Sabtu, 19 Mei 2012

tedhak siten


UPACARA TEDHAK SITÉN
Dimulainya Sang Anak Hidup di Tanah dalam Tradisi Suku Jawa

1.    PENGANTAR
Religi atau sistem kepercayaan akan yang ilahi adalah satu dari tujuh unsur kebudayaan dunia[1] yang meliputi: religi, bahasa, teknologi, kesenian, sitem pengetahuan, mata pencaharian, dan sistem kemasyarakatan. Manusia menghayati diri dalam hubungannya dengan yang ilahi dapat dilihat di dalam religi. Hubungan manusia dengan yang ilahi ini juga dihayati oleh orang Jawa sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia.
Menurut pandangan Jawa, manusia pertama-tama adalah makhluk rohani.[2] Orang Jawa sebagai mahkluk rohani ini ditandai oleh berbagai macam tradisi. Tradisi itu berkembang dengan baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga-keluarga yang merupakan anggota dari masyarakat. Tradisi itu disebut dengan kenduri.[3] Ada mitoni, kenduri waktu usia kandungan mencapai tujuh bulan; brokohan, kenduri setelah bayi lahir; nyewu, kenduri memperingati seribu hari sesudah orang meninggal dunia.
Berbagai ritus atau tradisi kenduri yang ada dalam kebudayaan Jawa, di antaranya terdapat suatu kenduri yang diawali dengan upacara yang dikenal dengan upacara tedhak sitén.[4] Upacara ini diperuntukkan bagi tingkatan usia anak-anak, dengan tujuan demi menjaga keselamatan, kesehatan dan kebaikan sang anak. Maka, selain perhatian dan kasih sayang dari orang tua, pertolongan dari yang ilahi pun  perlu dimintakan.

2.    UPACARA TEDHAK SITEN
2.1  Pengertian Tedhak Sitén
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kehidupan manusia dipengaruhi oleh empat unsur,[5] yaitu bumi, api, angin dan air. Setiap unsur dihormati dengan berbagai macam upacara. Salah satu upacara yang dilaksanakan sebagai penghormatan terhadap bumi disebut tedhak sitén. Upacara ini berkaitan erat dengan keberadaan bumi atau tanah, tempat manusia berpijak.
Pengertian Tedhak sitén secara harafiah dapat diketemukan dalam Kamus Bahasa Jawa, di mana kata tersebut berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa: tedhak yang berarti turun dan sitén-siti yang berarti tanah. Maka, tedhak sitén dapat diartikan sebagai turun ke tanah atau menapakkan kaki ke tanah. Upacara tedhak sitén merupakan suatu syarat bagi manusia agar tidak mengalami kesulitan dalam menempuh hidup di kemudian hari. Oleh sebab itu, perhatian utama upacara ini ialah pada saat kaki seseorang menyentuh tanah untuk yang pertama kalinya. Harapan yang juga mucul dari penghormatan kepada bumi atau tanah ini ialah agar manusia sehat, selamat dan sejahtera dalam menapaki jalan kehidupannya.[6]

2.2  Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara Tedhak Sitén
Upacara  tedhak  sitén  ini  dirayakan  pada  hari  weton  ke  tujuh,[7] dihitung sejak hari kelahiran si anak.[8] Weton ialah perpaduan nama hari biasa (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu) dengan nama hari adat Jawa (Pon, Kliwon, Wage, Legi dan Pahing).[9] Siklus perpaduan ini akan memakan waktu 35 hari, pada hari yang ke-35 inilah akan bertemu hari yang sama pada hari pertama yang dimaksud dan inilah yang disebut dengan weton pertama. Dengan demikian, weton ke tujuhnya ialah 35 kali 7 yaitu pada hari ke-245.
Keluarga yang mampu secara ekonomi dan finansial, pada malam hari sebelum upacara berlangsung, dapat mengadakan pertunjukan wayang kulit yang berlangsung antara pukul 20.00 sampai pukul 06.00 pagi hari atau menjelang matahari terbit.[10] Orang Jawa biasa menyebut peristiwa ini sebagai pertunjukan wayang kulit “semalam suntuk”. Tidak ada tujuan khusus dari diadakan pertunjukan ini. Acara pertunjukan ini hanya sekedar untuk memeriahkan upacara pagi harinya. Sebab upacara tedhak sitén akan dilangsungkan pada pukul 09.00 pagi harinya. Upacara tedhak sitén ini biasanya berlangsung di halaman depan rumah. Tempat ini dipilih dengan alasan bahwa di sana terdapat halaman yang bertanah.

2.3  Sarana yang Digunakan untuk Upacara Tedhak Sitén dan Maknanya[11]
Sesaji[12] merupakan sarana yang penting dalam setiap upacara adat Jawa. Maka, ada berbagai macam bahan sesaji yang juga digunakan pada upacara tedhak sitén, yaitu:
a.       Kurungan ayam yang masih baru, ukurannya lebih besar dari kurungan ayam biasa. Kurungan ayam ini bermakna sebagai kehidupan baru yang akan dimasuki oleh si anak.
b.      Tujuh macam kue dengan tujuh macam warna, terbuat dari beras ketan, biasa disebut jadah. Jadah yang terbuat dari beras ketan ini dengan sendirinya mempunyai ciri yang lengket. Karena cirinya yang lengket itulah, jadah ini akan melekat pada kaki si anak. Melekatnya jadah pada kaki melambangkan bahwa anak harus dapat mengatasi kesulitan yang akan dialaminya di kemudian hari.
c.       Sepuluh macam kue yang disebut dengan jenang. Kue yang disebut  jenang  ini tidak selalu dipakai sebagai bahan sesaji pada upacara tedhak siten.
d.      Tangga yang terbuat dari tujuh potongan batang tebu. Tebu, berasal dari ungkapan dalam bahasa Jawa antebing kalbu yang berarti mantap hatinya atau kuat tekadnya.[13]
e.       Benda pelengkap seperti pensil, padi dan uang logam, serta dapat ditambah dengan benda-benda lainnya. Makna yang dapat dipetik yaitu supaya anak dapat memilih sendiri apa yang kelak akan ia jalani. Akan tetapi, ada cara lain yang digunakan oleh orang tua. Kalau sang anak dikehendaki menjadi orang yang sekolah tinggi dan pintar, orang tua dapat meletakkan kebutuhan-kebutuhan sekolah saja.
f.       Air dengan aneka warna bunga yang disebut dengan air kembang setaman. Air kembang setaman ini melambangkan kesucian lahir dan batin. Atau dari bunga yang harum  itu, berarti juga melambangkan hidup yang selalu diwarnai dengan karya-karya yang membawa keharuman bagi keluarga, masyarakat maupun bangsanya.[14]
g.      Udhik-udhik, ialah uang logam yang dicampur dengan bermacam-macam bunga. Melambangkan harapan keluarga jika kelak si anak sudah dikaruniai rezeki yang cukup, dapat berderma kepada fakir miskin.

2.4  Ritus Upacara Tedhak Sitén[15]
Upacara tedhak sitén ini dihadiri oleh orang tua, saudara kandung si anak, kakek dan nenek, serta para tetangga. Kakek atau nenek si anak mempunyai peran penting dalam upacara ini, selain bertugas menyiapkan sesajian, kakek atau nenek sekaligus menjadi pemimpin upacara. Semua peralatan atau sesaji disusun sedemikian teratur dalam beberapa baris menuju tangga yang terbuat dari batang tebu.
Pertama-tama, anak dimasukkan ke dalam kurungan ayam. Ia dibiarkan di dalam kurungan sampai ia menyentuh atau mengambil salah satu benda yang tersedia di dalam kurungan ayam seperti pensil, padi, dan uang logam. Sesudah anak mengambil atau menyentuh benda yang tersedia di dalam kurungan ayam, anak dikeluarkan dan anggota keluarga (ayah, ibu, dan kakak) secara bergilir menggendong dan menginjak-injakkan kaki si anak pada kue jadah dan kue jenang (kalau disediakan) menuju tangga yang terbuat dari batang tebu. Kemudian, pemimpin upacara menaikkan dan menurunkan si anak ke tangga yang terbuat dari potongan batang tebu. Pemimpin melanjutkan upacara itu dengan mencuci kaki si anak dengan air kembang setaman.
Acara puncak dari upacara ini yakni setelah kaki si anak dicuci dengan air kembang setaman, anak diturunkan ke tanah. Kaki si anak disentuhkan pada tanah-bumi, dan inilah tujuan dari upacara tedhak sitén, yaitu dimulainya si anak hidup di tanah. Anak sudah dapat bermain, berjalan bersama bumi atau tanah. Sesudah anak diturunkan ke tanah, pemimpin upacara menaburkan udhik-udhik di antara yang hadir dalam upacara tersebut. Upacara tedhak sitén dilanjutkan dengan kenduri pada sore harinya yang dihadiri oleh tetangga untuk bersantap bersama keluarga si anak. Acara kenduri ini menjadi penutup ritus upacara tedhak sitén. Maka, dengan berakhirnya  kenduri, berakhir pula ritus upacara tedhak sitén.

3.    REFLEKSI
Orang Jawa memandang bahwa mereka mempunyai hubungan yang erat dengan yang ilahi. Yang ilahi dimaknai sebagai pemberi: perlindungan, kesehatan, atau rejeki. Cara mereka menjalin hubungan itu dengan mengadakan berbagai upacara adat, salah satunya ialah upacara tedhak sitén. Upacara tedhak sitén  mengandung nilai yang dihidupi oleh orang Jawa. Pertama, melalui upacara tersebut, orang tua menunjukkan kasih sayang yang besar kepada anak mereka. Mereka mengungkapkan harapan yang hakiki supaya anak tidak mengalami kesulitan di kemudian hari.
Kedua, orang Jawa mempunyai harapan yang mereka haturkan kepada yang ilahi. Yang ilahi menjadi tujuan mereka memohon. Maka, kami sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, diperlihatkan dengan cara yang sederhana itu, supaya bukan hanya permohonan yang kami haturkan kepada-Nya, tetapi juga syukur, pujian, bahkan pertobatan.
Ketiga, hubungan antara orang Jawa dengan yang ilahi mengarahkan pandangan kami untuk bercermin kepada diri kami sendiri. Kami dituntun untuk melihat kembali hubungan kami dengan Yesus, yang lebih daripada hanya memberi kesehatan, rejeki, perlindungan. Dia memberikan keselamatan secara utuh dan menyeluruh kepada diri kami. Dia yang mampu memberikan keselamatan total, harus semakin kami hayati dalam perjalanan hidup menuju imamat. Jika orang Jawa sendiri mampu berelasi dengan yang mereka anggap ilahi, kami pun mestinya sanggup berelasi secara baik dengan Yesus.
Tiga nilai hidup yang kami dapatkan di atas adalah buah penghayatan antara iman Katolik, yaitu iman akan Yesus dan tradisi Jawa, yaitu tedhak sitén. Meskipun nilai-nilai hidup tradisi itu telah kami pengaruhi dengan  keagamaan, ritus upacara tedhak sitén tetap merupakan salah satu kekayaan dari tradisi orang Jawa. Maka, kami sebagai seorang dari suku Jawa juga mempunyai rasa memiliki akan tradisi tedhak sitén yang di dalamnya dapat dimasukkan nilai-nilai ke-Katolikan. Semoga nilai-nilai hidup ke-Katolikan yang terkandung dalam tradisi tedhak sitén, menjadi salah satu bagian pengahayatan kami akan Yesus Kristus, Tuhan yang telah bangkit dan mulia bersama Bapa dan Roh Kudus.






DAFTAR PUSTAKA

AG, Linus Suryadi. Regol Megal Megol: Fenomena Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset, 1993.
Ali, Fachry. Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia, 1986.
Koentjaraningrat. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: PN.  Balai Pustaka, 1985.
Mangunsuwito, S.A. Kamus Bahasa Jawa: Jawa-Indonesia. Bandung: CV. Yrama Widya, 2004.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983.
Utomo, Sutrisno Sastro. Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang: Effhar Offset, 2005.
Wawancara, dengan Bapak Dalang Sauji, pada Rabu, 08 Maret 2012.









             [1]  Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1985), hlm. 11.

             [2] Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 1.

             [3] Kenduri, secara harafiah berarti perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat atau menyembahyangkan orang. [Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983), hlm. 480.]

             [4] Bdk.  Wawancara penulis dengan Bapak Dalang Sauji, pada lampiran wawancara, hlm. 7-10.

             [5] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa (Semarang: Effhar Offset, 2005), hlm. 21.

             [6] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur…, hlm. 21.

             [7]  Tujuh, dalam bahasa Jawa disebut pitu. Maksudnya, jika kelak mendapat kesulitan, ia diharapkan selalu mendapatkan pitulungan yang berarti pertolongan dari yang ilahi. [Lihat Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur…, hlm. 110. Bdk. Wawancara penulis, hlm. 7-8.]

             [8]  Linus Suryadi AG, Regol Megal Megol: Fenomena Kosmogoni Jawa (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), hlm. 10.

             [9]  Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur…, hlm. 102.

             [10] Koentjaraningrat, Ritus Peralihan…, hlm. 103.

             [11] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur…, hlm. 22-23. [Bdk. Wawancara penulis, hlm. 8-9.]

             [12] Sesaji, dalam bahasa Jawa disebut sajen. Adalah berbagai sarana yang digunakan orang Jawa pada waktu mengadakan selamatan. Misalnya makanan, minuman, tumbuh-tumbuhan ataupun hewan kurban. [Lihat Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur…, hlm. 102.]

             [13] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur…, hlm. 109.
             [14] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur…, hlm. 107.

             [15] Koentjaraningrat, Ritus Peralihan…, hlm. 104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar