DOSA DAN PERTOBATAN*
B
|
etapapun kita
berusaha untuk bangun, namun kita jatuh juga. Kita jatuh sama sekali hanya jika kita mengingkari kejatuhan
itu yang hanya berarti bahwa kita tidak mau belajar banyak berkenaan dengan
diri kita sendiri dan mempunyai pengertian moral yang tidak berkembang (1 Yoh
1: 8). Pengalaman jatuh adalah salah satu pengalaman primordial dari hidup;
bagian dari situasi manusia. Pengalaman itu kompleks. Kita membuat komitmen
tetapi tidak bertekun, kita berjanji tetapi tidak menepatinya, kita berpikir
kita mampu merubah sesuatu dan kita menemukan diri kita tidak berdaya. Kita
membutuhkan kasih sayang, kita merajuk dan menjaga jarak dengan diri kita
sendiri, kita dipenuhi dengan penderitaan. Kita menolak belas kasihan, kita
mendekatkan pikiran dan hati kita setelah kita dilanda kesusahan. Kita
bersaing, kita iri hati dan cemburu, kita marah hanya karena sedikit pujian
kepada yang lain. Kita agresif secara buta dan merencanakan kejahatan. Kita
membenci dan merencanakan pembalasan. Kelemahan, kejahatan, kekerasan dan dosa
membuat kita depresi. Semuanya itu tidak hanya mempengaruhi individu kita
tetapi menjadikan gap-gap dalam kelompok, komunitas dan kebudayaan. Kita
menduga seperti orang Inggris / orang Irlandia, umat Protestan / umat Katolik, perserikat
/ nasionalis, hitam / putih, laki-laki / perempuan, pekerja / peserikat usaha
dagang. Kita berperang dan membunuh tidak hanya karena ambisi kita tetapi
karena pengagungan ide: siapakah yang benar, pengikut Yesus, Muhammad, atau Wolfe
Tone?
Mengapa? Ada apakah dengan kita? Sedikit mengherankan
bahwa simbolisme dosa adalah salah satu dari kebanyakan simbol yang mampu
menembus sejarah manusia dan karenanya banyak mitos-mitos besar dunia yang
mencoba mengungkapkannya. Mitos besar dari tradisi Jahudi-Kristen menempatkan
apa yang oleh Kardinal Newman sebut “beberapa kekacauan penduduk asli yang
besar”, pada suatu kejatuhan asli/dosa. Hal itu dapat dikatakan, mengapa kita
lemah dan penuh dosa sekarang ini - bahwa mitos bukan tentang sesuatu yang kemudian
tetapi tentang sekarang. Kita tidak hanya berkutat dengan kelemahan kita
sendiri: kita mewarisi luka-luka dari perjuangan panjang manusia untuk
mengatasi dirinya sendiri dan dengan kemarahan yang menguasainya: kita ikut
memikul dengan sabar atas kekalahan orangtua kita dan atas angkatan/generasi
yang mati. Dan dalam diri kita masing-masing perjuangan mulai lagi sepenuhnya:
‘perjuangan secara emosional dari manusia tidak akan pernah diselesaikan. Hal
yang sama akan terjadi berulang, dengan penderitaan, dengan kebodohan yang
sama, seperti serangga, perjuangan secara emosional yang sama dalam kenyataan
sehari-hari – mendesak hati, mengendalikan, menghasratkan, pemeliharaan diri, pengluasan
kuasa, pencarian kebahagiaan, pencarian pembenaran, pengalaman akan munculnya
atau kelahiran menjadi “ada” dan kematian …’ (Saul Bellow, Him with His Foot in His Mouth).
Kita mendengar dalam hidup kita sendiri
kegaduhan dari kekuatan jahat yang besar – insting, kebutuhan, desakan hati,
hasrat, dan lainnya - yang tidak akan membawa kita menjadi manifestasi diri
mereka dalam suatu cara beragam yang membingungkan, dalam letupan kekerasan dan
dalam kekuatan yang licik. Kita membuat perjalanan hidup kita pada kedewasan
yang membingungkan, menyusun atau menentukan kepentingan diri kita yang kompleks
terhadap lingkungan sendiri – percumbuan, pembujukan, pelekatan (karena tak
dapat berdiri sendiri), kekuatiran, pemisahan, pelarian diri. Keinginan kita
mengatakan kepada kita bahwa kepuasan – apapun yang kita cari dengan gelisah - akan
datang ketika kita adalah yang pertama, atau yang berbuat terbaik, atau yang
mempunyai kekuatan paling baik, atau dengan barang milik diri kita, atau dengan
cinta. Kita mendengarkan mereka dan maka berusaha dengan sangat dan melaju.
Maka, kita menemukan diri kita terjebak dalam keterbatasan yang merusak dari
hasrat yang tergesa-gesa, hanya setengah kesadaran yang ada pada kita, tidak
mampu untuk mendengarkan dirikita secara keseluruhan, hanya kekurangsadaran
dari kesatuan atau integritas di mana kita sangat dalam berhasrat (‘penyatuan
yang tidak mungkin dari lingkungan kehidupan), tanpa kebijaksanaan yang
mengetahui apa makna keseluruhan dan di mana adanya sesuatu itu diletakkan.
Kejatuhan Moral Sebagai Alienasi
Entah apapun alasannya – entah itu
kebutuhan atau ketakutan atau hasrat – kita jatuh. Kita melukai yang lain: Kita
menanam dalam struktur yang tak adil; kita membawa yang miskin pada kematian.
Kita telah hidup dengan kepedihan akibat kejatuhan. Kejatuhan moral adalah
jenis alienasi dari diri kita sendiri. Karena kita memiliki idealisme dan kita
tidak mampu melaksanakannya. Dalam kejatuhan kita memisahkan dari mereka, dari
apayang dapat (dengan perhatian) menyebut diri kita lebih baik. Kita mengalami
pemisahan di antara apa yang kita percayai dapat kita buat dan apa yang telah
kita buat, antara rencana kita dan tindakan kita, antara kehendak yang sangat
dalam dan apa yang kita inginkan oleh hasrat kita. Sehingga kita terkadang
bertanya, bagaimana kita telah dapat melakukannya? Pengalaman ini adalah
kejatuhan pada level moral. Hal itu seringkali bersumber dari rasa
ketidakberdayaan. Namun seseorang mungkin telah sebaliknya sukses dalam hidup
dapat terjadi untuk banyak orang suatu keragu-raguan yang menggerogoti. Dengan
demikian mereka membutuhkan penyembuhan dan harapan.
Kita teralienasi dari yang lain
karena kita mengalami apa yang disebut kejatuhan moral. Isu dasar dalam
kehidupan adalah apakah kita akan terbuka pada yang lain, sekurang-kurangnya
meningkatkan rasa hormat, persaudaraan dan partisipatif, ataukah menggunakannya
sebagai maksud untuk pada akhirnya kebutuhan sendiri. Mungkin kita tidak
meluangkan waktu bahkan melihat itu: kita mungkin tidak pernah bertanya kepada
diri kita: apa dasar hidupku? Apakah aku sudah terarah kepada yang lain? Pertanyaan
itu mungkin hanya berlalu karena kita menemukan bahwa kita telah tertutup dalam
kepentingan sendiri. Banyak dari literatur besar dunia berbicara tentang
motivasi, tentang suatu kebohongan demi suatu kepentingan sendiri yang
melanggar bahkan tindakan-tindakan baik kita. Tulisan-tulisan mungkin juga
menjadi tahapan bahwa kita datang untuk membedakan tanggungjawab atau perhatian
kita untuk sesama: tulisan terakhir tentang keadilan dan teologi pembebasan
telah membangunkan kita untuk menyatakan bahwa orang miskin ada karena kita
kaya, karena seandainya kemiskinan tidak semeja dengan kita, kita selalu ada
padanya. Kita tidak ingin mendengarnya terlalu banyak. Hal itu menyebabkan
perlu banyak pertobatan. Kita dapat mengatakan bahwa masalahnya adalah ada dalam
hati dan perasaan kita. Tradisi biblis mencatat itu ketika ia memberi tekanan
pada dosa lebih daripada kedosaan, contoh; pada keadaan hati kita (yang secara
simbolis merupakan pusat kedirian dan hasrat kita), merupakan sesuatu yang bagi
kita sangat bernilai dan penuh cinta. Hal ini harus dirubah.
Kita teralienasi dari Allah.
Terdapat tradisi di mana pengabaian atau kejatuhan moral tidak memiliki
implikasi religius yang penting. Tetapi batas antara mereka merupakan suatu
elemen yang sangat krusial dari tradisi Kristen. Jatuh cinta kepada sesama yang
lain merupakan jatuh cinta kepada Allah. “Barangsiapa berkata bahwa ia berada
di dalam terang, tetapi ia membenci saudaranya, ia berada dalam kegelapan
sampai asekarang. Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada dalam
terang… (1 Yoh 2: 9-10). Bagi Yohanes, orang yang tidak mengakui Putera atau
tidak mengasihi saudaranya, ia berada dalam kegelapan: seseorang tidak akan
mengerti siapa Putera atau siapa Allah jika ia terus membenci. Pesan dari bab
25 dari Injil Matius adalah “sebagaimana kamu melakukan pada saudaraku yang
paling kecil ini, kamu melakukannya untuk Aku.”Mencintai yang lain berarti
mencintai Allah.
Hal itu bukan berarti bahwa
seseorang mencintai Allah dan kemudian ditentukan untuk melakukan yang baik
kepada tetangga. Bukan berarti bahwa kita telah diperintah untuk mencintai
sesama dan melakukannya di luar cinta Allah. Bukan berarti bahwa cinta Allah
adalah alasan untuk mencintai sesama. Terdapat kesatuan yang radikal di antara
keduanya. Cinta yang eksplisit kepada sesama merupakan tindakan utama dari
cinta Allah: seseorang dapat mencintai Allah yang mana seseorang tak dapat
melihat hanya dengan merawat saudara-saudarinya dengan cinta. Tidak mencintai
sesama berarti tidak mencintai Allah. Kita menyebutnya sebagai dosa. Dosa
adalah bahasa religius. Dosa bukan hanya kejatuhan moral tetapi kejatuhan dalam
relasi dengan Allah. Kita telah menjauh dari Bapa yang adalah cinta dan sumber
cinta dan yang memberikan cinta-Nya dalam Yesus yang melimpahkan cinta-Nya ke
dalam hati kita dengan Roh-Nya dan menunjukkan cinta-Nya dalam dunia. Kita
meninggalkan Putera yang membawa misi untuk membebaskan kita dari kepentingan
diri sendiri, untuk menaklukkan dosa dunia dan untuk menciptakan kerajaan yang
penuh damai dan pertobatan; kita meninggalkan Roh Kudus yang senantiasa
menyertai kita dengan cinta di dunia, di mana buah-buahnya adalah cinta, kasih,
damai, kepedulian, kemurahan hati, kebaikan, kepercayaan, penguasaan diri .…”
(Gal 5: 22-23).
Kita meninggalkan Gereja. Gereja
menjadi sakramen dari komunitas di dunia. Gereja menjadi tempat yang
menunjukkan kesatuan, kebebasan, keterbukaan dan kepekaan, suatu komunitas yang
dengan kehadirannya akan membawa pertobatan untuk semua. “Dan bukan untuk
mereka ini saja aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya
kepada-Ku oleh pemberitaan mereka, supaya mereka semua menjadi satu…, maka
dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17: 20-21).
Kesatuan anggota merupakan suatu keadaan dari kepercayaan kita terhadap yang
lain dan sampai sedemikian kita telah meninggalkannya dan sedemikian kita telah
meninggalkan dunia, Kerajaan. Kita menambah masalah, kita menyumbang dosa di
dunia.
Dosa Berat
Kita semua telah jatuh. Tetapi
terdapat kesepakatan: terdapat beberapa dosa yang lebih mengalienasi dari yang
lain dan lebih merusak kesatuan. Yang lebih buruk secara manusiawi, lebih buruk
secara religius: lebih lagi, seseorang menyakiti hati saudaranya laki-laki atau
perempuan. Seseorang yang melupakan Allah Tritunggal, lebih besar dosanya.
Bagaimana seseorang dapat mengukur dosa moral? Dalam pikiran seseorang terdapat
dua tiang pengukur: apa yang dilakukan dan bagaimana, mengapa dilakukan, dan
dengan komitmen apa hal itu dilakukan. Hal itu selalu diterima karena penilaian
tentang dosa moral tergantung atas tingkatan apakah seseorang itu setia atau
tidak dalam tindakan. Hanya orang yang terlibat yang jatuh dalam moral. Tentang
hal itu kita dapat mengatakannya sebagai “dosa”. Maka dosa itu tidak menjadikan
rasa untuk mengatakan bahwa suatu jenis tindakan konkret – misalnya mencuri
uang 50 Poundsterling – adalah suatu dosa moral yang serius atau berat; jenis
tindakan bukanlah dosa. Kita telah mencatat dalam bab 6 bahwa di sana terdapat suatu
perbedaan “kedalaman” tindakan. Beberapa dari tindakan itu adalah tindakan yang
tampak: saya mengakui pada seorang pribadi yang suatu hari dalam keadaan baik
dan pada saat berikutnya dingin; saya tidak memperhatikan dengan lebih serius
satu cara yang lainnya. Saya tidak membenamkan diri saya di dalamnya dengan
berlebihan. Terdapat tindakan-tindakan yang lain di mana saya mungkin dikira
telah membenamkan diri terlalu dalam dan di mana dapat dikatakan telah berarti
banyak untukku. Mereka adalah tindakan yang dapat dikatakan datang dari pusat
hidupku, dari tingkat kedalaman yang saya sebagai person/pribadi. Pernyataan
sederhana seperti “saya bersedia” dalam sebuah upacara perkawinan dapat
dianggap memiliki arti yang serupa dengan hal itu.
Jika terdapat kesalahan moral yang
serius di sana
berarti terdapat suatu penolakan yang serius dalam hubungan kita dengan Allah:
tradisi kita mengatakan bahwa hal itu dapat menjadi sangat serius sebagai
sesuatu yang rusak. Saya berpikir, kita semua memiliki kemungkinan itu. Hal itu
adalah bagian dari interpretasi tradisi kita yang menandai kehidupan kita di
dunia. Kita mengatakan dalam bab 2 bahwa untuk tradisi Jahudi-Kristiani, tradisi
agama adalah moral dan moralitas berhubungan dengan agama. Hal itu tidak
berarti bahwa Allah membuat perintah-perintah dan larangan-larangan dan
ancaman-ancaman berupa hukuman. Jika siapapun dapat membuat moralitas, kita
telah membuatnya. Hal itu adalah perintah manusia: hal itu muncul secara
spontan dalam hidup: dari diri kita sendiri kita menyadari keharusan untuk hidup
dengan yang lain dalam komunitas yang menghormati dan menumbuhkan kesatuan.
Tetapi orang-orang Kristen mengetahui bahwa moralitas adalah lebih daripada
sekedar moralitas. Keinginan untuk hidup benar secara moral dan mencintai
adalah keinginan yang tak dapat dielakkan untuk Seseorang yang adalah Pokok
Kebenaran dan Cinta; tindakan di dalam dunia untuk salah seorang saudara
laki-laki atau perempuan menyatukan seseorang dengan Allah yang adalah tujuan
dari Kerajaan penuh keadilan dan damai.
Dalam kekristenan, lawan dari kata
tidak bermoral atau immoral disebut dosa. Dosa adalah suatu gangguan atau
kegagalan secara duniawi dalam relasi seseorang dengan sesamanya manusia.
Tetapi kegagalan manusia untuk hidup dalam kebenaran dan cinta dengan yang
lain, yang menjadikan yang lain sebagai pribadi, adalah dalam efek dan apakah
seseorang menyatakan untuk itu atau tidak, juga suatu kegagalan menjadi terbuka
kepada Allah – sebagaimana kamu tidak melakukan untuk salah seorang saudaraku
yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Mat 25: 45). Dosa
menandai dimensi religius dari kejatuhan moral. Tidak ada dosa yang lain, tidak
ada daftar dosa emanasi dari Allah. Kita tidak harus kembali pada suatu
perbedaan ide atau gagasan tentang moralitas: Allah tidak membuat dosa. Tidak
ada misteri apapun berkenaan dengan dosa: beberapa dan setiap aktivitas yang
dehumanis memenuhi syarat untuknya. Orang kadangkala bertanya dalam
ketakutannya “macam apakah dosa itu?” Jika dosa merupakan suatu perlawanan
terbuka pada yang lain dan melawan kesatuan itulah dosa: tidak terdapat garis
atau batas rahasia dosa dimanapun, di mana hanya klerus yang dapat menerimanya.
Dosa bukan suatu pertanyaan lebih lanjut dari Allah yang menyebabkan suatu
tugas. Dosa adalah suatu pertanyaan pada akar kemanusiaan, tentang apakah kita
akan mendengarkan panggilan untuk seluruh hidup manusia dengan yang lain: jika
demikian, kita akan masuk dalam kesatuan dengan Tuhan dan dalam kepaduan dengan
tujuan-Nya.
Tradisi Gereja kita berpegang bahwa
kegagalan dalam dunia kita dapat menjadi begitu kejam dengan maksud memiliki
implikasi sebuah pelanggaran atau pemutusan hubungan dengan Allah. Apa yang
akan merupakan kerusakan penting, kita tidak tahu. Kita berbicara perihal
sebuah tindakan yang meliputi kerusakan akhir bagi individu, yang memutuskan
nasib seseorang, bahwa semua yang merintangi apa yang direncanakan dan
ditujukan oleh Allah bagi anak-anak-Nya. Demikianlah sebuah tindakan hanya
dapat menjadi sebuah tindakan kejahatan dari kepentingan yang paling dalam –
sangat dalam dan keputusan bebas untuk tingkah yang buruk – dan, sangat mirip
sebuah pilihan yang berlangsung terus seperti sebuah watak melebihi waktu. Kita
seharusnya berbicara tentang tanggung jawab dan kemudian perihal seseorang yang
diikatkan pada kesalahan dalam kedalaman hati, orang yang terikat dengan
berbicara selalu setuju atau mengangguk. (Walaupun hal ini tidak berarti
keputusan formal untuk menginginkan kesalahan dalam dirinya sendiri tetapi
hanya untuk melakukan apa yang melibatkan kesalahan). Ini berarti bahwa
seseorang tidak dapat melakukan dosa yang berat sekali oleh sebab suatu
kecelakaan. Hal ini bukanlah sesuatu yang terjadi kepada seseorang: penekanan
adalah atas semua pilihan dan atas pilihan yang dalam pada saat itu. Kita mengatakan
sejak awal bahwa seseorang menentukan dirinya sendiri, membangun pikiran
seseorang, menarik hati seseorang, menentukan nilai seseorang: menciptakan
moral kepribadian atau karakter seseorang. Tidaklah mudah untuk merubah semua
itu, untuk merubah hati seseorang pada pusatnya, untuk mengembalikan semua yang
telah dilakukan. Oleh sebab itu, sifat dasar dari segala sesuatu yang seorang
tidak dapat masuk dan atau ikut serta dalam dosa yang sangat berat: seseorang
yang rasanya atau kelihatannya menjadi tidak masuk ke kedalamannya atau tidak
meninggalkannya. Keadaan-keadaan yang secara keseluruhan apakah seseorang
menjadi baik secara dasariah atau pada dasarnya baik dan menurun pada yang
lainnya – sekalipun dia tidak dapat secara penuh untuk mendengar tuntutan
kebaikan dan malahan tidak menginginkan untuk mengetahui perihal dalam
perkara-perkara lebih sederhana; atau secara dasariah begitu terpikat dalam
dirinya, begitu buruk, bahwa tidak seorangpun atau sesuatupun bukan masalah
yang merugikan pada sesama – telah diijinkan untuk berpegang pada jalan
rencana-rencananya dan keinginan-keinginannya. Para
teolog kadang-kadang mengesampingkan ini dengan ucapan yang mengatakan
perkara-perkara adalah pilihan fundamental seseorang.
Penekanannya kemudian, kamu dapat mengatakan, tidak begitu banyak pada
apa yang dikerjakan seperti pada cara itu dipegang atau dibenarkan oleh
seseorang. Dengan jelas, ada tindakan-tindakan dangkal dalam kehidupan kita
setengah gagasan terungkap, setengah menyetujui. Ada lebih kecil kejatuhan-kejatuhan -
kepicikan-kepicikan, kecurangan ketidaksetiaan, kecemburuan atau iri hati,
ketidakjujuran, kesakitan – yang tidak membawa kita lebih serius. Kita mendasarkan
pada patokan tradisional mereka perihal dosa-dosa ringan. Ini kejatuhan dalam
hubungan dengan Allah, sesama dan diri sendiri, penghambat-penghambat pada
komunitas, masalah-masalah pada pertumbuhan Kerajaan. Tetapi mereka tidak
melakukan tindakan-tindakan yang mengajak kita dalam inti pribadi kita, bukan
pilihan-pilihan radikal yang kita inginkan untuk terjadi. Mereka cukup dangkal mengeluarkan
komentar-komentar sepintas lalu atas kehidupan daripada pernyataan-pernyataan
kehidupan. Mereka mengharmonisasi dengan keadaan umum kebaikan dan
hubungan-hubungan yang benar dengan sesama. Di sisi lain Karl Rahner memiliki
kata-kata yang menarik bahwa apa yang kelihatan seperti dosa-dosa ringan boleh
jadi “adalah gema yang jauh dan kilat pada musim panas dari sebuah egoisme
dasar yang berakhir pada kematian sesungguhnya” – mungkin terdapat petunjuk-petunjuk
akan penurunan yang dalam di tempat lain dalam sikap moral kita.[1]
Tradisi membutuhkan tiga kondisi bagi dosa-dosa berat – persoalan yang
amat penting, penuh pengetahuan dan
penuh persetujuan. Dalam praktik ini direduksikan pada masing-masing urusan yang
amat penting: sebuah tingkah laku yang agak pasti – jumlah (ringkas/kesimpulan)
yang pasti dalam keadaan keadilan – dinyatakan untuk sebagai dosa yang sangat
berat. Lebih lanjut kita datang untuk menghargai bahwa perkara itu bukan dosa,
hanya orang-orang yang lebih menekankan telah menggabungkan dua unsur sebagai
sisi lainnya. Tekanan sekarang ditempatkan pada kedalaman yang mana orang berbuat
bagi dirinya kesalahan moral – sesuatu yang datang dari pemahaman psikologis
yang lebih baik bagaimana kita bertindak – tekanan pada keburukan, dengan cara
lain berbicara tentang pengetahuan lengkap dan persetujuan. Kita lebih siap
untuk mengakui bahwa kenyataan yang mana seseorang menyelenggarakan jenis
tindakan yang jelas bukanlah dalam dirinya sendiri dibuktikan bahwa dia telah
melakukan dosa besar. Tidak seorangpun dapat mengetahui dengan pasti bilamana
tak seorang pun melakukan sebuah dosa besar. Atau tidak dapat kita tahu itu
dengan tepat perihal diri kita sendiri. Paling baik kita dapat mempunyai
beberapa macam anggapan. Kita mempunyai anggapan itu untuk menjaga dalam
pikiran batas-batas kebebasan: kita tidak tahu mengapa seseorang
menyelenggarakan tindakan partikular, yang membawa dia padanya, dengan apa
pilihan kebebasan ditempatkan. (ingat kembali St. Teresia bahwa dia meyangka
sebanyak itu keadilan Allah dari belaskasihannya).
Tradisi Gereja kita menggolongkan dosa sebagai kematian. Tetapi Gereja
tidak dapat membuat kriteria tingkah laku salah - Gereja tidak membuat
moralitas - sekalipun ia dapat membuatnya itu sungguh keliru. Untuk dapat
mengatakan bahwa tingkah laku itu pasti merupakan dosa berat, haruslah ada
suatu anggapan bahwa tingkah laku itu adalah jenis tingkah laku yang mendorong
kita untuk berbuat jahat atas cara yang sangat radikal - yang berakar pada
kepentingan diri sendiri dan membuat ter-alienasi dari sesama manusia. Kiranya
tepat bagi Gereja untuk mengajarkan dan mengungkapkan pandangannya atas jenis
tingkah laku yang menunjuk pada kejatuhan dalam kategori ini. Dengan demikian
masalah atau obyek dari suatu tindakan tetap penting. Orang tentu saja dapat
tidak setuju mengenai apapun atau bukan bagian khas suatu tingkah laku yang mungkin
meliputi manusia dalam hal kejahatan atas cara radikal ini: tentang ini mungkin
ada perbedaan persepsi dari masa ke masa, dari budaya ke budaya; kita baru saja
membuat poin yaitu faktor-faktor seperti latarbelakang, status, seks, dan
lainnya itu mempengaruhi persepsi kita akan moralitas dan bahwa ada pergeseran
tekanan dalam taksiran dari suatu kegagalan moral. Tetapi apapun yang terdapat
dalam daftar khas dosa, pada akhirnya komitmen atas untuk kesalahan berasal
dari pusat kemanusiaan, dari sumber terdalam pilihan manusia.
Besarnya implikasi dari dosa berat telah mengarahkan para teolog Katolik
Roma untuk memunculkan pertanyaan mengenai suatu kemungkinan klasifikasi dosa
sebagai kematian. Pertanyaannya adalah apapun yang tampak diselubungi tindakan
tidak bermoral, katakanlah seks sebelum menikah atau kontrasepsi, dianggap
kematian. (tidak mudah mengatakan secara umum tentang hal ini sebab tidak ada
pengetahuan yang baku
tindakan tunggal membawa dalam kehidupan individual apapun.) hal itu telah menuntun
pada suatu percobaan menarik untuk mengklasifikasikan kembali dosa. Usulan yang
muncul adalah bahwa banyak tipe-tipe tindakan yang secara tradisional disebut
‘kematian’ mesti ditempatkan dalam suatu kategori baru dari dosa ‘serius’. Hal
ini disetujui bahwa tipe-tipe itu adalah kekeliruan-kekeliruan yang bisa
dipertimbangkan yang mempengaruhi hubungan kita dengan yang sesama dan dengan
Tuhan. Tetapi kekeliruan-kekeliruan itu tidak dianggap membawa konsekuensi dosa
berat. Saran yang diberikan adalah bahwa perhatian Gereja untuk kehidupan
individual dan komunitas telah menuntunnya untuk menuntut bahwa kelakuan dari
jenis ini disubyekkan kepada ritus rekonsiliasinya. Perhatian yang jelas menyeluruh
itu - untuk mengganti ‘kematian’ pada apa yang secara
bersama lebih dalam dan lebih tetap bertahan, suatu kondisi yang lebih langka
daripada klasifikasi dosa akan menghantar kita untuk percaya. Seseorang yang ingin
mengetahui konsolasi dari kodrat manusia mungkin sebagaimana kita menemukan
kesulitannya untuk memberi kebaikan diri kita sendiri secara tak tergantikan -
sering juga terjadi bahwa ada sejumlah keegoisan bahkan dalam tindakan baik
kita –dapat juga terjadi bahwa ada cinta yang tertinggal dari kebaikan kita ketika
kita melakukan kesalahan berat. Mungkin hal ini yang menyelamatkan kita dari
dosa berat.
Dosa berat bukanlah suatu keadaan definitif.
Suatu pilihan fundamental selalu bisa diperbaharui: orang tidak secara total
membereskan diri sendiri dalam satu pilihan. Tetapi jika hal itu menjadi
definitif - jika ter-alienasi sama sekali dari kemanusiaan kita yang menjadikan
keputusan bebas secara menyeluruh dari kehidupan temporal kita - itu, tradisi
kita menegaskan, akan berakibat dalam pemisahan definitif dari Tuhan. Hal itu
telah mewarnai cara pembawaan itu - api neraka, dan lain sebagainya. Akan
tetapi inti masalahnya adalah bahwa kita dapat memilih dalam seluruh keputusan
hidup kita untuk terpisah dari Tuhan. Entahlah manusia melakukan demikian atau
telah melakukan demikian, kita tidak tahu. Kapan dan bagaimana – macam
kehidupan seperti apa persisnya - hal itu dilakukan, kita tidak tahu sama
sekali. Bahwasannya ‘kematian dalam dosa berat’ meliputi apa secara jelas
sangat sulit untuk ditentukan.
Apa yang tradisi katakan adalah bahwa kehidupan
dihidupi di atas kemungkinan dari jenis kegagalan terakhir ini. Akhirnya, jika
kita dipisahkan dari Tuhan hal itu terjadi karena kita memilihnya sebagai
pernyataan hidup kita. Kebebasan pribadi manusia untuk membereskan darinya
adalah kebesarannya dan misteri. Tak seorang pun dapat membuat kita mencintai
atau menghargai sesuatu atau seseorang, bahkan Tuhan pun tidak: ini adalah hak kita
yang paling personal dan berharga; hal ini bagi kita untuk memutuskan ingin
menjadi siapa kita, di mana kita menempatkan hati kita, seperti apa nilai kita.
Tidak juga Tuhan membuat kita mencintai kebaikan, mencintai Dia. Kebesaran luar
biasa kita adalah ketika kita bebas dan ketika kita berkehendak untuk membuat
pilihan hidup. Tafsiran Kristiani ketika kebebasan dengan menghargai untuk
pilihan kebaikan moral adalah dalam kebebasan akhir dengan menghormati sesuatu
yang lebih besar - kebebasan menjawab pemberian diri Tuhan. Kita tidak dapat
memilih mencintai Tuhan secara langsung: kita hanya dapat memilihnya ’dalam
bagian kecil dan potongan-potongan setiap hari’; itu sungguh merupakan usaha
kita membangun surga kita -‘sebagaimana engkau melakukannya ini untuk orang ….’
Seluruh waktu kita mengambil sikap pendirian kita terhadap moral baik (terhadap
keterbukaan kepada orang lain atau terhadap kepentingan diri sendiri), kita
memutuskan mau menjadi orang seperti apa kita, kita membuat pilihan hidup kita
dan di dalamnya kita menentukan keselamatan atau kematian kita. Jika ada
penghakiman kita menghakimi diri kita sendiri. (Kita kembali lagi di sini pada
pokok tentang Tuhan-moralitas-model keselamatan yang kita sebutkan dalam bab
2).
Rekonsiliasi
Terlalu
banyak perhatian pada akibat dari efek kekacauan dosa yang mematikan dapat
membelokkan kita dari fakta sehari-hari, setidaknya kita berselisih dengan yang
lain, yang menumbuhkan rasa saling tidak percaya daripada membuat komunitas,
bahwa kita mengalami rintangan-rintangan untuk mencintai Tuhan di dunia ini.
Kadang sungguh tidak ada tingkatan dosa manusia. Apa yang hendak kita lakukan
dengan kekerasan hati kita yang merusak? –sebab aku tidak melakukan yang baik
yang aku kehendaki, tetapi yang jahat yang tidak kukehendaki yang kulakukan….
Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? (Rm 7: 19,24). Hal ini
menunjukkan kepadaku suatu hal dasar manusia dan tangis orang Kristiani. Itulah
kondisi manusia, suatu fakta yang menyedihkan yang harus dihadapi oleh setiap
filsafat, dan hal itu adalah sesuatu di dalam cahaya khusus dari umat Kristiani
yang dibicarakan yaitu tentang dosa, dosa dunia, dari perjuangan Kristus untuk
menguasai dosa di antara kita, kemudian mengikatnya ke dalam struktur yang kita
buat. Kita berjuang dalam mengusahakan kebutuhan untuk menerima dan
menyembuhkan, suatu rekonsiliasi dengan yang lain, dengan Tuhan, dengan diri
sendiri, dan dengan lingkungan kita.
Inti
dari ajaran Kristiani adalah bahwa kita dapat mengharapkan pengampunan – dan kemudian
hal tesebut menjadi sesuatu yang dinamis dalam kehidupan kita. Kita mungkin
akan mengalami kesulitan untuk mengampuni diri kita sendiri. Orang lain mungkin
kesulitan untuk mengampuni kita. Sejarah mungkin tak akan mengampuni kita. Kita
mungkin tidak bisa kembali kepada kejahatan yang pernah kita lakukan. Tetapi
pengalaman kita membuktikan bahwa pribadi yang kita hormati sebagai asal segala
realitas, yaitu Tuhan, telah mengampuni. Kita barangkali hidup dalam tragedi
yang telah kita sebabkan dan hal itu merupakan bagian dari rasa sakit kita.
Kita hanya dapat mempercayakannya kepada Tuhan. Kita dapat berharap bahwa
pemeliharaan Tuhan selalu dekat dengan kita dan untuk situasi dari perbuatan
yang tidak kita kehendaki (sebagaimana kita berharap kepadaNya ketika usaha-usaha
terbaik kita untuk kebenaran dan kebaikan dihalangi oleh orang lain). Hal itu
bukanlah aneka macam keterangan yang meringankan; mengambil perbuatan-perbuatan
jahat kita dalam konteks itu bukanlah suatu yang mudah untuk melupakan mereka;
mereka tidak akan segera dihanyutkan dalam pengaruh mereka pada yang lain.
Tetapi kita memiliki situasi istimewa untuk semua pikiran yang melebihi apa
yang dapat kita lihat. Kita berkata bahwa Tuhan dapat membawa kebaikan keluar
dari kejahatan. Jika kita melihat dari sisi lain, semua itu hanyalah kegelapan
belaka: kita tidak akan pernah bisa memecahkan misteri inter-relasi antara tiga
gagasan –Tuhan, kebebasan, dan kejahatan.
Tetapi
kita tahu bahwa kita dapat mengharapkan pengampunan. Kita mengetahui semua itu
di dalam Yesus Kristus: di dalam Dia semua itu menjadi tampak (1Yoh 7-9; 1Yoh
3:16; Yoh 3:16). Ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa wanita yang
tertangkap ketika berzinah, dan meletakkannya di tengah-tengah mereka dan
berkata kepada-Nya …” Sekarang, Hukum Musa memerintahkan kami untuk
melemparinya dengan batu. Apa pendapatmu tentang orang ini?” Hukum Suci
menyatakan hal itu. Adakah hukum keadilan yang ingin kau katakan untuk
dilakukan: Adakah sesuatu untuk menjadi hukuman. Tetapi Yesus menunjukkan suatu
logika yang berbeda: ‘Siapa yang tak berdosa di antara kamu hendaklah ia yang
pertama melemparkan batu kepada perempuan itu’. Dapatkah kita memberikan suatu
hukum keadilan ketika kita dipenuhi dosa. Ada suatu logika yang ditutup kembali
tentang hukuman. Akan tetapi ada perspektif lain yang tidak ditetapkan pada
masa lampau, tetapi yang kreatif, inovatif, dan mau ambil-resiko (beresiko).
Hal itu menjadi wajah untuk inisiatif baru. Seorang wanita yang melakukan zinah
datang untuk sebuah kematian –jika dalam peraturan orang Yahudi. Tetapi Yesus
telah membuka pandangan baru, kemungkinan, suatu hidup baru baginya.
Ketika kita menempatkan diri kita di
hadapan Tuhan dalam dosa kita –dan hal itu merupakan sesuatu yang sangat
penting dan menembus pengalaman bahwa Gereja kita bersifat sakramental dalam
ritus- apa yang kita dengar terutama adalah sungguh kabar baik, suatu kisah
kelahiran dan pengampunan Tuhan yang dalam sejarah tampak dalam Kristus. Kita
dimasukkan dalam kisah tersebut. Pengalaman akan membantu penyembuhan kita:
Jika Tuhan dapat mengampuni kita, dapatkah kita tidak paham dan tidak punya
belaskasihan di dalam kelemahan kita sendiri, menjadi lemah-lembut pada diri
sendiri. (Semua itu tentu tidak cukup; kita akan segera mengatakan bahwa doa
dan ritus sakramental tidak akan memecahkan segala sesuatu, kita butuh
pengalaman manusia dari bantuan dan nasihat –pemberian dari Roh Kudus [Rm 12],
sama-sama rahmat dari Tuhan). Tetapi pengalaman dari pengampunan selalu menjadi
sebuah tantangan. Hal tersebut berhadapan dengan logika yang menggelisahkan
dari diri orang yang menjadi sumber dan penopang seluruh kehidupan. Itu adalah
suatu pandangan dari sebuah jalan baru: Kita tidak membenci orang yang membenci
kita, atau bahkan orang yang telah menyalahkan kita atau orang yang sebelumnya
menentang kita, atau iri kepada orang yang lebih baik dan gembira. “tetapi aku
berkata kepadamu, cintailah musuhmu dan doakanlah orang yang menganiaya kamu,
sehingga kamu menjadi anak-anak Bapamu yang ada di surga; Dia memberikan sinar
matahari kepada yang jahat dan yang baik, dan mengirim hujan kepada yang benar
dan yang tidak benar. Maka, jika kamu mencintai orang yang mencintai kamu…”
(Mat 5: 43 dst.).
Kekristenan mengatakan bahwa dalam kegelapan kita ada harapan dan terang.
Di bumi kita ada belas kasih dan cinta. Simbol yang berlebihan dalam kehidupan
kristiani kita adalah sang juru selamat. Kita telah menerima kasih: ada harapan
bahwa kita dapat menunjukkan belas kasih. Sesuatu yang menjadi tantangan untuk
menggerakan hati dan memungkinkan dengan pengalaman mengampuni sebagai usaha
untuk membebaskan diri dari serangan-serangan binatang yang tinggal dalam diri
kita, dasar keadilan, kecerdikan membalas dendam, kekerasan yang naik atau
turun secara terus menerus yang timbul dari kelemahan. Pengalaman akan
belaskasih bukanlah pilihan yang lemah. Kamu telah diampuni oleh karena itu
mengampuni: adalah dinamik. Hal itu usaha bertanggungjawab. Itu memiliki efek
dalam dunia, dalam tindakan untuk mengampuni, damai dan rekonsiliasi.
Kemudian saya menunjuk pada rekonsiliasi yang tidak hanya saya pikirkan
pada upacara sakramental saja: sakramen-sakramen sebagian besar tidak selalu
signifikan dan berhasil bagi kita saat: rahmat Tuhan adalah kemurahan yang
menyebar di dunia dan tidak akan dibatasi. Apa yang tampak sebenarnya adalah
beberapa kesadaran keterbatasan manusia dan kelemahan moral merupakan bagian
dari kondisi manusia yang otentaik dan beberapa merasa bahwa sebagai pendosa
sebelum Tuhan dan lainnya adalah bagian dari kehidupan kristiani. Itu menjadi
disposisi yang tetap dengan kita. itu akan menjadi sumber dari penurunan
kerendahan hati tetapi untuk berterima kasih; mengapa kehidupan dapat menjadi
ekaristi. (Itu merupakan belaskasihan yang semuanya kita dapatkan sehingga
menyulitkan untuk mengakui kegagalan: satu keheranan kegembiraan ada dalam
kekristenan, itu rupanya memungkinkan untuk mengakui kegagalan. Beberapa tahun
yang lalu uskup-uskup dari Brazil
meminta pengampunan untuk dosa-dosa dan kekurangan gereja dan itu telah
menggemakan pengaruh).
Upacara sakramental menawarkan
kemungkinan-kemungkinan istimewa: itu dapat menjadi nilai yang tinggi. Itu
diberikan bagi kita secara total, berharga, pengalaman tubuh-jiwa mendengar dan
mempelajari pengampunan kasih Tuhan (kamu tahu bagaimana kamu ingin menjadi
sehat, merasakan, ketika seseorang menerima kamu kembali). Atau hal itu akan
dilakukan. Allah Bapa mengasihani melalui kematian dan kebangkitan Putra-Nya
yang mendamaikan dunia dengan diri-Nya dan mengirim Roh Kudus di antara kita
demi pengampunan dosa-dosa – ini adalah kabar sukacita yang para imam nyatakan
dalam setiap pengakuan. Sayangnya upacara pengakuan yang telah berlalu banyak
peristiwa kecil, sebuah tempat gelap yang menakutkan. Telah ada perkembangan
tetapi saya pikir itu disepakati di mana-mana bahwa penyatuan kembali sakramen
sukses paling tidak di wilayah atau tempat ini. Tetapi yang mengagumkan adalah
kemungkinan dibolehkannya untuk berhadapan dan menyatukan jalan yang merupakan
keotentikan manusia dan ke dalam realitas kristen pada keberhasilan kita.
Satu kemungkinan yang ditimbulkan
adalah aspek komunal dari rekonsiliasi. Itu lebih signifikan. Rekonsiliasi itu
mengingatkan kita bahwa dosa bukanlah sebuah peristiwa privat antara kita
sendiri dan Tuhan dan bahwa dunia bukanlah hanya sebuah panggung, tempat kita menentukan
keselamatan personal kita. Kita berdosa terhadap orang lain dan bersama,
sebagai kelompok-kelompok kecil, golongan dan budaya, kita berdosa terhadap
orang yang kita anggap sebagai saingan atau orang luar. Kita bersama adalah
bagian dari macam-macam manusia yang penuh dosa, dari dosa dunia. Itu merupakan
kebaikan bersama sebagai manusia kita mengakui itu dan menerima pengampunan.
Pengakuan secara komunal terhadap dosa akan membuat kerendahan hati – “membiarkannya
yang tanpa dosa di antara kamu .…” Penerimaan bersama terhadap belas kasih
tanda baru awal dengan yang satu sama lain. Perayaan bersama dapat memberikan
kita harapan baru bagi diri kita dan bagi dunia kita, dapat membangkitkan lagi
dalam diri kita sebuah keyakinan yang menyebabkan kerajaan surga. Harapan pada
Allah seperti kita nyatakan dan alami ketaatannya dan kasih – sungguh lama,
sungguh baru – bahwa kita akan mengangkat mata kita dari pengalaman ini
keseluruh kehancuran, bahwa kita akan melakukan sendiri untuk menciptakan
komunitas yang dekat dengan kita memiliki pengenalan kegetiran kita, dengan ini
kita jauh dari penderitaan, kerakusan kita, dan bahkan dengan seluruh ciptaan
yang telah menjadi korban dari kearogansian dan kedunguan kita. Gereja bukanlah
perkumpulan sempurna yang bangga akan kebaikan, tidak toleran pada akhir pekan.
Itu adalah komunitas pengampunan yang akan mengambil pekerjaan atas
pengampunan, damai dan rekonsiliasi.