Sabtu, 21 Januari 2012

wayang kulit filosofi orang jawa


WAYANG KULIT SEBAGAI FILOSOFI JAWA

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Letak Geografis
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau Jawa memiliki panjang 1100 km dan lebar 120 km. Luasnya kira-kira 132.187 km2. Termasuk Madura, hanya sekitar 7% dari seluruh tanah di Indonesia.
Pulau Jawa merupakan pertemuan dua lempeng besar sehingga memiliki dataran rendah dan tinggi. Cukup banyak gunung berapi yang menyababkan tanah di dataran rendah subur., Suhu rata-rata di dataran rendah berkisar antara 26-27 derajat celcius. Kelembapan udara rata-rata 86 % pada bulan basah dan 73 % pada bulan kering. Pulau Jawa tidak mengenal musim dingin dan musim panas, tetapi ada perbedaan yang jelas antara musim hujan dan musim kering walaupun pada musim kering masih ada hujan.
Pada zaman dahulu, Jawa pernah ditutupi hutan tropis, tetapi karena semakin padatnya penduduk, hutan perlahan-lahan menyusut. sekarang hanya sebagian kecil daerah yang memiliki hutan, yaitu di puncak gunung-gunung.[1]

B.  Panorama Suku
Orang Jawa dianggap sebagai keturunan imigran Melayu yang berasal dari Cina Selatan. Mereka mungkin datang pada tahun 3000 SM. Orang Melayu itu pada mulanya adalah petani. Mereka juga sudah mempunyai bentuk organisasi desa yang tinggi (beradab), mungkin mereka sudah mempunyai kepala desa dan hidup dalam kelompok.

C.  Bahasa - Penyebaran Suku – Ekonomi
Orang yang dapat disebut sebagai orang Jawa adalah orang yang menggunakan ‘bahasa ibu’ dengan bahasa Jawa. Meskipun kesenian wayang berkembang seturut pemakaian bahasa Jawa, kesenian wayang juga berkembang di Bali, Lombok, dan Banjar dengan menggunakan bahasa setempat / lokal.
Orang Jawa membedakan diri menjadi dua golongan yaitu wong cilik dan kaum priyayi. kebanyakan wong cilik yang hidup di lereng pegunungan sebagai petani, sedangkan yang tinggal di tepi pantai sebagian besar adalah nelayan. Golongan kaum priayi adalah para pegawai dan kaum intelektual yang bekerja di pemerintahan. Dan ada kaum yang disebut kaum bangsawan.[2]

D.  Agama
Masuknya berbagai agama di Indonesia juga mempengaruhi perkembangan wayang dari zaman ke zaman. Kepercayaan Kejawen sebagai agama asli orang Jawa pun turut menjadi awal perkembangan wayang, menyusul agama Hindu – Jawa, Islam.


                                                             














BAB II.
SENI WAYANG PURWA

A.  Pengertian wayang[3]
Kesenian wayang adalah salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia khususnya kebudayaan Jawa. Wayang adalah sebuah pertunjukan, karena wayang dipertontonkan atau dipertunjukkan di depan umum. Kata wayang dalam bahasa Jawa berarti bayang-bayang. Cerita yang mengisinya disebut dengan lakon, yang berarti mlaku atau berjalan.menurut alur cerita yang dikisahkan. Ceritanya diambil dari buku Ramayana yang menceritakan tentang Sri Rama dan buku Mahabarata yang berkisah tentang perselisihan antara keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa, atau dari buku-buku Jawa kuno lainnya.
Manusia Jawa sangat suka menggunakan lambang atau simbol. Demikian pula termaksud di dalamnya dengan kesenian wayang itu sendiri.
Beberapa macam wayang yang hinga kini masih dikenal dikalangan masyarakat umum:
1.    Wayang krucil atau klitik: terbuat dari kayu namun tangannya terbuat dari kulit. Manusia tergambar miring, untuk raksasa agak terlihat dari depan sehingga kedua matanya dapat terlihat.
2.    Wayang golek: terbuat dari kayu dan kepala terlepas dari badan, tetapi terhubung dengan tangkai atau gagang sehingga kepala dapat menoleh.
3.    Wayang kulit atau wayang purwa: terbuat dari kulit hewan (sapi atau kambing), adalah wayang yang menggambarkan manusia yang tampak dari salah satu sisi. Bewberapa raksasa agak tampak dari depan.
4.    Wayang gedog: terbuat dari kulit binatang, tidak terlalu banyak perbedaan dengan wayang kulit.
5.    Wayang orang: bukan boneka maupun gambar, melainkan manusia asli, laki-laki atau perempuan yang justru menggambarkan wayang. Manusia berpakaian dan berwajah yang sedapatnya menyerupai tokoh-tokoh wayang, terutama wayang kulit.



B.  Pendekatan Historis tentang Wayang
Kira-kira pada abad V, Indonesia memasuki jaman sejarah, yang dapat dilihat melalui prasasti-prasasti.[4] Pada jaman ini pulau-pulau di Indonesia mulai berkontak dengan pedagang-pedagang asing. Melalui cara yang demikianlah maka terjadi proses interaksi budaya.
Budaya India menjadi sesuatu yang diminati oleh para pemimpin. Pandangan-pandangan politik mempengarui kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa. Menurut Drs. Suroto,[5] pada zaman Neolithicum, ± 1000 SM wayang sudah ada di Indonesia, secara khusus di pulau Jawa. Mereka (manusia pada zaman neolitikum) membentuk suatu boneka yang terbuat dari kulit binatang. Bentuk dari boneka itu menggambarkan tokoh nenek moyang dan dalam pertunjukkannya diusahakan timbul bayang-bayang dan dalam bayang-bayang itu roh nenek moyang akan hadir. Oleh karena itu pertunjukan wayang harus dikakukan pada malam hari, karena pada saat itu roh-roh nenek moyang bergentayangan. Namun, Robert von Heine Geldern dan K.A.H. Hidding menyatakan bahwa wayang sudah dipegelarkan sejak zaman Megaliticum (1500 SM).[6]
Pada zaman kebudayaan Hindu, wayang berkembang atau beralih dari cerita-cerita nenek moyang ke kesusasteraan Hindu seperti kisah Mahabarata dan  Ramayana. Pada zaman inilah kesenian wayang mulai berkembang.[7]
Pada zaman Kerajaan Islam, wayang digunakan oleh para wali untuk penyebaran agama Islam.

C.  Seni Wayang Purwa
Wayang Purwa adalah wayang yang terbuat dari kulit hewan. Biasanya, kulit binatang yang digunakan ialah sapi, kambing atau kerbau. Pergelaran wayang kulit biasanya dilakukan pada waktu malam hari mulai pukul 20.00 sampai dini hari atau 06.00 WIB. Biasanya diadakan pada saat upacara-upacara dalam tradisi Jawa, seperti khitan, nikah, suroan dan lain-lain.[8]

Perabot-perabot yang melengkapi wayang[9]:
1.    Kelir: kain putih/mori yang tebal, di sekelilingnya bewarna hitam atau merah, yang dibentangkan sebagai layar yang menampilkan bayang-bayang wayang.
2.    Gawangan: alat untuk membentangkan kelir. Umumnya tebuat dari kayu jati dengan ukiran atau tanpa ukiran.
3.    Batang pisang atau gedebok: batang tanaman pisang berfungsi untuk menancapkan wayang khususnya wayang kulit. Sedangkan tancapan untuk wayang kulit atau wayang klitik terbuat dari kayu yang diberi lubang untuk meletakkan wayang.
4.    Belencong: lampu minyak yang berfungsi untuk penerangan pada saat pertunjukan, kadang menggunakan lampu petromak dan kini menggunakan lampu listrik, lampu ini terletak di belakang layar.
5.    Kotak: alat untuk menyimpan wayang, pada saat pertunjukan kotak ini diletakkan di samping dalang. Isi wayang dalam kotak ini mencapai 500 buah[10].
6.    Cempala: alat untuk memukul kotak pada lakon tertentu. Ada dua jenis cempala:
a.    Cempala besar: terbuat dari kayu galih asem, dipegang dan dibunyikan oleh tangan kiri dalang.
b.    Cempala kecil:  terbuat dari kuningan atau besi, alat ini dijepit oleh jari kaki dalang.
7.    Keprak (kepyak): terbuat dari lempengan baja, digantung pada lambung kotak, dibunyikan pada saat tertentu.
8.    Gamelan: perangkat instrument, mengiringi pertunjukkan.
9.    Wayang.
10.     Dalang: seorang yang bertugas menyajikan cerita (sutradara).

Tujuh unsur seni dalam seni pewayangan atau pedalangan[11]
1.    Seni drama
Melalui wayang, cerita-cerita kuno dari kitab-kitab Jawa ditampilkan berupa drama.
2.    Seni lukis atau seni rupa
Seni lukis atau seni rupa dapat kita ketahui dari bentuk wayang.
3.    Seni ukir
Wayang yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi atau dari kayu, melalui proses sedemikian rupa dibuat seperti apa yang kita sebut wayang.
4.    Seni sastra
Seni sastra dapat didengar dari bahasa pedalangan.
5.    Seni suara
Seni suara dapat didengarkan melalui penyanyi yang disebut sinden, yang diiringi oleh perpaduan bunyi  gamelan. Begitu juga dengan salah satu peran yang ditampilkan oleh dalang. Dalang, dengan suara ia memperdengarkan suaranya selaras dengan nada gamelan, serta menguasai khususnya tokoh-tokoh wayang.
6.    Seni karawitan
7.    Seni gaya
Seni gaya dapat dilihat dari gerak dan gaya wayang hasil pantulan lampu atau blencong.

D.  Cara Menampilkan
Wayang-wayang (wayang kulit) disusun berjajar sebelah-menyebelah pada batang pisang. Diantara kedua jajaran itu terdapat tempat kosong yang digunakan untuk memainkan wayang tersebut. Dalang adalah seorang yang memainkan wayang itu, ia mampu untuk bernyanyi, berbicara, bercerita, meniru berbagai jenis suara dari berbagai macam suara tokoh yang dimainkan sehingga kisah menjadi lebih hidup.
Hampir setiap bagian pertunjukan wayang terdiri dari tiga bagian yang disebut dengan nama jejeran[12], meliputi :
1. Jejeran pendahuluan
Merupakan permulaan cerita. Misalnya: ada raja yang mempunyai maksud tertentu, hendak mengawinkan anaknya, atau hendak kedatangan musuh, jadi harus diadakan persiapan untuk menghadapi masalah tersebut. Maka di sini ditunjukkan pula rintangan-rintangan yang dihadapi.
2. Jejeran inti
Dalam jejeran ini, ditampilkan adegan-adegan yang istimewa, muncul pahlawan yang akan menyelesaikan masalah. Pahlawan itu biasanya berasal dari keturunan Pandawa, misalnya Harjuna.  Pahlawan itu tidak hanya berperang tetapi juga  harus jujur, hidup murni, sabar dan taat pada setiap petunjuk.
3. Jejeran akhir
Jejeran Inti menampilkan segala bentuk perwujudan tugas yang diemban oleh seorang pahlawan. Semua kesulitan dapat diatasi dan semuanya terkalahkan olehnya. Akhirnya, semua permasalahan ini hilang dan tercapai kemakmuran, ketentraman, keadlian dan kesejahteraan.


BAB III.
NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM WAYANG
           
A.  Dalang
Dalang dalam pewayangan menjadi wakil Tuhan. Wayang kulit di tangan dalang tidak hanya menggambarkan orang tetapi juga karakternya. Dalang seolah menyatu dengan wayangnya. Sebagai alat untuk memperagakan suatu ceritera wayang, fungsi dalang[13] adalah sebagai berikut:
1.    Sebagai seniman  
2.    Komunikator sosial
3.    Juru didik                                      
4.    Pelestari seni budaya
5.    Ahli falsafah dan kerohanian
6.    Juru suluh
7.    Juru dakwah
8.    Juru hibur

B.  Warna wayang
Makna warna wayang kulit[14]
1.    Warna merah, menggambarkan karakter yang keras, kurang sabar, berani dan keangkaramurkaan.
2.    Warna hitam, menggambarkan karakter kebijaksanaan, sentosa, luhur dan bertanggung jawab.
3.    Warna putih, menggambarkan karakter yang bersih dan suci.
4.    Warna prada (emas), menggambarkan karakter yang tenang dan tepa selira atau mawas diri.
5.    Warna biru dan hijau, menggambarkan karakter yang sempit, picik dan tidak bertanggung jawab.

C.  Makna Simbol Kayon[15] dalam Pewayangan
Kata Kayon berarti hidup, lambang bentuk kehidupan alam semesta. Ada beberapa hal yang menyimbolkan keseluruhan hidup, yaitu:
1.    Tanam Tumbuh (Pepohonan), sebagian orang menyebutnya dengan pohon kalpataru, makna: sumber kehidupan, sumber kebahagiaan, sumber keagungan (pohon jenggi), sumber asal mula kejadian (pohon purwaning dumadi), sumber asal dan tujuan hidup (pohon sangkan paran), serta sumber hidup di atas segala-galanya (pohon waringin sungsang).
2.    Gambar binatang dan bermacam unggas, lambang pelbagai macam tingkatan kehidupan di dunia. Sedangkan ular yang melilit di pohon, lambang menyatunya badan jasmani dan rohani.
3.    Tanah, makara (lambang api), kolam di bawah pohon (lambang air) dan sayap yang mengembang (angin) di kanan dan kiri; semuanya melambangkan unsur terjadinya manusia.
4.    Pintu gerbang, lambang pintu masuk ke dalam kebahagiaan abadi, untuk memasukinya harus melalui kedua penjaga sebagai lambang nafsu indrawi.
5.    Pada bagian atas sering digambarkan makara bermata satu, mata ketiga atau mata batin, dan pada puncak gunung terdapat gambar mustika, lambang puncak tujuan hidup.
6.    Awal kehidupan dilambangkan dengan bedol kayon, artinya gunungan wayang diangkat atau dilepaskan dari batang pisang (pementasan). Sedangkan akhir kehidupan dilambangkan dengan tancep kayon,  segala bentuk pertunjukan kehidupan selesai, kayon ditancapkan pada batang pisang.
7.    Dua bentuk gunungan yaitu: gunungan laki-laki dan perempuan. Gunungan laki-laki berbentuk meruncing ke atas, sedangkan gunungan perempuan agak melebar bagian bawahnya.
8.    Ular dan naga, lambang sejatining urip maknanya, kesulitan harus ditempuh untuk mencapai tujuan.
9.    Ayam, lambang suatu tantangan hidup.
10.     Kera, lambang ketangkasan dalam kehidupan yang belum tentu dapat terjaminnya terkabulnya suatu keinginan, namun dapat melambangkan keuletan dalam kehidupan manusia.
11.     Banteng melambangkan watak atau pendirian yang jujur, kuat dan pantang menyerah demi tujuan suci.
12.     Harimau, lambang keindahan, wibawa dan tangguh menghadapi lawan.
13.     Burung, lambang kesenangan dan kepastian untuk hari esok.
14.     Dua raksasa bersayap, lambang nafsu.
15.     Kijang berekor seperti komodo, lambang kemauan hidup tanpa mempertimbangkan segi untung dan rugi atau dengan kata lain, hidup hanya untuk kesenangan.
16.     Bejana, berbentuk bunga teratai di puncak pohon berisikan air suci, lambang air kehidupan dari Sang Pencipta.

BAB IV
REFLEKSI

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Jika ditinjau dari arti filsafatnya “wayang” dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain. Dalam hal ini wayang tidak hanya berarti sebagai bayangan fisik, melainkan pralambang roh dan jiwa yang dikuasai oleh Tuhan.


[1] Franz Magnis-Suseno, Etika jawa, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 9-10.
[2] Franz Magnis-Suseno, Etika jawa, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm.12-13.

[3] Filsafat sana-sini 1. Oleh: I.R. Poedjawijatna. Kanisius:1975, Yogyakarta, hlm 29-30.
[4] Etika jawa frans magnis …. Hlm. 22
[5] Pratiwimba adhiluhung: sejarah dan perkembangan wayang S. Haryanto. Hlm 24. Djambatan1988.
[6] Bayang baying adhiluhung: filsafat, simbolis dan mistik dalam wayang, S. Haryanto.Semarang 1992. Dahara Prize. Hlm 14.
[7] Pratiwimba hlm. 26
[8] ……………………………………………masih dicari sumbernya…..
[9] Masih dicari………………………
[10] Dari mana ya sumbernya………………….
[11] Pratiwimba adhiluhung: sejarah dan perkembangan wayang, hlm. 2-6. Oleh: S. Haryanto : Jakarta Djambatan, 1988.
[12] Filsafat sana-sini 1 oleh I.R. Poedjawijatna…… hlm. 32-33.
[13] ………………………….
[15] Bayang-bayang adhiluhung: Filsafat, simbolis dan Mistik dalam wayang. Oleh S. Haryanto, Dahara Prize, semarang, 1992. Hlm. 30-33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar