Selasa, 03 April 2012

cerpen

KECING
Semangat untuk bersaksi menjadi hal yang sebenarnya mudah untuk dipraktekkan, tapi kenapa aku seperti mati rasa menghadapi teori yang kini menjadi realitas itu. Menjadi martir karena membela iman seharusnya bisa aku lakukan, tetapi kenapa aku menjadi kecing seperti ini?
***
Reruntuhan batu bata masih terserak di samping pondasi bangunan itu. Segelintir umat masih berjaga mengelilingi bangunan yang akan menjadi sebuah rumah bersama segelintir orang itu. Aku meninggalkan tempat itu kira-kira 3 jam yang lalu. Aku kembali kekediamanku meninggalkan mereka yang berada di kampung kecil itu dan kembali ke keramaian tempat aku selama ini berdiam. Malu, menyesal, marah dan segala rasa negatif memenuhi diriku. Dalam hatiku muncul perasaan yang mengatakan bahwa aku tidak berguna. Aku terlalu kecing menghadapi masalah yang seharusnya menjadi bidangku.
Sudah 3 tahun ini aku ditugaskan di sebuah paroki mewah yang memiliki lahan yang luas dalam pelayanan. Kami hanya memiliki tiga anggota sebagai pelaksana pastoral. Jarak tempuh yang tak mudah memaksa aku untuk memakai seluruh diriku dalam karyaku. Memang ini yang menjadi impianku ketika dahulu menjadi seorang imam, melayani mereka yang kecil, yang tak tersentuh pelayanan.
Keprihatinan muncul dalam diriku melihat susahnya menjalankan imam di tempat yang ekstrim dalam bidang religiositas. Fanatisme buta mempengaruhi orang secara perlahan, menjadi sebuah masalah yang pelik bagi umatku dan bagi diriku. Semangat untuk bersaksi menjadi hal yang sebenarnya mudah untuk dipraktekkan, tapi kenapa aku seperti mati rasa menghadapi teori yang kini menjadi realitas itu. Menjadi martir karena membela iman seharusnya bisa aku lakukan, tetapi kenapa aku menjadi kecing seperti ini?
Aku sedih ketika mendengar cerita dari tetua umatku di tempat itu. Sepuluh hari yang lalu, pondasi yang sudah lama terbentuk dicoba ditinggikan. Mereka sudah mengumpulkan dana sedikit demi sedikit selama satu keturunan. Satu harapan yang mereka inginkan, yaitu membuat sebuah tempat yang layak untuk bertemu dengan Tuhan. tetapi, pondasi hasil keringat satu keturunan itu runtuh sia-sia. dinding yang dirangkai sehari sebelumnya sudah runtuh menjadi puing-puing. segerombolan orang membuatnya menjadi seperti itu. masih ku ingat suara serak bapak itu ketika menghubungiku melalui handphone, “Romo, tolong kami!.
Dalam keadaan galau aku menguatkan mereka dengan kata-kata bijakku:
“Sabar ya Pak! ini adalah cobaan Tuhan untuk kita, kita harus terus berjuang!
Keesokan harinya, aku mendapat kabar lagi bahwa mereka diancam oleh beberapa orang supaya jangan melanjutkan pembangunan. jika mereka melanjutkanya maka mereka akan diadili! maka dengan mempertimbangkan keselamatan mereka aku menyarankan mereka supaya berhanti membangun gereja itu.
Dua hari yang lalu adalah jadwalku melakukan touring kepada umat didaerah-daerah. jadwal sebulan sekali itu yang menjadi tanggungjawabku. Aku melihat bagaimana keadaan puing-puing ditempat kejadian. Kesedihanku belipat ganda! aku sedih melihat reruntuhan itu, juga melihat tatapan nanar para umatku kepadaku! samar-samar ku dengar bisik-bisik
Kecing! masak gitu aja takut!
Aku sedih mendengarnya. umatku tak paham maksudku! sebagai seorang gembala tentu aku ingin melihat umatku selamat, tetapi kenapa mereka tak mengerti maksudku? Litani serba salah seorang iman rasanya memang cocok. mereka memandang aku tidak berani menghadapi tekanan dari luar! mereka sebenarnya mengharapkan aku muncul di depan mereka dan melawan. tapi, aku malah melarang mereka untuk berjuang!
Secara biblis mungkin aku bisa berkata: “ kasihilah musuhmu”, “jangan gigi diganti gigi” dan lain-lain. Tetapi sepertinya alasan seperti itu tak bisa berkenan dihati umatku. Mereka ingin aku bangun dari kenyamanan yang aku nikmati selama ini. Bangun menghadapi tantangan. Mereka ingin aku sungguh bisa tampil sebagai panutan. Panutan yang ada di depan, memimpin.
Bukankah itulah motivasiku? menjadi seorang pelayan yang memperhatikan mereka yang membutuhkan pelayananku? apa aku sudah terbuai dengan kenyamanan fasilitas? sehingga aku takut melihat penolakan, ketidak nyamanan dan hal-hal yang tak menyenangkan? kenapa aku, kenapa?
Dengan pembelaan-pembelaan alasan filosofis aku berusaha membenarkan perbuatanku. namu, dalam pembelaanku itu aku tetap merasa tak nyaman! Dari lubuk hatiku aku merasa bersalah karena aku takut. Sekarang itulah yang memenuhi pikiranku.
Benarkah perbuatan yang kulakukan itu?
atau
aku memang kecing?
Di dalam perjalanan pulang aku menagis dalam hati!
Yesus batulah aku! itulah kata-kata yang ku ucapkan!
kini, aku masih berlutut di dalam ruang doa di pusat kota kediamanku! aku masih merenung.
apa aku benar-benar kecing?

Andreas Eko Wahyudianto
Seminari Tinggi Santo Petrus
Pematangsiantar

reskrip

 
KONSEP TENTANG RESKRIP
DALAM
KITAB HUKUM KANONIK

  1. PENGANTAR
Dalam hukum kita sering mendengar kemurahan atau pengabulan atas suatu permohonan. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut suatu kemurahan adalah reskrip. Dalam hukum kanonik Gereja Katolik baik itu kodek tahun 1917 maupun kodek 1983 terkandung aturan mengenai reskrip. Kami sebagai kelompok ingin mendalami konsep tentang reskrip dalam hukum kanonik. Kami ingin mendalami dari sisi pengertian, konsep, validitas, pertentangan, pelaksanaan serta hal lain yang mungkin bisa kami temukan. Maka dalam paper ini kami mengambil tema: KONSEP KANONIK TENTANG RESKRIP.
  1. ISI
1.      Pengertian Reskrip
Kata reskrip berasal dari bahasa latin re-scribere yang berarti menulis ulang[1]. Reskrip ialah suatu tindakan administratif yang dibuat secara tertulis oleh otoritas eksekutif yang berwenang, yang menurut hakekatnya memberi suatu privilegi, dispensasi atau kemurahan lain atas permohonan seseorang[2]. Reskrip adalah suatu jawaban tertulis atau suatu permohonan atau petisi. Gereja mengadopsi reskrip dari Hukum Romawi.
Resrip pertama kali diberikan oleh paus sirialus (365) dengan nama Epistula (surat). Reskrip tersebut diberikan kepada Imerius dari Tarragona di Spanyol untuk menjawab permohonan Imerius tentang permohonan masalah doktrinal dan disipliner gereja di Tarragona. Sejak itu kuasa memberi reskrip diberikan kepada Tahta Suci. Namun, dalam perkembangannya kuasa itu juga dimiliki oleh Uskup Diosesan atau petinggi Gereja lain.
  1. Konsep Kanonik tentang Reskrip
Menurut kodek 1983, semua orang bisa menerima dan meminta reskrip.  Reskrip manapun dapat diperoleh oleh semua orang yang dengan jelas tidak dilarang [3]. Aturan ini berbeda dengan aturan kodek tahun 1917. Kodek 1917 menyebutkan bahwa hanya orang yan memiliki persekutuan yang penuh dengan Gereja sajalah yang bisa memohon dan mendapatkan reskrip[4]. Menurut beberapa komentar, kodek tahun 1983 menegaskan bahwa setiap pribadi entah itu dibaptis atau belum dibaptis bisa meminta kepada Tahta Suci[5].
Reskrip juga bisa dimohonkan untuk orang lain, baik dengan persetujuan orang tersebut maupun tidak[6]. Hal ini juga mempertimbangkan sebab-sebab yang berlawanan. Reskrip yang demikian tetap sah tetapi tidak wajib digunakan. Penerima bisa memakai reskrip tersebut maupun tidak memakainya. Begitu pula dengan reskrip yang mempunyai pelaksana, misalnya seorang imam yang memohon reskrip Reskrip yang diberikan tanpa pelaksanaan bersifat “in forma gratiosa” berarti berlaku sejak tanggal yang tercantum  di dalam dokumen itu. Sedangkan yang mewajibkan memiliki pelaksana bersifat “in forma commissoria”,  ini berarti berhubungan dengan aturan-aturan yang ada pada Kanon 40-45. Dalam kasus ini uskup Diosesan yang memiliki wewenang. Reskrip ini memiliki efek sejak waktu pelaksanaanya.
  1. Validitas Reskrip
Keabsahan utama dalam permohonan sebuah reskrip adalah alasan-alasan yang benar. Hukum kanonik melarang subrebtio  dan obrepti.  Subreptio atau tidak disebutnya kebenaran meng- halangi sahnya reskrip jika di dalam permohonan tidak dinyatakan hal-hal yang menurut undang-undang, gaya kerja serta praksis kanonik harus dinyatakan demi sahnya, kecuali mengenai reskrip kemurahan yang diberikan dengan Motu Proprio.[7]
Paragraph pertama menjelaskan bahwa “tidak disebutnya kebenaran” dengan sendirinya menghalangi sahnya  sebuah reskrip. Motu proprio (adalah sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Sri Paus atas dasar prakarsanya sendiri dan secara pribadi ditandatangani oleh dirinya) bisa membuat itu sah. Lebih lagi paragraph satu ditambah beberapa kriteria yaitu “sesuai hukum, gaya dan praktik kanonik.[8] Pemberian reskrip harus memiliki hubungan antara alasan motivasi sebagai penyebab dan validitas reskrip sebagai efek[9]. Demikian juga obreptio atau menyatakan sesuatu yang tidak benar menghalangi sahnya reskrip jika dari alasan-alasan yang dikemukakan sebagai motif bagi reskrip tak satupun benar[10].
Reskrip yang sudah ditolak diskateri kuria Roma, maka otoritas lain yang berwenang di bawah Paus Roma tidak bisa mengesahkan tanpa persetujuan diskateri yang menanganinya[11]. ini berlaku bagi gereja universal. Bagi gereja partikular, karena sebuah wilayah mungkin memiliki beberapa ardinaris, mungkin seseorang meminta kemurahan dalam waktu yang sama. Jika hal itu terjadi, maka reskrip yang diberikan tidak sah kerena ada unsur penipuan. Seorang yang sudah memohon dan ditolak oleh ordinarisnya, tidak boleh menerima dari ordinaris lain. Walaupun dia menyebutkan alasan tetapi ordinaris lain tidak boleh memberikan kemurahan itu[12].
           Jika terjadi kesalahan/kekeliruan nama atau persoalan orang yang menerima reskrip tersebut tetap berlaku dengan syarat diketahui oleh ordinaris . Ordinaris harus yakin dengan orang atau hal yang dimaksudkan. Kan. 66 mengatakan bahwa: Reskrip tetap berlaku walaupun terdapat kekeliruan tentang nama orang yang menerimanya atau yang memberinya, atau tentang tempat tinggalnya atau tentang hal yang dipersoalkan, asal saja menurut penilaian Ordinaris tidak ada keraguan tentang orang atau hal yang dimaksudkan.
  1. Pertentangan reskrip
Jika terjadi bahwa mengenai suatu hal yang sama diperoleh dua reskrip yang bertentangan satu sama lain, maka reskrip khusus, yang merumuskan hal-hal khusus, diutamakan di atas reskrip umum[13]. Kalau sama-sama khusus atau umum, reskrip yang mendahului diutamakan di atas yang kemudian, kecuali dalam yang kedua dengan jelas disebutkan mengenai yang pertama; atau penerima pertama tidak menggunakan reskripnya karena tipu-muslihat atau kelalaian berat[14]. Dalam keraguan apakah reskrip sah atau tidak, hendaknya dimohon keterangan kepada orang yang memberi reskrip itu[15].
  1. Pelaksanaan Reskrip
Reskrip Takhta Apostolik yang diberikan tanpa pelaksana harus ditunjukkan kepada Ordinaris dari orang yang memperolehnya, hanya jika hal itu diperintahkan dalam surat tersebut, atau mengenai hal-hal publik, atau syarat-syaratnya perlu diperiksa[16]. Reskrip yang penyampaiannya tidak ditentukan waktunya, dapat ditunjukkan kepada pelaksana pada sembarang waktu, asalkan tak ada kebohongan dan tipu-muslihat[17]. Kalau dalam reskrip pemberian kemurahan itu dipercayakan kepada pelaksana, dia dapat menyetujui atau menolak memberikan kemurahan itu menurut pertimbangan yang arif dan suara- hatinya[18].
  1. Norma Tambahan tentang Reskrip
Kan. 71: Tak seorang pun diharuskan menggunakan reskrip yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri, kecuali karena alasan lain secara kanonik ia wajib menggunakannya.
Kan. 72:  Reskrip yang diberikan oleh Takhta Apostolik dan telah lewat waktunya, dapat diperpanjang satu kali oleh Uskup diosesan karena alasan yang wajar, tetapi tidak lebih dari tiga bulan.
Kan. 73: Reskrip tidak dicabut dengan undang-undang yang bertentangan, kecuali dalam undang-undang itu sendiri ditentukan lain. ini mengacu pada sistem yang dimiliki bahwa sebuah hukum yang memiliki wewenang lebih tinggi yaitu Tahta Suci tidak bisa dihapus oleh otoritas dibawahnya.
Kan. 75: Kalau reskrip mengandung suatu privilegi atau dispensasi, ketentuan-ketentuan dari kanon-kanon berikut ini harus ditaati. Untuk reskrip yang mengandung privilege diatur dalam Kan. 76-Kan. 84. Sedangkan reskrip yang mengandung unsur dispensasi diatur dalam Kan.85-Kan. 83.
  1. PENUTUP
Reskrip adalah suatu jawaban dari sebuah permohonan. Gereja katolik mengaturnya dalam Kitab Hukum Kanonik. Syarat utama dari pemberian reskrip adalah kebenaran. Pelaksanaannya pun demi sesuatu yang benar. Kemurahan diberikan untuk memberi keringanan bagi orang yang memiliki masalah. Dengan reskrip Gereja benar-benar ingin melepaskan beban yang dimiliki orang. Dengan reskrip Gereja menampakkan kasih dan pengampunan. Demikian paper yang kami buat,  kami sadar masih banyak kekurangan yang harus kami benahi. Maka kami mohon koreksi atas apa yang kami buat. Akhirnya,  kami ucapkan terima kasih.


Daftar Pustaka


[1] a
[4] Canon law

[5] Bdk 3 komentar

[6] Kan. 61
[7] Kan 63 § 1
[8]  118

[9]  118

[10] Kan 63§2

[11] Kan 64

[12] Kan 65§1 dan §2.