Sabtu, 21 Januari 2012

konsili nicea


BAB I
PANDAHULUAN

1.      Pengantar

2.      Pengertian Konsili
            Istilah konsili sejajar dengan kata sinode, berasal dari bahasa yunani suvnodoj terdiri dari dua kata suvn yang berarti “bersama” dan odoj yang berarti “jalan” atau “perjalanan”. maka arti kata itu adalah kebersamaan dalam perjalanan. Sedangkan dalam bahasa latin yakni  concilium. Kata tersebut berarti rapat, entah itu rapat profane ataupun rapat keagamaan, hanya dikemudian hari kata tersebut hanya terbatas pada konsili-konsili yang berkaitan dengan Gereja.[1]

3.      Konsili Ekumemis
            Diantara konsili-konsili gereja ada yang disebut konsili ekumenis. Konsili Ekumenis berasal dari dua kata yaitu kansili dan ekumenis. kata ekumenis dalam bahasa yunani yang berarti “dihuni”.  Kata ekuminis diperluas artinya menjadi “terkait dengan dunia yang dihuni (beradab)”. Gereja kristiani mengadopsi istilah tersebut untuk menyebut siding-sidang yang mewakili gereja semesta.[2]
      Pada awalnya ada tujuh Konsili Ekumenis yang mempunyai kedudukan istimewa dalam tradisi kristiani dan diakui Gereja Timur dan Barat yang diadakan sebelum terjadi skisma dua gereja pada abad II. Konsili tersebut antara lain: [3]
1.      Konsili Nicea I tahun 325,
2.      Konsili Konstantinopel I tahun 381,
3.      Konsili Efesus tahun 431,
4.      Konsili Kalsedon tahun 451,
5.      Konsili Konstantinopel II tahun 553,
6.      Konsili Konstantinopel III tahun 680-681,
7.      Konsili Nicea II tahun 787.

































BAB II
KONSILI NICEA 1

1.      Latar Belakang
Pada tahun 324, Konstantinus menguasai pemerintahan di bagian timur kerajaan. Ia telah berhasil mengalahkan Licinius yang pada waktu itu menjadi kaisar di timur. Konstantinus pun akhirnya menjadi penguasa tunggal di seluruh wilayah kekaisaran Romawi. Sikapnya begitu moderat terhadap kehidupan religius rakyatnya, terkhusus kepada orang Kristen. Kemenangan yang ia peroleh membuat dirinya simpati dan terlibat dalam kehidupan Gereja, meskipun ia belum menjadi seorang Kristen
Pada masa pemerintahan Konstantinus di timur, munculah pertentangan di dalam diri Gereja. Pertentangan ini muncul karena adanya pandangan baru tentang Logos. Pandangan itu dikemukakan oleh Arius, seorang imam dari Alexandria. Arius lahir di Libya, pada tahun ± 250. Ia belajar teologi di sekolah Lucianus Antiokhia.[4]

2.      Arianisme
            Ajaran Arius yang menggugat keallahan Kristus itu, mendapat kecaman dari pihak Gereja setempat. Arius mengatakan “ subordination of the son to The Father”[5], ia menyangkal bahwa Yesus itu Sederajat dengan Bapa dan ia mengatakan. Ia juga mengatakan bahwa “there was (a time) when he was not, dengan itu ia menyatakan bahwa ada saat dimana Yesus tidak ada, yesus tidak kekal.[6]
            Uskup Alexander yang merupakan uskupnya, sungguh menentang ajaran itu. pada tahun ± 318 M, diadakan sinode para uskup se-Mesir di Alexandria. Sinode ini mengecam ajaran Arius dan para pengikutnya. Arius diekskomunikasikan dari Gereja. Para uskup juga mengeluarkan surat edaran yang berisikan tentang keputusan yang diambil dalam sinode di Alexandria. Ternyata, Arius dan ajarannya mendapat perlindungan dari Uskup Eusebius yang merupakan uskup Nicomedia. Dalam perlindungan itulah, Arius membuat sebuah buku. Buku itu merupakan sebuah karya yang di dalamnya menyampaikan ajaran teologinya. Karya itu dimaksudkan sebagai propaganda ajarannya. Ajaran Arius pun menjadi terus menyebar, meski sudah di ekskomunikasi dari Gereja

3.      Konsili Nicea I Melawan Arianisme
Perdebatan panjang terjadi di dalam tubuh Gereja dan ditakutkan mengganggu kesejahteraan rakyat. Konstantinus yang  merupakan penguasa tunggal kekaisaran Romawi merasa ikut kwatir pula dan ikut ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan dalam perdebatan ini bukan karena ia mendalami iman Kristen, tetapi dia menginginkan persatuan dalam kekaisaran yang dipimpinnya. Konstantinus ikut ambil bagian dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi.
Usaha-usaha untuk mengembalikan perdamian dalam gereja karena semuanya itu gagal maka timbulah gagasan untuk menyelesaikan keagamaan tersebut melalui jalan sinode. Sidang tersebut kemungkinan dipimipin oleh uskup Osius, bukan hanya untuk mencari pnggganti bagi Metropolit Syria, melainkan juga mengabil sikap terhadap ajaran Arius meniru pola Alexander.[7] Inisiataif utuk mengadakan suatu konsili jelas dari pemipin tunggal kekaisaran, Konstantinus yang megharapkan bahwa dengan suatu konsili akan lahir perdamain di dalam Gereja, karena ia mengharapkan perdamian di dalam gereja akan menjamin perlindungan Allah bagi kekaisaran. Menurut kesaksian Eusebius, Konstantinus sendiri hadir dalam sidang pembukaan tersebut. Ia meminta para uskup untuk melepaskan semua belenggu yang menyebabkan perpisahan dan karena itu perlu menerapkan hukum perdamaian.
Pada bulan Mei 325, Konstantinus mengundang para uskup dari setiap daerah untuk berkumpul di Nicea. Inilah sebuah wujud dari keterlibatannya, bahwa dia ingin mengadakan konsili besar di Nicea untuk menyelesaikan pertentangan dalam Gereja. Selain itu, dia juga menyediakan kendaraan bagi setiap uskup yang hadir dalam konsili itu. Konsili itu dibuka pada tanggal 30 Mei 325. Uskup yang hadir kira-kira ada 300 uskup dan hanya 5 uskup yang dari Barat. Ada yang mengatakan bahwa uskup yang hadir berjumlah 318 uskup. Jumlah itu merupakan simbol dari para pengikut Abraham yang berjumlah 318 orang. Sidang itu dipimpin oleh uskup Hosius.[8]
 Konsili Nicea yang merupakan pertemuan para uskup mencerminkan terwujudnya perubahan antara Gereja dan Negara, yang dipanggil oleh Konstantinus pada kekuasaan tunggalnya ini,. Konisili Nicea ini menyelesaikan tugasnya yang khusus untuk menjelaskan gambaran biblis mengenai Allah yang berhadapan dengan provikasi yang ditimbulkan oleh Arius. 
Dalam konsili tersebut muncul perbedaan tentang cara menjelaskan iman yang ortodoks, karena konsiliar membatasi penggunaan istilah-istilah Kitab Suci agar tidak disalahtafsirkan oleh para Arian.[9] Hal ini mengakibatkan perlunya memikirkan kembali pengungkapan Kristiani mengenai pemahamannya akan Allah. Masalah utama dalam debat ini adalah Logos. Imam Arian yang memimpin “paroki” dan seorang yang terkenal di gereja Alexandria, mengajukan pandangan bahwa Logos adalah suatu ciptaan yang di ciptakan Allah “dari ketiadaan.” Menurut mereka, Logos bisa berubah dan sekurang-kurangnya dalam prinsip, muncul dalam keutamaan atau keburukkan, persis seperti manusia.[10]
Perdebatan teologis menjadi hangat ketika perumusan iman, yang diajukan oleh pihak Arianisme menimbulkan perlawanan yang sengit. Karena itu, Eusebius dari Cesarea mengajukan usul untuk memakai rumusan iman yang dipakai dalam komunitasnya, yang merumuskan: “iman akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sabda Allah, Allah dari Allah, terang dari terang, hidup dari hidup, Putra tunggal, lahir sebelum segala ciptaan, dilahirkan oleh Bapa sebelum adanya waktu, dengan perantaraannya segala sesuatu diciptakan.[11] Rumusan ini diterima baik oleh Konstantinus maupun para pengikut konsili walaupun ada beberapa penyataan yang agak kabur dan masih perlu diperjelas. Kaisar dan para uskup menginginkan bagaimana cara menolak ajaran Arius yang tidak secara eksplisit membuang ide tradisional Timur. Mereka mengeluarkan seara mutlak ide bahwa Logos adalah ciptaan dan mereka menyatakan bahwa dia adalah sunguh-sunguh “putera” Allah yang diturunkan dan berada dalam tatanan yang sama dengan Allah.[12]
Tetapi Eusebius meragukan iman Nicea ini, karena suatu keraguan yang terfokus pada homoousios. Kendati demikian credo ini mampu mengeluarkan Arianisme dan memberikan kepada gereja Timur suatu rumusan yang mendapat persetujuan.[13] Dari sini jelas bahwa penerimaan istilah dalam rumusan iman Nicea tidak bermaksud menunjukkan jumlah dalam diri Allah, melainkan mengatakan bahwa Putra benar-benar Allah, dengan demikian melawan pendapat Arius bahwa Logos itu diciptakan.[14]
Dalam konsili tersebut muncul perbedaan tentang cara menjelaskan iman yang ortodoks, karena konsiliar membatasi penggunaan istilah-istilah Kitab Suci agar tidak disalahtafsirkan oleh para Arian.[15] Hal ini mengakibatkan perlunya memikirkan kembali pengungkapan Kristiani mengenai pemahamannya akan Allah. Masalah utama dalam debat ini adalah Logos. Imam Arian yang memimpin “paroki” dan seorang yang terkenal di gereja Alexandria, mengajukan pandangan bahwa Logos adalah suatu ciptaan yang di ciptakan Allah “dari ketiadaan.” Menurut mereka, Logos bisa berubah dan sekurang-kurangnya dalam prinsip, muncul dalam keutamaan atau keburukkan, persis seperti manusia.[16]
Perdebatan teologis menjadi hangat ketika perumusan iman, yang diajukan oleh pihak Arianisme menimbulkan perlawanan yang sengit. Karena itu, Eusebius dari Cesarea mengajukan usul untuk memakai rumusan iman yang dipakai dalam komunitasnya, yang merumuskan: “iman akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sabda Allah, Allah dari Allah, terang dari terang, hidup dari hidup, Putra tunggal, lahir sebelum segala ciptaan, dilahirkan oleh Bapa sebelum adanya waktu, dengan perantaraannya segala sesuatu diciptakan.[17] Rumusan ini diterima baik oleh Konstantinus maupun para pengikut konsili walaupun ada beberapa penyataan yang agak kabur dan masih perlu diperjelas. Kaisar dan para uskup menginginkan bagaimana cara menolak ajaran Arius yang tidak secara eksplisit membuang ide tradisional Timur. Mereka mengeluarkan seara mutlak ide bahwa Logos adalah ciptaan dan mereka menyatakan bahwa dia adalah sunguh-sunguh “putera” Allah yang diturunkan dan berada dalam tatanan yang sama dengan Allah.[18]
Tetapi Eusebius meragukan iman Nicea ini, karena suatu keraguan yang terfokus pada homoousios. Kendati demikian credo ini mampu mengeluarkan Arianisme dan memberikan kepada gereja Timur suatu rumusan yang mendapat persetujuan.[19] Dari sini jelas bahwa penerimaan istilah dalam rumusan iman Nicea tidak bermaksud menunjukkan jumlah dalam diri Allah, melainkan mengatakan bahwa Putra benar-benar Allah, dengan demikian melawan pendapat Arius bahwa Logos itu diciptakan.[20]

4.      Hasil Konsili
Konsili ini menghasilkan doktrin yang mengatakan bahwa Logos adalah Homoousios yang berarti sama dengan Allah. Logos mempunyai hakikat yang sama dengan Allah. Ajaran ini ditandatangani oleh sebagian besar uskup yang hadir dalam konsili itu. Dua orang uskup yang tidak menandatanganinya, yaitu Secundus dari Tolemais dan Teones dari Marmarica yang merupakan pengikut Arianisme. Homoousios sebenarnya mempunyai makna yang ambigu. Setelah konsili, terjadi perdebatan tentang penggunaan kata Homoousious. Kata itu bukan hanya menyangkut kodrat sehakikat, melainkan juga pribadi yang satu. Meskipun begitu, dalam perkembangan iman Gereja, hal itu tidak lagi dipermasalahkan. Kata Homoousios tetap menjadi kata yang mengungkapkan Kristus yang sehakikat dengan Allah.
Eusebius dari Caesarea juga menawarkan sebuah rumusan iman yang menjadi dasar dari  Credo Nicea-Konstantinopel dalam Gereja saat ini. rumusan itu berbunyi seperti ini:

We believe in one God the Father Almighty, the Maker of all things visible and invisible;
And in one Lord Jesus Chirst, the Word of God, God of God, Light of Light, Life of Life, Son Only-begotten, Firstborn of all creation, begotten of God the Father before all the ages, through whom also all things were made; who become flash for our salvation and live among men, who suffered, and rose again the third day. and ascended to the Father, and will come again in glory to judge the living and dead;
We believe also in one Holy Spirit. [21]

Secara eksplisit konsili mengeluarkan pendirian tradisional Timur dan menolak ajaran Arius dan menyetujui credo babtisan yang di ajukan Eusebius dari caisarea yang di pimpin Kaisar sebagai ortodox. Pemilihan Konsili Nicea menjadi konsili ekumenis pertama merupakan sesuatu yang sifatnya kesejarahan dan di Yerusalem para Rasul dan tetua berkumpul untuk mempertimbangkan masalah sunat dan masalah memenuhi hukum Yahudi. Dengan adanya konsili-konsili ini tradisi konsili gereja kembali langsung ke zaman para Rasul di bawah bimbingan Roh Kudus. Pada saat memulai penghitungan Konsili Eukumenis, Konsili Nicea terdaftar sebagai konsili pertama bukan konsili Yerusalem mungkin karena lamanya hampir tiga abad sejak masa Kisah Para Rasul hingga tahun 325 itu terlalu jauh sehingga pikiran-pikiran orang tidak dapat membayangkan  adanya suatu kesinambungan dan kesilsilahan antara lembaga-lembaga itu.[22]
Konsili Nicea juga menetapkan tanggal perayaan Paskah. Hari Raya Paskah dirayakan setelah bulan purnama dalam Minggu pertama, setelah tanggal 21 Maret. Jadi, masanya kira-kira tanggal 23 Maret sampai 18 April.  Tata tertib tentang penitensi liturgi dan rekonsilian para heretis dengan Gereja juga ditetapkan. Kemudian, peraturan untuk uskup dan otoritas Gereja ditetapkan dalam konsili. Salah satu isinya tentang tahbisan uskup. Seseorang bisa ditahbiskan menjadi uskup bila telah mendapat penumpangan tangan sekurang-kurangnya dari tiga uskup. Peraturan tentang selibat untuk para imam juga mulai dimunculkan dalam konsili Nicea, meskipun belum mencapai sebuah kesepakatan.[23]

5.      Pengaruh Konsili
            Konsili Nicea ditutup pada tanggal 29 Juni 325. Usaha Konstantinus ini berhasil mematahkan ajaran Arianisme dan menghasilkan tatanan baru dalam Gereja. Tetapi, konsili ini tidak mendamaikan pertentangan Arius dan Gereja. Usaha Konstantinus mengadakan konsili besar dirasa telah gagal dan hanya menambah kacau keadaan. Pertentangan tetap terus saja berlangsung antara pengikut aliran Arianisme dengan Gereja.





























BAB III
PENUTUP



[1] Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja  (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm.16-17
[2] Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja  (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 17 18
[3] Eukumenis yaitu Akbar dan Suci
[4] Eddy Kristyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa: Sketsa Gereja Awal I-XV (Kanisius: Yogyakarta: 2002), hlm.468.  

[5] F.F. Bruce, The Spreading Flame (Michigan: Wm.B. Eermans Company, 1995),  hlm. 303.

[6] F.F. Bruce, The Spreading Flame (Michigan: Wm.B. Eermans Company, 1995),  hlm. 303.
[7] Anthonius Brevoort, Sejarah Gereja Awal: Diktat Kursus Sejarah Gereja Untuk Maahasiswa (Sinaksak: […], 1996), hlm. 138.

[8] Hubert Jedin [Ed], History..., hlm. 23.
[9] Eddy Kristiyanto, Sejarah yang Menjadi Peristiwa: Skesta Sejarah Gereja Abad I-XV  (Kanisius: Yogyakarya, 2002), hlm. 69.
[10] Diktat: Sejarah Gereja AwalPatristik Adab Pertengahan ([tanpa tempat penerbit], [tanpa penerbit dan tahun]), hlm. 47.

[11] Anthonius Brevoort, Sejarah Gereja Awal:… (Sinaksak: [tanpa penerbit], 1996), hlm. 140.

[12] Diktat: Sejarah Gereja… .([tanpa tempat penerbit], [tanpa penerbit dan tahun]), hlm. 50.

[13] Diktat: Sejarah Gereja… .([tanpa tempat penerbit], [tanpa penerbit dan tahun]), hlm. 50.

[14] Anthonius Brevort, Sejarah Gereja Awal:…( Sinaksak: [tanpa penerbit], 1996), hlm. 142.

[15] Eddy Kristiyanto, Sejarah yang Menjadi Peristiwa: Skesta Sejarah Gereja Abad I-XV  (Kanisius: Yogyakarya, 2002), hlm. 69.
[16] Diktat: Sejarah Gereja AwalPatristik Adab Pertengahan ([tanpa tempat penerbit], [tanpa penerbit dan tahun]), hlm. 47.

[17] Anthonius Brevoort, Sejarah Gereja Awal:… (Sinaksak: [tanpa penerbit], 1996), hlm. 140.

[18] Diktat: Sejarah Gereja… .([tanpa tempat penerbit], [tanpa penerbit dan tahun]), hlm. 50.

[19] Diktat: Sejarah Gereja… .([tanpa tempat penerbit], [tanpa penerbit dan tahun]), hlm. 50.

[20] Anthonius Brevort, Sejarah Gereja Awal:…( Sinaksak: [tanpa penerbit], 1996), hlm. 142.
[21] F.F. Bruce, The Spreading Flame (Michigan: Wm.B. Eermans Company, 1995),  hlm. 305.

[22] Diktat: Sejarah Gereja… .([tanpa tempat penerbit], [tanpa penerbit dan tahun]), hlm. 49-50.

[23] Eddy Kristyanto, …, hlm. 469.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar