UPACARA TEDHAK SITÉN
Dimulainya Sang
Anak Hidup di Tanah dalam Tradisi Suku Jawa
1.
PENGANTAR
Religi atau sistem
kepercayaan akan yang ilahi adalah satu dari tujuh unsur kebudayaan dunia[1] yang
meliputi: religi, bahasa, teknologi, kesenian, sitem pengetahuan, mata
pencaharian, dan sistem kemasyarakatan. Manusia menghayati diri dalam
hubungannya dengan yang ilahi dapat dilihat di dalam religi. Hubungan manusia
dengan yang ilahi ini juga dihayati oleh orang Jawa sebagai salah satu suku
bangsa di Indonesia.
Menurut pandangan Jawa,
manusia pertama-tama adalah makhluk rohani.[2] Orang
Jawa sebagai mahkluk rohani ini ditandai oleh berbagai macam tradisi. Tradisi itu
berkembang dengan baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga-keluarga yang
merupakan anggota dari masyarakat. Tradisi itu disebut dengan kenduri.[3]
Ada mitoni, kenduri waktu usia
kandungan mencapai tujuh bulan; brokohan,
kenduri setelah bayi lahir; nyewu, kenduri
memperingati seribu hari sesudah orang meninggal dunia.
Berbagai ritus atau
tradisi kenduri yang ada dalam
kebudayaan Jawa, di antaranya terdapat suatu kenduri yang diawali dengan upacara
yang dikenal dengan upacara tedhak sitén.[4] Upacara
ini diperuntukkan bagi tingkatan usia anak-anak, dengan tujuan demi menjaga
keselamatan, kesehatan dan kebaikan sang anak. Maka, selain perhatian dan kasih
sayang dari orang tua, pertolongan dari yang ilahi pun perlu dimintakan.
2.
UPACARA TEDHAK
SITEN
2.1
Pengertian Tedhak
Sitén
Menurut kepercayaan masyarakat
Jawa, kehidupan manusia dipengaruhi oleh empat unsur,[5] yaitu
bumi, api, angin dan air. Setiap unsur dihormati dengan berbagai macam upacara.
Salah satu upacara yang dilaksanakan sebagai penghormatan terhadap bumi disebut
tedhak sitén. Upacara ini berkaitan
erat dengan keberadaan bumi atau tanah, tempat manusia berpijak.
Pengertian Tedhak sitén secara harafiah dapat
diketemukan dalam Kamus Bahasa Jawa, di mana kata tersebut berasal dari dua
kata dalam bahasa Jawa: tedhak yang
berarti turun dan sitén-siti yang
berarti tanah. Maka, tedhak sitén
dapat diartikan sebagai turun ke tanah atau menapakkan kaki ke tanah. Upacara tedhak sitén merupakan suatu syarat bagi
manusia agar tidak mengalami kesulitan dalam menempuh hidup di kemudian hari.
Oleh sebab itu, perhatian utama upacara ini ialah pada saat kaki seseorang
menyentuh tanah untuk yang pertama kalinya. Harapan yang juga mucul dari
penghormatan kepada bumi atau tanah ini ialah agar manusia sehat, selamat dan
sejahtera dalam menapaki jalan kehidupannya.[6]
2.2
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara Tedhak Sitén
Upacara tedhak sitén ini dirayakan
pada hari weton ke tujuh,[7]
dihitung sejak hari kelahiran si anak.[8] Weton ialah perpaduan nama hari biasa
(Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu) dengan nama hari adat
Jawa (Pon, Kliwon, Wage, Legi dan Pahing).[9]
Siklus perpaduan ini akan memakan waktu 35 hari, pada hari yang ke-35 inilah akan
bertemu hari yang sama pada hari pertama yang dimaksud dan inilah yang disebut dengan
weton pertama. Dengan demikian, weton ke tujuhnya ialah 35 kali 7 yaitu
pada hari ke-245.
Keluarga yang mampu
secara ekonomi dan finansial, pada malam hari sebelum upacara berlangsung,
dapat mengadakan pertunjukan wayang kulit yang berlangsung antara pukul 20.00
sampai pukul 06.00 pagi hari atau menjelang matahari terbit.[10]
Orang Jawa biasa menyebut peristiwa ini sebagai pertunjukan wayang kulit “semalam
suntuk”. Tidak ada tujuan khusus dari diadakan pertunjukan ini. Acara
pertunjukan ini hanya sekedar untuk memeriahkan upacara pagi harinya. Sebab
upacara tedhak sitén akan
dilangsungkan pada pukul 09.00 pagi harinya. Upacara tedhak sitén ini biasanya berlangsung di halaman depan rumah.
Tempat ini dipilih dengan alasan bahwa di sana terdapat halaman yang bertanah.
2.3
Sarana yang Digunakan untuk Upacara Tedhak Sitén dan Maknanya[11]
Sesaji[12]
merupakan sarana yang penting dalam setiap upacara adat Jawa. Maka, ada
berbagai macam bahan sesaji yang juga digunakan pada upacara tedhak sitén, yaitu:
a.
Kurungan ayam
yang masih baru, ukurannya lebih besar dari kurungan ayam biasa. Kurungan ayam
ini bermakna sebagai kehidupan baru yang akan dimasuki oleh si anak.
b.
Tujuh macam kue
dengan tujuh macam warna, terbuat dari beras ketan, biasa disebut jadah. Jadah yang terbuat dari beras ketan ini dengan sendirinya mempunyai
ciri yang lengket. Karena cirinya yang lengket itulah, jadah ini akan melekat pada kaki si anak. Melekatnya jadah pada kaki melambangkan bahwa anak
harus dapat mengatasi kesulitan yang akan dialaminya di kemudian hari.
c.
Sepuluh macam
kue yang disebut dengan jenang. Kue
yang disebut jenang ini tidak selalu dipakai sebagai bahan sesaji
pada upacara tedhak siten.
d.
Tangga yang
terbuat dari tujuh potongan batang tebu. Tebu, berasal dari ungkapan dalam
bahasa Jawa antebing kalbu yang
berarti mantap hatinya atau kuat tekadnya.[13]
e.
Benda pelengkap
seperti pensil, padi dan uang logam, serta dapat ditambah dengan benda-benda
lainnya. Makna yang dapat dipetik yaitu supaya anak dapat memilih sendiri apa
yang kelak akan ia jalani. Akan tetapi, ada cara lain yang digunakan oleh orang
tua. Kalau sang anak dikehendaki menjadi orang yang sekolah tinggi dan pintar,
orang tua dapat meletakkan kebutuhan-kebutuhan sekolah saja.
f.
Air dengan aneka
warna bunga yang disebut dengan air
kembang setaman. Air kembang setaman
ini melambangkan kesucian lahir dan batin. Atau dari bunga yang harum itu, berarti juga melambangkan hidup yang
selalu diwarnai dengan karya-karya yang membawa keharuman bagi keluarga, masyarakat
maupun bangsanya.[14]
g.
Udhik-udhik,
ialah uang logam yang dicampur dengan bermacam-macam bunga. Melambangkan
harapan keluarga jika kelak si anak sudah dikaruniai rezeki yang cukup, dapat berderma
kepada fakir miskin.
2.4
Ritus Upacara Tedhak
Sitén[15]
Upacara tedhak sitén ini dihadiri oleh orang
tua, saudara kandung si anak, kakek dan nenek, serta para tetangga. Kakek atau
nenek si anak mempunyai peran penting dalam upacara ini, selain bertugas
menyiapkan sesajian, kakek atau nenek sekaligus menjadi pemimpin upacara. Semua
peralatan atau sesaji disusun sedemikian teratur dalam beberapa baris menuju
tangga yang terbuat dari batang tebu.
Pertama-tama, anak
dimasukkan ke dalam kurungan ayam. Ia dibiarkan di dalam kurungan sampai ia
menyentuh atau mengambil salah satu benda yang tersedia di dalam kurungan ayam
seperti pensil, padi, dan uang logam. Sesudah anak mengambil atau menyentuh
benda yang tersedia di dalam kurungan ayam, anak dikeluarkan dan anggota
keluarga (ayah, ibu, dan kakak) secara bergilir menggendong dan menginjak-injakkan
kaki si anak pada kue jadah dan kue jenang (kalau disediakan) menuju tangga
yang terbuat dari batang tebu. Kemudian, pemimpin upacara menaikkan dan
menurunkan si anak ke tangga yang terbuat dari potongan batang tebu. Pemimpin
melanjutkan upacara itu dengan mencuci kaki si anak dengan air kembang setaman.
Acara puncak dari
upacara ini yakni setelah kaki si anak dicuci dengan air kembang setaman, anak diturunkan ke tanah. Kaki si anak disentuhkan
pada tanah-bumi, dan inilah tujuan dari upacara tedhak sitén, yaitu dimulainya si anak hidup di tanah. Anak sudah
dapat bermain, berjalan bersama bumi atau tanah. Sesudah anak diturunkan ke
tanah, pemimpin upacara menaburkan udhik-udhik
di antara yang hadir dalam upacara tersebut. Upacara tedhak sitén dilanjutkan dengan kenduri pada sore harinya yang
dihadiri oleh tetangga untuk bersantap bersama keluarga si anak. Acara kenduri
ini menjadi penutup ritus upacara tedhak
sitén. Maka, dengan berakhirnya kenduri,
berakhir pula ritus upacara tedhak sitén.
3.
REFLEKSI
Orang Jawa memandang
bahwa mereka mempunyai hubungan yang erat dengan yang ilahi. Yang ilahi
dimaknai sebagai pemberi: perlindungan, kesehatan, atau rejeki. Cara mereka
menjalin hubungan itu dengan mengadakan berbagai upacara adat, salah satunya
ialah upacara tedhak sitén. Upacara tedhak sitén mengandung nilai yang dihidupi oleh orang Jawa.
Pertama, melalui upacara tersebut, orang tua menunjukkan kasih sayang yang
besar kepada anak mereka. Mereka mengungkapkan harapan yang hakiki supaya anak
tidak mengalami kesulitan di kemudian hari.
Kedua, orang Jawa mempunyai
harapan yang mereka haturkan kepada yang ilahi. Yang ilahi menjadi tujuan
mereka memohon. Maka, kami sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, diperlihatkan
dengan cara yang sederhana itu, supaya bukan hanya permohonan yang kami
haturkan kepada-Nya, tetapi juga syukur, pujian, bahkan pertobatan.
Ketiga, hubungan antara
orang Jawa dengan yang ilahi mengarahkan pandangan kami untuk bercermin kepada
diri kami sendiri. Kami dituntun untuk melihat kembali hubungan kami dengan
Yesus, yang lebih daripada hanya memberi kesehatan, rejeki, perlindungan. Dia memberikan
keselamatan secara utuh dan menyeluruh kepada diri kami. Dia yang mampu
memberikan keselamatan total, harus semakin kami hayati dalam perjalanan hidup
menuju imamat. Jika orang Jawa sendiri mampu berelasi dengan yang mereka anggap
ilahi, kami pun mestinya sanggup berelasi secara baik dengan Yesus.
Tiga nilai hidup yang kami
dapatkan di atas adalah buah penghayatan antara iman Katolik, yaitu iman akan
Yesus dan tradisi Jawa, yaitu tedhak sitén.
Meskipun nilai-nilai hidup tradisi itu telah kami pengaruhi dengan keagamaan, ritus upacara tedhak sitén tetap merupakan salah satu kekayaan dari tradisi
orang Jawa. Maka, kami sebagai seorang dari suku Jawa juga mempunyai rasa
memiliki akan tradisi tedhak sitén yang
di dalamnya dapat dimasukkan nilai-nilai ke-Katolikan. Semoga nilai-nilai hidup
ke-Katolikan yang terkandung dalam tradisi tedhak
sitén, menjadi salah satu bagian pengahayatan kami akan Yesus Kristus,
Tuhan yang telah bangkit dan mulia bersama Bapa dan Roh Kudus.
DAFTAR PUSTAKA
AG,
Linus Suryadi. Regol Megal Megol: Fenomena
Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset, 1993.
Ali,
Fachry. Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa”
dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia, 1986.
Koentjaraningrat. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta:
PN. Balai Pustaka, 1985.
Mangunsuwito,
S.A. Kamus Bahasa Jawa: Jawa-Indonesia. Bandung:
CV. Yrama Widya, 2004.
Poerwadarminta,
W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983.
Utomo,
Sutrisno Sastro. Upacara Daur Hidup Adat
Jawa. Semarang: Effhar Offset, 2005.
Wawancara,
dengan Bapak Dalang Sauji, pada Rabu, 08 Maret 2012.
[2] Fachry Ali, Refleksi
Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm.
1.
[3] Kenduri, secara harafiah berarti
perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat atau
menyembahyangkan orang. [Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983),
hlm. 480.]
[7] Tujuh, dalam bahasa Jawa disebut pitu. Maksudnya, jika kelak mendapat
kesulitan, ia diharapkan selalu mendapatkan pitulungan yang berarti pertolongan dari yang ilahi. [Lihat Sutrisno
Sastro Utomo, Upacara Daur…, hlm.
110. Bdk. Wawancara penulis, hlm. 7-8.]
[8] Linus Suryadi AG, Regol Megal Megol: Fenomena Kosmogoni Jawa (Yogyakarta: Andi Offset,
1993), hlm. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar