Kamis, 15 November 2012


DOSA DAN PERTOBATAN*

B
etapapun kita berusaha untuk bangun, namun kita jatuh juga. Kita  jatuh sama sekali hanya jika kita mengingkari kejatuhan itu yang hanya berarti bahwa kita tidak mau belajar banyak berkenaan dengan diri kita sendiri dan mempunyai pengertian moral yang tidak berkembang (1 Yoh 1: 8). Pengalaman jatuh adalah salah satu pengalaman primordial dari hidup; bagian dari situasi manusia. Pengalaman itu kompleks. Kita membuat komitmen tetapi tidak bertekun, kita berjanji tetapi tidak menepatinya, kita berpikir kita mampu merubah sesuatu dan kita menemukan diri kita tidak berdaya. Kita membutuhkan kasih sayang, kita merajuk dan menjaga jarak dengan diri kita sendiri, kita dipenuhi dengan penderitaan. Kita menolak belas kasihan, kita mendekatkan pikiran dan hati kita setelah kita dilanda kesusahan. Kita bersaing, kita iri hati dan cemburu, kita marah hanya karena sedikit pujian kepada yang lain. Kita agresif secara buta dan merencanakan kejahatan. Kita membenci dan merencanakan pembalasan. Kelemahan, kejahatan, kekerasan dan dosa membuat kita depresi. Semuanya itu tidak hanya mempengaruhi individu kita tetapi menjadikan gap-gap dalam kelompok, komunitas dan kebudayaan. Kita menduga seperti orang Inggris / orang Irlandia, umat Protestan / umat Katolik, perserikat / nasionalis, hitam / putih, laki-laki / perempuan, pekerja / peserikat usaha dagang. Kita berperang dan membunuh tidak hanya karena ambisi kita tetapi karena pengagungan ide: siapakah yang benar, pengikut Yesus, Muhammad, atau Wolfe Tone?
            Mengapa? Ada apakah dengan kita? Sedikit mengherankan bahwa simbolisme dosa adalah salah satu dari kebanyakan simbol yang mampu menembus sejarah manusia dan karenanya banyak mitos-mitos besar dunia yang mencoba mengungkapkannya. Mitos besar dari tradisi Jahudi-Kristen menempatkan apa yang oleh Kardinal Newman sebut “beberapa kekacauan penduduk asli yang besar”, pada suatu kejatuhan asli/dosa. Hal itu dapat dikatakan, mengapa kita lemah dan penuh dosa sekarang ini - bahwa mitos bukan tentang sesuatu yang kemudian tetapi tentang sekarang. Kita tidak hanya berkutat dengan kelemahan kita sendiri: kita mewarisi luka-luka dari perjuangan panjang manusia untuk mengatasi dirinya sendiri dan dengan kemarahan yang menguasainya: kita ikut memikul dengan sabar atas kekalahan orangtua kita dan atas angkatan/generasi yang mati. Dan dalam diri kita masing-masing perjuangan mulai lagi sepenuhnya: ‘perjuangan secara emosional dari manusia tidak akan pernah diselesaikan. Hal yang sama akan terjadi berulang, dengan penderitaan, dengan kebodohan yang sama, seperti serangga, perjuangan secara emosional yang sama dalam kenyataan sehari-hari – mendesak hati, mengendalikan, menghasratkan, pemeliharaan diri, pengluasan kuasa, pencarian kebahagiaan, pencarian pembenaran, pengalaman akan munculnya atau kelahiran menjadi “ada” dan kematian …’ (Saul Bellow, Him with His Foot in His Mouth). Kita mendengar dalam hidup kita sendiri kegaduhan dari kekuatan jahat yang besar – insting, kebutuhan, desakan hati, hasrat, dan lainnya - yang tidak akan membawa kita menjadi manifestasi diri mereka dalam suatu cara beragam yang membingungkan, dalam letupan kekerasan dan dalam kekuatan yang licik. Kita membuat perjalanan hidup kita pada kedewasan yang membingungkan, menyusun atau menentukan kepentingan diri kita yang kompleks terhadap lingkungan sendiri – percumbuan, pembujukan, pelekatan (karena tak dapat berdiri sendiri), kekuatiran, pemisahan, pelarian diri. Keinginan kita mengatakan kepada kita bahwa kepuasan – apapun yang kita cari dengan gelisah - akan datang ketika kita adalah yang pertama, atau yang berbuat terbaik, atau yang mempunyai kekuatan paling baik, atau dengan barang milik diri kita, atau dengan cinta. Kita mendengarkan mereka dan maka berusaha dengan sangat dan melaju. Maka, kita menemukan diri kita terjebak dalam keterbatasan yang merusak dari hasrat yang tergesa-gesa, hanya setengah kesadaran yang ada pada kita, tidak mampu untuk mendengarkan dirikita secara keseluruhan, hanya kekurangsadaran dari kesatuan atau integritas di mana kita sangat dalam berhasrat (‘penyatuan yang tidak mungkin dari lingkungan kehidupan), tanpa kebijaksanaan yang mengetahui apa makna keseluruhan dan di mana adanya sesuatu itu diletakkan.

Kejatuhan Moral Sebagai Alienasi
            Entah apapun alasannya – entah itu kebutuhan atau ketakutan atau hasrat – kita jatuh. Kita melukai yang lain: Kita menanam dalam struktur yang tak adil; kita membawa yang miskin pada kematian. Kita telah hidup dengan kepedihan akibat kejatuhan. Kejatuhan moral adalah jenis alienasi dari diri kita sendiri. Karena kita memiliki idealisme dan kita tidak mampu melaksanakannya. Dalam kejatuhan kita memisahkan dari mereka, dari apayang dapat (dengan perhatian) menyebut diri kita lebih baik. Kita mengalami pemisahan di antara apa yang kita percayai dapat kita buat dan apa yang telah kita buat, antara rencana kita dan tindakan kita, antara kehendak yang sangat dalam dan apa yang kita inginkan oleh hasrat kita. Sehingga kita terkadang bertanya, bagaimana kita telah dapat melakukannya? Pengalaman ini adalah kejatuhan pada level moral. Hal itu seringkali bersumber dari rasa ketidakberdayaan. Namun seseorang mungkin telah sebaliknya sukses dalam hidup dapat terjadi untuk banyak orang suatu keragu-raguan yang menggerogoti. Dengan demikian mereka membutuhkan penyembuhan dan harapan.
            Kita teralienasi dari yang lain karena kita mengalami apa yang disebut kejatuhan moral. Isu dasar dalam kehidupan adalah apakah kita akan terbuka pada yang lain, sekurang-kurangnya meningkatkan rasa hormat, persaudaraan dan partisipatif, ataukah menggunakannya sebagai maksud untuk pada akhirnya kebutuhan sendiri. Mungkin kita tidak meluangkan waktu bahkan melihat itu: kita mungkin tidak pernah bertanya kepada diri kita: apa dasar hidupku? Apakah aku sudah terarah kepada yang lain? Pertanyaan itu mungkin hanya berlalu karena kita menemukan bahwa kita telah tertutup dalam kepentingan sendiri. Banyak dari literatur besar dunia berbicara tentang motivasi, tentang suatu kebohongan demi suatu kepentingan sendiri yang melanggar bahkan tindakan-tindakan baik kita. Tulisan-tulisan mungkin juga menjadi tahapan bahwa kita datang untuk membedakan tanggungjawab atau perhatian kita untuk sesama: tulisan terakhir tentang keadilan dan teologi pembebasan telah membangunkan kita untuk menyatakan bahwa orang miskin ada karena kita kaya, karena seandainya kemiskinan tidak semeja dengan kita, kita selalu ada padanya. Kita tidak ingin mendengarnya terlalu banyak. Hal itu menyebabkan perlu banyak pertobatan. Kita dapat mengatakan bahwa masalahnya adalah ada dalam hati dan perasaan kita. Tradisi biblis mencatat itu ketika ia memberi tekanan pada dosa lebih daripada kedosaan, contoh; pada keadaan hati kita (yang secara simbolis merupakan pusat kedirian dan hasrat kita), merupakan sesuatu yang bagi kita sangat bernilai dan penuh cinta. Hal ini harus dirubah.
            Kita teralienasi dari Allah. Terdapat tradisi di mana pengabaian atau kejatuhan moral tidak memiliki implikasi religius yang penting. Tetapi batas antara mereka merupakan suatu elemen yang sangat krusial dari tradisi Kristen. Jatuh cinta kepada sesama yang lain merupakan jatuh cinta kepada Allah. “Barangsiapa berkata bahwa ia berada di dalam terang, tetapi ia membenci saudaranya, ia berada dalam kegelapan sampai asekarang. Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada dalam terang… (1 Yoh 2: 9-10). Bagi Yohanes, orang yang tidak mengakui Putera atau tidak mengasihi saudaranya, ia berada dalam kegelapan: seseorang tidak akan mengerti siapa Putera atau siapa Allah jika ia terus membenci. Pesan dari bab 25 dari Injil Matius adalah “sebagaimana kamu melakukan pada saudaraku yang paling kecil ini, kamu melakukannya untuk Aku.”Mencintai yang lain berarti mencintai Allah.
            Hal itu bukan berarti bahwa seseorang mencintai Allah dan kemudian ditentukan untuk melakukan yang baik kepada tetangga. Bukan berarti bahwa kita telah diperintah untuk mencintai sesama dan melakukannya di luar cinta Allah. Bukan berarti bahwa cinta Allah adalah alasan untuk mencintai sesama. Terdapat kesatuan yang radikal di antara keduanya. Cinta yang eksplisit kepada sesama merupakan tindakan utama dari cinta Allah: seseorang dapat mencintai Allah yang mana seseorang tak dapat melihat hanya dengan merawat saudara-saudarinya dengan cinta. Tidak mencintai sesama berarti tidak mencintai Allah. Kita menyebutnya sebagai dosa. Dosa adalah bahasa religius. Dosa bukan hanya kejatuhan moral tetapi kejatuhan dalam relasi dengan Allah. Kita telah menjauh dari Bapa yang adalah cinta dan sumber cinta dan yang memberikan cinta-Nya dalam Yesus yang melimpahkan cinta-Nya ke dalam hati kita dengan Roh-Nya dan menunjukkan cinta-Nya dalam dunia. Kita meninggalkan Putera yang membawa misi untuk membebaskan kita dari kepentingan diri sendiri, untuk menaklukkan dosa dunia dan untuk menciptakan kerajaan yang penuh damai dan pertobatan; kita meninggalkan Roh Kudus yang senantiasa menyertai kita dengan cinta di dunia, di mana buah-buahnya adalah cinta, kasih, damai, kepedulian, kemurahan hati, kebaikan, kepercayaan, penguasaan diri .…” (Gal 5: 22-23).
            Kita meninggalkan Gereja. Gereja menjadi sakramen dari komunitas di dunia. Gereja menjadi tempat yang menunjukkan kesatuan, kebebasan, keterbukaan dan kepekaan, suatu komunitas yang dengan kehadirannya akan membawa pertobatan untuk semua. “Dan bukan untuk mereka ini saja aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka, supaya mereka semua menjadi satu…, maka dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17: 20-21). Kesatuan anggota merupakan suatu keadaan dari kepercayaan kita terhadap yang lain dan sampai sedemikian kita telah meninggalkannya dan sedemikian kita telah meninggalkan dunia, Kerajaan. Kita menambah masalah, kita menyumbang dosa di dunia.
Dosa Berat
            Kita semua telah jatuh. Tetapi terdapat kesepakatan: terdapat beberapa dosa yang lebih mengalienasi dari yang lain dan lebih merusak kesatuan. Yang lebih buruk secara manusiawi, lebih buruk secara religius: lebih lagi, seseorang menyakiti hati saudaranya laki-laki atau perempuan. Seseorang yang melupakan Allah Tritunggal, lebih besar dosanya. Bagaimana seseorang dapat mengukur dosa moral? Dalam pikiran seseorang terdapat dua tiang pengukur: apa yang dilakukan dan bagaimana, mengapa dilakukan, dan dengan komitmen apa hal itu dilakukan. Hal itu selalu diterima karena penilaian tentang dosa moral tergantung atas tingkatan apakah seseorang itu setia atau tidak dalam tindakan. Hanya orang yang terlibat yang jatuh dalam moral. Tentang hal itu kita dapat mengatakannya sebagai “dosa”. Maka dosa itu tidak menjadikan rasa untuk mengatakan bahwa suatu jenis tindakan konkret – misalnya mencuri uang 50 Poundsterling – adalah suatu dosa moral yang serius atau berat; jenis tindakan bukanlah dosa. Kita telah mencatat dalam bab 6 bahwa di sana terdapat suatu perbedaan “kedalaman” tindakan. Beberapa dari tindakan itu adalah tindakan yang tampak: saya mengakui pada seorang pribadi yang suatu hari dalam keadaan baik dan pada saat berikutnya dingin; saya tidak memperhatikan dengan lebih serius satu cara yang lainnya. Saya tidak membenamkan diri saya di dalamnya dengan berlebihan. Terdapat tindakan-tindakan yang lain di mana saya mungkin dikira telah membenamkan diri terlalu dalam dan di mana dapat dikatakan telah berarti banyak untukku. Mereka adalah tindakan yang dapat dikatakan datang dari pusat hidupku, dari tingkat kedalaman yang saya sebagai person/pribadi. Pernyataan sederhana seperti “saya bersedia” dalam sebuah upacara perkawinan dapat dianggap memiliki arti yang serupa dengan hal itu.
            Jika terdapat kesalahan moral yang serius di sana berarti terdapat suatu penolakan yang serius dalam hubungan kita dengan Allah: tradisi kita mengatakan bahwa hal itu dapat menjadi sangat serius sebagai sesuatu yang rusak. Saya berpikir, kita semua memiliki kemungkinan itu. Hal itu adalah bagian dari interpretasi tradisi kita yang menandai kehidupan kita di dunia. Kita mengatakan dalam bab 2 bahwa untuk tradisi Jahudi-Kristiani, tradisi agama adalah moral dan moralitas berhubungan dengan agama. Hal itu tidak berarti bahwa Allah membuat perintah-perintah dan larangan-larangan dan ancaman-ancaman berupa hukuman. Jika siapapun dapat membuat moralitas, kita telah membuatnya. Hal itu adalah perintah manusia: hal itu muncul secara spontan dalam hidup: dari diri kita sendiri kita menyadari keharusan untuk hidup dengan yang lain dalam komunitas yang menghormati dan menumbuhkan kesatuan. Tetapi orang-orang Kristen mengetahui bahwa moralitas adalah lebih daripada sekedar moralitas. Keinginan untuk hidup benar secara moral dan mencintai adalah keinginan yang tak dapat dielakkan untuk Seseorang yang adalah Pokok Kebenaran dan Cinta; tindakan di dalam dunia untuk salah seorang saudara laki-laki atau perempuan menyatukan seseorang dengan Allah yang adalah tujuan dari Kerajaan penuh keadilan dan damai.
            Dalam kekristenan, lawan dari kata tidak bermoral atau immoral disebut dosa. Dosa adalah suatu gangguan atau kegagalan secara duniawi dalam relasi seseorang dengan sesamanya manusia. Tetapi kegagalan manusia untuk hidup dalam kebenaran dan cinta dengan yang lain, yang menjadikan yang lain sebagai pribadi, adalah dalam efek dan apakah seseorang menyatakan untuk itu atau tidak, juga suatu kegagalan menjadi terbuka kepada Allah – sebagaimana kamu tidak melakukan untuk salah seorang saudaraku yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Mat 25: 45). Dosa menandai dimensi religius dari kejatuhan moral. Tidak ada dosa yang lain, tidak ada daftar dosa emanasi dari Allah. Kita tidak harus kembali pada suatu perbedaan ide atau gagasan tentang moralitas: Allah tidak membuat dosa. Tidak ada misteri apapun berkenaan dengan dosa: beberapa dan setiap aktivitas yang dehumanis memenuhi syarat untuknya. Orang kadangkala bertanya dalam ketakutannya “macam apakah dosa itu?” Jika dosa merupakan suatu perlawanan terbuka pada yang lain dan melawan kesatuan itulah dosa: tidak terdapat garis atau batas rahasia dosa dimanapun, di mana hanya klerus yang dapat menerimanya. Dosa bukan suatu pertanyaan lebih lanjut dari Allah yang menyebabkan suatu tugas. Dosa adalah suatu pertanyaan pada akar kemanusiaan, tentang apakah kita akan mendengarkan panggilan untuk seluruh hidup manusia dengan yang lain: jika demikian, kita akan masuk dalam kesatuan dengan Tuhan dan dalam kepaduan dengan tujuan-Nya.
            Tradisi Gereja kita berpegang bahwa kegagalan dalam dunia kita dapat menjadi begitu kejam dengan maksud memiliki implikasi sebuah pelanggaran atau pemutusan hubungan dengan Allah. Apa yang akan merupakan kerusakan penting, kita tidak tahu. Kita berbicara perihal sebuah tindakan yang meliputi kerusakan akhir bagi individu, yang memutuskan nasib seseorang, bahwa semua yang merintangi apa yang direncanakan dan ditujukan oleh Allah bagi anak-anak-Nya. Demikianlah sebuah tindakan hanya dapat menjadi sebuah tindakan kejahatan dari kepentingan yang paling dalam – sangat dalam dan keputusan bebas untuk tingkah yang buruk – dan, sangat mirip sebuah pilihan yang berlangsung terus seperti sebuah watak melebihi waktu. Kita seharusnya berbicara tentang tanggung jawab dan kemudian perihal seseorang yang diikatkan pada kesalahan dalam kedalaman hati, orang yang terikat dengan berbicara selalu setuju atau mengangguk. (Walaupun hal ini tidak berarti keputusan formal untuk menginginkan kesalahan dalam dirinya sendiri tetapi hanya untuk melakukan apa yang melibatkan kesalahan). Ini berarti bahwa seseorang tidak dapat melakukan dosa yang berat sekali oleh sebab suatu kecelakaan. Hal ini bukanlah sesuatu yang terjadi kepada seseorang: penekanan adalah atas semua pilihan dan atas pilihan yang dalam pada saat itu. Kita mengatakan sejak awal bahwa seseorang menentukan dirinya sendiri, membangun pikiran seseorang, menarik hati seseorang, menentukan nilai seseorang: menciptakan moral kepribadian atau karakter seseorang. Tidaklah mudah untuk merubah semua itu, untuk merubah hati seseorang pada pusatnya, untuk mengembalikan semua yang telah dilakukan. Oleh sebab itu, sifat dasar dari segala sesuatu yang seorang tidak dapat masuk dan atau ikut serta dalam dosa yang sangat berat: seseorang yang rasanya atau kelihatannya menjadi tidak masuk ke kedalamannya atau tidak meninggalkannya. Keadaan-keadaan yang secara keseluruhan apakah seseorang menjadi baik secara dasariah atau pada dasarnya baik dan menurun pada yang lainnya – sekalipun dia tidak dapat secara penuh untuk mendengar tuntutan kebaikan dan malahan tidak menginginkan untuk mengetahui perihal dalam perkara-perkara lebih sederhana; atau secara dasariah begitu terpikat dalam dirinya, begitu buruk, bahwa tidak seorangpun atau sesuatupun bukan masalah yang merugikan pada sesama – telah diijinkan untuk berpegang pada jalan rencana-rencananya dan keinginan-keinginannya. Para teolog kadang-kadang mengesampingkan ini dengan ucapan yang mengatakan perkara-perkara adalah pilihan fundamental seseorang.
Penekanannya kemudian, kamu dapat mengatakan, tidak begitu banyak pada apa yang dikerjakan seperti pada cara itu dipegang atau dibenarkan oleh seseorang. Dengan jelas, ada tindakan-tindakan dangkal dalam kehidupan kita setengah gagasan terungkap, setengah menyetujui. Ada lebih kecil kejatuhan-kejatuhan - kepicikan-kepicikan, kecurangan ketidaksetiaan, kecemburuan atau iri hati, ketidakjujuran, kesakitan – yang tidak membawa kita lebih serius. Kita mendasarkan pada patokan tradisional mereka perihal dosa-dosa ringan. Ini kejatuhan dalam hubungan dengan Allah, sesama dan diri sendiri, penghambat-penghambat pada komunitas, masalah-masalah pada pertumbuhan Kerajaan. Tetapi mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengajak kita dalam inti pribadi kita, bukan pilihan-pilihan radikal yang kita inginkan untuk terjadi. Mereka cukup dangkal mengeluarkan komentar-komentar sepintas lalu atas kehidupan daripada pernyataan-pernyataan kehidupan. Mereka mengharmonisasi dengan keadaan umum kebaikan dan hubungan-hubungan yang benar dengan sesama. Di sisi lain Karl Rahner memiliki kata-kata yang menarik bahwa apa yang kelihatan seperti dosa-dosa ringan boleh jadi “adalah gema yang jauh dan kilat pada musim panas dari sebuah egoisme dasar yang berakhir pada kematian sesungguhnya” – mungkin terdapat petunjuk-petunjuk akan penurunan yang dalam di tempat lain dalam sikap moral kita.[1]
Tradisi membutuhkan tiga kondisi bagi dosa-dosa berat – persoalan yang amat penting, penuh pengetahuan  dan penuh persetujuan. Dalam praktik ini direduksikan pada masing-masing urusan yang amat penting: sebuah tingkah laku yang agak pasti – jumlah (ringkas/kesimpulan) yang pasti dalam keadaan keadilan – dinyatakan untuk sebagai dosa yang sangat berat. Lebih lanjut kita datang untuk menghargai bahwa perkara itu bukan dosa, hanya orang-orang yang lebih menekankan telah menggabungkan dua unsur sebagai sisi lainnya. Tekanan sekarang ditempatkan pada kedalaman yang mana orang berbuat bagi dirinya kesalahan moral – sesuatu yang datang dari pemahaman psikologis yang lebih baik bagaimana kita bertindak – tekanan pada keburukan, dengan cara lain berbicara tentang pengetahuan lengkap dan persetujuan. Kita lebih siap untuk mengakui bahwa kenyataan yang mana seseorang menyelenggarakan jenis tindakan yang jelas bukanlah dalam dirinya sendiri dibuktikan bahwa dia telah melakukan dosa besar. Tidak seorangpun dapat mengetahui dengan pasti bilamana tak seorang pun melakukan sebuah dosa besar. Atau tidak dapat kita tahu itu dengan tepat perihal diri kita sendiri. Paling baik kita dapat mempunyai beberapa macam anggapan. Kita mempunyai anggapan itu untuk menjaga dalam pikiran batas-batas kebebasan: kita tidak tahu mengapa seseorang menyelenggarakan tindakan partikular, yang membawa dia padanya, dengan apa pilihan kebebasan ditempatkan. (ingat kembali St. Teresia bahwa dia meyangka sebanyak itu keadilan Allah dari belaskasihannya).
Tradisi Gereja kita menggolongkan dosa sebagai kematian. Tetapi Gereja tidak dapat membuat kriteria tingkah laku salah - Gereja tidak membuat moralitas - sekalipun ia dapat membuatnya itu sungguh keliru. Untuk dapat mengatakan bahwa tingkah laku itu pasti merupakan dosa berat, haruslah ada suatu anggapan bahwa tingkah laku itu adalah jenis tingkah laku yang mendorong kita untuk berbuat jahat atas cara yang sangat radikal - yang berakar pada kepentingan diri sendiri dan membuat ter-alienasi dari sesama manusia. Kiranya tepat bagi Gereja untuk mengajarkan dan mengungkapkan pandangannya atas jenis tingkah laku yang menunjuk pada kejatuhan dalam kategori ini. Dengan demikian masalah atau obyek dari suatu tindakan tetap penting. Orang tentu saja dapat tidak setuju mengenai apapun atau bukan bagian khas suatu tingkah laku yang mungkin meliputi manusia dalam hal kejahatan atas cara radikal ini: tentang ini mungkin ada perbedaan persepsi dari masa ke masa, dari budaya ke budaya; kita baru saja membuat poin yaitu faktor-faktor seperti latarbelakang, status, seks, dan lainnya itu mempengaruhi persepsi kita akan moralitas dan bahwa ada pergeseran tekanan dalam taksiran dari suatu kegagalan moral. Tetapi apapun yang terdapat dalam daftar khas dosa, pada akhirnya komitmen atas untuk kesalahan berasal dari pusat kemanusiaan, dari sumber terdalam pilihan manusia.
Besarnya implikasi dari dosa berat telah mengarahkan para teolog Katolik Roma untuk memunculkan pertanyaan mengenai suatu kemungkinan klasifikasi dosa sebagai kematian. Pertanyaannya adalah apapun yang tampak diselubungi tindakan tidak bermoral, katakanlah seks sebelum menikah atau kontrasepsi, dianggap kematian. (tidak mudah mengatakan secara umum tentang hal ini sebab tidak ada pengetahuan yang baku tindakan tunggal membawa dalam kehidupan individual apapun.) hal itu telah menuntun pada suatu percobaan menarik untuk mengklasifikasikan kembali dosa. Usulan yang muncul adalah bahwa banyak tipe-tipe tindakan yang secara tradisional disebut ‘kematian’ mesti ditempatkan dalam suatu kategori baru dari dosa ‘serius’. Hal ini disetujui bahwa tipe-tipe itu adalah kekeliruan-kekeliruan yang bisa dipertimbangkan yang mempengaruhi hubungan kita dengan yang sesama dan dengan Tuhan. Tetapi kekeliruan-kekeliruan itu tidak dianggap membawa konsekuensi dosa berat. Saran yang diberikan adalah bahwa perhatian Gereja untuk kehidupan individual dan komunitas telah menuntunnya untuk menuntut bahwa kelakuan dari jenis ini disubyekkan kepada ritus rekonsiliasinya. Perhatian yang jelas menyeluruh itu - untuk mengganti ‘kematian’ pada apa yang secara bersama lebih dalam dan lebih tetap bertahan, suatu kondisi yang lebih langka daripada klasifikasi dosa akan menghantar kita untuk percaya. Seseorang yang ingin mengetahui konsolasi dari kodrat manusia mungkin sebagaimana kita menemukan kesulitannya untuk memberi kebaikan diri kita sendiri secara tak tergantikan - sering juga terjadi bahwa ada sejumlah keegoisan bahkan dalam tindakan baik kita –dapat juga terjadi bahwa ada cinta yang tertinggal dari kebaikan kita ketika kita melakukan kesalahan berat. Mungkin hal ini yang menyelamatkan kita dari dosa berat.
Dosa berat bukanlah suatu keadaan definitif. Suatu pilihan fundamental selalu bisa diperbaharui: orang tidak secara total membereskan diri sendiri dalam satu pilihan. Tetapi jika hal itu menjadi definitif - jika ter-alienasi sama sekali dari kemanusiaan kita yang menjadikan keputusan bebas secara menyeluruh dari kehidupan temporal kita - itu, tradisi kita menegaskan, akan berakibat dalam pemisahan definitif dari Tuhan. Hal itu telah mewarnai cara pembawaan itu - api neraka, dan lain sebagainya. Akan tetapi inti masalahnya adalah bahwa kita dapat memilih dalam seluruh keputusan hidup kita untuk terpisah dari Tuhan. Entahlah manusia melakukan demikian atau telah melakukan demikian, kita tidak tahu. Kapan dan bagaimana – macam kehidupan seperti apa persisnya - hal itu dilakukan, kita tidak tahu sama sekali. Bahwasannya ‘kematian dalam dosa berat’ meliputi apa secara jelas sangat sulit untuk ditentukan.
Apa yang tradisi katakan adalah bahwa kehidupan dihidupi di atas kemungkinan dari jenis kegagalan terakhir ini. Akhirnya, jika kita dipisahkan dari Tuhan hal itu terjadi karena kita memilihnya sebagai pernyataan hidup kita. Kebebasan pribadi manusia untuk membereskan darinya adalah kebesarannya dan misteri. Tak seorang pun dapat membuat kita mencintai atau menghargai sesuatu atau seseorang, bahkan Tuhan pun tidak: ini adalah hak kita yang paling personal dan berharga; hal ini bagi kita untuk memutuskan ingin menjadi siapa kita, di mana kita menempatkan hati kita, seperti apa nilai kita. Tidak juga Tuhan membuat kita mencintai kebaikan, mencintai Dia. Kebesaran luar biasa kita adalah ketika kita bebas dan ketika kita berkehendak untuk membuat pilihan hidup. Tafsiran Kristiani ketika kebebasan dengan menghargai untuk pilihan kebaikan moral adalah dalam kebebasan akhir dengan menghormati sesuatu yang lebih besar - kebebasan menjawab pemberian diri Tuhan. Kita tidak dapat memilih mencintai Tuhan secara langsung: kita hanya dapat memilihnya ’dalam bagian kecil dan potongan-potongan setiap hari’; itu sungguh merupakan usaha kita membangun surga kita -‘sebagaimana engkau melakukannya ini untuk orang ….’ Seluruh waktu kita mengambil sikap pendirian kita terhadap moral baik (terhadap keterbukaan kepada orang lain atau terhadap kepentingan diri sendiri), kita memutuskan mau menjadi orang seperti apa kita, kita membuat pilihan hidup kita dan di dalamnya kita menentukan keselamatan atau kematian kita. Jika ada penghakiman kita menghakimi diri kita sendiri. (Kita kembali lagi di sini pada pokok tentang Tuhan-moralitas-model keselamatan yang kita sebutkan dalam bab 2).

Rekonsiliasi

            Terlalu banyak perhatian pada akibat dari efek kekacauan dosa yang mematikan dapat membelokkan kita dari fakta sehari-hari, setidaknya kita berselisih dengan yang lain, yang menumbuhkan rasa saling tidak percaya daripada membuat komunitas, bahwa kita mengalami rintangan-rintangan untuk mencintai Tuhan di dunia ini. Kadang sungguh tidak ada tingkatan dosa manusia. Apa yang hendak kita lakukan dengan kekerasan hati kita yang merusak? –sebab aku tidak melakukan yang baik yang aku kehendaki, tetapi yang jahat yang tidak kukehendaki yang kulakukan…. Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? (Rm 7: 19,24). Hal ini menunjukkan kepadaku suatu hal dasar manusia dan tangis orang Kristiani. Itulah kondisi manusia, suatu fakta yang menyedihkan yang harus dihadapi oleh setiap filsafat, dan hal itu adalah sesuatu di dalam cahaya khusus dari umat Kristiani yang dibicarakan yaitu tentang dosa, dosa dunia, dari perjuangan Kristus untuk menguasai dosa di antara kita, kemudian mengikatnya ke dalam struktur yang kita buat. Kita berjuang dalam mengusahakan kebutuhan untuk menerima dan menyembuhkan, suatu rekonsiliasi dengan yang lain, dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dan dengan lingkungan kita.
            Inti dari ajaran Kristiani adalah bahwa kita dapat mengharapkan pengampunan – dan kemudian hal tesebut menjadi sesuatu yang dinamis dalam kehidupan kita. Kita mungkin akan mengalami kesulitan untuk mengampuni diri kita sendiri. Orang lain mungkin kesulitan untuk mengampuni kita. Sejarah mungkin tak akan mengampuni kita. Kita mungkin tidak bisa kembali kepada kejahatan yang pernah kita lakukan. Tetapi pengalaman kita membuktikan bahwa pribadi yang kita hormati sebagai asal segala realitas, yaitu Tuhan, telah mengampuni. Kita barangkali hidup dalam tragedi yang telah kita sebabkan dan hal itu merupakan bagian dari rasa sakit kita. Kita hanya dapat mempercayakannya kepada Tuhan. Kita dapat berharap bahwa pemeliharaan Tuhan selalu dekat dengan kita dan untuk situasi dari perbuatan yang tidak kita kehendaki (sebagaimana kita berharap kepadaNya ketika usaha-usaha terbaik kita untuk kebenaran dan kebaikan dihalangi oleh orang lain). Hal itu bukanlah aneka macam keterangan yang meringankan; mengambil perbuatan-perbuatan jahat kita dalam konteks itu bukanlah suatu yang mudah untuk melupakan mereka; mereka tidak akan segera dihanyutkan dalam pengaruh mereka pada yang lain. Tetapi kita memiliki situasi istimewa untuk semua pikiran yang melebihi apa yang dapat kita lihat. Kita berkata bahwa Tuhan dapat membawa kebaikan keluar dari kejahatan. Jika kita melihat dari sisi lain, semua itu hanyalah kegelapan belaka: kita tidak akan pernah bisa memecahkan misteri inter-relasi antara tiga gagasan –Tuhan, kebebasan, dan kejahatan.
            Tetapi kita tahu bahwa kita dapat mengharapkan pengampunan. Kita mengetahui semua itu di dalam Yesus Kristus: di dalam Dia semua itu menjadi tampak (1Yoh 7-9; 1Yoh 3:16; Yoh 3:16). Ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa wanita yang tertangkap ketika berzinah, dan meletakkannya di tengah-tengah mereka dan berkata kepada-Nya …” Sekarang, Hukum Musa memerintahkan kami untuk melemparinya dengan batu. Apa pendapatmu tentang orang ini?” Hukum Suci menyatakan hal itu. Adakah hukum keadilan yang ingin kau katakan untuk dilakukan: Adakah sesuatu untuk menjadi hukuman. Tetapi Yesus menunjukkan suatu logika yang berbeda: ‘Siapa yang tak berdosa di antara kamu hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu’. Dapatkah kita memberikan suatu hukum keadilan ketika kita dipenuhi dosa. Ada suatu logika yang ditutup kembali tentang hukuman. Akan tetapi ada perspektif lain yang tidak ditetapkan pada masa lampau, tetapi yang kreatif, inovatif, dan mau ambil-resiko (beresiko). Hal itu menjadi wajah untuk inisiatif baru. Seorang wanita yang melakukan zinah datang untuk sebuah kematian –jika dalam peraturan orang Yahudi. Tetapi Yesus telah membuka pandangan baru, kemungkinan, suatu hidup baru baginya.
            Ketika kita menempatkan diri kita di hadapan Tuhan dalam dosa kita –dan hal itu merupakan sesuatu yang sangat penting dan menembus pengalaman bahwa Gereja kita bersifat sakramental dalam ritus- apa yang kita dengar terutama adalah sungguh kabar baik, suatu kisah kelahiran dan pengampunan Tuhan yang dalam sejarah tampak dalam Kristus. Kita dimasukkan dalam kisah tersebut. Pengalaman akan membantu penyembuhan kita: Jika Tuhan dapat mengampuni kita, dapatkah kita tidak paham dan tidak punya belaskasihan di dalam kelemahan kita sendiri, menjadi lemah-lembut pada diri sendiri. (Semua itu tentu tidak cukup; kita akan segera mengatakan bahwa doa dan ritus sakramental tidak akan memecahkan segala sesuatu, kita butuh pengalaman manusia dari bantuan dan nasihat –pemberian dari Roh Kudus [Rm 12], sama-sama rahmat dari Tuhan). Tetapi pengalaman dari pengampunan selalu menjadi sebuah tantangan. Hal tersebut berhadapan dengan logika yang menggelisahkan dari diri orang yang menjadi sumber dan penopang seluruh kehidupan. Itu adalah suatu pandangan dari sebuah jalan baru: Kita tidak membenci orang yang membenci kita, atau bahkan orang yang telah menyalahkan kita atau orang yang sebelumnya menentang kita, atau iri kepada orang yang lebih baik dan gembira. “tetapi aku berkata kepadamu, cintailah musuhmu dan doakanlah orang yang menganiaya kamu, sehingga kamu menjadi anak-anak Bapamu yang ada di surga; Dia memberikan sinar matahari kepada yang jahat dan yang baik, dan mengirim hujan kepada yang benar dan yang tidak benar. Maka, jika kamu mencintai orang yang mencintai kamu…” (Mat 5: 43 dst.).
Kekristenan mengatakan bahwa dalam kegelapan kita ada harapan dan terang. Di bumi kita ada belas kasih dan cinta. Simbol yang berlebihan dalam kehidupan kristiani kita adalah sang juru selamat. Kita telah menerima kasih: ada harapan bahwa kita dapat menunjukkan belas kasih. Sesuatu yang menjadi tantangan untuk menggerakan hati dan memungkinkan dengan pengalaman mengampuni sebagai usaha untuk membebaskan diri dari serangan-serangan binatang yang tinggal dalam diri kita, dasar keadilan, kecerdikan membalas dendam, kekerasan yang naik atau turun secara terus menerus yang timbul dari kelemahan. Pengalaman akan belaskasih bukanlah pilihan yang lemah. Kamu telah diampuni oleh karena itu mengampuni: adalah dinamik. Hal itu usaha bertanggungjawab. Itu memiliki efek dalam dunia, dalam tindakan untuk mengampuni, damai dan rekonsiliasi.
Kemudian saya menunjuk pada rekonsiliasi yang tidak hanya saya pikirkan pada upacara sakramental saja: sakramen-sakramen sebagian besar tidak selalu signifikan dan berhasil bagi kita saat: rahmat Tuhan adalah kemurahan yang menyebar di dunia dan tidak akan dibatasi. Apa yang tampak sebenarnya adalah beberapa kesadaran keterbatasan manusia dan kelemahan moral merupakan bagian dari kondisi manusia yang otentaik dan beberapa merasa bahwa sebagai pendosa sebelum Tuhan dan lainnya adalah bagian dari kehidupan kristiani. Itu menjadi disposisi yang tetap dengan kita. itu akan menjadi sumber dari penurunan kerendahan hati tetapi untuk berterima kasih; mengapa kehidupan dapat menjadi ekaristi. (Itu merupakan belaskasihan yang semuanya kita dapatkan sehingga menyulitkan untuk mengakui kegagalan: satu keheranan kegembiraan ada dalam kekristenan, itu rupanya memungkinkan untuk mengakui kegagalan. Beberapa tahun yang lalu uskup-uskup dari Brazil meminta pengampunan untuk dosa-dosa dan kekurangan gereja dan itu telah menggemakan pengaruh).
            Upacara sakramental menawarkan kemungkinan-kemungkinan istimewa: itu dapat menjadi nilai yang tinggi. Itu diberikan bagi kita secara total, berharga, pengalaman tubuh-jiwa mendengar dan mempelajari pengampunan kasih Tuhan (kamu tahu bagaimana kamu ingin menjadi sehat, merasakan, ketika seseorang menerima kamu kembali). Atau hal itu akan dilakukan. Allah Bapa mengasihani melalui kematian dan kebangkitan Putra-Nya yang mendamaikan dunia dengan diri-Nya dan mengirim Roh Kudus di antara kita demi pengampunan dosa-dosa – ini adalah kabar sukacita yang para imam nyatakan dalam setiap pengakuan. Sayangnya upacara pengakuan yang telah berlalu banyak peristiwa kecil, sebuah tempat gelap yang menakutkan. Telah ada perkembangan tetapi saya pikir itu disepakati di mana-mana bahwa penyatuan kembali sakramen sukses paling tidak di wilayah atau tempat ini. Tetapi yang mengagumkan adalah kemungkinan dibolehkannya untuk berhadapan dan menyatukan jalan yang merupakan keotentikan manusia dan ke dalam realitas kristen pada keberhasilan kita.
            Satu kemungkinan yang ditimbulkan adalah aspek komunal dari rekonsiliasi. Itu lebih signifikan. Rekonsiliasi itu mengingatkan kita bahwa dosa bukanlah sebuah peristiwa privat antara kita sendiri dan Tuhan dan bahwa dunia bukanlah hanya sebuah panggung, tempat kita menentukan keselamatan personal kita. Kita berdosa terhadap orang lain dan bersama, sebagai kelompok-kelompok kecil, golongan dan budaya, kita berdosa terhadap orang yang kita anggap sebagai saingan atau orang luar. Kita bersama adalah bagian dari macam-macam manusia yang penuh dosa, dari dosa dunia. Itu merupakan kebaikan bersama sebagai manusia kita mengakui itu dan menerima pengampunan. Pengakuan secara komunal terhadap dosa akan membuat kerendahan hati – “membiarkannya yang tanpa dosa di antara kamu .…” Penerimaan bersama terhadap belas kasih tanda baru awal dengan yang satu sama lain. Perayaan bersama dapat memberikan kita harapan baru bagi diri kita dan bagi dunia kita, dapat membangkitkan lagi dalam diri kita sebuah keyakinan yang menyebabkan kerajaan surga. Harapan pada Allah seperti kita nyatakan dan alami ketaatannya dan kasih – sungguh lama, sungguh baru – bahwa kita akan mengangkat mata kita dari pengalaman ini keseluruh kehancuran, bahwa kita akan melakukan sendiri untuk menciptakan komunitas yang dekat dengan kita memiliki pengenalan kegetiran kita, dengan ini kita jauh dari penderitaan, kerakusan kita, dan bahkan dengan seluruh ciptaan yang telah menjadi korban dari kearogansian dan kedunguan kita. Gereja bukanlah perkumpulan sempurna yang bangga akan kebaikan, tidak toleran pada akhir pekan. Itu adalah komunitas pengampunan yang akan mengambil pekerjaan atas pengampunan, damai dan rekonsiliasi.


'


* diterjemahkan dari Vincent MacNamara, Love, Law and Christian Life: Basic Attitudes of Christian Morality (Wilmington, Delaware: Michael Glazier Inc., 1988), hlm. 172-184.
[1] K. Rahner, Theological Investigations, v. 6, hlm. 226.