahwa ada nilai subjek. Misalnya, kayu mempunyai
nilai bawaan bagi pemiliknya selama ia ada. Sebaliknya, kita yakini juga bahwa
alam memiliki nilai hakiki (intrinsic
value), nilai itu ada terbebas dari manusia atau kehadiran manusia subjek yang
menilai.
Ahli etika lingkungan hidup
sangat menekankan nilai “hakiki” alam yang sangat berharga. Berharganya nilai
“hakiki” alam telah dirumuskan oleh beberapa etikawan sebagai yang mempunyai “daya tarik” yang harus
dibiarkan. “Daya tarik” alam ini adalah hal yang
pokok yang mendasari kelangsungan organisme.
6.3.2 Pendasaran
Etika Lingkungan: Apakah Berpusat Pada Munusia atau Alam?
Pandangan etika tradisional adalah nilai kita tergantung
pada apa yang paling baik bagi pribadi dan kelompok dalam komunitas manusia.
Pendasaran etika tradisional ini berpijak pada diskusi etis, apa yang terbaik
bagi kepentingan manusia, dengan istilah antroposentris. Pandangan ini
ditentang oleh para ahli yang hendak
memperluas nilai yang diberikan pada manusia dengan memasukkan binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Pandangan ini disebut biosentris.
Pandangan biosentris mendukung hak-hak binatang, yang mendukung pergeseran dari
antroposentris ke biosentrisme.
Isu
tentang krisis lingkungan hidup menunjukkan bahwa sikap antroposentris tidak
menolong dan mengandung bahaya merusak. Perintah “menguasai” sering ditafsirkan
sebagai lisensi untuk “penhuasaan”. Dengan cara atau pandangan ini, pendekatan
antroposentris sebagian disalahkan sebagai penyebab krisis lingkungan hidup.
Pandangan
biosentrik membawa pada perkembangan kelompok-kelompok penekanan yang berkaitan
dengan hak-hak binatang. Ada organisasi khusus yang mengkampanyekan perlawanan
terhadap penggunaan binatang dalam percobaan ilmiah dan membubarkan
komersialisasi pertanian dan menghentikan perdagangan olah raga berburu.
Dari
kedua pandangan di atas, terbuka suatu debat yang mempertanyakan argumen mana
yang paling sesuai. Apakah diskusi tentang pandangan antroposentris dan
biosentris tidak menciptakan kesulitan-kesulitan baru? Entah dengan menggunakan
pandangan biosentrik atau antroposentrik, ada kesulitan tambahan dalam
memutuskan untuk kepentingan siapa harus diprioritaskan dalam masyarakat.
“kesalahan” karena kerusakan hutan-hutan tropis secara sempit dapat diarahkan
langsung terhadap orang miskin, atau terhadap perusahaan multinasional, pejabat
pemrintahan atau sistem ekonomi dunia. Untuk menentukan kekuatan penggerak ke
arah kerusakan hutan tidak mudah dipahami dalam situasi-situasi ini.
Dari
diskusi-diskusi terhadap kedua pandangan di atas, memunculkan suatu persektif
etis yang mendorong pandangan berpusat pada Allah atau teosentris, yang
menekankan secara seimbang kepentingan manusia dan perhatian lebih besar
terhadap alam. Dalam beberapa hal pandangan ini melebihi baik pendekatan
antroposentris maupun pendekatan biosentris. Pandangan teosentris menghargai
nilai semua ciptaan, tetapi juga melihat tempat tanggungjawab manusia. Apabila
kita mengambil pandangan teosentrik sebagai dasar etika, pandangan kita tentang
Allah akan membentuk cara kita berperilaku dengan cara yang lebih akrap
dibandingkan dengan pandangan antroposentrik atau biosentrik. Misalnya, kalau
kita percaya bahwa Allah sama sekali dipisahkan dari dunia, perilaku kita akan
sangat kecil dipengaruhi Allah. Maka lebih mudah mengangkat auatu etika yang
cocok dengan kepentingan manusia sendiri. Dipihak lain, apabila kita percaya
bahwa Allah pada hakikatnya termasuk di dalam dunia, perilaku kita akan
mempengaruhi Allah dan kita akan lebih mengangkat etika yang memperhitungkan
kepentingan ciptaan lain. Selanjutnya, bila kita percaya bahwa ciri-ciri yang
mendasar dari Allah adalah pencipta yang Mahakasih dan bukan penguasa atas alam
semesta, kasih Allah akan meluas kepada seluruh ciptaan secara menyeluruh,
bukan hanya species secara sendiri-sendiri.
6.3.3 Perhatian Etis Lingkungan Hidup
Apakah
perhatian etis lingkungan hidup pertama-tama mengarah kepada individu, kelompok
atau sistem? Perdebatan tentang etika lingkungan hidup membahas mengenai
prioritas individu atau kelompok. Contoh tentang seorang petani yang
menggunakan pupuk dan pestisida di ladang, akibatnya, kerusakan akan terjadi
untuk seluruh ekosistem, bukan hanya untuk spesies tertentu. Meluasnya
kerusakan akan tergantung kepada kepandaian menyaring herbisida dan pestisida.
Contoh di atas merupakan perusakan terhadap individu tanaman dan organism, sama
juga seperti perusakan terhadap sistem sebagai suatu keseluruhan. Perdebatan
etis lingkungan hidup perlu memperhatikan nilai keseluruhan yang disebut
sebagai nilai sistemis yang berkaitan
dengan suatu sistem di samping niloai khusus spesies. Misalnya, beberapa
tumbuhan tumbuh dekat pinggiran ladang tersebut dan kalau tumbuhan ini mati
kerusakan mencakup juga nilai spesies ini.
Dilema
etis memperhitungkan nilai yang berbeda-beda ini dan juga memperhitungkan cara
membuat keputusan yang terbaik. Keputusan-keputusan demikian selalu mengandung satu resiko yang
sebagian disebabkan oleh kelalaian kita, sebagian lagi disebabkan oleh tiadanya
pengetahuan yang menjamin masa depan. Misalnya, kita mungkin membiarkan
seorang petani mengupayakan ladangnya
dengan menggunakan pupuk dan pestisida secara terbatas, tetapi kita mungkin
tidak memiliki data yang memuaskan mengenai penggunaan bahan-bahan kimia itu
untuk jangka panjang. Resiko
kerusakan ekosistem mungkin lebih berat daripada kepentingan individu petani.
6.3.4 Pendasaran
Nilai Ekologi
Pendasaran nilai ekologi adalah mereka yang mendukung
kedudukan ekologi yang “dalam” yang menuntut nilai keseluruhan lebih bermanfaat
daripada bagian-bagian individu. Secara praktis, ini adalah cara perpindahan
dari antroposentris ke holisme. Holisme berbeda dengan biosentrisme. Dalam
pandangan biosentrisme, nilai yang diberikan pada manusia diperluas dengan
mencukupkan seluruh ciptaan yang hidup. Bagi holisme dan ekologi yang dalam,
keterkaitan antara segala sesuatu sangat mendasar, sehingga kita samapai pada
dasar baru untuk merumuskan nilai. Bukan hanya nilai-nilai di luar manusia,
tetapi suatu aksioma baru.
Bagi ahli ekologi “dalam”,
mereka yang memilih menilai alam menurut kepentingan manusia sendiri atau
menjadikan manusia sebagai perhatian utama, diberi label (bersifat merendahkan)
sebagai ahli lingkungan dangkal. Perhatian pada lingkungan ada di sana, tetapi
didasarkan pada kepentingan manusia. Ini tidak sedalam perhatian ahli
lingkungan “dalam”. Bagi penganut lingkungan “dalam”, tidak akan ada perubahan
nyata dalam hubungan kita dengan alam kalau kita tidak mempertajam pemahaman
kita bahwa manusia dan alam terkait satu sama lain.
BAB
III:
MORAL
LINGKUNGAN HIDUP
1. Lahirnya
Moral Lingkungan Hidup
1.1 Krisis Ekologi
Krisis
ekologi, seperti yang disinggung sebelumnya, sungguh mengancam landasan tempat
tinggal manusia (‘oikos’). Keadaan ini termasuk buah ‘mismanagement’ umat
manusia. Tanpa menghargai dan menghormati hak hidup makhluk ciptaan lain,
manusia terus menerus menggarap kandungan alam hingga batas terakhir demi
kepentingan hidupnya. Keadaan ini khususnya melanda Negara-negara yang sedang
membangun (‘dunia ketiga’) dan yang menampung sebagian besar umat manusia di
atas permukaan bumi. Krisis ekologi ini menutut manusia untuk lebih serius
berpikir dan bertindak supaya manusia memiliki masa depan yang baik dan tak
mendatangkan mala petaka bagi generasi mendatang. Manusia, dalam banyak hal,
seharusnya mulai membatasi diri supaya terhindar dari hidup yang menyengsarakan
diri sendiri. Keadaan sumber alam haruslah memadai dan dirawat secara
bertanggung jawab supaya manusia-manusia yang akan lahir nanti tidak menjadi
korban kelaparan
Sejak
penerbitan hasil penyelidikan pertama ‘Kelompok Roma’ mengenai ‘Batas
Pertumbuhan’ tahun 1972, tampaknya bukan hanya banyaknya masalah ekologi yang
muncul, melainkan juga keruwetan masalah semakin bertambah. Ancaman terhadap
masa depan keadaan bumi dan umat manusia kian menjadi. Pada awal yang menjadi
masalah pokok adalah kekurangan bahan makanan sebagai sumber kelaparan dan
kurangnya sumber makanan di atas permukaan bumi. Sekarang, yang menjadi masalah
bukanlah sekadar masalah kelaparan, melainkan masalah semakin memanasnya suhu
bumi, semakin membesarnya lubang pada lapisan ozon, penebangan dan pembakaran
hutan tropis secara berkelebihan (a.l. pembukaan lahan perkebunan). Hujan mulai
jarang turun. Kawasan pertanian kering kerontang. Tanah pecah. Hasil bumi kian
merosot. Pengelolaan kekayaan alam secara tak terencana.2
Malah,
dalam waktu 20 tahun kemudian, konferensi “Lingkungan Hidup dan Perkembangan”,
yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1992 di Rio de Janeiro (Brasilia),
kembali menegaskan bahwa dunia kita sedang ditimpa keadaan yang mencemaskan
banyak orang. Ratusan juta manusia belum terlepas dari cengkraman kelaparan;
hingga kini belum tampak perbaikan keadaan dengan segera. Padang gurun kian
meluas. Persediaan air minum semakin menipis dan keadaan cuaca dari hari ke
hari bertambah panas.
1.2
Kesadaran Akan Suatu Tatanan Hidup Bermoral
Ekologi
dan moral lingkungan hidup saling terpaut. Sejak awal tahun 1970-an masalah
ekologi mulai menembus dunia moral. Masalah dunia ekologi umumnya merefleksikan
‘krisis moral’ dalam proses dan usaha memahami hubungan antara manusia dan
lingkungannya. Manusia merenung keadaan lingkungan hidupnya. Bagaimanakah sikap
yang semestinya ditunjukkan manusia terahadap lingkungannya? Bagaimanakah
pengaruh lingkungan terhadap hidup manusia di sekitarnya?
Moral
lingkungan hidup pada dasarnya bermula dari kesadaran hakiki manusia sewaktu
menghadapai keadaan hidup dan lingkungannya. Kesadaran, yang telah muncul sejak
dekade lalu, mengundang manusia untuk bersikap. Semenjak dekade lalu, manusia
menyadari dampak dan bahaya penggarapan alam semesta. Penggarapan ini seiring dengan teori-teori ekonomi dan
teologi yang dominan dalam abab ke-19 dan 20. Mereka yang berdaulat dalam
bidang ekonomi dan politik ternyata telah memanfaatkan mereka yang d lemah dan
tak berdaya untuk menggarap dan ‘memporak-porandakan’kekayaan alam. Keuntungan
mereka dipergunakan untuk memenuhi keperluan dan kepentingan mereka.
Moral menganggap adanya
kesalahan dalam sikap dasar manusia terhadap lingkungan hidup. Cukup banyak
yang berpendapat bahwa hanya manusialah yang memiliki nilai-nilai intrinsik;
bahwa hanya manusia yang layak mendapat pertimbangan moral; sementara itu
penghuni alam semesta lainnya hanya memiliki nilai intstrumental sebagai sarana
dalam pencapaian tujuan-tujuan hidup manusia. Ini tidak terlepas dari pengaruh
pemikiran dan sikap manusia yang bercorak antroposentrik.
Berdasarkan kesadaran ini
manusia membentuk sistem pemikiran ekologis yang terus-menerus mendorongnya
dalam hal bersikap dan bertindak secara bertanggungjawab. Kesadaran ini terkait
dengan penemuan kembali nilai alam semesta. Pemikiran ini menyoroti sikap
manusia, penerapan teknologi dan nilai-nilai yang seharusnya menuntun sikap dan
tindakan manusia.
Sejumlah pengamat berpendapat,
masalah pencemaran udara dapat dirumuskan sebagai kurangnya tanggung jawab dan
kewajiban manusia untuk mengawetkan ‘sistem ekologi’ di mana manusia berada.
‘sistem ekologi’ adalah seperangkat organisme dan lingkungan yang saling
terkait dan saling tergantung, seperti keadaan dalam sebuah danau: ikan
tergantung dari organisme-organisme air yang kecil. Tiap unsur organisme dalam
lingkungan saling berhubungan dan tergantung. Ini menyadarkan manusia bahwa
mereka adalah bagian dari seluruh sistem ekologi yang lebih luas dan terus
menerus mendorong pencinta lingkungan hidup dan para penulis untuk mengingatkan
manusia bahwa mereka sungguh bertanggung jawab moral untuk melindungi
kesejahteraan yang bukan hanya monopoli manusia, melainkan untuk bagain-bagian
yang bukan manusiawi dari sistem.
Karena itu, tidaklah terlampau
mengherankan kalau 31 tahun lalu White mengemukakan tesisnya tentang sikap
‘konfliktual’ antara manusia dengan alam dan tanggung jawab kebudayaan
Yahudi-Kristen dalam masalah lingkungan hidup. Gagasannya mengenai keterkaitan
tingkah laku manusia terhadap lingkungan hidup bisa dijadikan sumber acuan
penting kalau manusia sekarang ingin memasuki masalah moral lingkungan hidup.
[Tesis yang diajukan oleh White adalah benar, sejauh tesis itu menunjuk sikap
dasar dan tingkah laku ‘manusia kristiani’. Tesis ini tidak dapat begitu saja
diterapkan dalam dunia yang penduduknya kebanyakan bukan Kristen. Ternyata
perusakan lingkungan hidup tidak hanya melanda lingkungan hidup masyrakat
non-kristiani, seperti yang terjadi di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Lagi pula, mereka yang merusak lingkungan hidup belum kenal kisah dalam Kitab
Kejadian atau tradisi Yahudi-Kristen. Justru karena itu, yang mengakibatkan
pengrusakan lingkungan hidup di sejumlah belahan dunia pertama-tama bukanlah
pengaruh ajaran dan pandangan Yahudi-Kristen, sebab sikap dan tingkah laku
manusia pada dasarnya bersifat personal dan latar belakang hidup, pendidikan
dan filsafat hidup (a.l. utilitarianisme, pragmatisme, hedonisme) manusia akan
sangat mempengaruhi tindakan seseorang terhadap lingkungan hidup.]
2. Apa
Itu Moral Lingkungan Hidup
2.1 Pertimbangan Filosofis dan Biologis
Moral lingkungan hidup acapkali
dilukiskan sebagai ‘evolusi alamiah dunia moral’. Maksudnya,
dunia moral lambat-laun memberikan perhatian kepada jagat raya dan masalah
ekologis. Mula-mula dunia
moral memperhatikan masalah hubungan sosial antarpribadi manusia dan kemudian
hubungan sosial antara perseorangan dengan masyarakat secara menyeluruh.
Mengikuti jejak Aldo Leopold,
seorang pecinta lingkungan hidup, penulis termasyhur “A Sand County Almanac and
Sketches Here and There” (New York: Oxford University Press, 1949), E.P. Odum
merumuskan moral lingkungan hidup sebagai ‘pertimbangan filosifis’ dan ‘biologis’
secara bersama tentang hubungan manusia dengan tempat tinggalnya dan semua
makhluk non-manusia. Dalam suatu masyaralat beradab moral lingkungan hidup
harus menuntun manusia menuju suatu peninjauan kembmali atas sejumlah konsep
yang benar dan tidak benar mengenai tingkah laku manusia terhadap alam
sekitarnya. Sangatlah perlu dipahami, mutu hidup individual dan sosial sangat
tergantung pada keadaan-keadaan lingkungan. Perluasan dari etika yang meliputi
hubungan manusia dengan lingkungan seharusnya menjadi bagian integral dari
filsafat manusia.
Tampak, Odum melukiskan moral
ekologi sebagai pertimbangan yang melibatkan hidup manusia. Saling keterkaitan
antarunsur dalam jagat raya mendapat perhatian. Dimensi sosial hidup moral
medapat sorotan dalam tinjauan mengenai moral lingkungan hidup.
2.2 Moral Belas Kasih
Ekologi mengandaikan landasan
atau tempat berpijak. Setidaknya ilmu ini dapat bersandar pada sikap
penghargaan dan penghormatan terhadap makhluk ciptaan lain. Seharusnya diakui
dan dihargai bahwa dalam diri ciptaan lain terdapat nilai intrinsik.
Penghargaan ini menimbulkan sikap positif manusia untuk melindungi lingkungan
hidup dan hidup makhluk ciptaan lain. Dengan kata
lain, ‘moral belas kasih berperan penting dalam melestarikan dan mengembangkan mutu
kehidupan berlingkungan. Dalam
dunia purba kala, moral ini hidup dan berkembang dalam dunia religi. Sedangkan
dalam zaman modern ini, moral ini dituangkan dalam bentuk ‘sentimen’ dan
‘simpati’. Belas kasih ini tidak hanya dinyatakan kepada manusia, melainkan
juga kepada makhluk ciptaan lain, yang bukan manusia. Tingkah laku dan tindakan
manusia yang berbelas kasih ini bukanlah didorong oleh akal budi manusia yang
sehat, melainkan oleh sentimen yang dapat menuntun manusia untuk tidak
melakukan sesuatu yang membahayakan makhluk hidup lain. Di
kalangan moralis Inggris dan Perancis dalam tahun 700-an sentimen berperan
penting dalam hidup manusia.
Dalam hal ini, David Hume (1711 – 1776), misalnya, secara
terang-terangan menolak etika rasionalistik. Tindakan manusia tidak tergantung
pada penalaran akal budi, melainkan tergantung dari perasaan-perasaan, sentimen
senang atau tidak senang dan dari simpati. Etika yang ditampilkan Hume bersifat
‘antiintelektual’. Penilaian moral ditentukan oleh perasaan-perasaan dan bukan
analisis atas baik dan buruk sesuai dengan takaran akal budi. Tak heran,
menurut Hume, moralitas [(1) moralitas dilukiskan sebagai seperangkat sistem,
prinsip, kode atau pandangan tentang bagaimanakah manusia seharusnya atau tidak
seharusnya bertingkah laku terhadap diri dan sesama dalam hidup bermasyarakat. Dalam
artian ini moralitas mengandaikan sejumlah nilai, keyakinan tentang hidup dan
dunia. Hanya, moralitas tidak mutlak selalu bermuatan religius. (2) moralitas
selalu tepaut dengan baik buruknya tindakan manusia dalam kehidupan
sehari-hari.] Tidak terdapat dalam satupun kenyataan yang dapat ditemukan
dengan akal budi manusia. Baik atau jahatnya tindakan manusiawi diketahui
melalui sentiment manusia.
Selain
itu, Jean Jacque Rousseau (1712 – 1778) juga menekankan hubungan intrinsic
emosional manusia dengan dunia. Di ladanglah manusia belajar untuk mencintai
dan melayani kemanusiaan; sedangkan di kawasan kota umumnya manusia belajar
untuk tidak menghargainya. Dia telah menggunakan sejumlah gagasan dalam dunia
ekologi modern, seperti pandangan ekosistem yang saling terkait satu dengan
yang lain. Tema utama kesadaran ekologis modern adalah ‘belas kasih’
(‘misericordia’, ‘ compassion’). Belas kasih berarti ‘mengalami derita nyata
pada diri tiap manusia yang berperasaan, sekalipun dia mengetahui bahwa derita
nyata dan kematian tiap individu dan tak terhindarkan dalam suatu keserasian
dengan makhluk hidup”. Belas kasih ini adalah keikut-sertaan pada derita
makhluk ciptaan lain sebagai ungkapan kesetia-kawanan. Belas kasih adalah
simpati (rasa kasih) (M. Scheler: 1874 -1928). Simpati ini diungkapkan dalam
belas kasih dan kegembiraan. Pengungkapan sikap ini tentu tidak menggeser
kedudukan dan peran manusia sebagai ciptaan Tuhan yang luhur yang berada di atas
makhluk ciptaan lain, namun ini tidak berarti bahwa manusia musti menaklukkan
dan menguasai makhluk ciptaan lain.
2.3 Keharusan
Untuk Bertindak
Terence
R. Anderson, pengajar Etika Sosial di Sekolah Tinggi Vancouver (Kanada)
menulis: “Moral Lingkungan Hidup memusatkan usaha dan kegiatannya pada apa yang
seahrusnya dilakukan manusia dan sikap yang seharusnya diambil manusai dalam
melakukan sesuatu yang berkaitan dengan alam atau dunia bendawi”.
Berhadapan
denganmakhluk ciptaan lain dan jagat raya manusia seharusnya mengambil sikap
yang benar, tepat dan bertanggung jawab. Manusia bisa melakukan 1001 tindakan,
namun berapakah tindakan yang boleh dilakukan manusia dalam hidupnya? Manusia
seharusnya mampu memilih dan mengambil keputusan yang tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan sebelum bertindak. Untung dan rugi tindakan seseorang
musti dipertimbangkan. Anderson belajar dari pengalaman dan perilaku manusia
secara umum terhadap alam semesta dan khususnya dengan lingkungan hidup di
sekitar. Dimensi tanggung jawab mendapat sorotan utama. Manusia seharusnya
mengambil sikap dasar yang sehat dan bertanggung jawab tetrhadap lingkungannya.
3. Lingkup Perhatian Moral Lingkungan
Hidup
Andrerson
melukiskan beberapa bidang yang mendapat perhatian utama dari moral lingkungan
hidup.
3.1 Pandangan Manusia Tentang Alam Semesta
Hingga
kini dalam diri manusia masih hidup dan berkembang pikiran dan sikap manusia
yang cenderung meng-obyek-kan alam. Manusia
ditempatkan terlepas dari alam dan manusia menjadi pengamat dan penggarap alam
semesta. Manusia memusatkan perhatian pada pertanyaan: ‘Bagaimanakah
benda-benda yang ada di dalam alam semesta ini berfungsi?’. Manusia modern
umumnya kurang melihat makhluk ciptaan lain dan benda-benda sebagaimana adanya.
Makhluk ciptaan tidak dipandang dalam kesatuan organisme. Ini mendatangkan
banyak keuntungan dan menimbulkan keadaan-keadaan revolusioner dalam hidup
manusia. Namun, banyak pihak memandang bahwa sikap demikian telah menjadi
sumber krisis ekologi sekarang ini. Manusia menjadi pemanfaat dan pemakai
makhluk ciptaan.
3.2
Pelebaran dan Perluasan Komunitas Moral
Turut
dipikirkan dan diperhatikan hidup generasi mendatang. Generasi ini memiliki
‘moral standing’. Namun, haruskah komunitas moral dibatasi sampai pada
hidup manusia atau bahkan terbatas pada pribadi-pribadi manusia? Mereka
yang bermaksud memperluas ‘moral standing’ di luar hidup manusia cenderung unuk
mengembangkan moral dengan menekankan ‘pengawetan’ alam. Masalahnya, apakah
‘komunitas moral’ ini mencakup semua makhluk yang berperasaan dan beremosi atau
mencakup semua makhluk hidup? Kelompok ‘holist’ (yang lebih mengutamakan
keseluruhan jagat raya dari pada bagian-bagian jagar raya), misalnya,
berpendapat bahwa seluruh jagat raya dipandang sebagai organisme tunggal yang
harus diberikan ‘moral standing’ yang tak tergantung dari manusia.
3.3
Dampak Tindakan Manusia
Menentukan
rangkaian dampak atau pengaruh tindakan manusia terhadap alam. Tiap tindakan
manusia sealalu disertai dampak, akibat atau konsekuensi. Karena itu, manusia
seharusnya berpikir ulang dan matang sebelum melakukan sesuatu. Tindakan
manusia berdimensi sosial. Terkadang, perkembangan teknologi yang kian modern
mempersulit takaran atas dampak negative itu. Pertimbangan manusia hendaknya
memperhitungkan dimensi sosial kehidupan manusia dalam suatu masyarakat yang
sedang membangun. Pertimbangan
ini semustinya memperhatikan keadaan masa depan generasi mendatang.
3.4 Norma-norma Moral
Mengembangkan norma-norma moral
(obyektif) untuk memantapkan tanggung jawab dan keutamaan-keutamaan manusia
sehubungan dengan alam non-manusia dan generasi masa depan. Seandainya muncul
konflik antara kepentingan hidup manusia dan hak dasariah makhluk hidup untuk
mempertahankan hidupnya, sikap dasar apakah yang seharusnya diambil?
Bagaimanakah dengan kecenderungan kodrati manusia untuk memperkaya diri dalam
bidang perekonomian, hasrat kuat untuk melepaskan diri dari tekanan kemiskinan
dengan cara menghabiskan riwayat hidup makhluk lain?
3.5 Keputusan Politis
Keputusan-keputusan
politik dalam negara ikut mempengaruhi keadaan lingkungan hidup.
Langkah-langkah prosedural apakah yang harus ditempuh untuk mengambil keputusan
yang tepat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan? Bagaimana seharusnya dipertimbangkan kepentingan bersama
sekarang dan di masa mendatang? Adalah bagian kewajiban pemerintah untuk
menerapkan perundang-undangan atau hukum secara konsisten dalam rangka
mewujudkan kelestarian dan kemajuan lingkungan hidup. Tanpa penerapan UU
lingkungan hidup secara konsisten dan bertanggung jawab, maka akan muncul
perusakan dan penghancuran lingkungan hidup dalam lingkup yang lebih luas di
masa-masa mendatang.
4.
Teori Moral Lingkungan Hidup
4.1
‘Human-centered ethic’ (‘antroposentrisme’)
Sekelompok manusia berpikir
bahwa rangkaian kebijaksanaan mengenai lingkungan hidup dinilai hanya
berdasarkan pengaruh kebijaksanaan itu terhadap hidup manusia. Ini
mengandaikan kedudukan dan peran moral lingkungan hidup yang terpusat pada
manusia (‘Human-centered ethic’). Manusia menjadi jantung perhatian dalam
bahasan tentang lingkungan hidup. Titik berat dalam pandangan ini terletak pada
peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dalam alam semesta.
Dalam
hal ini, keberadaan manusia sebagai ‘makhluk sosial’ sama sekali tak dapat
dilupakan. Sebagai contoh: sebuah perusahaan kaya mendapat izin dari pihak
penguasa untuk mengelola pertambangan emas di salah satu kawasan di Pulau
Irian. Dari satu sisi, pemilik perusahaan dan karyawannya mendapat pekerjaan
sebab mereka boleh mengeruk kekayaan setempat dan umumnya mereka akan hidup
lebih baik dari orang-orang sederhana di sekitar kawasan pertambangan emas itu.
Dari sisi lain, sumber kekayaan alam akan menipis danmungkin sejumlah warga
setempat merasa dirugikan karena tidak dilibatkan dalam mengelola kekayaan alam
itu. Selain itu, kehidupan hewan tertentu akan kian memprihatinkan karena
habitat mereka diporak-porandakan oleh para pendatang.
Pandangan
moral yang bernafas antroposentrik berpandangan bahwa hanya manusia-lah yang
layak dipertimbangkan secara moral. Manusia berperan sebagai subyek dan bukan
alat untuk mencapai tujuan tertentu. Yang mendapat pertimbangan secara moral
hanyalah kebahagiaan dan ketidakbahagiaan manusia.
4.2 “Animal-centered ethic’
(‘animalsentrisme’)
Pandangan
ini beranggapan bahwa bukan hanya manusia yang pantas mendapat pertimbangan
moral, melainkan juga dunia hewan. Perhatian moral tidak hanya terbatas pada
manusia, tapi mencakup seluruh dunia hewan.
Sebagai
contoh: perusakan terhadap lingkungan hidup dengan cara menebang hutan secara
liar dan tidak bertanggung jawab dengan sendirinya ikut mempengaruhi kehidupan
makhluk-makhluk hidup lain di sekitarnya. Dampak penebangan hutan secara liar
dan penggalian kekayaan alam tidak hanya dirasakan oleh manusia, melainkan juga
kehidupan hewan-hewan lain.
Moral
ini menekankan bahwa semua hewan dapat dipertimbmangkan secara moral; walupun
tidak perlu mendudukkan semua jenis hewan pada jenjang yang sama. Moral ini
memberikan makna yang berbeda kepada jenis-jenis hewan yang berbeda. Makna yang
diberikan kepada seekor ikan hiu akan berbeda dari pada makna yang diberikan
kepada seekor nyamuk pembawa penyakit malaria. Atau, secara moral manusia akan
memberikan penghargaan yang lebih tinggi kepada domba-domba yang menghasilkan
bulu-bulu secara aktif dari pada domba-domba yang banyak makan dan tidak
produktif.
4.3
“Life-contered ethic” (‘biosentrisme’)
Yang
dimaksudkan dengan makhluk hidup bukanlah hanya manusia dan hewan, sebab
makhluk hidup juga mencakup tetumbuhan, ganggang, organisme bersel tunggal dan
mungkin termasuk virus. Kerumitan dari ‘life-contered ethic’ terletak pada
bagaimana manusia menjawab pertanyaan: ‘Apa hidu itu?’. Pandangan ini
berpendapat bahwa setiap makhluk hidup bisa dipertimbangkan secara moral
walupun mereka tidak memiliki makna moral yang sama. Penghargaan moral yang
diberikan kepada makhluk hidup lain dipengaruhi juga oleh ‘fungsi’ atau
‘manfaat’ makhluk hidup itu sendiri bagi kepentingan manusia (dalam hal ini
muncul pengaruh ‘human-centered ethic’!). ‘ Moral hidup’ ini menerapkan
pertimbangan dasariah yang terkait dengan ‘pengaruh perbuatan manusia’ dan
‘untung atau rugi’ yang muncul dari tindakan manusia. Memang, secara moral
tidak pernah dilarang untuk menebang pohon atau membunuh jenis hewan tertentu,
namun akibat tindakan manusia harus ikut dipertimbangkan dalam suatu
keseluruhan. Kalau ‘life-centered ethic’ ini mengambil bentuk yang radikal,
maka paham ini akan menekankan bahwa hidup dalam setiap makhluk ciptaan Tuhan
memiliki makna moral yang sama. Dalam hal ini, ‘life-centered ethic’ yang ‘most
proposed’ membenarkan makna berbeda dari makhluk hidup yang satu ke makhluk
hidup yang lain.
4.4 Teori Nilai Intrinsik
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa hanya manusia-lah yang memiliki nilai intrinsik
(nilai yang terdapat dalam diri sesuatu) dan pengakuan atas nilai intrinsik ini
kemudian diperluas ke kalangan makhluk ciptaan lain di luar diri manusia. Salah
seorang pendukung teori ‘nilai intrinsik’, Paul Taylor, menekankan secara moral
manusia terikat untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan makhluk hidup
lain yang non-manusia. Dia mengingatkan bahwa tanaman dan hewan liarpun
termasuk bagian komunitas hidup dalam jagat raya.
Pandangan
moral ini setidaknya mengandung dua gagasan pokok: (1) tiap makhluk hidup
memiliki ‘kebaikan’ dalam dirinya, sehingga dengan mudah manusia dapat
memanfaatkannya sesuai dengan kehendak dan
keperluan mereka; (2) adalah perlu untuk memandang bahwa makhluk-makhluk
hidup bernilai dalam dirinya seperti yang diklaim oleh manusia. Kebaikan dalam
diri makhluk ciptaan lain di luar manusia bukan pertama-tama karena makhluk itu
berkesadaran diri, berpengetahuan akan diri; perlu diingat bahwa kebaikan dari
organisme non-manusia tampak dan ditentukan oleh perkembangan penuh dari
kekuatan biologis (Robin Attfield dan Paul Taylor).
Berkenaan
dengan nilai intrinsic dalam diri makhluk ciptaan non-manusia, maka dapat
dikemukakan dua arus pemikiran. Pertama, pendekatan yang dipandang memadai; apa
saja yang berkebaikan dalam dirinya yang ber-‘moral standing’ dan pantas
mendapat pertimbangan moral. Apabila manusia menerima pertimbangan moral, maka
makhluk lain non-manusia juga patut memperoleh pertimbangan moral, walupun ini
tidak mudah dilaksanakan, namun, sejumlah makhluk ciptaan non-manusia yang
bernilai intrinsic ini hanya mempunyai sedikit makna moral (Robin Attfield). Kedua, pendekatan yang dianggap tidak memadai; pendekatan
ini bersifat ‘anti-antoprosentrik’: semua pengada diandaikan bernilai sama.
Tiap makhluk hidup memiliki nilai intrinsik yang sama. Pendekatan ini secara
radikal telah menggeser antroposentrisme dari dunia etika (Paul Taylor).
Tantangan bagi teori nilai
intrinsik muncul kalau berhadapan dengan skeptisisme antroposentrik sehubungan
dengan kemungkinan dan keperluan untuk menempatkan nilai intrinsik di luar diri
manusia atau di luar alam kesadaran. Perlu diingat, pendekatan-pendekatan
‘life-centered ethic’ tak terpisahkan dari etika humanis, yang mengakui
antroposentrisme moderat. Pendekatan antroposentrik dan teori nilai intrinsik
saling melengkapi.
4.5 Teori
Teosentris
Dari diskusi-diskusi terhadap kedua pandangan di atas,
memunculkan suatu persektif etis yang mendorong pandangan berpusat pada Allah
atau teosentris, yang menekankan secara seimbang kepentingan manusia dan perhatian
lebih besar terhadap alam.
Apabila kita mengambil pandangan
teosentrik sebagai dasar etika, pandangan kita tentang Allah akan membentuk
cara kita berperilaku dengan cara yang lebih akrap dibandingkan dengan
pandangan antroposentrik atau biosentrik. Misalnya, kalau kita percaya bahwa
Allah sama sekali dipisahkan dari dunia, perilaku kita akan sangat kecil
dipengaruhi Allah. Maka lebih mudah mengangkat auatu etika yang cocok dengan
kepentingan manusia sendiri. Dipihak lain, apabila kita percaya bahwa Allah
pada hakikatnya termasuk di dalam dunia, perilaku kita akan mempengaruhi Allah
dan kita akan lebih mengangkat etika yang memperhitungkan kepentingan ciptaan
lain. Selanjutnya, bila kita percaya bahwa ciri-ciri yang mendasar dari Allah
adalah pencipta yang Mahakasih dan bukan penguasa atas alam semesta, kasih
Allah akan meluas kepada seluruh ciptaan secara menyeluruh, bukan hanya species
secara sendiri-sendiri.
5.
Pandangan Kitab Suci
5.1
Perjanjian Lama (PL)
Gagasan
tentang kosmos tidaklah mendominasi dunia Israel secara menyeluruh dan terus
menerus, sebab iman bangsa Israel memang lebih menyadarkan diri pada sejarah
dari pada kosmologi. Dalam PL kosmos dipandang sebagai yang berbeda dari Tuhan.
Dunia dilukiskan sebagai suatu keadaan dengan keindahan, yang tak sanggup
diungkapkan secara penuh oleh sastera mazmur-mazmur dan kebijaksanaan. Kosmos
dan segala kandungannya diciptakan dengan sabda Tuhan. Gagasan penciptaan dalam
PL bukan paham filosofis yang diterima karena peristiwa penciptaan disingkapkan
kepada pemikiran manusia. Gagasan ini adalah ajaran iman yang kebenarannya
terus-menerus dipertegas pada waktu berhadapan dengan rangkaian pencobaan baru.
Menurut
K. Meyer-Abich kebijaksanaan dalam PL (khususnya mazmur-mazmur) memahami dunia
sebagai keindahan yang terpotret. Keindahan ini tak lain dari mutu seni dan
kodrat yang ditentukan secara manusiawi dan seharusnya dirumuskan sebagai
‘pemberian diri’ : menanggapi ‘undangan’ dunia kepada kita, kita menghilangkan
diri kita dalam yang lain. Jadi, ‘keindahan’ adalah norma yang dapat disentuh
untuk menakar hubungan buruk kita dengan alam. Seperti karya seni, ‘keindahan’
berasal dalam agama.
5.1.1 Kitab Kejadian
Kitab
Kejadian dan Ulangan-lah yang terbanyak berbicara mengenai lingkungan hidup. Para
pengarang kedua kitab mengaitkan pengalaman hidup mereka dari kawasan
lingkungannya dengan pemahaman tentang sejarah penyelenggaraan ilahi Israel
sebagai bangsa yang dipersatukan dengan Tuhan dan sebagai bangsa yang telah
dijanjikan tanah khusus. Mereka menggolongkan alam semesta ke dalam peristiwa
penciptaan manusia dan mereka menyisipnya ke dalam terjadinya kehidupan.
Bab-bab pertama dari Kitab Kejadian, antara lain, melukiskan permenungan klasik
tentang peristiwa penciptaan. Perbedaan-perbedaan yang muncul dalam lukisan ini
menunjukkan kekayaan gambaran mereka tentang penciptaan.
Dua
tokoh besar sebagai penafsir Kotab Kejadian, Gerhard Von Rad dan Claus
Westermann memiliki visi berbeda tentang penciptaan. Berkenaan dengan kisah
penciptaan dalam Kitab Kejadian, Von Rad menekankan kekhasan perjanjian khusus
Israel dengan Yahweh, sementara itu Westermann memahami bab-bab pertama dari
Kitab itu sebagai lukisan umum kodrat manusia. Lalu, Brevard Childs berusaha
menjembatani perbedaan ini dengan meringkas kedudukan kanonik Kitab Kej. 1-11
sbb.: Bab-bab ini memprioritaskan peristiwa penciptaan. Hubungan ilahi dengan
dunia bermula dari maksud awal Tuhan untuk menciptakan alam semesta, bukan
hanya untuk bangsa Israel.
Tradisi
Yahwista melukiskan kosmos sebagai peristiwa yang tertuju pada Yahweh, sebagai
tempat kehadiran berkat Tuhan demi manusia. Manusia mempunyai hubungan yang tak
terpisahkan dengan alam semesta. Manusia hidup berdekatan dengan hewan
(Kej.2:19-20). Sementara itu, tradisi Priester (Kej. 1:1-2:4a) mengisahkan asal
kosmos untuk menunjukkan struktur arketipe keberadaan manusia dan dunia. Ada
tiga hal yang dititik-beratkan oleh tradisi Priester sehubungan dengan
peristiwa penciptaan dunia: tatanan, waktu dan hidup. Sorotan atas Kej. 1-11
sebenarnya bukan terutama terletak pada gagasan ‘creatio ex nihilo’, melainkan
tindakan keteraturan Yahweh. Sekarang, tatanan kosmik dikaitkan dengan tatanan
moral dan sosial: ketidak-teraturan moral, kekerasan, air bah. Perhatian bagian
Kitab Suci khususnya terpusat pada tatanan kosmos dan bukan pada penggalian
asal-muasal kosmos.
Apakah
yang dimaksudkan dengan ‘kekuasaan’ manusia terhadap makhluk ciptaan lain
seperti yang dilukiskan dalam Kitab Kejadian? Penulis Kitab ini tidak
memandangnya sebagai ‘kuasa tak terbatas’, namun di hadapan mata Tuhan makhluk
ciptaan non-manusia dan manusia diandaikan untuk membentuk ‘suatu komunitas
makhluk ciptaan’, dan di dalam komunitas itu manusia bertanggung jawab.
5.1.2 Mazmur-mazmur
Mazmur
19 (ay.2-5b), misalnya, adalah kerygma tentang kosmos sebagai buah tangan Tuhan
(bdk. Bar. 3:35; Sir. 16:26; 42:15-25). Langit, termasuk bintang-bintang,
mengidungkan kemuliaan Allah dan memberikan kesaksian karya pencipta. Kosmos
bukan sekadar undangan untuk percaya akan Allah Pencipta, namun termasuk
desakkan untuk terus-menerus memuji kebesaran Tuhan melalui doa. Kosmos tidak
hanya mengungkapkan kebesaran Tuhan, melainkan juga termasuk pendorong manusia
untuk memberikan jawaban kepada Tuhan di dalam iman dan pujian.
Mazmur
104 kembali mengumandangkan pandangan kontemplatif mengenai penciptaan alam
semesta dalam Kitab Kej. 1 dengan mengetengahkan sejumlah unsur alam, seperti:
cahaya, gunung, lembah, matahari, sungai, tetumbuhan, hewan-hewan … di sini tak
dikisahkan peristiwa penciptaan, namun peristiwa itu direnungkan dan
dikidungkan. Mazmur ini tidak bermaksud menelusuri dan menerangkan asal-muasal
penciptaan, namun mazmur ini bertujuan memahami keindahan dan keteraturan di
dalamnya. Penciptaan alam semesta dimengerti sebagai tindakan sekarang dan
bukan peristiwa yang telah berlalu. Alam semesta mengandung dua makna: dari
satu sisi, alam semesta adalah tempat pertemuan dengan Tuhan, namun serentak
berjarak dari Tuhan. Bisa saja kita tidak melihat Tuhan dalam alam semesta atau
kita tidak memahami kehadiran-Nya, namun sebenarnya Tuhan memperhatikan dan
menuntun kita. Dunia dan sejarahnya adalah karya cinta kasih Allah yang
menakjubkan (Mz. 136). Kita dapat menemukan kaitan cinta kasih yang
menghubungkan Tuhan dengan alam semseta dan sejarah manusia: penciptaan dan
sejarah tak terpisahkan. Cinta kasih-Nya menyelamatkan dan summer penciptaan
alam semesta.
Tampak,
doa-doa bangsa Israel melalui mazmur mencerminkan kedekatan hidup mereka dengan
makhluk ciptaan, seperti dengan keindahan matahari, symbol kekuasaan Ilahi.
Kosmos yang dilukiskan dalam mazmur-mazmur adalah ‘dunia bermakna’, yang
mengandung arti, seperti penjelmaan makna yang diberikan Tuhan melalui
sabda-Nya yang mencipta. Tiap benda adalah buah sabda Tuhan dan karena itu
ciptaan itu membawa makna dalam dirinya.
5.2 Perjanjian Baru (PB)
5.2.1 Pandangan Umum
Pengertian
‘kosmos’ dalam PB berbeda dari dunia Yunani. Dalam dunia Yunani yang
dimaksudkan dengan ‘kosmos’ adalah ‘tatanan organisme dalam ketenangan’. Sementara itu, gagasan ‘kosmos’ dalam PB terorientasi
pada hidup manusia dalam sejarah. Semula, kosmos berarti himpunan keadaan dan
kemungkinan hidup manusia; dalam artian ini kosmos diciptakan.
PB
mempertimbangkan kosmos dalam kaitan dengan Yesus Krsitus dan manusia di
hadapan Yesus Kristus. Perspektif kosmos dalam PB bercorak Kristologis dan
antropologis. Kata ‘kosmos’ dalam PB dihubungkan dengan gagasan ‘ruang’. Kata
ini juga dipergunakan untukmelukiskan ‘kemanusiaan’. PB tidak memberikan suatu
konsep kosmologis khusus sebagai bagian pewartaan integral dari Injil. Gambaran tentang kosmos dalam PB dipandang sebagai sarana
untuk pewartaan Injil. Maksudnya, PB tidak berbicara tentang ‘kosmos’ dalam
dirinya, sebagai benda belaka, namun pembicaraan tentang ‘kosmos’ dikaitkan
dengan dunia manusia, tempat Tuhan bertindak dan manusia melakukan sesuatu
secara bertanggung jawab. Pada dasarnya terdapat suatu ‘konsep antroposentris’
dunia: dalam cara tertentu, dunia ‘berubah’ bersama sejarah manusia.
5.2.2
Surat-surat Paulus
Yang dimaksud dengan ‘kosmos’
oleh Paulus adalah segala sesuatu yang bukan Tuhan, yakni alam semesta
(universum). Kosmos mencakup semua benda (Roma 11:36); ini mencakup kemanusiaan
yang dilukiskan sebagai alam semesta dalam Gal.3:22; kosmos mencakup kekuasaan
Ilahi (1 Kor. 8:4). Kosmos adalah ruang yang meliputi semua yang berada di luar
Tuhan, namun dalam pikiran Paulus, kosmos tidak mempunyai arti ‘keteraturan’,
karena menurut Paulus dunia telah kehilangan keseimbangan dan keserasiannya.
Untuk melukiskan dunia di bawah kuasa dosa, Paulus menggunakan ungkapan ‘dunia
ini’ (1 Kor. 1:20-21; 3:19; 5:10; 7:31.33-34).
Ada tiga pokok pikiran Paulus
yang dapat menjadi permenungan kita tentang kosmos:
(1) Dunia sebagai penciptaan
yang berdimensi Kristosentris. Dunia dan sejarah selalu berada di bawah kuasa,
tindakan penciptaan dan penyelamatan Ilahi. Kodrat dan kebebasan manusia
kembali memasuki tingkat pencipta ilahi yang menyelamatkan. Ditegaskan
pengakuan iman akan penciptaan langit dan bumi oleh Tuhan (Kis. Ras. 17:24;
4:24). Penciptaan berdimensi Kristosentris (Kol. 1:15-17). Tak ada satupun
unsur di atas permukaan bumi yang dapat terpisah dari kuasa Kristus. Tuhan
telah menciptakan dunia di dalam Kristus sebagai ‘titik keteguhan’, dasar
primodial dan kekal, awal dan akhir (Why. 1:8). Kalau begitu, dunia tidak dapat
dipandang terlepas dari Tuhan dalam Yesus Kristus. Terus-menerus dunia kita
dilalui dan diresapi kebaikan ilahi yang selalu menang. Dunia tak dapat
dipandang dalam kekuatannya sendiri, namun selalu terkait dengan hubungan
asalnya yang dinamis dengan Tuhan. Kristosentrisme alam semesta menegaskan
kebenaran mutlak alam semesta, yang tidak terbatas hanya pada fungsi-fungsi,
seperti ilmu-ilmu pengetahuan lain. Tuhan
berkarya dalam kedalaman di dalam tenaga-tenaga alam dan tersembunyi dalam
keputusan-keputusan manusia.
(2) Penebusan kosmos. Dunia
memerlukan keselamatan, yang terlaksana melalui dan di dalam Kristus, sebab
adalah kehendak Tuhan untuk merukunkan diri dengan semua manusia, semua pengada
di atas permukaan bumi dan di langit; damai ini terwujud melalui darah-Nya di
kayu salib (Kol. 1:20). Kesetia-kawanan antara manusia dan kosmos tetap berlaku
hingga sekarang: manusia dan kosmos, dalam keadaan sekarang, dipersatukan
dengan kejatuhan, kerusakan, derita dan penantian. Karya penciptaan setia kawan
dengan tujuan manusia. Bagi Paulus, makna terakhir dari kosmos dan kemanusiaan
berada dalam tujuan kepada Kristus: “…, baik Paulus, maupun Kefas, baik dunia,
hidup maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan dating. Semuanya
kamu punya. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah” (
1Kor. 3:22-23).
(3)
Manusia Kristen dan dunia. Bagaimanakah seharusnya manusia bersikap terhadap
alam semesta? Paulus memegang dua pernyataan ini secara serempak. Kendati
terjadi dalam suatu ketegangan dialektis terus-menerus: (a) Dunia diciptakan
Tuhan dan karena itu adalah baik; (b) Dunia sekarang menjadi sasaran kuasa
negative dosa. Walau demikian, Paulus tetap menganut prinsip “karena semua yang
diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima
dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh
doa” (1 Tim.4:4-5). Satu-satunya penguasa dunia adalah Yesus Kristus. Dalam
menghadapi dan memecahkan masalah, Yesus Kristus dan Injil menjadi takaran
kritis. Bagi Paulus dunia tak hanya bermakna univok yang menunjuk dunia fisis
atau kemanusiaan; dunia sebagai penciptaan dan kenyataan sejarawi. Kepada orang
Kristen Paulus tak memberikan tugas untuk ‘mengubah dunia’, tapi terutama
membiarkan diri untuk diubah oleh Yesus Kristus; atau lebih baik dikatakan:
bagi Paulus perubahan dunia diwujudkan melalui suatu transformasi mendalam
‘hati nurani’. Tanggung jawab khusus orang-orang Kristen di hadapan dunia
terutama melihat ‘apa yang dikehendaki Allah’: kebaikan, juga bagi dunia, yaitu
kehendak Allah, diungkapkan dalam Yesus Kristus. Kebaikan hanya datang dari
Yesus Kristus. Orang Kristen bertugas untuk bertindak sesuai dengan kehendak
Tuhan, memandang dunia seperti yang dilakukan oleh Allah. Dengan demikian orang
Kristen mengubah bentuk dunia ‘dari dalam’, menghidupi semua keadaan di dunia
menurut Roh Yesus. Untuk mengubah atau membebaskan dunia, umat Allah harus
melakukan tindak pembaharuan hati dan dengan tingkah laku yang sesuai dengan
kehendak Tuhan.
Ini
tidak hanya menyangkut pembaharuan batiniah individual, tapi melahirkan
komunitas ‘ciptaan baru’ yaitu umat Allah. Manusia Kristen harus terlibat di
dalam dunia dan dia bukanlah ‘Tuhan’, melainkan harus menjadi milik Tuhan. Manusia
Kristen seharusnya tidak bermaksud menjadi ‘tuan’ atas dunia atau memperbudak
dunia, melainkan dia harus tahu mencintai dunia; dengan cinta kasih kritis yang
menolak kepongahan kemampuan dunia untuk berdikari.
Dalam
suratnya keopada jemaat di Roma 8:18-27 Paulus menyoroti dunia yang diciptakan
Tuhan sebagai ‘suatu keseluruhan’. Pandangan dan sikap manusia terhadap alam
semesta berdimensi antroposentrik. Kendati demikian, ini bukan antroposentrik
subyektif yang mereduksi segala sesuatu dalam alam semesta menjadi nilai-nilai
yang kita perhatikan sejauh menjamin keuntungan manusia. Tempat kita dalam
penciptaan ditentukan oleh pengakuan kita bahwa posisi dan hubungan-hubungan
kita adalah sesuatu yang tujuan dan nilainya berasal dari Tuhan. Menyadari bahwa
segala sesuatu berasal dari Tuhan, maka kita tidak bisa mendevaluasikan segala
yang ada dalam alam hanya karena kita belum melihat nilainya bagi manusia. Kita
ingin memandang segala sesuatu yang dengannya kita berada di atas permukaan
bumi sebagai entitas yang menemukan tujuan tertinggi mereka untuk memuji dan
menggembirakan Tuhan dan bukan manusia. Ini akan menjadi tantangan bagi iman,
sebab dasar pujian dan kegembiraan kepada Tuhan tidaklah akan selalu tampak.
Seluruh
peristiwa penciptaan ditandai dengan awal yang menggembirakan. Sejak semula
Tuhan telah menyatakan keindahan ciptaan-Nya. Jagat raya, terang, lautan,
tumbuhan, hewan semuanya diciptakan-Nya dalam keadaan baik (bdk. Kej. 1). Semua
unsur dalam alam saling terkiat.
Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka manusia
diusir dari Taman Eden. Mereka harus mengolah
tanah dan memeras keringat demi sesuap makanan. Dalam teologi Kitab Ulangan,
berkat dan/atau kutuk yang melibatkan lingkungan hidup terkait dengan
penghayatan hidup kesetiaan dan ketidak-setiaan (bdk. Ul. 28). Namun Tuhan
sendiri telah berikrar untuk tidak mengutuk semesta alam karena ulah manusia
(Kej. 8:21). Manusia tetap meiliki hubungan dengan alam semesta, walupun telah
jatuh ke dalam kedosaan.
Dalam
penciptaan termuat pengharapan. Dalam perumpamaan tentang bunga bakung di
lading dan burung-burung di langit (Mt. 6:25-34) Yesus meghantar para pendengar
untuk mencapai keyaikan terakhir dala tangan Tuhan (Kaesemann). Telah muncul
pengharapan, pengharapan akan pembangunan kembali manusia dari kejatuhannya ke
dalam dosa, melalui salib dan kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus. Pernyataan
Paulus dalam Roma 8:18-27 mengulangi argument yang bersifat Kristologis dan
bukan mesianik, sebab (1) tradisi sasterayang dikutipnya dipergunakan untuk menghubungkan
pembaharuan alam dengan parousia Putera Allah dan bukan sebagai perristiwa
persiapan akan masa ‘mesianik’; (2) pengharapan yang dibicarakan di sini
bukanlah pengharapan’mesianik’ biasa, melainkan pengharapan yang dapat dilihat
hanya melalui salib. Pengharapan di sini bukanlah pengharapan yang membuat
seseorang menjadi pasif, namun pengharapan yangmendorong manusia untuk
bertindak dan menanti terus-menerus. Pengharapan di sini bisa dipahami sebagai
suatu ‘penantian’.
Dapat
disimpulkan, setidaknya masih tampak perwujudan pengharapansegala makhluk
ciptaan Tuhan. Secara khusus pengharapan ini dikaitkan dengan pemulihan citra
ilahi anak-anak Allah dalam hubungan dunia alam semesta. J.A. Rimbach, seorang
mahaguru teologi di Seminari Concordia, Kowloon, Hongkong, berpendapat bahwa
keterbukaan mata bagi salib yang dipikul orang Kristen adalah untuk memandang
jeritan bersama seluruh ciptaan. Dengan demikian manusia merasakan suatu
tanggung jawab baru. Guna melepaskan keterikatan kita kehancuran sebagai buah
pembangkangan umat manusia, maka kita dapat mengajukan janji ini: kita memulai
lagi dan meneruskan status citra kita dalam hubungan dengan ciptaan, tidak
terlampau banyak ‘bertransformasi’, melainkan untuk mewujudkan, mencapai tujuan
kita sebagai ciptaan dalam hubungan dengan semua makhluk ciptaan.
6. Ajaran Sosial Gereja
6.1 Bapa-bapa Gereja
Setelah
menelusuri tradisi alkitabiah tentang penciptaan dan alam semesta sekarang kita
coba melihat pandangan para Bapa Gereja mengenai masalah lingkungan hidup?
Alexandre
Ganoczy berpendapat bahwa para Bapa Gereja umumnya mepertahankan dua tesis
utama ini: (1) umat manusia kehilangan
hak ‘penguasaan atas bumi’ akibat kejatuhan ke dalam dosa; (2) manusia masih
memiliki kuasa itu walupun telah mengalami kejatuhan. Tesis pertam dengan jelas
mereduksi lingkup ekologis dalam Kej. 1:28 dan menggantikannya dengan suatu
etika individual: ‘ Manusia harus meninggikan diri di atas tingkat hewan-hewan
dengan kedisiplinan diri, dengan mengikuti akal budinya’. Tesis kedua tetap
tinggal terbuka secara ekologis: sungguhpun telah jatuh, manusia toh masih
mampu dan seharusnya mengatur hidup dan tugas yang dipercayakan kepadanya oleh
karya penciptaan. Di kalangan Bapa Gereja terdapat pola pandangan filosofis
atas sikap terhadap alam semesta dan makhluk ciptaan. Tekanan terletak pada
unsur kebijaksanaan yang dihubungkan dengan pengetahuan. Manusia menunjukkan
diri sebagai tuan atas makhluk ciptaan non-manusia karena kebijaksanaan.
Sebagai ‘anugerah’, kebijaksanaan memungkinkan manusia bukan hanya untuk
memiliki pengertian yang benar tentang Tuhan, tapi serentak menyelidiki
perjalanan bintang-bintang, mebangun kota, menemukan hukum dan obat, dan karena
itu mencapai suatu hubungan tertentu, kokoh dan aktif dengan dunia.
Pertama,
Lactantius (240-320) berpendapat bahwa alam semesta pasti diciptakan oleh
Tuhan. Dalam penciptaan ini manusia menjadi ‘pengada’ yang mengakui penciptanya
dan menikmati segala kebaikan. Guna mencapai tujuan tersebut, manusia
menggunakan api, air, tanah, gunung dan lautan – benda-benda yang berfungsi
dalam kegiatan ekonomi. Manusia membuktikan diri sebagai ‘bagian dari asas
ilahi’ dan ‘satu-satunya ras berakal budi yang sanggup mencintai Tuhan di
natara rekan-rekan makhluk ciptaan lainnya (Eusebius: 260-340). Setidaknya umat
manusia dapat melihat diri mereka sebagai makhluk hidup yang secitra dengan
pencipta, apabila mereka mampu memadukan pengetahuan dengan kebijaksanaan.
Kedua,
Agustinus (354-430) mengulas masalah penciptaan dan alam semesta dalam cahaya
KS. Tafsiran atas kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian diangkatmenjadi salah
satu tema permenungannya, khsususnya setelah dia dipermandikan di Milano pada
tahun 387. corak bibles tafsirannya tak dapat dipungkiri. Dia memiliki
perspektif teologis-ekologis yang diperkaya dimensi soteriologis. Ditekankan
bahwa ciptaan di luar diri manusia, entah berjiwa atau tidak, tetap memiliki
‘nilai lebih’ dari pada sekadar bersifat memenuhi kegunaan manusia. Makhluk
ciptaan lain tidak hanya berada untuk memenuhi keperluan-keperluan manusia.
Lebih persis, akal budilah yang sebenarnya menempatkan manusia pada jajaran
hirarkis yang lebih tinggi. Seiring dengan gagasan dalam surat Paulus kepada
jemaat di Roma 8:18-25, Agustinus melihat adanya keluhan dari segala makhluk
hidup (ay.22). berbeda dari manusia, makhluk-makhluk ciptaan lain tidak
menimbulkan pemberontakan. Malah setelah kejatuhan ke dalam dosa mereka kembali
memperoleh ‘kebaikan dalam kodratnya’. Dalam pandangan Trinitarian yang
bercorak Kristologis, penyembuhan dan penyelamatan juga dikaitkan dengan
lingkungan hidup, agar akal budi sebagai anugerah efektif Tuhan ikut berperan.
Sekarang tampak bahwa kerja digolongkan ke dalam factor teologis. Karya
menjadikan manusia seperti Tuhan. Ditemukan sesuatu yang menyerupai ‘analogia
L\laboris’ (‘analogi kerja’) antara pencipta dengan citra-Nya yang kreatif.
Jelas, Agustinus menekankan bahwa tanah air kita berasal dari Bapa kita.
Setelah menjadi Katolik dengan terang-terangan Agustinus mengakui
ketergantungan penuh jiwa manusia pada tindakan Allah yang kreatif.
Sejak
abad keempat, pengakuan akan ‘Bapa yang mahakuasa’ (‘Pater omnipotens’)
diperluas dengan pengakuan ‘pencipta langit dan bumi’ (‘factorem caeli e
terrae’). Penciptaan dari ketiadaan kembali dititk-beratkan (pengakuan iman
sejak abad kedua). Gagasan penciptaan dan pemeliharaan ciptaan ditekankan.
Pemikiran tentang penciptaan terkait dengan gagasan tentang hukum sebab-akibat.
6.2 Abad Pertengahan
Untuk
mengetahui pandangan abad pertengahan mengenai alam semesta dan kandungannya,
maka perlu kita perhatikan etika kerja para rahib Benediktin (abad ke-6)
danSistersian (1098). Peraturan
hidup Benediktus dari Nursia dipengaruhi oleh semboyan ‘Ora et Labora’ (“Berdoa
dan Bekerja’). Makna yang ditemukan dalam kerja bukan terletak pada usaha
penggarapan alam dan penggalian keuntungan dari alam, tapi terutama terletak
pada kerja manusia yang menghasilkan ‘kultur’. Selain itu, terdapat
‘keterkaitan sosial’ yang diungkapkan dalam bentuk keramah-tamahan biara; kini
dikenal sebagai ‘ekologi sosial’. Cita-cita kekudusan yang relatif baru
terwujud pada waktu itu mencakup ‘pengolahan lahan’ disamping mencintai Tuhan
dan sesama dan asketisme sebagai keutamaan-keutamaan yang menentukan. Jadi,
pertanian, keahlian dan teknologi dapat disatukan dengan hidup iman yang
mengontrolnya.
Melalui
karya Hugo dari St. Victor dapat diketahui kesaksian bermakna atas pengertian
abad pertengahan mengenai alam, yang menjadikan hewan dan mesin sebagai obyek
tangung jawab iman. Tuhan menghendak I manusia agar tak hanya menguasai dan
menggunakan dunia hewan tapi juga memeliharanya danmengetahui apa yang
seharusnya dilakukan manusia.
Thomas
Aquias (+1274) menggarisbawahi Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan
kandungannya. Tuhan tidak menciptakannya di dalam waktu, sebab bersamaan dengan
dunia menciptakan waktu. Tidak ada waktu sebelum Tuhan menciptakannya (bdk.
S.Th. Ia, 44-46). Alam semesta tergantung penuh pada Tuhan. Dia tidak hanya
mengadakannya, tapi Dia juga menyebabkannya berada terus. Tuhan menjadi sumber
keberadaan dan kelangsungan dunia dan segala isinya. Tampak bahwa pandangan
abad pertengahan tentang dnia dan kandungannya selalu dikaitkan dengan Tuhan
sebagai pencipta.
6.3 Ajaran Sosial Gereja
Sejarah
membuktikan bahwa dari dulu hingga sekarang Gereja kita telah anyak
memperhatikan moral individual, seksual dan sosial, yang berhubungan dengan
dunia kerja (RN – 1891), perdamaian antar bangsa (PT – 1963), perkembangan
manusia (PP – 1967). Namun belakangan ini perhatian Gereja tidak hanya tercurah
pada sector-sektor kehidupan di atas. Masalah lingkungan hidup dimasukkan ke
dalam agenda perhatian Gereja. Paus Paulus VI, misalnya, dalam suratnya kepada
Maurice Strong pada kesempatan konferensi Bangsa-Bangsa tentang lingkungan
hidup manusia yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1972 menegaskan
bahwa manusia dan lingkungan alamiahnya saling terpaut dan perlunya pembatasan
dalam menggunakan kekayaan alam yang sama. Beberapa tahun kemudian, Paus
Yohanes Paulus II menetapkan dan mengajukan ajaran sosial baru yang berhubungan
dengan alam dan perlindungan lingkungan hidup.
Dalam
analisisnya mengenai ajaran kepausan, Vaillancourt menyatakan bahwa sebenarnya
dalam tulisan Paus Pius XII dan Yohanes XXIII terdapat sejumlah referensi
tentang himbauan dan perhatian Gereja kepada lingkungan hidup, yang menyangkut
masalah keindahan ciptaan dan penghargaan kepada alam semesta. Namun, Puas
Paulus VI adalah ‘paus pertama’ yang sungguh-sungguh berbicara mengenai
lingkungan hidup dalam teks-teks penting seperti ensiklik popularum progessio
(1967), pesan kepada FAO 1970, pesan kepada Konferensi Lingkungan Hidup di
Stockholm pada tahun 1972, pesan kepada PBB mengenai kemapanan manusia pada
tahun 1976, dan pesan pada kesempatan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia V pada
tahun 1977. dalam pesan terakhirnya, Paulus VI berbicara tentang krisis
lingkungan hidup dan ancaman, akibat-akibat yang ditimbulkan oleh polusi
industrial dan mendesak sejumlah perubahan tingkah laku kita yang boros
danmengaitkan lingkungan hidup dengan perkembangan dalam perspektif kerja sama
internasional.
Paus
Yohanes Paulus II banyak memperhatikan masalah lingkungan hidup. Pada tahun
1979, stahun setelah menduduki kursi kepausan, dia menyatakan St. Fransiskus
dari Assisi sebagai pelindung para Pelestari Lingkungan Hidup. Dalam suratnya
‘Sanctorum Altrix’ (11 Juli 1980) juga disebut nama seorang kudus lain sebagai
pelindung ekologi, St. Benediktus, yang membaca Sabda Tuhan bukan hanya dalam
Kitab Suci tapi juga dalam kitab raksasa, yaitu alam raya. Sri paus memandang
manusia sebagai ‘makhluk pengkontemplasi’ atas keindahan ciptaan. Manusia
didorong untuk bersikap hormat terhadap keindahan, cahaya dan kebenarannya.
Hasil inventarisasi naskah-naskah Yohanes Paulus II yang berbicara tentang
lingkungan hidup melalui Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Damai mulai dari
tahun 1979 hingga 1992 menunjukkan bahwa Sri Paus sekarang sungguh
memperhatikan masalah lingkungan hidup. Dalam lima tahun (1979-1983) terdapat
28 teks Sri Paus yang berbicara mengenai lingkungan hidup.. kemudian, dari
tahun 1984-1988 terdapat 39 teks sejenis, sementara itu, dari tahun 1989 hingga
1992 terdapat 65 teks yang menyinggung masalah lingkungan hidup. Ini berarti
dari 1979 hingga 1992 terdapat ratusan naskah mengenai lingkungan hidup yang dikeluarkan
oleh Paus kita sekarang. Pada tahun-tahun pertama kepausannya, Yohanes Paulus
II memusatkan perhatian pada masalah keindahan alam, keserasian penciptaan,
tanah yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan tanggung jawab umum dalam
penggunaan sumber-sumber alam. Dalam ensiklik sosial pertamanya, Laborem
Exercens (1981), Sri Paus menyoroti masalah kerja manusia, pandangannya
mengenai perlunya pengelolaan tanah melalui kerja mansuia sebagai peran serta
manusia dalam karya penciptaan, pentingnya kemajuan dunia dari satu segi dan
perlindungan terhadap alam dari segi lain.
Dalam
ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987), peringatan 20 tahun Ensiklik
Popularum Progessio Paus Paulus VI, Yohanes Paulus II menampilkan analisis baru
dan asli tentang krisis lingkungan hidup. Hingga sekarang memang tidak ada
satupun ensiklik yang hanya berbicara mengenai lingkungan hidup. Ensiklik ini
meyentuh subyek ini dari sudut tinjau perkembangan, pengangguran, hutang,
pemisahan Utara-Selatan, konflik Timur-Barat, bahaya nuklir, terorisme dan
masalah demografik. Setidaknya dititik-beratkan tiga perhatian utama: (1) lebih
menyadari bahwa pemanfaatan makhluk ciptaan, bernyawa atau tak bernyawa, selalu
menimbulkan akibat yang tidak terhindarkan. Penggarapan kekayaan alam demi keperluan
ekonomi tanpa mengingat kodrat setaip pengada dan saling keterkaitan di
antaranya dalam sistem organisme teratur (kosmos) memang berbahaya. (2) terdpaat cirri keterbatasan sumber-sumber
alam. Bagaimanakah sumber terbatas ini masih dapat diperbaharui? Pemanfaatan
kekayaan alam dengan sikap dominasi mutlak bukan hanya membahayakan generasi
sekarang, tapi juga generasi mendatang. (3) industrialisasi selalu menambah
kontiminasi lingkungan dengan akibat-akibat berat untuk kesehatan masyarakat.
Sementara
itu dalam Ensiklik Centesimus Annus (1991) Puas Yohanes Paulus II kembali
mengingatkan masalah lingkungan hidup dan ekologi yang kian berat. Kritik tajam
telah dilontarkan terhadap sikap manusia dalam menafaatkan kekayaan alam.
Seharusnya manusia menjadi kolaborator dengan Tuhan dalam karya penciptaan dan
bukan mengganti kedudukan dan peran Tuhan. Sri Paus juga berbicara tentang
perlindungan dan penyelamatan keadaan ekologi manusiawi, melindungi jenis-jenis
hewan yang terancam punah dan keseimbangan umum bumi. Dimensi tanggung jawab
dititikberatkan oleh Paus.
Bernard
J. Przewosny menyarikan enam analsis Paus Yohanes Paulus II tentang masalah
ekologi: (1) seluruh keberadaan kosmos saling tergantung, saling ketergantungan
ini membuat kita mengerti bahwa masalah ekologi adalah global; (2)
sumber-sumber alam adalah sangat terbatas dan sejumlah sumber alam tidak dapat
diperbaharui; (3) kekayaaan alam milik
seluruh umat manusia dan bukan hanya kaum berada; (4) Manusia adalah bebas
untuk mengalami perkembangan manusiawi, suatu perkembangan global semua
manusia, antara lain, melalui perkembangan ekonomi; (5) masalah demografi
adalah rumit, dalam artian perluasan demografi bukan hanya menimbulkan
perendahan lingkungan, tapi bertambahnya kelaparan di dunia dan masih ada juga
penyebab masalah-masalah ekonomi; (6) krisis ekologi adalah masalah moral yang
mendesak suatu kesetia-kawanan baru di antara seluruh umat manusia. Selin itu,
menurut Przewosny, Yohanes Paulus II juga mengajarkan bahwa manusia dapat
mengenal Tuhan melalui keindahan alam. Dalam diri alam terdapat nilai dalam
dirinya dan memperoleh otonomi legitim yang harus dihargai dan dihormati
manusia.
7.
Pembaharuan Sikap
7.1 Menyadari Dampak Teori Lingkungan
Hidup
Sikap
dasar dan peri laku manusia terhadap lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh
paham tentang lingkungan hidup. Penganut paham antroposentrisme umumnya
cenderung untuk lebih mengutamakan kedudukan dan peran manusia di tengah
makhluk ciptaan lain. Dalam keadaan harus mempertahankan hidup, manusia dari
kodratnya akan mengorbankan makhluk hidup lain (tetumbuhan atau hewan). Walupun
demikian, dari dulu manusia telah menggarap kandungan alam demi kehidupan dan
kesejahteraan mereka.
Seorang
yang bercorak piker biosentris dengan sendirinya akan menimbang dan
memperjuangkan harkat hidup dalam makhluk lain. Dia berusaha sedemikian rupa
sehingga tak menimbulkan kerugian bagi makhluk hidup non-manusia, karena mereka
memiliki kehidupan yang berasal dari pencipta yang satu dan sama. Pandangan ini
akan dibela mati-matian oleh mereka yang menganut paham biosentrisme radikal.
Sedangkan penganut biosentrisme moderat mempertimbangkan keluhuran hidup dalam
makhluk lain dan kebutuhan pokok manusia yang tinggal di dalam jagat raya.
Masalahmendasar
yang muncul adalah keberadaan dan peran manusia dalam alam semesta. Apakah
manusia tidak boleh memanfaatkan isi dan kekayaan alam demi kesejahteraan
hidupnya sekarang dan generasi mendatang tanpa menimbulkan
perusakkan-perusakkan yang memprihatinkan manusia? Bagaimanakah manusia dapat
mempertahankan hidupnya di tengah alam yang terkadang ganas dan mengancam hidup
manusia. Dalam situasi hidup
nyata, senantiasa terjadi pertarungan manusia untuk membela dan mempertahankan
hidup. Dalam perjuangan inilah manusia akan
kembali kepada prinsip ‘struggle for life’.
Demi
hidup dan kesejahteraan, manusia boleh mengolah kekayaan alam sambil
memperhatikan beberapa catatan penting yang tak dapat diabaikan, seperti:
bertindak secara bertanggung jawab; memikirkan masa depan generasi mendatang;
mengembangkan sikap ‘konservatif’. Dalam keadaan bagaimanapun dan apaun,
manusia seharusnya menyadari diri sebagai ‘makhluk sosial’ dan tindakannya yang
berdimensi sosial. Kemungkinan akan jatuh ke dalam pandangan ekstrim dan
radikal sebaiknya diperhatikan dan dihindari. Pandangan dan sikap moderat
sangat dituntut dari manusia modern dalam upaya mengelola jagat raya dan
kekayaan di dalamnya. Sikap radikal dan ekstrim hanya akan menimbulkan
‘kemutlakan’ pandangan dan tindakan manusia dalam menghadapi jagat raya.
7.2
Revisi Filsafat Hidup Manusia
Filsafat
dalam konteks ini adalah ‘cara hidup menurut akal budi atau berdasarkan
sejumlah prinsip dan kebenaran religus yang lebih tinggi; Filsafat adalah
kebijaksanaan yang dihidupi oleh manusia’. Filsafat dalam artian ini bukan
hanya berupa refleksi kritis, melainkan sungguh menyentuh kehidupan nyata
seseorang.
Ternyata
filsafat hidup mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia terhadap alam
ciptaan dan organisme di dalamnya. Manusia
berlatar-belakangkan dan menghidupi filsafat utilitarianisme dan pragmatisme
tentu akan mengincar keuntungan yang bisa digarap dari alam semesta. Kadang
mereka melupakan dampak sampingan sebagai akibat ‘kerakusan’ manusia. Tidak
sedikit manusia yang menghargai atau memberi nilai kepada makhluk ciptaan yang
non-manusia hanya berdasarkan ‘kegunaan dan fungsinya’ bagi hidup dan
kesejahteraan manusia.
Sedangkan manusia yang
dipengaruhi oleh sistem pemikiran ekologis akan menunjukkan sikap yang dekat,
bersahabat dan melindungi lingkungan hidup. Manusia menyadari diri sebagai
bagian integral dari seluruh jagat raya dan merasa bertanggung jawab atas
apapun yang terjadi atau melanda jagat raya. Manusia ini memiliki kepekaan
khusus terhadap keadaan lingkungan hidup disekitarnya.
Menanggapi pengaruh latar
belakang filsafat hidup dalam pola pandang dan tindakan seseorang, maka dari
waktu ke waktu seharusnya manusia membaharui filsafat hidup selama ini.
Filsafat hidup yang menghargai dan menghormati perlu ditanamkan dan
dikembangkan dalam kehidupan bersama sebagai komunitas ciptaan Tuhan. Gagasan
hubungan persaudaraan antara manusia dengan makhluk ciptaan lain musti
dikembangkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kebanyakkan orang
timur umumnya diwariskan filsafat hidup yang menyatu dan menghormati alam
semesta. Manusia tidak begitu saja menghabiskan kekayaan alam tanpa memikirkan
kebersamaannya dengan seluruh jagat raya.
7.3
Bertanggung Jawab
Sebagai sebagian kecil dari
seluruh sistem ekologis, manusia memang seharusnya bertanggung jawab atas
tindakannya terhadap diri, sesame dan lingkungan hidup. Tanggung jawab dan
kewajiban moral menjadi tema utama moral lingkungan yang sedang kita gumuli.
Moral ini mengingatkan manusia akan pentingnya perlindungan etis terhadap
lingkungan dan menghindari terjadinya perusakan isi lingkungan hidup. Masalah
lingkungan hidup tak terpisahkan dari manusia. Bagaimanakah pemahaman manusia
mengenai alam, lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya? Selain
itu, moral lingkungan hidup dalam dirinya terpaut dengan moral lain, seperti: moral
sosial, moral perusahaan dsb.
Sebagai
kesadaran moral, tanggung jawab bisa dipandang sebagai sumbangan pandangan
Gereja terhadap lingkungan hidup. Tiap tindakan manusia, entah dalam bidang
pertanian, perkebunan, pabrik dan teknologi (bertenaga nuklir) pasti
mempengaruhi keadaan lingkungan hidup. Dalam bidang tenaga nuklir, misalnya,
muncul dua sikap yang cukup sering merugikan lingkungan hidup: (1) pendekatan
fungsional terhadap alam, yang mementingkan keuntungan si pengelola tanpa
penghargaan atau penghormatan terhadap lingkungan hidup sekitar; (2) keyakinan
tak terbatas terhadap kemajuan teknologi. Makhluk hidup lain dan lingkungan
hidup ditundukkan. Manusia, bagaimanapun juga, haruslah belajar untuk
mengontrol kecenderungan diri untuk menguasai dan menundukkan alamdan
lingkungan hidup (P. Paulus VI).
Tanggung
jawab ini bukan hanya menyangkut keadaan dan generasi sekarang, namun mencakup
keadaan dan generasi mendatang. Mengapa kita bertanggung jawab atas generasi
mendatang? Sudah pada tempat dan waktunya kita mendesak kesetia-kawaan
manusiawi sepanjang sejarah; kita termasuk ‘pendosa’ terhadap masa lampau dan
masa depan akan menilai tindakan-tindakan kita dengan segala dampaknya.
Generasi muda juga memiliki kebutuhan ekologis dalam bidang sumber-sumber alam.
Ini berarti manusia dewasa ini musti mempertimbangkan
perencanaan dan tindakanm ereka sekarang tanpa melupakan kehadiran generasi
mendatang.
Dalam hal ini, para ilmuwan
seharusnya menunjukkan apa yang diperlukan oleh semua masyarakat dunia supaya hidup
semua manusia terjamin dan kebutuhannya terpenuhi. Di kawasan tempat tinggal
makhluk hidup (‘biosphere’), ‘orang-orang dewasa’ memelihara sumber-sumber yang
diperlukan untuk keberadaan manusia. Contoh: tiap molekul (partikel terkecil
dari persenyawaan) oksigen berasal dari tetumbuhan, lalu diciutkan dan didaur
ulang oleh organisme-organisme yang memakan waktu 2000 tahun. Tiap molekul air
melewati oragnaisme-organisme yang hidup dan diperbaharui sebagai secara
keseluruhan setiap 22 juta tahun. Jika kita ingin bertahan, maka kita harus
menyadari bahwa sistem kehidupan ini masih berlangsung terus dan menyita waktu
yang tidak sedikit.
Tanggung jawab ekologis
terpenuhi kalau penggunaan sumber alam masih mampu menjamin cadangan untuk
generasi mendatang; kalau sumber alam dipergunakan sebagaimana mestinya (perlu
adanya proses daur ulang dan teknologi baru); kalau penanganan masalah polusi
dilaksanakan secara berkesinambungan. Kedudukan dan peran manusia dalam jagat
raya mesti diperhatikan.
8. Kriteria
Etis Perlindungan Lingkungan
Salvino Leone mencetuskan tiga
kriteria etis:
Pertama, menyangkut langkah awal
dan perlunya kesadaran etis yang jelas tentang masalah yang dihadapi
perlindungan lingkungan hidup, baik mengenai kesadaran setiap individu maupun
perhatian dari pihak politisi administratif.
Kedua, menyangkut tatanan
filosofis-kultural dan terdiri dari pemikiran mendalam tentang makna moral
lingkungan hidup. Dalam hal ini tak perlu disingkirkan refleksi teologis yang
berkenaan dengan masalah alam dan penciptaan. Pandangan-pandangan Gereja
disoroti, khususnya pandangan dari Puas sekarang. Keterlibatan kaum beriman
dalam masalah lingkungan hidup lahir langsung dari iman akan Tuhan Pencipta,
penilaian atas pengaruh dosa asal dan dosa pribadi dan kepastian ditebus oleh
Kristus. Penghormatan terhadap hidup dan keseluruhan pribadi manusia mencakup
penghormatan dan pemeliharaan terhadap makhluk ciptaan, yang dipanggil untuk
mempersatukan diri dengan manusia untuk memuliakan Tuhan”.
Ketiga, perlu ditentukan sejumlah
orientasi normatif yang kemudian dapat diterjemahkan dalam politik lingkungan
hidup yang nyata. Ditekankan pentingnya perlindungan makhluk ciptaan lain; demi
kepentingan generasi sekarang dan masa depan. Penggunaan sumber-sumber alam
yang terbatas musti dipertimbangkan dengan arif. Pembuangan
sampah yang bertanggung jawab sambil mempertimbangkan kemungkinan untuk mendaur
ulang sampah-sampah tertentu. Ditingkatkan permenungan kritis tentang alam
dalam sejarah dan etika; menghidupi suatu kebudayaan baru berkaitan dengan
dunia lingkungan hidup. Yang mendesak adalah program pendidikan tentang
lingkungan hidup baik, bagi generasi sekarang maupun generasi masa depan.
9.
Prinsip-Prinsip Etis
Perlindungan Lingkungan
Dalam
“Ethical Principles for Environmental Protection”, Robert E. Goodin mengajukan
beberapa prinsip pokok yang musti dipertimbangkan dalam dunia pelestarian
lingkungan hidup.
9.1 Utilitarianisme
Prinsip
ortodoks yang masih dianut pada saat pengambilan keputusan umum dan khususnya
menghenai masalah lingkungan adalah ‘Utilitarianisme’ yang disesuaikan dengan
keadaan hidup konkret. Paham ini menekankan bahwa tiap tindakan dinilai
berdasarkan besarnya pembiayaan dan keuntungan diperoleh. Umumnya manusia
cenderung memburu keuntungan sebesar-besarnya. Hidup manusia dianggap baik dan
berbahagia jika kegiatannya menguntungkan.
Setidaknya
Robert E. Goodin mengajukan tiga keberatan umum terhadap pandangan ini. (1)
prinsip utilitarian berpijak pada kecenderungan dan keinginan pribadi yang
mendorong manusia untuk bertindak dengan sikap acuh tak acuh (‘indifferent’)
terhadap orang lain. Yang diandalkan adalah keuntungan pribadi atau kelompk
kecil. (2) prinsip ini mengandaikan keseimbangan nilai-nilai. Dari satu sisi,
ini terkait dengan tindakan manusia untuk membandingkan kecenderungan,
keinginan dan manfaat dari individu yang berbeda. Dalam hal ini, Goodin tidak
meyakini adanya dasar obyektif, kecuali tuntutan-tuntutan etis yang harus
dipenuhi. Dari sisi lain, perlu diingat adanya sejumlah tuntutan konfliktual
dalam keputusan sosial. Bagaimanakah seharusnya mendamaikan tuntutan ekonomis
dengan perlindungan dan pengawetan lingkungan hidup? (3) Prinsip ini tidak
mempan berhadapan dengan pembagian kesejahteraan. Prinsip ini bisa saja
merestui dan menghalalkan perwujudan kesejahteraan penuh bagi seseorang atau
sekelompok manusia, sementara itu pihak lain harus menderita. Contoh: Kasus
penggusuran 1000 keluarga dari daerah tertentu hanya untuk mewujudkan proyek
pembendungan sungai.
Kalau
begitu, penerapan prinsip ini mesti mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan
umum. Yang diutamakan adalah kesejahteraan bersama, manusia dan seluruh jagat
raya; bukan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu!
9.2
Pengawetan
Prinsip
ini memperjuangkan pengawetan dan perlindungan terhadap tumbuhan dan hewan yang
terancam punah, pelestarian lingkungan hidup meminta supaya dunia mencegah
kepunahan sejumlah jenis tanaman atau hewan. Penghancuran kawasan bersejarah
hendaknya dihindari sedapat mungkin. Perusakan global terhadap lingkungan hidup
memang harus dicegah. Umumnya, kemungkinan untuk memilih ‘kebijaksanaan’
terbaik dalam menghadapi masalah lingkungan hidup masih tetap terbuka. Contoh:
lebih baik membuang sampah radio aktif dalam batu karang yang terletak jauh
dari permukaan laut daripada membuang sampah itu sembarangan. Namun, dalam
sejumlah kasus memang tidak ada pilihan lain, kecuali menolak. Misalnya:
langsung ditolak usaha memulai perang nuklir demi keselamatan dan kesejahteraan
lingkungan hidup.
9.3
Membandingkan Kemungkinan Memilih
Prinsip
ini berasaskan pertimbangan untung-ruginya suatu pemilihan. Semula prinsip ini diabadikan dalam dunia ekonomi.
Lambat-laun prinsip ini merembes ke dalam dunia politik. Belakangan ini prinsip
ini diterapkan dalam debat tentang energi yang terkait dengan masalah harga,
keuntungan dan dampak yang muncul dalam suatu pemilihan. Dampak
praktek menurut prinsip perbandingan alternative harus menimbang dimensi untung
dan rugi. Untung-rugi ini ditinjau dari sudut ekonomis dan ekologis.
9.4 Melindungi Kelompok Lemah
Prinsip
lebih memperhatikan jenis atau kelompok tumbuhan atau hewan yang lemah, seperti
anjing laut dan ikan hiu. Penggunaan zat-zat kimia tertentu di tengah lautan
luas dan pembuangan sampah-sampah nuklir seharusnya memperhatikan dampak
sampingan yang muncul dari tindakan itu. Sikap dasar dan tindakan generasi sekarang ini akan sangat mempengaruhi
keadaan generasi mendatang. Dalam hal ini, sikap perlindungan kita terhadap
kelompok lemah menajdi landasan kode dalam etika profesi dan sikap ini
membentuk dasar hubungan-hubungan cinta kasih.
9.5
Menghindari Kerugian
Prinsip ‘menghindari kerugian’
menyangkal adanya simetri antara kerugian dan keuntungan dalam penanganan
lingkungan hidup. Pada hal, keuntungan dan kerugian
saling berdampingan dalam dunia lingkungan hidup. Menghindari kerugian berarti
menghasilkan keuntungan. Menurut prinsip ini adalah lebih buruk menimbulkan
kerugian dari pada gagal menghasilkan keuntungan. Prinsip ini adalah salah satu
komponen yang lebih penting dalam argumen-argumen yang dicetus oleh ekologis untuk melawan
campur tangan sembrono dalam proses alamiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar